Catatan Sunardian Wirodono
Lagi-lagi Olga Syahputra. Lagi-lagi Olga Syahputra. Kenapa Olga Syahputra lagi-lagi? Memang ada apa dengan Olga Syahputra? Kebanyakan masyarakat tahu, artis televisi Indonesia itu mengucapkan kata-kata yang konon dianggap melukai publik. Ada beberapa kasus, dua yang terakhir dan teringat; Dulu diadukan ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena dirasa melecehkan korban perkosaan, yang terakhir mengucapkan kata yang dituding "menghina" salam yang merupakan doa bagi agama tertentu karena menyamakan hal itu dengan ucapan seorang pengemis.
Sekiranya kelak, lagi-lagi dan lagi-lagi, KPI memberikan per-ingat-an, peneguran, demikian juga misalnya lagi-lagi sekelompok anggota masyarakat memprotesnya, adakah tidak akan terulang, dan terulang? Tak ada jaminan, sepanjang tak ada ukuran yang jelas mengenai hal itu.
Ukuran yang jelas? KPI sebagai komisi negara yang bersifat ad-hoc, bisa disebut satu paket dengan UU Penyiaran 2002, sesungguh-sungguhnya juga merupakan satu paket produk Reformasi 1998, yang (bersama UU Otonomi Daerah) intinya bersemangatkan kehendak untuk melakukan desentralisasi, mengingat Indonesia yang aneka warna. Namun sekali lagi dan sekali lagi, KPI dan UU Penyiaran (UU Otda juga), adalah produk reformasi yang paling banyak dikebiri. Karena Jakarta, maksudnya elite pusat, paling tak berkehendak kehilangan kendali, yang intinya mengacu pada distribusi ekonomi pemerataan.
Lho, lantas apa hubungannya dengan Olga Syahputra? Hubungannya adalah, tiadanya kontrol yang kuat untuk "mengendalikan" televisi sebagai media publik, karena media televisi paling tidak terkontrol (bahkan oleh KPI sekali pun), kecuali oleh investasi yang tinggi. Pemerintah yang konon mau memberlakukan UU Penyiaran 2002, dan akan menuntaskan di 2009, sampai kini tak ada kabarnya.
Dengan tingkat penetrasinya yang tinggi, media televisi paling leluasa untuk mengharu-biru masyarakat, baik dalam hal selera dan wacana publik, serta yang berkait dengan perimbangan daya jangkau (siaran) serta daya serap hasil siaran. Jelasnya, televisi lokal Jakarta, bisa leluasa siaran secara nasional, namun hanya pada Pemda DKI-Jakarta ia menyetor sebagian keuntungannya sebagai pajak. Sedang daerah-daerah lain, hanya menjadi daerah jajahan, dan mungkin juga limbahnya semata, antara lain untuk menonton Olga Syahputra, artis dari Ibukota Jakarta Raya. Sementara kita tahu, Jakarta Raya untuk Indonesia Raya, adalah sesuatu yang bukan tanpa masalah.
Sampai hari ini, materi utama siaran televisi lokal Jakarta adalah hiburan. Dan watak hiburan, ketika masuk ke sistem industri di Indonesia, yang juga belum matang-matang amat infra dan supra-strukturnya, menyodorkan berbagai persoalan yang bersifat latent. Utamanya, tentang apa yang dipakai oleh orang-orang televisi sebagai selera publik atau apa yang diminati oleh masyarakat. Ukuran yang aneh, karena parameternya adalah asumsi. Rating, misalnya oleh AC Nielsen, sudah barangtentu hanya "terukur" ketika sudah ditayangkan.
Dengan pendapatan utama dari iklan, selera atau minat publik selalu menjadi alasan dan ukuran para programmer televisi untuk merancang acara. Olga Syahputra, masuk dalam kriteria itu. Karena konon, Olga Syahputra itu lucu, sangat menghibur, dibutuhkan oleh masyarakat yang stress, daripada politik yang kotor dan menegangkan, dan seterusnya. Buktinya, Olga Syahputra mendapat "award" beberapa kali, tentu saja oleh mekanisme dan sistem industri televisi itu sendiri. Padahal, rating bisa membuktikan sebaliknya, Karni Ilyas dengan ILC mampu membuat politik dan hukum sebagai komedi yang menghibur, dan juga bisa terdepan mengaburkan tentu.
Di situ persoalan muncul. Entah atas nama kompetisi atau rating dan pendapatan iklan. Stasiun televisi kemudian lebih konsentrasi pada eksploitasi. Mana yang "disuka" oleh masyarakat, itu yang dikejar, digeber, habis-habisan. Dan seolah tak ada batas untuk itu. Apa yang terjadi pada Olga Syahputra, lahir karena sistem dan mekanisme industri hiburan kita, khususnya media televisi, yang tidak terkontrol. Mekanisme pasar sajalah (karena diprotes masyarakat) yang membuat beberapa acara komedi di televisi kini tidak berani live, karena mulut para pelawak atau artis-artis itu, sering tak bisa dikendalikan, atau tak bisa membedakan antara omongan di media dengan keseharian mereka yang memang suka selengekan. Programer acara televisi sering mengkriteriakan presenter atau host itu harus yang lucu, harus selengekan, ngocol, dan sejenisnya.
Pada situasi itulah, kesalahan Olga Syahputra akan terus berulang-ulang. Kenapa? Karena media yang tidak berkarakter, lahir juga dari aturan masyarakat yang tidak berkarakter, sebagai bagian dari negara yang tak berkarakter pula. Dan kita tahu, media tanpa karakter juga dijalankan oleh para programmer yang juga tidak berkarakter, sehingga lahirlah media massa bernama televisi yang paling enggan mengukur dampak media bagi peradaban bangsa. Apa urusannya!
Ukuran karakter manusia (Indonesia) kemudian beralih pada kemuliaan-kemuliaan duniawiah. Apa yang terjadi di kotak televisi, adalah cerminan dari pribadi-pribadi manusia di dalamnya. Lihat misalnya Olga Syahputra dengan bangga mengatakan, selama jalan-jalan ke Eropa baru-baru ini, bahwa ia menghabiskan Rp 1 milyar. Dan karena kelebihan beban barang bawaan, ia harus membayar denda Rp 18 juta. Itu dikatakannya di media dengan enteng dan ceria. Apa yang diharapkan dari pribadi semacam ini? Tapi, sekali lagi, apa urusannya awak media dengan karakter bangsa, bukankah kita dengan mudah menyalahkan masyarakat; Salah 'ndiri nape lu nonton juge!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan