Jumat, Agustus 09, 2013

Negara Asal dari Bangsa Asal, Darimana Asalnya?


Asal, adalah sebuah kata yang agak ajaib dalam bahasa Indonesia. Sepertinya ia berasal dari bahasa Arab, asal-muasal, yang bermakna awal dari segala permulaan. Tetapi menjadi berbeda makna jika menjadi asal-asalan, atau bahkan dalam bahasa kelisanan kita, ketika seseorang dinilai, "Asal,...!" yang maksudnya senada dengan ngawur, sembarang seperti kemudian menjadi asbun, asal bunyi. Walau pun pelan-pelan tentu bukan asal selamat, seperti diterjemahkan dari bahsa Jawa; "Alon-alon waton kelakon". Lagi pula, 'pelan' tentu saja bukan 'asal' atau tempat kelahiran dan tempat tinggal dari selamat, sebagaimana ketika kita mengatakan "Asalnya darimana?" Karena pada jaman kini, yang namanya 'selamat', semakin tidak jelas di mana alamatnya. Sebagaimana begitu kacaunya yang dimaksud 'asal-usul'. Karena asal usul jika digabung sama halnya dengan asal-mula, asal-muasal, atau awal-mula, tetapi begitu dipisahkan, menjadi usul yang asal-asalan, usul yang sekedarnya, daripada tidak usul.
Baiklah. Asal tahu saja, di dalam berkomunikasi, langsung dan tidak langsung (lewat tulisan atau via internet, misalnya), sering kita temui orang bisa asal berpendapat, asal menulis, asal berkomentar, yang tentu saja dengan nilai asal-asalan. Di dunia facebook, misalnya (atau di twitter dan blog), betapa dengan mudah orang berpendapat, berkomentar, dan kemudian bertikai tapi asal bertikai dan tak ada kehendak serius untuk menyelesaikan pertikaian hingga mencapai kesepakatan, karena memang tak ada penyelesaian. Seperti dulu di jaman-jaman diskusi di ruang kampus atau kesenian kita, orang bisa angkat tangan, minta waktu bicara, begitu giliran bicara selesai di dapatkan, ia kemudian ngeloyor pergi, tak memerlukan apa respons atau tanggapan orang lain. Ia seolah hanya ingin menunjukkan, bahwa ia bisa berbicara, tetapi pastilah ia tak bisa (atau tak ingin) mendengarkan.
Pada perkara terakhir itulah, hanya bisa bicara atau hanya ingin bicara, tapi tak mau dan tak bisa mendengarkan, sepertinya menjadi asal-muasal bagaimana bangsa ini jika tak bisa dibilang tidak mampu menyelesaikan masalah, maka bangsa ini adalah bangsa yang lebih mementingkan kepuasan diri-sendiri. Tak ada kepuasan bersama, sebagaimana suami-isteri yang tak pernah orgasme bersama, dan akhirnya jika tak terjadi perceraian maka terbuka perselingkuhan. Karena betapa susahnya mendapatkan pasangan ideal.
Hingga akhirnya, beranak-pinaklah ketidakmampuan untuk memformulasikan suatu masalah, mengidentifikasi suatu persoalan, yang pada akhirnya tentulah menciptakan ketidakbisaan dalam merumuskan suatu masalah, apalagi memproyeksikan agenda-agendanya di masa depan. Dan karena yang penting adalah diri-sendiri, sementara kepentingan orang atau pihak lain tidak penting, tidak penting pula menyelesaikan masalah, karena masalah memang dianggap tidak ada. Baru menjadi masalah jika diri-sendiri dirugikan kepentingannya.
Di dalam dunia politik, di dalam dunia keberagamaan dan keberagaman kita, betapa mudahnya orang asal ngomong, asal berpendapat, ngotot dengan pendapatnya sendiri, tidak terlatih untuk mendiskusikan, menegosiasikan, apalagi mendengarkan, mengapresiasi, menerima, dan kemudian merumuskannya bersama-sama. Kembali mari kita lihat di dalam berbagai fora ruang dan waktu, dari sejak para yang kita namakan elite politik, elite pejabat pemerintahan, elite akademisi, elite agamawan-agamawati, pernahkah kita melihat warna toleransi atas keragaman?
Mungkin saja ada yang melihat, dan mempraktikkan, namun alangkah lebih banyak yang sebaliknya. Yang pada akhirnya, bukan hanya asal ngotot, melainkan asal menangnya sendiri. Sampai-sampai, istilah kata orang Betawi, harus berlanjut sampai mengkafir-kafirkan. Tidak perlu lagi mencari rujukan, referensi, apalagi melakukan cross-check, untuk mencari kesahihan istilah dan apalagi substansi masalah.
Kita lebih suka segala hal yang permukaan, tak penting substansi, toh kita juga tidak pernah dilatih menghargai yang bernama proses. Sejak Orde Baru Soeharto berkuasa di negeri ini, maka yang kemudian menonjol adalah sistem kapitalistik yang mengajari kita secara intens, agar menjadi seorang yang pragmatis. Orang yang hanya menganut pada teori kepentingan atau manfaat. Jika di situ ada kepentingan dan manfaat buat kita, maka itu sesuatu yang bernilai. Jika tidak, bukan urusan kita. Ibaratnya jika kita melihat atau menemui adegan tabrakan di jalan raya, asal bukan orang kita, tidak kita kenal, dan tentu saja asal bukan kita, kita hanya melongok sejenak dan kemudian berlalu.
Tetapi karena hanya berazas pada kepentingan kita sendiri, maka, kita pun menjadi tebal telinga. Kedewasaaan kita dalam kebahasaan, berkomunikasi, tidak tumbuh, dan bahkan menyempit untuk kemudian buntu dan buntet. Kita kemudian stagnan, involutif, mandeg, dan kemudian karena waktu terus berjalan kita menjadi makin ketinggalan dan berjarak jauh dengan yang namanya proses, dan akhirnya juga progres.
Lihat saja misalnya soal Jokowi. Tak jelas apakah ia mau mencapreskan diri atau tidak, tetapi komentar miring atasnya, bukan datang dari rakyat jelata, melainkan bisa orang sekelas Amien Rais, Rhoma Irama, Ramadhan Pohan, Ruhut Poltak Sitompul, dan entah siapa lagi, yang bukan lagi sekedar penilaian negatif, melainkan bisa jadi bercampur fitnah, tanpa perlu mengkonfirmasi atau rechecking misalnya. Asal njeplak, bahasa halusnya.
Dan jika sudah demikian asal njeplaknya, bisa tidak jelas asal usul si njeplak itu. Dalam melihat sepak-terjang Ahok sebagai Wakil Gubernur Jakarta, misalnya. Apa yang diperdebatkan oleh orang-orang tentang tokoh ini? Sampai-sampai, para akademisi sohor dari UI, atau para pakar ilmu pemerintahan dan komunikasi politik, perlu menasehati Ahok soal tenti atau cara bertutur. Tapi, kenapa kita tidak fokus membahas, apa sih sebenarnya masalahnya? Kenapa kita ribu kulitnya semata? Apakah gara-gara nenek-moyang kita asal bikin peribahasa macam 'kacang lupa kulitnya?' 
Soal sidang isbat misalnya, hanya di Indonesia bisa begitu sangat demokratisnya, karena sebuah pemerintahan sekuler bisa dibantah otoritasnya oleh ormas-ormas dan organ-organ massa. Bahkan juga, akhirnya, soal keyakinan orang-perorang pun negara juga tidak mampu melindunginya.
Berbagai soal di dalam negeri, soal remisi korupsi, soal kejahatan narkoba, soal kurikulum pendidikan nasional, soal impor-ekspor, dan bahkan soal utang-piutang negara, semuanya bisa berjalan jungkir-balik senyampang dengan kepemimpinan nasional yang juga tidak jelas arah dan karakternya. Semua orang seolah terbawa oleh arus modernisasi, hingga kemudian komunikasi pun terseret dalam kode-kode komunikasi dunia maya. Banyak elite negeri ini, lebih sering dan lebih penting muncul di media, daripada terjun ke jantung hati masyarakat bangsanya. Dan muncullah iklan-iklan dengan sirkus kata-kata dari para akrobatis macam copy-writer dan ghost-writer. 
Dan kita sungguh-sungguh tak pernah belajar memahami, mencari tahu, mencari sang asal-muasal dari semua carut-marut negeri ini. Kita sibuk dengan kata-kata, kata-kata kita sendiri, dan tak peduli dengan kata-kata pihak lain.
Dalam bermedia canggih, Indonesia tampaknya tidak ketinggalan, bahkan bisa jadi yang terdepan dalam mereproduksi itu semuanya. Lihat saja, berbagai merk alat komunikasi kita, jauh lebih lengkap dibanding Jepang, Amerika, Singapore, negara-negara Eropa. Tapi pasti kita tidak tahu istilah "the man behind the gun" bukan? Karena itu bukan vocab kita! Sama persis dengan SBY, yang ketika mendapat penghargaan sebagai negarawan dunia karena mampu membangun toleransi beragama. Apa katanya? SBY dengan rinci bisa menyebut berapa jumlah masjid, gereja, vihara, dan tempat-tempat peribadatan lainnya. Tapi jangan tanyakan, bagaimana kualitasnya. Ia sendiri hanya lebih suka menghimbau di twitter atau fanpage facebook-nya.
Maka kemudian terjadilah hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang menang. Kuat dalam hal apa? Kuat dalam hal mempunyai berbagai kemungkinan untuk memfasilitasi datangnya kekuatan itu. Dalam politik, ada politik uang. Keterpilihan bukan karena ke-amanah-an. Dalam agama, ada mayoritas-minoritas (beragama kok cuma karena hitungan kuantitas, bukannya kualitas). Dan seterusnya. Blog, facebook, twitter, yang konton dicipta sebagai sosial media, ternyata kemudian memang hanya menggambarkan kualitas dari suatu bangsa itu sendiri. Apa yang ditulis, itulah yang dikatakan, apa yang dikatakan, itulah yang ada di otaknya. Dan apa yang ada di otaknya? Ternyata tak ada sama sekali. Lho, lantas siapa yang menggerakkan? Mulut kita asal saja bunyi, "Setan, ngkali!"
Setan tentu saja balas mengumpat, "Asal!"

1 komentar:

  1. APLIKASI KARTU KREDIT DAN KTA (PERSONAL LOANS) ONLINE
    INGIN BUAT KARTU KREDIT ATAU KREDIT TANPA AGUNAN?
    SAYA BANTU BUAT
    Apakah Anda merencanakan pernikahan, merenovasi rumah, membayar uang sekolah anak-anak, atau bahkan mengajak orang-orang tercinta dalam perjalanan liburan Anda? Personal Loan dapat membuat hidup Anda lebih mudah. Produk pinjaman kami juga tersedia jika Anda ingin melakukan pembelian lainnya.
    Dapatkan Manfaat Dari Personal Loan Kami
    fasilitas :
    Dapatkan Manfaat Dari Personal Loan Kami :
    * Jumlah pinjaman hingga IDR 200 juta
    * Tanpa agunan, persyaratan mudah dan proses yang cepat
    * Pembayaran dengan cicilan tetap dan terjangkau setiap bulan
    * Perlindungan asuransi jiwa dari kewajiban pelunasan seluruh hutang apabila Anda mengalami musibah
    Tarif dan biaya
    * Untuk pinjaman >= 30 juta maka biaya adminitrasi (provisi) dikenakan 1,75% sudah termasuk biaya asuransi.
    * Sedangkan pinjaman < 30 juta maka biaya adminitrasi (provisi) dikenakan 3,5% sudah termasuk biaya asuransi.
    * Biaya Materai 6.000 (di form aplikasi)
    * Biaya Keterlambatan, 5% dari pembayaran bulanan atau IDR 60,000 yang mana lebih tinggi.
    * Pelunasan Dini, 5% dari sisa pokok terhutang
    Anda berminta hub my brother IRVAN YAA . PIN 7EA8D6FD TELP 088215334251. 085600125176

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...