Catatan Sunardian Wirodono
Berbagai komentar pro-kontra mengenai "saweran rakyat untuk pembangunan gedung KPK", dengan jelas menunjukkan kualitas kita sebagai bangsa dan negara. Berbagai komentar itu, terjebak dalam verbalitas kata, yang hanya menangkap persoalan-persoalan hukum, prosedur, tata-cara. Dari sejak presiden, Yusril, Ketua MPR, Ketua DPR, lebih-lebih anggota Komisi III DPR, para aktivis LSM, fesbuker, dan lain sebagainya.
Sama sekali tak mampu menangkap esensi atau pesan moralnya. Karena memang pesan moral hanya bisa ditangkap oleh yang mempunyai kode moralitas sama. Sedangkan pesan moral yang disampaikan oleh rakyat melalui dukungan saweran itu, tidak tertangkap oleh yang memakai kode moralitas berbeda. Oleh karena itu, Soekarno dalam pidatonya di Semarang pada tahun 1956 mengatakan; "Berimajinasilah! Imagination! Imagination! Imagination!" Namun, Soeharto sebagai anak emas Amerika dalam menggotong kapitalisme, telah mendidik kita menjadi generasi penganut pragmatisme. Kita hanya melihat sesuatu dari seberapa besar kemanfaatannya buat kepentingan kita. Di luar itu, mana da' urus!
Padahal, jika kita ngomong aspek hukum atau prosedur, dana pembangunan gedung KPK sudah masuk dalam UU APBN 2012, yang tentunya sudah disetujui DPR. Jika belum disetujui dewan, bagaimana mungkin masuk dalam APBN? Dan bukankan hal itu terjadi atas persetujuan Komisi III DPR? Jika Dewan tidak menyetujui dengan memberi tanda bintang, seharusnya tidak dimasukkan APBN. Sederhana saja sesungguhnya.
Jika tidak, kenapa Menkeu berani menyiapkan dananya, jika belum berkekuatan hukum? Sementara Nasir dari PKS, yang sedang Umroh di Mekkah mengatakan, "Silakan Menkeu mencairkan, toh nyatanya tidak berani sebelum persetujuan DPR?" Sementara SBY normatif mengatakan diserahkan pada prosedur yang ada.
Semuanya itu debat kusir. Kalau mau pakai tolok ukur hukum dan prosedural, tinggal baca bagaimana bunyi UU APBN 2012. Dan UU harus dilaksanakan. Tak ada alasan bagi Dewan untuk menyandera, kecuali mereka mau bermain sirkus yang memang sudah ketahuan belangnya.
Pola penganggaran yang harus melalui DPR, tentu saja baik, dan itu memungkinkan pengawasan melekat. Namun segala yang melekat itu (pengawasan dan kekuasaan) di tangan manusia yang dilahirkan dari sistem dan mekanisme politik yang buruk, akan menjadi bumerang atas bersimaharajalelanya conflict of interest. Apa interes DPR? Hanya dua, kuasa dan uang.
Kembali ke inti soal; Pesan moral yang tidak ditangkap itu ialah, betapapun KPK masih mempunyai kelemahan, namun sebagian besar rakyat mendukung dan percaya. Sementara di sisi lain, rakyat sama sekali tak terwakili kepentingan dan aspirasinya oleh DPR, lembaga yang mesti mewakilinya. Sangat sederhana sesungguhnya. Namun sebagai manusia yang berazas Orbais (formalis dalam berfikir, pragmatis dalam bertindak, dan vandalis dalam berkuasa), anggota Komisi III DPR merasa tidak bersalah mengenai hal itu, dan bahkan menyalah-nyalahkan orang lain.
Mereka mungkin mengira, tahun 2014 bakal bisa masuk lagi ke Senayan, toh sekarang bukan saja time is money, melainkan kursi is money. Kekayaan hasil nyawer kanan-kiri selama lima tahun, dianggapnya cukup untuk membeli kursi kelak. Sementara, rakyat yang juga cenderung pragmatis, bisa jadi tetap menerima uang amplopannya tapi tidak untuk memilihnya.
Karena persoalan kita memang soal moralitas. Dan politik, yang dimunculkan oleh partai politik, tidak muncul atas bimbingan keberadabannya. Cara melihatnya sederhana saja, lihat sistem dan mekanisme perekrutannya, tolok ukur yang dipakainya sudah belibet dan tidak menempatkan rakyat sebagai subyek melainkan obyek. Dari dapur yang kacau-balau, menurut pepatah Perancis, ketahuan mengapa sebuah masakan sehat bisa jadi racun mematikan.
Situasi transisi ini memang parah dan meletihkan. Tapi setiap negara mengalami proses pembusukan ini. Jika kita sabar, kenapa tidak mengolah tanah kering-kerontang ini untuk kesuburan anak-cucu? Orang bisa dengan enteng mengatakan, lebih enak jaman Soeharto. Penyesatan ini dipercaya karena penyakit pragmatisme itu. Siapa bilang lebih enak? Ketidakenakan jaman sekarang ini, sebagian besar dari ulah orde sebelumnya yang korup, dan generasi kini mengalami panen kerusakannya. "Isih enak jamanku to?" Enak mbahmu, Mbah!
Jika sekarang ini Senayan berada dalam masa pembusukan, itu hukum alam. Selalu ada kesempatan untuk bertumbuh. Generasi Sukarno telah mengajarkan itu. Semoga 2014 pokrol politik tanpa moral terus berkurang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
BalasHapus