Kamis, Juni 14, 2012

Politikus Busuk, Lawyer Hitam, dan Media Massa tanpa Agenda

Salah satu malapetaka yang menyedihkan, bagi sebuah bangsa dan negara, ialah ketika ia mendapati banyaknya lawyer (atau pembela hukum) yang culas, berjibunnya politikus busuk, serta adanya media massa yang hadir tanpa agenda. Kenapa? Karena semuanya bertumpu pada keuntungan yang sempit, baik pada diri maupun kelompoknya, dan abai pada nilai-nilai kemuliaan publik yang substansial.
Dalam sebuah bangsa dan negara yang sedang berproses atau tumbuh, tentu yang kita butuhkan adalah menguatkan nilai-nilai kemuliaan, perbuatan-perbuatan baik dan benar, yang akan menginspirasi dan memotivasi tumbuhnya benih-benih yang sama, yakni makin merebaknya kehidupan yang baik dan benar itu sendiri.
Sejak ambruknya otoritarianisme Orde Baru, dengan nilai-nilai kemutlakannya, kita menjadi bangsa yang riuh-rendah, namun tidak mengenali nilai-nilai keutamaan yang menjadi prioritas atau pondasi dari semuanya.
Reformasi 1998 hanya memberikan kita kebebasan untuk melakukan apa saja, namun seolah tak ada tatanan yang baku. Demokrasi modern yang didengung-dengungkan, adalah demokrasi dalam nilai yang paling dasar, yakni kebebasan. Namun kebebasan yang lahir adalah kebebasan yang merusak nilai-nilai kebebasan itu sendiri, karena nilai demokrasi yang dianut adalah sesuatu yang tidak esensial atau fundamental. Kebebasan tanpa nilai, tanpa etika, tanpa kehormatan diri.
Kebebasan dimaknai sebagai bebas yang sebebas-bebasnya. Bebas menafsirkan kebenaran menurut interpretasi dan persepsi masing-masing, tanpa mau mendengar dan melihat dari sisi pandangan lain orang. Sehingga kualitas diskusi bukanlah negosiasi nilai-nilai, melainkan lebih sekedar transaksi berdasarkan pemaksaan antara pihak satu pada pihak lainnya.
Dalam proses-proses pengadilan hukum, kita mendengarkan perdebatan yang riuh-rendah, lebih hanya untuk mencari kebenaran diri-sendiri. Cara akhirnya bukan menjadi sesuatu yang dimuliakan, melainkan tujuanlah yang menjadi target satu-satunya. Target itu harus tercapai, apapun cara yang dipakainya. Itu sebabnya para lawyer hitam, akan memakai cara apapun yang dimungkinkan. Bukan sekedar berdebat wacana, tetapi jika perlu melakukan pemaksaan, baik yang halus maupun kasar.
Hampir sejalan dengan itu, para politikus yang menjadi pemegang peran utama dalam proses perjalanan bangsa dan negara ini, seolah representasi dari kebenaran, karena mereka selalu mengaku mewakili amanat penderitaan rakyat. Alasan itu selalu dipakai sebagai dasar pemikiran, sekali pun lebih sering itu hanyalah sebagai starting point atau justifikasi. Selebihnya, sering tak berkaitan atau bertentangan sama sekali.
Jika dua hal tersebut, lawyer hitam dan politikus busuk bahu-membahu menjadi kekuatan, akan sangat mengerikan hasilnya. Apalagi ketika dua hal tersebut hanya berputar karena alasan yang sama, yakni uang. Dan itu akan menjadi sesuatu yang makin mengerikan, jika ditangkap oleh media (cetak, online, dan televisi), yang melihat hal itu sebagai obyek berita semata, tanpa agenda sama sekali.
Berbagai berita dimunculkan, dan dengan dalil kuno "bad news is best news", akan segera memenuhi atmosfir berfikir suatu masyarakat. Bahwa di dunia ini isinya hanyalah perdebatan atau pertengkaran melulu. Semakin ramai pertengkaran, semakin senang media mengakomodasinya. Bahkan tak jarang, sebuah konflik bisa direkayasa oleh media, karena peristiwa yang lurus dan adem-adem saja tidak akan laku untuk dijual.
Media massa seperti itu, adalah media yang hanya memiliki agenda kepentingan bagi dirinya sendiri, yakni mengejar oplah, rating, atau audiens share, namun sama sekali tak melihat apa residu, polusi atau dampak ikutannya bagai masyarakat yang mayoritas belum terdidik, secara sosial dan politik.
Masyarakat yang belum terdidik ini, tidak cukup memiliki daya imunitas untuk memilih. Bahkan, dalam bawah sadarnya akan terbentuk suatu stigma, bagaimana kenyataan itu bisa terbangun pada otaknya lebih karena ia tidak memiliki perbandingan.
Masyarakat yang tidak imun atau melek media ini, akan mudah diombang-ambingkan, dan secara tidak disadari bersama, akan masuk dalam pusaran arus permasalahan yang sebenarnya sama-sama tidak jelasnya. Maka yang muncul adalah situasi chaostic, kita kehilangan norma, aturan, etika, lebih karena digoda oleh kenyataan-kenyataan imajiner yang disodorkan oleh aktor-aktris media. Lebih buruk lagi jika media ini mengadopsi keyakinan bahwa mereka yang kontroversial itu yang menarik. Maka yang muncul kemudian tentulah hanya kegegap-gempitaan, yang tanpa memberi ruang untuk merenungkan, apa sesungguhnya yang terjadi.
Kita pelan-pelan dididik menjadi bangsa yang lebih suka ribet dengan kasus demi kasus, tanpa ada kewajiban menyelesaikan kasusnya, apalagi mengetahui dasar atau akar permasalahan.
Pelaku media, tentu akan berkilah bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan memilih cara. Namun inti sesungguhnya adalah bahwa media butuh alasan untuk target-target eksistensialnya. Yakni, terutama keuntungan finansial, karena media ini sudah makan investasi yang tinggi. Belum lagi jika owner telah menargetkan bahwa tahun ke sekian harus balik modal. Maka pelaku media menjadi bagian dari mesin-mesin untuk menarik keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Apapun caranya. Tak ada peduli dengan nilai kebangsaan, kenegaraan, atau tumbuhnya kualitas sumberdaya manusia.
Jika suatu masyarakat diteror dengan berita-berita yang negatif, berisi konflik demi konflik tanpa penyelesaian dan pembelajaran, maka masyarakat yang baru mau tumbuh dewasa ini akan (bukan saja terinspirtasi, melainkan) terintimidasi dan meyakini bahwa begitulah sebuah kehidupan harus dibangun. Pikiran-pikiran yang ada ialah mengembalikan kita pada adab rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Kebenaran dibangun oleh sebuah gertakan. Dan kebenaran yang dibangun atas dasar ketakutan pada salah satu pihak, ialah kebenaran yang kehilangan substansi dasarnya, yakni kebenaran yang tidak memberikan kenyamanan atau kedamaian. Kemudian akan muncul konformisme, lebih karena kita menghindari perdebatan, karena berbeda bisa menjadi sesuatu yang menakutkan, bukan lagi rahmat atau berkah seperti selama ini disodor-sodorkan pada kita.
Semua itu terjadi, lebih karena kita memilih pemikiran dan tindakan yang bersifat eksploitatif. Segala sesuatu diperas demi kepentingan diri kita sendiri. Kita sama sekali tak mau tahu, cara berfikir yang eksploratif, karena itu pasti berfikir tentang kemanfaatan bagi dan kepentingan orang di luar diri kita.
Cara berfikir eksploitatif, tentu bertumpu pada kepercayaan pada pragmatisme, aliran yang mengamini bahwa segala sesuatu harus dinilai dari seberapa ia bermanfaat (bagi kita), jika tidak bermanfaat (bagi kita), untuk apa ia dilakukan?
Cara berfikir ini tentu juga bersendi pada filsafat dasarnya, yakni tumbuh atas materialisme yang kita yakini sebagai jalan kebenaran. Dan untuk itu, maka sistem kapitalisme yang akan menuntun pada nilai-nilai kebenaran. Bahwa hidup itu adalah sesuatu yang bersifat progress, dan ukurannya, haruslah eksak bisa dilihat. Harus verbal, harus formal, harus dengan deret ukur yang tampak.
Sementara, kenyataan eksploitatif itu, telah banyak terbuktikan menuntun kita ke arah kebuntuan. Nilai-nilai modernitas, sebagian besar kini menjadi biang persoalan, dan bukan bagian dari penyelesai masalah. Kapitalisme juga akan macet jika mereka tidak mampu menggulirkan distribusi di lingkaran sekitar atau bawahnya. Karena itu, George Soros pada akhirnya menyadari, ia tidak mungkin kaya sendirian, sementara dunia sekitarnya ia hisap habis, karena itu tentu melawan hukum alam yang bernama sirkulasi.
Pancasila dengan nilai substansinya yang disebut Bung Karno sebagai gotong-royong, sesungguhnya adalah jawaban yang tepat untuk itu. Karena tumbuh bersama hanya akan mampu jika muncul pemikiran dan daya hidup yang eksploratif.
Hanya saja, itu semuanya tidak akan muncul, jika politikus busuk masih merajalela, lawyer hitam masih bebas bicara tanpa landasan etik, dan media massa tanpa agenda kemanusiaan masih berkibar karena investasi mereka belum balik.

1 komentar:

  1. saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
    bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
    setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
    sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
    sempat saya putus asah dan secara kebetulan
    saya buka FB ada seseorng berkomentar
    tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
    melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
    karna di malaysia ada pemasangan
    jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
    saya minta angka sama AKI NAWE
    angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
    terima kasih banyak AKI
    kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
    rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
    bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
    terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
    jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
    tak ada salahnya anda coba
    karna prediksi AKI tidak perna meleset
    saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan












    saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
    bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
    setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
    sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
    sempat saya putus asah dan secara kebetulan
    saya buka FB ada seseorng berkomentar
    tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
    melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
    karna di malaysia ada pemasangan
    jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
    saya minta angka sama AKI NAWE
    angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
    terima kasih banyak AKI
    kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
    rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
    bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
    terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
    jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
    tak ada salahnya anda coba
    karna prediksi AKI tidak perna meleset
    saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...