Mesin waktu yang ada dalam diri kita, bukan hanya bisa menolong kita untuk membawa serta pada satu tujuan. Tapi, ia juga bisa menyeret kita ke mana-mana, sekiranya kita tak mampu mengendalikannya, atau kita dalam kuasa dan kendalinya.
Semuanya menjadi seolah tidak pasti, tidak tentu. Padahal, menurut Thomas Fuller (1608-1661), seorang penulis dari Inggris, “Semua hal pasti, sebelum hal-hal tersebut menjadi mudah.” Pesan moralnya adalah; Bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan, diupayakan, diusahakan, ditaklukkan, diyakini, agar menjadi sesuatu yang diketahui, sesuai yang bernilai pasti, hakiki, mutlak.
Dan itu semuanya tentu karena pengetahuan (buru-buru seorang teman akan nyeletuk, Tuhan juga! Tentu saja. Yang esensial dan dasariah, sudah dengan sendirinya, tak perlu disebut, bukan tak penting tapi justeru karena ia inhenrent, bagian tak terpisahkan dan buat apa juga diumak-umikkan di depan orang, biar dipuji Tuhan atau orang? Hadeh, malah mendlewer kemana-mana), karena ialah kehidupan ini bisa bertumbuh. Makanya salah satu firman Tuhan yang terpenting, adalah soal ilmu dan pengetahuan itu. Bacalah, bacalah atas nama Tuhanmu. Kuasa tuntunan bernama kasih, adalah juga hanya bisa tumbuh jika kita mengetahui kebenaran, keseimbangan. Karena tanpa pengetahuan, bagaimana engkau bisa menjelaskan cahaya itu bisa menerangi?
Namun, tentu saja, sebagaimana kata Abigail Adams, pengetahuan tidak diperoleh secara kebetulan. Isteri presiden AS John Adams (presiden ke-2) dan sekaligus adalah ibu kandung dari John Quicy Adams (presiden AS ke-6) itu mengatakan; bahwa ilmu harus dicari dengan semangat dan disertai ketekunan.
Bagaimana mencarinya dengan semangat dan ketekunan, jika tidak mengetahui atau berpengetahuan? Itulah gunanya NKOTB mencipta lagu "Step by Step", bahwa semuanya seperti itu. Sebagaimana bayi yang lahir ceprot dari rahim bundanya, sama sekali "tidak tahu apa-apa", tetapi belasan tahun kemudian, ia bisa tahu apa-apa dan kurangajar pada ibunya. Bahkan sekarang, kita mendengar ada anak usia dini yang bisa ini dan itu, anak SMP yang bisa mendownload video bokep atau membunuh temannya hanya gara-gara bertengkar soal karakter rekaan dalam bilik play-station. Itu artinya, manusia selalu belajar dan bertumbuh, karena pengetahuan juga sesuatu yang bertumbuh bersamaan dengan manusia itu sendiri. Lihat saja, bentuk fisik dan paras manusia, seolah makin cakep saja, jika dibanding foto-foto manusia Indonesia seabad yang lalu. Dan senyampang dengan itu, kita bisa mengapresiasi kehadiran manusia dari prestasi dan profesinya, tanpa pandang fisik, ras, sebagaimana para gadis-gadis masa kini bisa tergila-gila pada Balotelli (yang selalu saya sebut salah sebagai Bolatelli, kayaknya lebih Italiano, daripada Donattello yang mengesankan sebuah donat dengan rasa ketela pohung).
Disitulah satu sama lain manusia bisa berbeda tapi sama, sama tapi berbeda. Di situlah ada orang berkata soal gagal dan sukses, kalah dan menang, dan sejenisnya. Apakah bedanya untuk semua hal itu? Andre Malraux, pemikir, sejarawan, penulis Perancis, punya ungkapan yang menantang untuk itu. Bahwa yang membedakan orang sukses dan orang gagal, bukan karena yang satu memiliki kemampuan dan ide lebih baik. Tapi? Kata Malraux, karena dia berani mempertaruhkan ide menghitung risiko, dan bertindak cepat.
Bagaimana cara menghitung resiko dan bertindak cepat itu? Lha, disitulah gunanya belajar.
Sabtu, Juni 30, 2012
Jumat, Juni 29, 2012
Pesan Moral Saweran KPK yang tak Terbaca oleh Senayan
Catatan Sunardian Wirodono
Berbagai komentar pro-kontra mengenai "saweran rakyat untuk pembangunan gedung KPK", dengan jelas menunjukkan kualitas kita sebagai bangsa dan negara. Berbagai komentar itu, terjebak dalam verbalitas kata, yang hanya menangkap persoalan-persoalan hukum, prosedur, tata-cara. Dari sejak presiden, Yusril, Ketua MPR, Ketua DPR, lebih-lebih anggota Komisi III DPR, para aktivis LSM, fesbuker, dan lain sebagainya.
Sama sekali tak mampu menangkap esensi atau pesan moralnya. Karena memang pesan moral hanya bisa ditangkap oleh yang mempunyai kode moralitas sama. Sedangkan pesan moral yang disampaikan oleh rakyat melalui dukungan saweran itu, tidak tertangkap oleh yang memakai kode moralitas berbeda. Oleh karena itu, Soekarno dalam pidatonya di Semarang pada tahun 1956 mengatakan; "Berimajinasilah! Imagination! Imagination! Imagination!" Namun, Soeharto sebagai anak emas Amerika dalam menggotong kapitalisme, telah mendidik kita menjadi generasi penganut pragmatisme. Kita hanya melihat sesuatu dari seberapa besar kemanfaatannya buat kepentingan kita. Di luar itu, mana da' urus!
Padahal, jika kita ngomong aspek hukum atau prosedur, dana pembangunan gedung KPK sudah masuk dalam UU APBN 2012, yang tentunya sudah disetujui DPR. Jika belum disetujui dewan, bagaimana mungkin masuk dalam APBN? Dan bukankan hal itu terjadi atas persetujuan Komisi III DPR? Jika Dewan tidak menyetujui dengan memberi tanda bintang, seharusnya tidak dimasukkan APBN. Sederhana saja sesungguhnya.
Jika tidak, kenapa Menkeu berani menyiapkan dananya, jika belum berkekuatan hukum? Sementara Nasir dari PKS, yang sedang Umroh di Mekkah mengatakan, "Silakan Menkeu mencairkan, toh nyatanya tidak berani sebelum persetujuan DPR?" Sementara SBY normatif mengatakan diserahkan pada prosedur yang ada.
Semuanya itu debat kusir. Kalau mau pakai tolok ukur hukum dan prosedural, tinggal baca bagaimana bunyi UU APBN 2012. Dan UU harus dilaksanakan. Tak ada alasan bagi Dewan untuk menyandera, kecuali mereka mau bermain sirkus yang memang sudah ketahuan belangnya.
Pola penganggaran yang harus melalui DPR, tentu saja baik, dan itu memungkinkan pengawasan melekat. Namun segala yang melekat itu (pengawasan dan kekuasaan) di tangan manusia yang dilahirkan dari sistem dan mekanisme politik yang buruk, akan menjadi bumerang atas bersimaharajalelanya conflict of interest. Apa interes DPR? Hanya dua, kuasa dan uang.
Kembali ke inti soal; Pesan moral yang tidak ditangkap itu ialah, betapapun KPK masih mempunyai kelemahan, namun sebagian besar rakyat mendukung dan percaya. Sementara di sisi lain, rakyat sama sekali tak terwakili kepentingan dan aspirasinya oleh DPR, lembaga yang mesti mewakilinya. Sangat sederhana sesungguhnya. Namun sebagai manusia yang berazas Orbais (formalis dalam berfikir, pragmatis dalam bertindak, dan vandalis dalam berkuasa), anggota Komisi III DPR merasa tidak bersalah mengenai hal itu, dan bahkan menyalah-nyalahkan orang lain.
Mereka mungkin mengira, tahun 2014 bakal bisa masuk lagi ke Senayan, toh sekarang bukan saja time is money, melainkan kursi is money. Kekayaan hasil nyawer kanan-kiri selama lima tahun, dianggapnya cukup untuk membeli kursi kelak. Sementara, rakyat yang juga cenderung pragmatis, bisa jadi tetap menerima uang amplopannya tapi tidak untuk memilihnya.
Karena persoalan kita memang soal moralitas. Dan politik, yang dimunculkan oleh partai politik, tidak muncul atas bimbingan keberadabannya. Cara melihatnya sederhana saja, lihat sistem dan mekanisme perekrutannya, tolok ukur yang dipakainya sudah belibet dan tidak menempatkan rakyat sebagai subyek melainkan obyek. Dari dapur yang kacau-balau, menurut pepatah Perancis, ketahuan mengapa sebuah masakan sehat bisa jadi racun mematikan.
Situasi transisi ini memang parah dan meletihkan. Tapi setiap negara mengalami proses pembusukan ini. Jika kita sabar, kenapa tidak mengolah tanah kering-kerontang ini untuk kesuburan anak-cucu? Orang bisa dengan enteng mengatakan, lebih enak jaman Soeharto. Penyesatan ini dipercaya karena penyakit pragmatisme itu. Siapa bilang lebih enak? Ketidakenakan jaman sekarang ini, sebagian besar dari ulah orde sebelumnya yang korup, dan generasi kini mengalami panen kerusakannya. "Isih enak jamanku to?" Enak mbahmu, Mbah!
Jika sekarang ini Senayan berada dalam masa pembusukan, itu hukum alam. Selalu ada kesempatan untuk bertumbuh. Generasi Sukarno telah mengajarkan itu. Semoga 2014 pokrol politik tanpa moral terus berkurang.
Berbagai komentar pro-kontra mengenai "saweran rakyat untuk pembangunan gedung KPK", dengan jelas menunjukkan kualitas kita sebagai bangsa dan negara. Berbagai komentar itu, terjebak dalam verbalitas kata, yang hanya menangkap persoalan-persoalan hukum, prosedur, tata-cara. Dari sejak presiden, Yusril, Ketua MPR, Ketua DPR, lebih-lebih anggota Komisi III DPR, para aktivis LSM, fesbuker, dan lain sebagainya.
Sama sekali tak mampu menangkap esensi atau pesan moralnya. Karena memang pesan moral hanya bisa ditangkap oleh yang mempunyai kode moralitas sama. Sedangkan pesan moral yang disampaikan oleh rakyat melalui dukungan saweran itu, tidak tertangkap oleh yang memakai kode moralitas berbeda. Oleh karena itu, Soekarno dalam pidatonya di Semarang pada tahun 1956 mengatakan; "Berimajinasilah! Imagination! Imagination! Imagination!" Namun, Soeharto sebagai anak emas Amerika dalam menggotong kapitalisme, telah mendidik kita menjadi generasi penganut pragmatisme. Kita hanya melihat sesuatu dari seberapa besar kemanfaatannya buat kepentingan kita. Di luar itu, mana da' urus!
Padahal, jika kita ngomong aspek hukum atau prosedur, dana pembangunan gedung KPK sudah masuk dalam UU APBN 2012, yang tentunya sudah disetujui DPR. Jika belum disetujui dewan, bagaimana mungkin masuk dalam APBN? Dan bukankan hal itu terjadi atas persetujuan Komisi III DPR? Jika Dewan tidak menyetujui dengan memberi tanda bintang, seharusnya tidak dimasukkan APBN. Sederhana saja sesungguhnya.
Jika tidak, kenapa Menkeu berani menyiapkan dananya, jika belum berkekuatan hukum? Sementara Nasir dari PKS, yang sedang Umroh di Mekkah mengatakan, "Silakan Menkeu mencairkan, toh nyatanya tidak berani sebelum persetujuan DPR?" Sementara SBY normatif mengatakan diserahkan pada prosedur yang ada.
Semuanya itu debat kusir. Kalau mau pakai tolok ukur hukum dan prosedural, tinggal baca bagaimana bunyi UU APBN 2012. Dan UU harus dilaksanakan. Tak ada alasan bagi Dewan untuk menyandera, kecuali mereka mau bermain sirkus yang memang sudah ketahuan belangnya.
Pola penganggaran yang harus melalui DPR, tentu saja baik, dan itu memungkinkan pengawasan melekat. Namun segala yang melekat itu (pengawasan dan kekuasaan) di tangan manusia yang dilahirkan dari sistem dan mekanisme politik yang buruk, akan menjadi bumerang atas bersimaharajalelanya conflict of interest. Apa interes DPR? Hanya dua, kuasa dan uang.
Kembali ke inti soal; Pesan moral yang tidak ditangkap itu ialah, betapapun KPK masih mempunyai kelemahan, namun sebagian besar rakyat mendukung dan percaya. Sementara di sisi lain, rakyat sama sekali tak terwakili kepentingan dan aspirasinya oleh DPR, lembaga yang mesti mewakilinya. Sangat sederhana sesungguhnya. Namun sebagai manusia yang berazas Orbais (formalis dalam berfikir, pragmatis dalam bertindak, dan vandalis dalam berkuasa), anggota Komisi III DPR merasa tidak bersalah mengenai hal itu, dan bahkan menyalah-nyalahkan orang lain.
Mereka mungkin mengira, tahun 2014 bakal bisa masuk lagi ke Senayan, toh sekarang bukan saja time is money, melainkan kursi is money. Kekayaan hasil nyawer kanan-kiri selama lima tahun, dianggapnya cukup untuk membeli kursi kelak. Sementara, rakyat yang juga cenderung pragmatis, bisa jadi tetap menerima uang amplopannya tapi tidak untuk memilihnya.
Karena persoalan kita memang soal moralitas. Dan politik, yang dimunculkan oleh partai politik, tidak muncul atas bimbingan keberadabannya. Cara melihatnya sederhana saja, lihat sistem dan mekanisme perekrutannya, tolok ukur yang dipakainya sudah belibet dan tidak menempatkan rakyat sebagai subyek melainkan obyek. Dari dapur yang kacau-balau, menurut pepatah Perancis, ketahuan mengapa sebuah masakan sehat bisa jadi racun mematikan.
Situasi transisi ini memang parah dan meletihkan. Tapi setiap negara mengalami proses pembusukan ini. Jika kita sabar, kenapa tidak mengolah tanah kering-kerontang ini untuk kesuburan anak-cucu? Orang bisa dengan enteng mengatakan, lebih enak jaman Soeharto. Penyesatan ini dipercaya karena penyakit pragmatisme itu. Siapa bilang lebih enak? Ketidakenakan jaman sekarang ini, sebagian besar dari ulah orde sebelumnya yang korup, dan generasi kini mengalami panen kerusakannya. "Isih enak jamanku to?" Enak mbahmu, Mbah!
Jika sekarang ini Senayan berada dalam masa pembusukan, itu hukum alam. Selalu ada kesempatan untuk bertumbuh. Generasi Sukarno telah mengajarkan itu. Semoga 2014 pokrol politik tanpa moral terus berkurang.
Rabu, Juni 27, 2012
Olga Syahputra dan Keabsahannya dalam Industri Televisi Kita
Catatan Sunardian Wirodono
Lagi-lagi Olga Syahputra. Lagi-lagi Olga Syahputra. Kenapa Olga Syahputra lagi-lagi? Memang ada apa dengan Olga Syahputra? Kebanyakan masyarakat tahu, artis televisi Indonesia itu mengucapkan kata-kata yang konon dianggap melukai publik. Ada beberapa kasus, dua yang terakhir dan teringat; Dulu diadukan ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena dirasa melecehkan korban perkosaan, yang terakhir mengucapkan kata yang dituding "menghina" salam yang merupakan doa bagi agama tertentu karena menyamakan hal itu dengan ucapan seorang pengemis.
Sekiranya kelak, lagi-lagi dan lagi-lagi, KPI memberikan per-ingat-an, peneguran, demikian juga misalnya lagi-lagi sekelompok anggota masyarakat memprotesnya, adakah tidak akan terulang, dan terulang? Tak ada jaminan, sepanjang tak ada ukuran yang jelas mengenai hal itu.
Ukuran yang jelas? KPI sebagai komisi negara yang bersifat ad-hoc, bisa disebut satu paket dengan UU Penyiaran 2002, sesungguh-sungguhnya juga merupakan satu paket produk Reformasi 1998, yang (bersama UU Otonomi Daerah) intinya bersemangatkan kehendak untuk melakukan desentralisasi, mengingat Indonesia yang aneka warna. Namun sekali lagi dan sekali lagi, KPI dan UU Penyiaran (UU Otda juga), adalah produk reformasi yang paling banyak dikebiri. Karena Jakarta, maksudnya elite pusat, paling tak berkehendak kehilangan kendali, yang intinya mengacu pada distribusi ekonomi pemerataan.
Lho, lantas apa hubungannya dengan Olga Syahputra? Hubungannya adalah, tiadanya kontrol yang kuat untuk "mengendalikan" televisi sebagai media publik, karena media televisi paling tidak terkontrol (bahkan oleh KPI sekali pun), kecuali oleh investasi yang tinggi. Pemerintah yang konon mau memberlakukan UU Penyiaran 2002, dan akan menuntaskan di 2009, sampai kini tak ada kabarnya.
Dengan tingkat penetrasinya yang tinggi, media televisi paling leluasa untuk mengharu-biru masyarakat, baik dalam hal selera dan wacana publik, serta yang berkait dengan perimbangan daya jangkau (siaran) serta daya serap hasil siaran. Jelasnya, televisi lokal Jakarta, bisa leluasa siaran secara nasional, namun hanya pada Pemda DKI-Jakarta ia menyetor sebagian keuntungannya sebagai pajak. Sedang daerah-daerah lain, hanya menjadi daerah jajahan, dan mungkin juga limbahnya semata, antara lain untuk menonton Olga Syahputra, artis dari Ibukota Jakarta Raya. Sementara kita tahu, Jakarta Raya untuk Indonesia Raya, adalah sesuatu yang bukan tanpa masalah.
Sampai hari ini, materi utama siaran televisi lokal Jakarta adalah hiburan. Dan watak hiburan, ketika masuk ke sistem industri di Indonesia, yang juga belum matang-matang amat infra dan supra-strukturnya, menyodorkan berbagai persoalan yang bersifat latent. Utamanya, tentang apa yang dipakai oleh orang-orang televisi sebagai selera publik atau apa yang diminati oleh masyarakat. Ukuran yang aneh, karena parameternya adalah asumsi. Rating, misalnya oleh AC Nielsen, sudah barangtentu hanya "terukur" ketika sudah ditayangkan.
Dengan pendapatan utama dari iklan, selera atau minat publik selalu menjadi alasan dan ukuran para programmer televisi untuk merancang acara. Olga Syahputra, masuk dalam kriteria itu. Karena konon, Olga Syahputra itu lucu, sangat menghibur, dibutuhkan oleh masyarakat yang stress, daripada politik yang kotor dan menegangkan, dan seterusnya. Buktinya, Olga Syahputra mendapat "award" beberapa kali, tentu saja oleh mekanisme dan sistem industri televisi itu sendiri. Padahal, rating bisa membuktikan sebaliknya, Karni Ilyas dengan ILC mampu membuat politik dan hukum sebagai komedi yang menghibur, dan juga bisa terdepan mengaburkan tentu.
Di situ persoalan muncul. Entah atas nama kompetisi atau rating dan pendapatan iklan. Stasiun televisi kemudian lebih konsentrasi pada eksploitasi. Mana yang "disuka" oleh masyarakat, itu yang dikejar, digeber, habis-habisan. Dan seolah tak ada batas untuk itu. Apa yang terjadi pada Olga Syahputra, lahir karena sistem dan mekanisme industri hiburan kita, khususnya media televisi, yang tidak terkontrol. Mekanisme pasar sajalah (karena diprotes masyarakat) yang membuat beberapa acara komedi di televisi kini tidak berani live, karena mulut para pelawak atau artis-artis itu, sering tak bisa dikendalikan, atau tak bisa membedakan antara omongan di media dengan keseharian mereka yang memang suka selengekan. Programer acara televisi sering mengkriteriakan presenter atau host itu harus yang lucu, harus selengekan, ngocol, dan sejenisnya.
Pada situasi itulah, kesalahan Olga Syahputra akan terus berulang-ulang. Kenapa? Karena media yang tidak berkarakter, lahir juga dari aturan masyarakat yang tidak berkarakter, sebagai bagian dari negara yang tak berkarakter pula. Dan kita tahu, media tanpa karakter juga dijalankan oleh para programmer yang juga tidak berkarakter, sehingga lahirlah media massa bernama televisi yang paling enggan mengukur dampak media bagi peradaban bangsa. Apa urusannya!
Ukuran karakter manusia (Indonesia) kemudian beralih pada kemuliaan-kemuliaan duniawiah. Apa yang terjadi di kotak televisi, adalah cerminan dari pribadi-pribadi manusia di dalamnya. Lihat misalnya Olga Syahputra dengan bangga mengatakan, selama jalan-jalan ke Eropa baru-baru ini, bahwa ia menghabiskan Rp 1 milyar. Dan karena kelebihan beban barang bawaan, ia harus membayar denda Rp 18 juta. Itu dikatakannya di media dengan enteng dan ceria. Apa yang diharapkan dari pribadi semacam ini? Tapi, sekali lagi, apa urusannya awak media dengan karakter bangsa, bukankah kita dengan mudah menyalahkan masyarakat; Salah 'ndiri nape lu nonton juge!
Lagi-lagi Olga Syahputra. Lagi-lagi Olga Syahputra. Kenapa Olga Syahputra lagi-lagi? Memang ada apa dengan Olga Syahputra? Kebanyakan masyarakat tahu, artis televisi Indonesia itu mengucapkan kata-kata yang konon dianggap melukai publik. Ada beberapa kasus, dua yang terakhir dan teringat; Dulu diadukan ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena dirasa melecehkan korban perkosaan, yang terakhir mengucapkan kata yang dituding "menghina" salam yang merupakan doa bagi agama tertentu karena menyamakan hal itu dengan ucapan seorang pengemis.
Sekiranya kelak, lagi-lagi dan lagi-lagi, KPI memberikan per-ingat-an, peneguran, demikian juga misalnya lagi-lagi sekelompok anggota masyarakat memprotesnya, adakah tidak akan terulang, dan terulang? Tak ada jaminan, sepanjang tak ada ukuran yang jelas mengenai hal itu.
Ukuran yang jelas? KPI sebagai komisi negara yang bersifat ad-hoc, bisa disebut satu paket dengan UU Penyiaran 2002, sesungguh-sungguhnya juga merupakan satu paket produk Reformasi 1998, yang (bersama UU Otonomi Daerah) intinya bersemangatkan kehendak untuk melakukan desentralisasi, mengingat Indonesia yang aneka warna. Namun sekali lagi dan sekali lagi, KPI dan UU Penyiaran (UU Otda juga), adalah produk reformasi yang paling banyak dikebiri. Karena Jakarta, maksudnya elite pusat, paling tak berkehendak kehilangan kendali, yang intinya mengacu pada distribusi ekonomi pemerataan.
Lho, lantas apa hubungannya dengan Olga Syahputra? Hubungannya adalah, tiadanya kontrol yang kuat untuk "mengendalikan" televisi sebagai media publik, karena media televisi paling tidak terkontrol (bahkan oleh KPI sekali pun), kecuali oleh investasi yang tinggi. Pemerintah yang konon mau memberlakukan UU Penyiaran 2002, dan akan menuntaskan di 2009, sampai kini tak ada kabarnya.
Dengan tingkat penetrasinya yang tinggi, media televisi paling leluasa untuk mengharu-biru masyarakat, baik dalam hal selera dan wacana publik, serta yang berkait dengan perimbangan daya jangkau (siaran) serta daya serap hasil siaran. Jelasnya, televisi lokal Jakarta, bisa leluasa siaran secara nasional, namun hanya pada Pemda DKI-Jakarta ia menyetor sebagian keuntungannya sebagai pajak. Sedang daerah-daerah lain, hanya menjadi daerah jajahan, dan mungkin juga limbahnya semata, antara lain untuk menonton Olga Syahputra, artis dari Ibukota Jakarta Raya. Sementara kita tahu, Jakarta Raya untuk Indonesia Raya, adalah sesuatu yang bukan tanpa masalah.
Sampai hari ini, materi utama siaran televisi lokal Jakarta adalah hiburan. Dan watak hiburan, ketika masuk ke sistem industri di Indonesia, yang juga belum matang-matang amat infra dan supra-strukturnya, menyodorkan berbagai persoalan yang bersifat latent. Utamanya, tentang apa yang dipakai oleh orang-orang televisi sebagai selera publik atau apa yang diminati oleh masyarakat. Ukuran yang aneh, karena parameternya adalah asumsi. Rating, misalnya oleh AC Nielsen, sudah barangtentu hanya "terukur" ketika sudah ditayangkan.
Dengan pendapatan utama dari iklan, selera atau minat publik selalu menjadi alasan dan ukuran para programmer televisi untuk merancang acara. Olga Syahputra, masuk dalam kriteria itu. Karena konon, Olga Syahputra itu lucu, sangat menghibur, dibutuhkan oleh masyarakat yang stress, daripada politik yang kotor dan menegangkan, dan seterusnya. Buktinya, Olga Syahputra mendapat "award" beberapa kali, tentu saja oleh mekanisme dan sistem industri televisi itu sendiri. Padahal, rating bisa membuktikan sebaliknya, Karni Ilyas dengan ILC mampu membuat politik dan hukum sebagai komedi yang menghibur, dan juga bisa terdepan mengaburkan tentu.
Di situ persoalan muncul. Entah atas nama kompetisi atau rating dan pendapatan iklan. Stasiun televisi kemudian lebih konsentrasi pada eksploitasi. Mana yang "disuka" oleh masyarakat, itu yang dikejar, digeber, habis-habisan. Dan seolah tak ada batas untuk itu. Apa yang terjadi pada Olga Syahputra, lahir karena sistem dan mekanisme industri hiburan kita, khususnya media televisi, yang tidak terkontrol. Mekanisme pasar sajalah (karena diprotes masyarakat) yang membuat beberapa acara komedi di televisi kini tidak berani live, karena mulut para pelawak atau artis-artis itu, sering tak bisa dikendalikan, atau tak bisa membedakan antara omongan di media dengan keseharian mereka yang memang suka selengekan. Programer acara televisi sering mengkriteriakan presenter atau host itu harus yang lucu, harus selengekan, ngocol, dan sejenisnya.
Pada situasi itulah, kesalahan Olga Syahputra akan terus berulang-ulang. Kenapa? Karena media yang tidak berkarakter, lahir juga dari aturan masyarakat yang tidak berkarakter, sebagai bagian dari negara yang tak berkarakter pula. Dan kita tahu, media tanpa karakter juga dijalankan oleh para programmer yang juga tidak berkarakter, sehingga lahirlah media massa bernama televisi yang paling enggan mengukur dampak media bagi peradaban bangsa. Apa urusannya!
Ukuran karakter manusia (Indonesia) kemudian beralih pada kemuliaan-kemuliaan duniawiah. Apa yang terjadi di kotak televisi, adalah cerminan dari pribadi-pribadi manusia di dalamnya. Lihat misalnya Olga Syahputra dengan bangga mengatakan, selama jalan-jalan ke Eropa baru-baru ini, bahwa ia menghabiskan Rp 1 milyar. Dan karena kelebihan beban barang bawaan, ia harus membayar denda Rp 18 juta. Itu dikatakannya di media dengan enteng dan ceria. Apa yang diharapkan dari pribadi semacam ini? Tapi, sekali lagi, apa urusannya awak media dengan karakter bangsa, bukankah kita dengan mudah menyalahkan masyarakat; Salah 'ndiri nape lu nonton juge!
Selasa, Juni 26, 2012
Dongeng Warisan Seorang CEO
Konon, pada jaman kini kala, adalah seorang President & CEO tua dari sebuah perusahaan, yang sedang kebingungan pada siapa kerajaan bisnisnya hendak dipercayakan. Ada tiga anaknya, yang sulung, lelaki lulusan sekolah bisnis luar negeri. Yang kedua, lulusan sekolah bisnis dengan slogan "cara gila menjadi bisnisman", sampai banyak lulusannya yang gila (karena gagal jadi pengusaha sukses). Sedang anak ketiga, satu-satunya perempuan, hanya lulusan perguruan tinggi biasa, juga dengan penampilan biasa.
Sang Ayah bingung, siapa yang akan dipilihnya, karena dari performance anak-anaknya, semuanya tampak baik. Ketika ia mengundang seorang konsultan bisnis, juga psikolog, hasilnya tak memuaskan. Ketika ia membuka kembali buku tentang kepemimpinan, tak ditemu jawaban teoritis yang pas.
Akhirnya, sang presiden itu mengundang ketiga anaknya, di ruang kerjanya yang hanya berukuran 3x4 meter, yang hanya berisi empat kursi dan sebuah meja bundar.
"Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya, maka dialah penggantiku," demikian katanya, "Budget maksimum satu juta rupiah,..."
Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya. Esoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat.
"Bagus, besok giliranmu," kata si ayah kepada anak keduanya.
Hanya dalam waktu duapuluh empat jam, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran styro-foam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas packaging.
"Oke, besok giliranmu," kata sang patriarch menunjuk anak ketiga.
Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan masih kosong. Bahkan, meja dan kursi tak ada.
"Lho, kok kosong?" tanya ayah dan dua kakaknya hampir serempak.
Sang putri diam saja. Dimatikannya saklar lampu. Ruangan itu, karena tertutup, menjadi gelap. Dari sakunya, dia keluarkan sebatang lilin. Ditaruhnya di atas meja. Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.
"Lihat, ruangan ini penuh dengan terang," kata anak perempuan itu. "Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong tak tersinari," katanya kalem.
Anak perempuan itu, dinyatakan sebagai pemenangnya, dan ia berhak menduduki kursi tertinggi. Sang puteri, dinilai ayahnya sebagai seorang problem solved. Ia menyadari, ruang kerjanya, meski sederhana dan terang, tetapi tertutup.
Kualitas yang ditunjukkan sang ayah dan putrinya, adalah apa yang disebut sebagai hikmat. Ciri utama orang berhikmat (wise person), ialah kemampuan memecahkan masalah secara genuine dan memuaskan, demikian kata Jerry Pino dalam bukunya, yang merumuskan hikmat sebagai kemampuan membuat the best decision at any given situation.
Pintar, di pihak lain, adalah kemampuan mencerna dan mengolah informasi secara cepat. Ciri-cirinya; rasional, metodik, linier, dan analitik. Kepintaran umumnya diperoleh dengan olah otak, sampai botak, hiks.
Namun hikmat (wisdom), tidak hanya memerlukan olah otak, melainkan terutama olah hati. Jarang kita sadari, hati kita sebenarnya bisa berpikir. Dalam tradisi literatur kuno, terutama kitab-kitab suci, hati adalah lokasi kebijaksanaan, hikmat dan kepandaian. Lebih spesifik, hati adalah access point kepada the higher knowledge, yakni kepada Tuhan itu sendiri.
"Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan," demikian kata mereka yang beragama, "semua orang yang melakukannya, berakal budi yang baik, dan menekuninya dengan khidmat. Berkhidmat ialah cara menghormati pilihan, yang ditentukan dengan kesadaran dan bernilai."
Nikmati hidupmu dengan cinta yang hidup dan berkembang.
Sang Ayah bingung, siapa yang akan dipilihnya, karena dari performance anak-anaknya, semuanya tampak baik. Ketika ia mengundang seorang konsultan bisnis, juga psikolog, hasilnya tak memuaskan. Ketika ia membuka kembali buku tentang kepemimpinan, tak ditemu jawaban teoritis yang pas.
Akhirnya, sang presiden itu mengundang ketiga anaknya, di ruang kerjanya yang hanya berukuran 3x4 meter, yang hanya berisi empat kursi dan sebuah meja bundar.
"Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya, maka dialah penggantiku," demikian katanya, "Budget maksimum satu juta rupiah,..."
Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya. Esoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat.
"Bagus, besok giliranmu," kata si ayah kepada anak keduanya.
Hanya dalam waktu duapuluh empat jam, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran styro-foam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas packaging.
"Oke, besok giliranmu," kata sang patriarch menunjuk anak ketiga.
Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan masih kosong. Bahkan, meja dan kursi tak ada.
"Lho, kok kosong?" tanya ayah dan dua kakaknya hampir serempak.
Sang putri diam saja. Dimatikannya saklar lampu. Ruangan itu, karena tertutup, menjadi gelap. Dari sakunya, dia keluarkan sebatang lilin. Ditaruhnya di atas meja. Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.
"Lihat, ruangan ini penuh dengan terang," kata anak perempuan itu. "Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong tak tersinari," katanya kalem.
Anak perempuan itu, dinyatakan sebagai pemenangnya, dan ia berhak menduduki kursi tertinggi. Sang puteri, dinilai ayahnya sebagai seorang problem solved. Ia menyadari, ruang kerjanya, meski sederhana dan terang, tetapi tertutup.
Kualitas yang ditunjukkan sang ayah dan putrinya, adalah apa yang disebut sebagai hikmat. Ciri utama orang berhikmat (wise person), ialah kemampuan memecahkan masalah secara genuine dan memuaskan, demikian kata Jerry Pino dalam bukunya, yang merumuskan hikmat sebagai kemampuan membuat the best decision at any given situation.
Pintar, di pihak lain, adalah kemampuan mencerna dan mengolah informasi secara cepat. Ciri-cirinya; rasional, metodik, linier, dan analitik. Kepintaran umumnya diperoleh dengan olah otak, sampai botak, hiks.
Namun hikmat (wisdom), tidak hanya memerlukan olah otak, melainkan terutama olah hati. Jarang kita sadari, hati kita sebenarnya bisa berpikir. Dalam tradisi literatur kuno, terutama kitab-kitab suci, hati adalah lokasi kebijaksanaan, hikmat dan kepandaian. Lebih spesifik, hati adalah access point kepada the higher knowledge, yakni kepada Tuhan itu sendiri.
"Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan," demikian kata mereka yang beragama, "semua orang yang melakukannya, berakal budi yang baik, dan menekuninya dengan khidmat. Berkhidmat ialah cara menghormati pilihan, yang ditentukan dengan kesadaran dan bernilai."
Nikmati hidupmu dengan cinta yang hidup dan berkembang.
George Bernard Shaw Quote:
Kita sebenarnya tidak pernah kehilangan kepercayaan, tapi hanya memindahkan dari Tuhan ke tangan-tangan profesional. Maka belajar dan tekunilah.
Orang selalu menyalahkan keadaan. Aku tak percaya akan keadaan. Orang yang berhasil di dunia adalah orang yang bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan, kalau mereka tak menemukannya, mereka akan menciptakannya.
Aku lebih suka berangan-angan tentang sesuatu, seraya berkomentar why not? Ketimbang Cuma memandangi sesuatu,sambil berkomentar why?.
Imajinasi adalah awal dari kreasi. Pada awalnya engkau membayangkan, apa yang kau inginkan, lalu menghendakinya dan pada akhirnya mewujudkannya.
Kebahagiaan bagai parfum yang tidak dapat kau tuangkan pada orang lain tanpa mengenal diri sendiri.
| George Bernard Shaw, lahir Dublin, 26 Juli 1856 dan meninggal 2 November 1950 di Hertfordshire. Novelis, kritikus, esayis, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Desember 1926 ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel Kesusasteraan (pada 1925) dan Academy Award for Writing Adapted Screenplay, 1938, untuk Pygmalion. Saat menerima penghargaan dalam acara itu, ia mengatakan, "Aku bisa memaafkan Alfred Nobel atas penemuan dinamit, tapi hanya iblis dalam sosok manusia yang bisa menerima Hadiah Nobel. Padahal, ia yang lebih dikenal sebagai dramawan, memulai karier dalam kondisi frustasi akibat kemiskinan.
Orang selalu menyalahkan keadaan. Aku tak percaya akan keadaan. Orang yang berhasil di dunia adalah orang yang bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan, kalau mereka tak menemukannya, mereka akan menciptakannya.
Aku lebih suka berangan-angan tentang sesuatu, seraya berkomentar why not? Ketimbang Cuma memandangi sesuatu,sambil berkomentar why?.
Imajinasi adalah awal dari kreasi. Pada awalnya engkau membayangkan, apa yang kau inginkan, lalu menghendakinya dan pada akhirnya mewujudkannya.
Kebahagiaan bagai parfum yang tidak dapat kau tuangkan pada orang lain tanpa mengenal diri sendiri.
| George Bernard Shaw, lahir Dublin, 26 Juli 1856 dan meninggal 2 November 1950 di Hertfordshire. Novelis, kritikus, esayis, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Desember 1926 ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel Kesusasteraan (pada 1925) dan Academy Award for Writing Adapted Screenplay, 1938, untuk Pygmalion. Saat menerima penghargaan dalam acara itu, ia mengatakan, "Aku bisa memaafkan Alfred Nobel atas penemuan dinamit, tapi hanya iblis dalam sosok manusia yang bisa menerima Hadiah Nobel. Padahal, ia yang lebih dikenal sebagai dramawan, memulai karier dalam kondisi frustasi akibat kemiskinan.
Gus Dur : Indonesia dengan Dua Presiden
Ini cerita lama, soal KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001).
Menjelang Sidang Istimewa MPR-RI yang hendak mencopot Gus Dur, dan menimbulkan kontroversi itu, menjadi santapan menarik hingga rakyat kecil. Bahkan di kampung-kampung propinsi Nusa Tenggara Timur, berita itu menjadi perhatian besar. Mereka bahkan setuju melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Apa pasal? Di Kampung Benang, dan juga beberapa wilayah Manggarai, Flores, nama KH Abdurrahman Wahid memang populer. Mereka mengenal sejak sang kyai menjadi ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Namun mereka sama sekali tidak kenal nama Gus Dur. Nama itu baru mereka kenal setahun terakhir, sejak Abdurrahman Wahid menjadi presiden.
Mereka bingung membedakan antara KH Abdurrahman Wahid dengan Gus Dur. Menurut pemahaman mereka, selama Indonesia dipimpin dua presiden yang berbeda (ya si KH Abdurrahman Wahid dan Gus Dur itu), Indonesia akan kacau. Mereka lebih suka dipimpin presiden Abdurrahman Wahid daripada presiden Gus Dur.
Dalam tradisi pemberian nama di NTT, agak berbeda dengan Jawa. Di tempat mereka, nama Abdurrahman akan dipanggil Abdur atau Rahman. Nama Wahid yang ada di belakang, tidak boleh jadi nama panggil.
Lha kalau soal panggilan Gus Dur? Bagi masyarakat Manggarai, itu lebih aneh lagi. Dalam bahasa mereka, "Gus" itu artinya "usir", sedang "Dur" bermakna "tolak". Mereka agaknya lebih mencintai KH Abdurrahman Wahid daripada presiden Gus Dur yang artinya "usir dan tolak" itu,...! | Disarikan dari Intisari, April 2001
Menjelang Sidang Istimewa MPR-RI yang hendak mencopot Gus Dur, dan menimbulkan kontroversi itu, menjadi santapan menarik hingga rakyat kecil. Bahkan di kampung-kampung propinsi Nusa Tenggara Timur, berita itu menjadi perhatian besar. Mereka bahkan setuju melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Apa pasal? Di Kampung Benang, dan juga beberapa wilayah Manggarai, Flores, nama KH Abdurrahman Wahid memang populer. Mereka mengenal sejak sang kyai menjadi ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Namun mereka sama sekali tidak kenal nama Gus Dur. Nama itu baru mereka kenal setahun terakhir, sejak Abdurrahman Wahid menjadi presiden.
Mereka bingung membedakan antara KH Abdurrahman Wahid dengan Gus Dur. Menurut pemahaman mereka, selama Indonesia dipimpin dua presiden yang berbeda (ya si KH Abdurrahman Wahid dan Gus Dur itu), Indonesia akan kacau. Mereka lebih suka dipimpin presiden Abdurrahman Wahid daripada presiden Gus Dur.
Dalam tradisi pemberian nama di NTT, agak berbeda dengan Jawa. Di tempat mereka, nama Abdurrahman akan dipanggil Abdur atau Rahman. Nama Wahid yang ada di belakang, tidak boleh jadi nama panggil.
Lha kalau soal panggilan Gus Dur? Bagi masyarakat Manggarai, itu lebih aneh lagi. Dalam bahasa mereka, "Gus" itu artinya "usir", sedang "Dur" bermakna "tolak". Mereka agaknya lebih mencintai KH Abdurrahman Wahid daripada presiden Gus Dur yang artinya "usir dan tolak" itu,...! | Disarikan dari Intisari, April 2001
Senin, Juni 25, 2012
Bacalah! Bacalah Atas Nama Tuhanmu!
Lebih baik orang yang imannya kecil tapi baik moralnya. Daripada orang yang imannya besar tetapi bejat, demikian pernah diujarkan oleh Sidney Hook.
Bagi yang alergi dengan pendapat "orang Barat", kebenaran kata-kata di atas akan serta-merta ditolak, atau dicari-cari kelemahannya. Namun sesungguhnya, dalam kasanah pemikiran Islam sendiri, kata-kata senada yang dituliskan Sidney Hook sangatlah mudah ditemui.
Perkataan Sidney Hook memang agak fatalis. Dan itu cukup untuk menggambarkan situasi dunia kini dan kekiniannya. Kita seolah sampai pada situasi yang bukan saja kompleks, melainkan juga absurd.
Jika kita melakukan otokritik, justeru ialah pada soal peranan agama itu sendiri sebagai sumber kebenaran yang tidak operasional. Di mana letak sumber masalahnya?
Bagaimana menjelaskan korelasi antara simbol-simbol kesalehan dengan tindakan-tindakan verbal yang bisa jadi berbeda arah 180 derajat? Untuk mudahnya, lihat saja nama-nama yang selama ini berhubungan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mereka bukan saja para lelaki yang ganteng dan perempuan yang cantik, tetapi juga wangi dan pandai berbusana. Tingkat pendidikan formalnya pun, sampailah ke taraf yang setinggi-tingginya. Lima menit ngobrol dengan mereka pun, akan tampak betapa fasihnya mengucapkan kata-kata yang berhawakan religiusitas yang dalam.
Demikian juga kita sering terperangah, bagaimana mungkin Departemen Agama Republik Indonesia, sebagai institusi yang bagaimana pun mewadahi "agama" di dalamnya, tidak merepresentasikan nilai-nilai keagamaan itu sendiri? Bahkan, departemen ini dianggap lembaga pemerintah yang tingkat korupsinya paling tinggi (menurut ICW dan LTI), hingga, "Kitab Suci pun mereka jadikan proyek untuk korupsi," kata Abraham Samad, ketua KPK ketika menengarai adanya korupsi pada proyek pengadaan Alquran.
(Belum pula jika ditambah dengan perputaran uang dari calon jamaah haji. Dengan tingkat absolutismenya yang tinggi, karena alasan agama, Suryadharma Ali menolak saran moratorium dari KPK, agar tertib administrasi dan menghindari kemungkinan korupsi. Menteri Agama itu justeru menarik uang simpanan calon jamaah haji di bank, dan kemudian dikelola sendiri sebagai sukuk).
Pada situasi itu, agama bisa tidak dipercaya dan dilecehkan. Bukan karena nilai agama itu sendiri, melainkan praktik keagamaan yang dilakukan para manusianya. Salah satu penyakit teoritis di Dunia Islam yang paling berat, demikian dikatakan pemikir Islam Abdul Karim Soroush, pada umumnya adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas daripada sebagai kebenaran.
Tiga sendi dasar Alquran sendiri, ialah keimanan, rukun Islam, dan moralitas. Namun sayangnya, nilai yang terakhir ini, justeru yang sering diabaikan. Di situ persoalan "amar ma'ruf nahi munkar" mengalami degradasi nilai, karena tak secanggih Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, yang jagoan diplomasi, diskusi, negosiasi, dan persuasi, serta si-si yang lainnya lagi.
Kita sering hanya sampai pada keyakinan diri-sendiri, bahkan berani memisahkan satu paket kalimat "amar ma'ruf nahi munkar" itu menjadi dua bagian yang beda dan berdiri-sendiri. Dan akhirnya tujuan menghalalkan cara, hanya karena bersandar pada penyebab, tapi tak mampu menguraikan kenapa penyebab itu menjadi sebab. Padahal dalam hukum alam sebab-akibat, keduanya adalah satu. Menjadi manusia pembelajar, intinya adalah; Bacalah! Bacalah atas nama tuhanmu!
Bagi yang alergi dengan pendapat "orang Barat", kebenaran kata-kata di atas akan serta-merta ditolak, atau dicari-cari kelemahannya. Namun sesungguhnya, dalam kasanah pemikiran Islam sendiri, kata-kata senada yang dituliskan Sidney Hook sangatlah mudah ditemui.
Perkataan Sidney Hook memang agak fatalis. Dan itu cukup untuk menggambarkan situasi dunia kini dan kekiniannya. Kita seolah sampai pada situasi yang bukan saja kompleks, melainkan juga absurd.
Jika kita melakukan otokritik, justeru ialah pada soal peranan agama itu sendiri sebagai sumber kebenaran yang tidak operasional. Di mana letak sumber masalahnya?
Bagaimana menjelaskan korelasi antara simbol-simbol kesalehan dengan tindakan-tindakan verbal yang bisa jadi berbeda arah 180 derajat? Untuk mudahnya, lihat saja nama-nama yang selama ini berhubungan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mereka bukan saja para lelaki yang ganteng dan perempuan yang cantik, tetapi juga wangi dan pandai berbusana. Tingkat pendidikan formalnya pun, sampailah ke taraf yang setinggi-tingginya. Lima menit ngobrol dengan mereka pun, akan tampak betapa fasihnya mengucapkan kata-kata yang berhawakan religiusitas yang dalam.
Demikian juga kita sering terperangah, bagaimana mungkin Departemen Agama Republik Indonesia, sebagai institusi yang bagaimana pun mewadahi "agama" di dalamnya, tidak merepresentasikan nilai-nilai keagamaan itu sendiri? Bahkan, departemen ini dianggap lembaga pemerintah yang tingkat korupsinya paling tinggi (menurut ICW dan LTI), hingga, "Kitab Suci pun mereka jadikan proyek untuk korupsi," kata Abraham Samad, ketua KPK ketika menengarai adanya korupsi pada proyek pengadaan Alquran.
(Belum pula jika ditambah dengan perputaran uang dari calon jamaah haji. Dengan tingkat absolutismenya yang tinggi, karena alasan agama, Suryadharma Ali menolak saran moratorium dari KPK, agar tertib administrasi dan menghindari kemungkinan korupsi. Menteri Agama itu justeru menarik uang simpanan calon jamaah haji di bank, dan kemudian dikelola sendiri sebagai sukuk).
Pada situasi itu, agama bisa tidak dipercaya dan dilecehkan. Bukan karena nilai agama itu sendiri, melainkan praktik keagamaan yang dilakukan para manusianya. Salah satu penyakit teoritis di Dunia Islam yang paling berat, demikian dikatakan pemikir Islam Abdul Karim Soroush, pada umumnya adalah bahwa orang lebih memahami Islam sebagai identitas daripada sebagai kebenaran.
Tiga sendi dasar Alquran sendiri, ialah keimanan, rukun Islam, dan moralitas. Namun sayangnya, nilai yang terakhir ini, justeru yang sering diabaikan. Di situ persoalan "amar ma'ruf nahi munkar" mengalami degradasi nilai, karena tak secanggih Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, yang jagoan diplomasi, diskusi, negosiasi, dan persuasi, serta si-si yang lainnya lagi.
Kita sering hanya sampai pada keyakinan diri-sendiri, bahkan berani memisahkan satu paket kalimat "amar ma'ruf nahi munkar" itu menjadi dua bagian yang beda dan berdiri-sendiri. Dan akhirnya tujuan menghalalkan cara, hanya karena bersandar pada penyebab, tapi tak mampu menguraikan kenapa penyebab itu menjadi sebab. Padahal dalam hukum alam sebab-akibat, keduanya adalah satu. Menjadi manusia pembelajar, intinya adalah; Bacalah! Bacalah atas nama tuhanmu!
Minggu, Juni 24, 2012
Selamat Pagi Indonesia yang Konon Rukun dan Damai
Setiap bunga memiliki daya tariknya, karena karakteristik yang dimilikinya. Tidak terkecuali bunga bangkai, yang dikenal karena bau busuknya. Demikian pula dengan setiap diri kita, yang memiliki karakteristik yang mudah diingat, dikarenakan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka akankah kau membuat kebiasaan-kebiasaan buruk untuk memiliki daya tarik yang... baik?
Jika makna hidup hanyalah sekedar tidak mati, maka seperti ujar Buya Hamka dulu, apa bedanya dengan sapi atau ayam yang hidup? Sementara, kau tahu, benda mati seperti bohlam pun, ketika “hidup” menyalakan pilamennya, ia mampu menyinari sekeliling. Adakah engkau yang lebih kompleks dari sekedar kawat pilamen dan power listrik, sudi menghancurkan diri dalam kesia-siaan? Atau marah-marah mengamuk, menyabet bohlam lampu itu dengan teriakan penuh heroisme?
Setiap kita adalah unik, dan tidak mungkin kita hidup menjadi orang lain, karena obsesi atau kekurangan kita, dan apalagi keinginan serta kehendak mereka. Masing-masing fitrah atau maqam ‘kan dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri, berhadapan-hadapan dengan Sang Khaliq. Adakah kau, manusia, mau menjadi hakim paling kuasa, padahal selembar sertifikat pun tak bisa kau hunjukkan?
Hidup akan lebih mempesona ketika kita bisa menjadi diri sendiri yang sadar atas kekurangan dan kelebihan diri-sendiri, serta syukur bage mau mengerti kelebihan dan kekurangan orang lain. Dan dengan kesadaran itu, kita selalu terdorong memperbaiki diri, meningkatkan kualitas hidup serta peradaban, tanpa harus menuding-nuding orang lain menjadi petaka dari kerahmatan itu. Seperti kata Gus Mus, mereka yang hanya mengerti hitam putih, akan tergagap-gagap dengan warna-warni dunia.
Jika kau meyakini Allah tidak beranak-pinak, mengapa kau berebut menjadi anak-anaknya? Jika kau mempercayai Allah Maha Digdaya dan Tak Terperikan, mengapa kau gusar dan berteriak-teriak membela otoritas Tuhan, hanya karena kau khawatir tak dianggap turut-serta menegakkan hukum Allah? Jika kau percaya Allah Maha Pintar, Allah pasti tak sebodoh sebagaimana caramu memperlakukannya.
Jangan merasa dirimu paling benar, jika “status” ini pun menurutmu salah. Karena menurutmu adalah menurutmu. Dan kamu bukan tuhan yang harus kuturut, karena tiada tuhan selain Allah. Dan itu bukan kamu, meski kau teriak-teriak sembari mengacungkan pedang sekali pun. Apalagi kebesaran Allah tak pernah dijaminkan seberapa besar mulutmu terbuka, atau seberapa kencang otot lehermu mengejang. Kejam itu berbeda dengan tegas, sabda Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Allaihi Wasallam. Dan tegas itu tidak pernah disampaikan dengan cara-cara yang bodoh.
Selamat pagi Indonesia, yang konon rukun dan damai. Yang konon aman tenteram. Yang konon berbhinekatunggalika. Yang konon ramah-tamah. Yang konon I love You!
Jika makna hidup hanyalah sekedar tidak mati, maka seperti ujar Buya Hamka dulu, apa bedanya dengan sapi atau ayam yang hidup? Sementara, kau tahu, benda mati seperti bohlam pun, ketika “hidup” menyalakan pilamennya, ia mampu menyinari sekeliling. Adakah engkau yang lebih kompleks dari sekedar kawat pilamen dan power listrik, sudi menghancurkan diri dalam kesia-siaan? Atau marah-marah mengamuk, menyabet bohlam lampu itu dengan teriakan penuh heroisme?
Setiap kita adalah unik, dan tidak mungkin kita hidup menjadi orang lain, karena obsesi atau kekurangan kita, dan apalagi keinginan serta kehendak mereka. Masing-masing fitrah atau maqam ‘kan dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri, berhadapan-hadapan dengan Sang Khaliq. Adakah kau, manusia, mau menjadi hakim paling kuasa, padahal selembar sertifikat pun tak bisa kau hunjukkan?
Hidup akan lebih mempesona ketika kita bisa menjadi diri sendiri yang sadar atas kekurangan dan kelebihan diri-sendiri, serta syukur bage mau mengerti kelebihan dan kekurangan orang lain. Dan dengan kesadaran itu, kita selalu terdorong memperbaiki diri, meningkatkan kualitas hidup serta peradaban, tanpa harus menuding-nuding orang lain menjadi petaka dari kerahmatan itu. Seperti kata Gus Mus, mereka yang hanya mengerti hitam putih, akan tergagap-gagap dengan warna-warni dunia.
Jika kau meyakini Allah tidak beranak-pinak, mengapa kau berebut menjadi anak-anaknya? Jika kau mempercayai Allah Maha Digdaya dan Tak Terperikan, mengapa kau gusar dan berteriak-teriak membela otoritas Tuhan, hanya karena kau khawatir tak dianggap turut-serta menegakkan hukum Allah? Jika kau percaya Allah Maha Pintar, Allah pasti tak sebodoh sebagaimana caramu memperlakukannya.
Jangan merasa dirimu paling benar, jika “status” ini pun menurutmu salah. Karena menurutmu adalah menurutmu. Dan kamu bukan tuhan yang harus kuturut, karena tiada tuhan selain Allah. Dan itu bukan kamu, meski kau teriak-teriak sembari mengacungkan pedang sekali pun. Apalagi kebesaran Allah tak pernah dijaminkan seberapa besar mulutmu terbuka, atau seberapa kencang otot lehermu mengejang. Kejam itu berbeda dengan tegas, sabda Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Allaihi Wasallam. Dan tegas itu tidak pernah disampaikan dengan cara-cara yang bodoh.
Selamat pagi Indonesia, yang konon rukun dan damai. Yang konon aman tenteram. Yang konon berbhinekatunggalika. Yang konon ramah-tamah. Yang konon I love You!
Dongeng Tentang Menjilat Pantat Ketua Dewan Pembina
Alkisah, menurut sahibul bokis, tersebutlah seorang ketum parpol menghadap ketua dewan pembina parpol. Apa nama parpolnya? Biarlah ini jadi rahasia dongeng.
“Pak, saya mau buka rekening bank di Swiss, dengan jumlah yang cukup besar!” kata ketum parpol dengan gaya santun.
“Berapa banyak uang yang mau disimpan?” bertanya ketua dewan pembina parpol terlihat ragu.
“Lima trilyun!”
“Saya terkejut. Darimana engkau dapat uang tunai sebanyak ini? Bagaimana menjelaskannya ke publik?”
“Saya tebak-tebakan dengan sekjen, dan menang terus!”
“Tebak-tebakan macam apa?”
“Bapak mau contoh? Saya yakin pantat bapak bentuknya kotak!”
“Godverdomzeg! Apaaaah? Ini tebakan paling konyol yang pernah saya dengar. Kamu tidak mungkin menang dengan tebakan seperti itu!”
“Bapak berani bertaruh?”
“Siapa takut! Bagaimana kalau kamu salah tebak? Apa taruhannya?”
“Duapuluh persen dari uang yang saya mau simpan di Swiss itu, bisa atas nama Bapak,…!”
“Baiklah. Tapi ini semua harus silent operation!” kata ketua dewan pembina parpol tanpa keraguan babarblas. Satu trilyun lumayan untuk tambah-tambah pensiun kelak.
“Tapi, karena ini menyangkut uang yang besar, saya ajak sekjen dan lawyer sebagai saksi. Biar tidak ada dusta di antara kita, Pak. Besok jam 10 pagi?”
Ketua dewan pembina parpol pun mengangguk.
Arkian pada keesokan hari, sesuai perjanjian, datanglah menghadap ketum parpol, sekjen, dan seorang lawyer.
Sebelum tebak-tebakan dimulai, ketua parpol mengulang perjanjian. Semuanya menyetujui, dan kemudian sang lawyer meminta semua menandatangani perjanjian bersama.
“Langkah pertama, mohon maaf, Bapak mesti membuka celana Bapak, agar kita semua bisa tahu, apakah pantat Bapak berbentuk kotak atau normal-normal saja,…”
Hening sejenak. Wajah ketua dewan pembina parpol sebentar merah padam sebentar merah nyala. Kayak traffic-light. Tapi karena sudah perjanjian, dan demi satu trilyun, ketua dewan pembina parpol pun membuka celananya.
Beberapa saat kemudian, ketum parpol mendekat, dan mengamati pantat ketua dewan pembina, untuk membuktikan bahwa pantat itu kotak atau tidak. Tak hanya melihat, tapi bahkan juga meraba dan mencium pantat ketua dewan pembina tiga kali.
Pada detik yang sama, tampak sekjen dan lawyer membentur-benturkan kepalanya ke dinding.
Ketua dewan pembina keheranan, “Kenapa mereka berdua?”
“Oh, nggak apa-apa,…” jawab ketum parpol so calm, “Saya cuma bertaruh dengan keduanya, dan kalau saya menang, mereka masing-masing membayar saya lima trilyun,…”
“Taruhan apalagi kamu?”
“Mereka tak percaya, kalau hari ini saya bisa meraba dan mencium pantat Bapak,…!”
“Pak, saya mau buka rekening bank di Swiss, dengan jumlah yang cukup besar!” kata ketum parpol dengan gaya santun.
“Berapa banyak uang yang mau disimpan?” bertanya ketua dewan pembina parpol terlihat ragu.
“Lima trilyun!”
“Saya terkejut. Darimana engkau dapat uang tunai sebanyak ini? Bagaimana menjelaskannya ke publik?”
“Saya tebak-tebakan dengan sekjen, dan menang terus!”
“Tebak-tebakan macam apa?”
“Bapak mau contoh? Saya yakin pantat bapak bentuknya kotak!”
“Godverdomzeg! Apaaaah? Ini tebakan paling konyol yang pernah saya dengar. Kamu tidak mungkin menang dengan tebakan seperti itu!”
“Bapak berani bertaruh?”
“Siapa takut! Bagaimana kalau kamu salah tebak? Apa taruhannya?”
“Duapuluh persen dari uang yang saya mau simpan di Swiss itu, bisa atas nama Bapak,…!”
“Baiklah. Tapi ini semua harus silent operation!” kata ketua dewan pembina parpol tanpa keraguan babarblas. Satu trilyun lumayan untuk tambah-tambah pensiun kelak.
“Tapi, karena ini menyangkut uang yang besar, saya ajak sekjen dan lawyer sebagai saksi. Biar tidak ada dusta di antara kita, Pak. Besok jam 10 pagi?”
Ketua dewan pembina parpol pun mengangguk.
Arkian pada keesokan hari, sesuai perjanjian, datanglah menghadap ketum parpol, sekjen, dan seorang lawyer.
Sebelum tebak-tebakan dimulai, ketua parpol mengulang perjanjian. Semuanya menyetujui, dan kemudian sang lawyer meminta semua menandatangani perjanjian bersama.
“Langkah pertama, mohon maaf, Bapak mesti membuka celana Bapak, agar kita semua bisa tahu, apakah pantat Bapak berbentuk kotak atau normal-normal saja,…”
Hening sejenak. Wajah ketua dewan pembina parpol sebentar merah padam sebentar merah nyala. Kayak traffic-light. Tapi karena sudah perjanjian, dan demi satu trilyun, ketua dewan pembina parpol pun membuka celananya.
Beberapa saat kemudian, ketum parpol mendekat, dan mengamati pantat ketua dewan pembina, untuk membuktikan bahwa pantat itu kotak atau tidak. Tak hanya melihat, tapi bahkan juga meraba dan mencium pantat ketua dewan pembina tiga kali.
Pada detik yang sama, tampak sekjen dan lawyer membentur-benturkan kepalanya ke dinding.
Ketua dewan pembina keheranan, “Kenapa mereka berdua?”
“Oh, nggak apa-apa,…” jawab ketum parpol so calm, “Saya cuma bertaruh dengan keduanya, dan kalau saya menang, mereka masing-masing membayar saya lima trilyun,…”
“Taruhan apalagi kamu?”
“Mereka tak percaya, kalau hari ini saya bisa meraba dan mencium pantat Bapak,…!”
Sabtu, Juni 23, 2012
Menunggu Pertarungan Tebuka Antara SBY vs AU
Oleh Sunardian Wirodono
Dalam ilmu karate, ada jurus yang disebut mawashigeri, yakni memanfaatkan daya dorong pukulan lawan. Jika lawan memukul dan tak bisa mengendalikan dirinya, maka kita bisa mengambil keuntungan dari daya dorong yang menyebabkan lawan kehilangan keseimbangan, dan akhirnya terpukul oleh tenaganya sendiri.
Drama politik di internal, menjelaskan hal itu. Bagaimana dengan gaya politik pencitraan, yang penuh istilah "bersih, cerdas, dan santun" yang diwacanakan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY seolah jadi "bulan-bulanan" Anas Urbaningrum.
Gaya komunikasih politik yang cenderung normatif dari SBY, dengan cerdik dipakai oleh Anas Urbaningrum, dan pendukungnya, untuk menyerang balik dari berbagai anasir yang menyerangnya, terutama mereka yang tak bisa menutupi nafsunya untuk meminta AU mundur dari Demokrat.
Lepas dari suka tidak suka dengan AU, persoalan internal Demokrat dan gaya berpolitik mereka (utamanya SBY), mempersepsikan pada masalah baru; Yakni pertarungan antara SBY melawan AU atau AU melawan SBY. Dan dalam piskologisme kita, sebagai masyarakat penonton yang tertindas, pertarungan itu memposisikan AU sebagai underdog yang mendapatkan pembelaan publik (apapun dan terlepas dari "keburukan" AU dalam sangkaan kasus Wisma Atlet Hambalang dan money politics Konggres PD di Bandung, 2010).
Dalam politik pencitraan, wacana tentu menjadi senjata yang dominan. Namun dalam praksis politik, yang tidak sederhana, wacana yang normatif akan cenderung tidak operated, tidak operasional, macet, atau tidak efektif.
Apalagi jika wacana tersebut diluncurkan oleh pihak-pihak yang tidak terbebaskan dari kepentingan, karena merupakan bagian dari masalah yang muncul. SBY tidak akan bisa menyangkal, bahwa dirinya merupakan bagian dari konflik yang terjadi. Ketidaktegasannya dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah, berbalik menjadi bumerang, karena sebagai sentral simbol, dirinya tak bisa melepaskan diri dari unsur-unsur yang menyebabkan kemelut itu terjadi.
Berbagai spekulasi bisa muncul di sini. Ketika perlawanan simbol dan norma dimunculkan, mereka adalah orang yang sadar akan kekuatan, dan kesahihan simbol itu dalam dunia senyatanya. Baik dalam pengertian positif atau negatif, kedua-duanya bisa dipakai untuk melakukan serangan balik.
Semisal bahwa apa yang diucapkan oleh SBY berdasar kenyataan politiknya, dirinya bersih, cerdas dan santun, maka hal itu akan dipakai oleh kubu AU, agar simbol atau nilai-nilai itu menjadi acuan dalam berpolitik, yang semuanya tentu prosedural dan formal terikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama (sebagai norma).
Sementara, jika yang diwacanakan itu bertolak belakang dengan kenyataannya, sudah barang tentu hal itu akan menjadi belenggu, yang membuat wacana normatif itu tidak efektif.
Apalagi berbagai isyu yang muncul mengatakan, bahwa pihak AU telah mengantongi titik-titik kelemahan SBY, yang bisa jadi akan dimunculkan sebagai senjata pamungkas bila situasinya memburuk bagi faksi AU.
Beberapa hari terakhir ini, keberanian AU untuk muncul ke publik, dan menjawab berbagai pertanyaan media, menyiratkan bahwa AU mengetahui adanya upaya penggusuran dirinya. Dengan gayanya, AU justeru memakai segala "kata-kata" SBY untuk menjawab berbagai sinyalemen yang beredar. Bahkan, Ahmad Mubarok, senior Demokrat yang juga suksesor AU, seolah menjadi tandem bagi AU untuk "menerjemahkan" fatwa-fatwa politik SBY, yang mementahkan semua alasan penggusuran bagi AU.
Gaya politik SBY, yang culun-culun lebay ini, akan menjadi persoalan yang berat bagi Demokrat untuk terbebaskan dari keruwetan organisasi. Kini, seolah muncul dua kubu yang head to head tampak nyata, yakni yang mengaku sebagai pendukung SBY adalah yang berseberangan dengan AU, sementara yang mendukung AU memakai fatwa-fatwa politik SBY untuk melawan para "jubir" SBY, yang selalu memakai nama SBY sebagai legitimasi dari semua pernyataan-pernyataan politiknya.
Bagaimana hasil akhirnya kelak? Sekali lagi, lepas dari suka tidak suka, AU akan tampak berada di atas angin, dan akan memenangkan pertarungan, sepanjang SBY tidak melakukan apapun kecuali hanya sekedar berwacana semata. Kenapa hanya berwacana semata? Tentu, persoalan hitung-hitungan pada 2014 menjadi tidak sederhana baginya. Demokrat, partai politik yang didirikannya, mengalami masalah serius yang tak mudah diselesaikan, dan itu berimbas pada posisinya di masa depan. Sementara sebagai "pensiunan" presiden, ia tentu secara psiko-politik tidak akan membiarkan masa depan anak, saudara, dan isterinya, di kelak kemudian hari.
Dalam belenggu wacananya, SBY tidak bisa berbuat banyak, kecuali membiarkan AU memenangkan pertandingan. Namun, tentu para pemuja SBY tidak akan merelakan hal itu terjadi. Bagaimana mereka bergerak? Disitu bumerang bagi SBY, karena ia akan tersandera, dan hanya menjadi alasan atau justifikasi bagi kepentingan masing-masing pihak, dengan tujuan yang berbeda-beda.
Dalam ilmu karate, ada jurus yang disebut mawashigeri, yakni memanfaatkan daya dorong pukulan lawan. Jika lawan memukul dan tak bisa mengendalikan dirinya, maka kita bisa mengambil keuntungan dari daya dorong yang menyebabkan lawan kehilangan keseimbangan, dan akhirnya terpukul oleh tenaganya sendiri.
Drama politik di internal, menjelaskan hal itu. Bagaimana dengan gaya politik pencitraan, yang penuh istilah "bersih, cerdas, dan santun" yang diwacanakan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY seolah jadi "bulan-bulanan" Anas Urbaningrum.
Gaya komunikasih politik yang cenderung normatif dari SBY, dengan cerdik dipakai oleh Anas Urbaningrum, dan pendukungnya, untuk menyerang balik dari berbagai anasir yang menyerangnya, terutama mereka yang tak bisa menutupi nafsunya untuk meminta AU mundur dari Demokrat.
Lepas dari suka tidak suka dengan AU, persoalan internal Demokrat dan gaya berpolitik mereka (utamanya SBY), mempersepsikan pada masalah baru; Yakni pertarungan antara SBY melawan AU atau AU melawan SBY. Dan dalam piskologisme kita, sebagai masyarakat penonton yang tertindas, pertarungan itu memposisikan AU sebagai underdog yang mendapatkan pembelaan publik (apapun dan terlepas dari "keburukan" AU dalam sangkaan kasus Wisma Atlet Hambalang dan money politics Konggres PD di Bandung, 2010).
Dalam politik pencitraan, wacana tentu menjadi senjata yang dominan. Namun dalam praksis politik, yang tidak sederhana, wacana yang normatif akan cenderung tidak operated, tidak operasional, macet, atau tidak efektif.
Apalagi jika wacana tersebut diluncurkan oleh pihak-pihak yang tidak terbebaskan dari kepentingan, karena merupakan bagian dari masalah yang muncul. SBY tidak akan bisa menyangkal, bahwa dirinya merupakan bagian dari konflik yang terjadi. Ketidaktegasannya dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah, berbalik menjadi bumerang, karena sebagai sentral simbol, dirinya tak bisa melepaskan diri dari unsur-unsur yang menyebabkan kemelut itu terjadi.
Berbagai spekulasi bisa muncul di sini. Ketika perlawanan simbol dan norma dimunculkan, mereka adalah orang yang sadar akan kekuatan, dan kesahihan simbol itu dalam dunia senyatanya. Baik dalam pengertian positif atau negatif, kedua-duanya bisa dipakai untuk melakukan serangan balik.
Semisal bahwa apa yang diucapkan oleh SBY berdasar kenyataan politiknya, dirinya bersih, cerdas dan santun, maka hal itu akan dipakai oleh kubu AU, agar simbol atau nilai-nilai itu menjadi acuan dalam berpolitik, yang semuanya tentu prosedural dan formal terikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama (sebagai norma).
Sementara, jika yang diwacanakan itu bertolak belakang dengan kenyataannya, sudah barang tentu hal itu akan menjadi belenggu, yang membuat wacana normatif itu tidak efektif.
Apalagi berbagai isyu yang muncul mengatakan, bahwa pihak AU telah mengantongi titik-titik kelemahan SBY, yang bisa jadi akan dimunculkan sebagai senjata pamungkas bila situasinya memburuk bagi faksi AU.
Beberapa hari terakhir ini, keberanian AU untuk muncul ke publik, dan menjawab berbagai pertanyaan media, menyiratkan bahwa AU mengetahui adanya upaya penggusuran dirinya. Dengan gayanya, AU justeru memakai segala "kata-kata" SBY untuk menjawab berbagai sinyalemen yang beredar. Bahkan, Ahmad Mubarok, senior Demokrat yang juga suksesor AU, seolah menjadi tandem bagi AU untuk "menerjemahkan" fatwa-fatwa politik SBY, yang mementahkan semua alasan penggusuran bagi AU.
Gaya politik SBY, yang culun-culun lebay ini, akan menjadi persoalan yang berat bagi Demokrat untuk terbebaskan dari keruwetan organisasi. Kini, seolah muncul dua kubu yang head to head tampak nyata, yakni yang mengaku sebagai pendukung SBY adalah yang berseberangan dengan AU, sementara yang mendukung AU memakai fatwa-fatwa politik SBY untuk melawan para "jubir" SBY, yang selalu memakai nama SBY sebagai legitimasi dari semua pernyataan-pernyataan politiknya.
Bagaimana hasil akhirnya kelak? Sekali lagi, lepas dari suka tidak suka, AU akan tampak berada di atas angin, dan akan memenangkan pertarungan, sepanjang SBY tidak melakukan apapun kecuali hanya sekedar berwacana semata. Kenapa hanya berwacana semata? Tentu, persoalan hitung-hitungan pada 2014 menjadi tidak sederhana baginya. Demokrat, partai politik yang didirikannya, mengalami masalah serius yang tak mudah diselesaikan, dan itu berimbas pada posisinya di masa depan. Sementara sebagai "pensiunan" presiden, ia tentu secara psiko-politik tidak akan membiarkan masa depan anak, saudara, dan isterinya, di kelak kemudian hari.
Dalam belenggu wacananya, SBY tidak bisa berbuat banyak, kecuali membiarkan AU memenangkan pertandingan. Namun, tentu para pemuja SBY tidak akan merelakan hal itu terjadi. Bagaimana mereka bergerak? Disitu bumerang bagi SBY, karena ia akan tersandera, dan hanya menjadi alasan atau justifikasi bagi kepentingan masing-masing pihak, dengan tujuan yang berbeda-beda.
Rabu, Juni 20, 2012
Bung Karno Dibunuh Oleh Orde Baru
Selasa Kliwon, 16 Juni 1970, 11 Rabiulawal 1390H. Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Sukarno akan dibawa ke rumah sakit dari rumah tahanannya di Wisma Yaso, yang hanya berjarak lima kilometer.
Malamnya, desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Sukarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini, terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya, kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang sangat kharismatik dan macho ini, dan banyak digilai perempuan seantero jagad, tak ubahnya sesosok mayat hidup.
Tiada lagi wajah gantengnya. Gigi gingsulnya membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa, dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar, menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulung dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah, dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega mengembang berkaca-kaca. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga bapaknya, “Pak, Pak, ini Ega,…”
Tak ada jawaban. Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Sukarno yang telah pecah-pecah, bergerak-gerak kecil. Gemetar. Seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu.
Sukarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka mata. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu, untuk puteri sulungnya. Tapi tubuhnya terlampau lemah, untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Sukarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan. Megawati menjauh dan limbung. Ia segera dipapah keluar.
Jarum jam terus berdetak. Satu-satu. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga. Lengkap dengan senjata.
Malam harinya, ketahanan tubuh Sukarno jebol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Mohammad Hatta, diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya, menghampiri pembaringan Sukarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Sukarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi. Sukarno berkata lemah, “Hatta,... kau di sini?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui, jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Sukarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur, “Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakan di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Sukarno. Panas menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya itu.
Bibir Sukarno bergetar. Tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan, ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal, “Hoe gaat het met jou,…?”
Sukarno menanyakan bagaimana keadaan Hatta. Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Sukarno.
Sukarno kemudian terisak. Bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis, di depan kawan seperjuangannya. Bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaan. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu, saling berpegangan tangan. Seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini, tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan yang dialami sahabatnya itu. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No,…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Hatta. Ia tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru, yang sampai hati menyiksa bapak bangsa itu. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Sukarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persahabatannya (dengan Sukarno), yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Sukarno, ketika kawannya ini kembali memejamkan mata.
Jarum jam terus berdetak-detuk. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Sukarno semakin menipis. Mendesak ke jantungnya yang kian lemah.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Sukarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyama.
Malamnya, Dewi Soekarno dan Karina, puterinya yang masih berusia tiga tahun, datang di rumah sakit. Sukarno belum pernah sekali pun melihat anaknya itu.
Minggu pagi, atau Ahad Kliwon, 21 Juni 1970. Dokter Mahar Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan, seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, dr Mahar Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini.
Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu, waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Sukarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Sukarno menggerakkan tangan kanannya. Memegang lengan dokternya.
Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi, dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek. Tak bergerak lagi. Untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau, tiada terdengar. Kehampaan. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, banyak pula yang membenci. Namun semua sepakat, Sukarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Manusia besar, juga dengan musuh-musuh besar. Dan itu belum tentu dilahirkan kembali, dalam waktu satu abad.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Sukarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno, dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya, Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan, oleh rezim penguasa yang baru.
Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini, dan telah menghabiskan 25 tahun usia hidupnya, mendekam dalam penjara kolonial Belanda, demi kemerdekaan negerinya.
Keyakinan banyak orang, bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan, mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini, yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno, ketika sakit ditahan di Wisma Yaso (Yaso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno, yang dikenakan untuk nama rumah yang ditempati Dewi Sukarno, dan gedung ini kemudian menjadi Museum Angkatan Darat, di jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat). Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.
Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut, di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan (dengan obat).
Bung Karno memang dibiarkan sakit, dan mungkin dengan begitu diharapkan, oleh penguasa baru Soeharto, agar bisa mempercepat kematian. Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun, dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekedar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita (www.andists.info).
Ini saya kutipkan tulisan seorang Sukarnois mengenai tanggal 21 Juni 1970; “Pak Karno seda,…” demikian seorang lelaki sedang menangis sesenggukan. Ia mengabarkan pada isterinya, Sukarno, Bung Karno, meninggal. Ia adalah seorang yang mengetahui kondisi dan fisik Bung Karno di Wisma Yaso.
Mereka pun kemudian dengan menumpang kendaraan militer, bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain, kecuali tiga truk berisi prajurit Marinir (dulu KKO). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO, sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono, pernah berkata, “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO!”
Banyak prediksi memperkirakan, andai saja Bung Karno menolak untuk turun tahta, dia dengan mudah akan melibas mahasiswa dan pasukan Jendral Soeharto. Karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya, dan terutama Siliwangi dengan panglima Mayjen Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negerinya. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah, bagi sebuah bangsa yang telah dipersatukannya dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Sukarno harus meninggalkan istana, pindah ke istana Bogor. Begitu turun tahta, tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya, Mayjend Amir Mahmud, disampaikan jam 8 pagi pada waktu Maret 1966, yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang.
Buru-buru Ibu Hartini, istri Bung Karno, mengumpulkan pakaian dan barang-barang yang dibutuhkan, serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang-barang lain semuanya ditinggalkan.
“Het is niet meer mijn huis,… “ sudahlah, ini bukan rumah saya lagi, demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Sukarno pindah ke Istana Batu Tulis , Bogor, sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam karantina di Wisma Yaso. Beberapa panglima dan loyalis, dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan, menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono, secara misterius, mati terbunuh di rumahnya.
Menurut penuturan saksi mata di Wisma Yaso; Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno. Mereka tak tahu, Bung Karno masih di RSPAD sebelumnya, atau dibawa ke Wisma Yaso.
Jenasah Bung Karno, berada di ruangan kamar yang suram di Wisma Yaso. Terbujur mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta waktu itu, yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah, serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak-bengkak, dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin ber-AC ,dan penuh dengan alat-alat medis di sebelah tempat tidurnya. Tak ada. Jauh dari itu semua. Yang ada hanya termos, dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam, dipenuhi jentik-jentik seperti nyamuk.
Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tanpa gorden. Dari dalam bisa terlihat, halaman belakang ditumbuhi rumput alang-alang setinggi dada manusia!
Jasad Bung Karno kemudian dipindahkan ke atas karpet, di lantai ruang tengah. Beberapa orang disana, sungkem (membungkuk hormat) kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah Orde Baru juga kebingungan, kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator? Walau Bung Karno berkeinginan agar dimakamkan di Istana Batu Tulis, pihak militer beralasan tetap tak mau mengambil resiko, apabila makam seorang Sukarno berdekatan dengan ibukota.
Maka dipilih Blitar, yang konon kota kelahirannya, sebagai peristirahatan terakhir. Dan tentu saja, Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini. Belakangan diketahui, bahwa tidak benar Sukarno lahir di Blitar, melainkan Surabaya.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, “Bung Karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara-cara yang amat kasar, dengan memukul-mukul meja, dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah, karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan,“ (Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966).
Dokter Kartono Mohamad, yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 Februari 1969 sampai 9 Juni 1970, serta mewancarai dokter Bung Karno; berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan, hanya vitamin B, B12, dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya adalah gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah, tidak diberikan (Kartono Mohamad, Kompas, 11 Mei 2006).
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan, “Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batu Tulis. Salah satu perawatnya, juga bukan perawat, tetapi dari Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat),” (Rachmawati, Kompas 13 Januari 2008).
Apa yang terjadi pada Sukarno, sangat berbeda dengan Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter-dokter dan peralatan canggih, untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Tapi, toh nyawa Soeharto juga tak bisa dipanjang-panjangkan, sebagaimana keharuman namanya hanyalah pendek, sekali pun pemeriksaan dari kehakiman jadwalnya disesuaikan dengan jadwal tidur Jendral Besar itu.
Sukarno, lahir di Surabaya 6 Juni 1901, dan wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970. He is Bung Karno, the Great Man! | Sebagian sumber informasi dari Iman Brotoseno, Andi St., dan beberapa nama.
SECUIL 21 JUNI 1970, KETIKA SUKARNO WAFAT | Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah (dan pelaku pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945), yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar, menuliskan kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang saya sunting bahasanya, juga karena panjangnya tulisan tersebut, tanpa mengurangi artinya:
Blitar. Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali, sesederhana semua makam di sekelilingnya.
Sejak subuh, sudah ada sekitar seratusan manusia hidup, berada di situ. Dan semua hanya berada di situ, seolah membatu, tanpa mengetahui sedang “ngapain” mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri, agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.
Kami semua di kota Malang, mendengar tentang Bung Karno yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari, dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan pada sebuah tempat di pinggir kali, di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang, di rumah Bung Karno di Batu Tulis, Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula kuasa rezim Soeharto, yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar, dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya, di daerah Paras Besar. Bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orangtuanya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di sebuah sekolah di Mojokerto, yang kemudian tugasnya (memang) dipindah ke Blitar.
Sore. matahari tinggal sepenggalan, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Beberapa orang yang berkerumun menunggu, didorong paksa oleh barisan tentara Angkatan Darat, agar menjauh dari tempat pemakaman.
Komandan upacara, Jenderal Maraden Panggabean memulai upacara. Saya (Cak Doel Arnowo, sw), berdiri berdesak-desakan di samping Kapolri Hoegeng Iman Santosa. Kami berbicara saling berbisik, “Ujung paling belakang rombongan ini berada di mana, Pak?” Beliau menjawab singkat, di kota Wlingi. Hah? Panjang iring-iringan rombongan yang mengantar jenasah Bung Karno ini, sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, utara kota Malang, sampai ke Blitar, tiada putus.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung, meski sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!”
Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans yang mengangkut Bung Karno, terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir, seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, mereka ada yang mengaku dari Madiun, Banyuwangi, bahkan dari Bali.
Saya berjalan ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, tempat kakak kandung beliau, Ibu Wardojo, tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar, karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan.
Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman, beberapa waktu kemudian, semua makam pahlawan di Taman Pahlawan Sentul dipindah ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan lokasi pemakaman sudah penuh. Tetapi pada kenyataannya, kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Kuburannya pun Tidak Boleh Dijenguk | Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum, dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam, harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?
Saya bersama ibu saya, dan beberapa saudara, datang secara mendadak pergi ke Blitar, dengan tujuan utama ziarah ke makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan, dan akhirnya sampai ke pimpinan yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin, dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara.
Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu galak, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu, merasa bertambah gagahnya di hadapan rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres, dan kami mendapat sepucuk surat. Namun apa yang terjadi?
Sesampai di makam, kami turun dari kendaraan dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukkan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya menoleh ke belakang, terkejut saya. Selain rombongan kami sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, rupanya telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol.
Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, menempel secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, tetapi saya ingat, kami memasuki pagar luar, dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang, dan hanya bisa memandang makamnya dari jarak yang mungkin hanya sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami, dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali, dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang mencium tangan kami, membuat saya merasa risih.
Salah seorang dari mereka ini mengatakan, sudah dua hari bermalam di sekitar makam, di udara terbuka, menunggu sebuah kesempatan seperti yang baru saja telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat. Rakyat Marhaen, kata Bung Karno!
Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi pemimpin mereka. Bapak mereka. Apa pun yang disebarluaskan media Soeharto, dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka, itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara. Semua dari lubuk hati.
Malamnya, desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Sukarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini, terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya, kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang sangat kharismatik dan macho ini, dan banyak digilai perempuan seantero jagad, tak ubahnya sesosok mayat hidup.
Tiada lagi wajah gantengnya. Gigi gingsulnya membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa, dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar, menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulung dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah, dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega mengembang berkaca-kaca. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga bapaknya, “Pak, Pak, ini Ega,…”
Tak ada jawaban. Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Sukarno yang telah pecah-pecah, bergerak-gerak kecil. Gemetar. Seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu.
Sukarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka mata. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu, untuk puteri sulungnya. Tapi tubuhnya terlampau lemah, untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Sukarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan. Megawati menjauh dan limbung. Ia segera dipapah keluar.
Jarum jam terus berdetak. Satu-satu. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga. Lengkap dengan senjata.
Malam harinya, ketahanan tubuh Sukarno jebol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Mohammad Hatta, diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya, menghampiri pembaringan Sukarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Sukarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi. Sukarno berkata lemah, “Hatta,... kau di sini?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui, jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Sukarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur, “Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakan di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Sukarno. Panas menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya itu.
Bibir Sukarno bergetar. Tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan, ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal, “Hoe gaat het met jou,…?”
Sukarno menanyakan bagaimana keadaan Hatta. Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Sukarno.
Sukarno kemudian terisak. Bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis, di depan kawan seperjuangannya. Bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaan. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu, saling berpegangan tangan. Seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini, tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan yang dialami sahabatnya itu. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No,…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Hatta. Ia tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru, yang sampai hati menyiksa bapak bangsa itu. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Sukarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persahabatannya (dengan Sukarno), yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Sukarno, ketika kawannya ini kembali memejamkan mata.
Jarum jam terus berdetak-detuk. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Sukarno semakin menipis. Mendesak ke jantungnya yang kian lemah.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Sukarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyama.
Malamnya, Dewi Soekarno dan Karina, puterinya yang masih berusia tiga tahun, datang di rumah sakit. Sukarno belum pernah sekali pun melihat anaknya itu.
Minggu pagi, atau Ahad Kliwon, 21 Juni 1970. Dokter Mahar Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan, seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, dr Mahar Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini.
Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu, waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Sukarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Sukarno menggerakkan tangan kanannya. Memegang lengan dokternya.
Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi, dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek. Tak bergerak lagi. Untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau, tiada terdengar. Kehampaan. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, banyak pula yang membenci. Namun semua sepakat, Sukarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Manusia besar, juga dengan musuh-musuh besar. Dan itu belum tentu dilahirkan kembali, dalam waktu satu abad.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Sukarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno, dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya, Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan, oleh rezim penguasa yang baru.
Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini, dan telah menghabiskan 25 tahun usia hidupnya, mendekam dalam penjara kolonial Belanda, demi kemerdekaan negerinya.
Keyakinan banyak orang, bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan, mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini, yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno, ketika sakit ditahan di Wisma Yaso (Yaso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno, yang dikenakan untuk nama rumah yang ditempati Dewi Sukarno, dan gedung ini kemudian menjadi Museum Angkatan Darat, di jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat). Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.
Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut, di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan (dengan obat).
Bung Karno memang dibiarkan sakit, dan mungkin dengan begitu diharapkan, oleh penguasa baru Soeharto, agar bisa mempercepat kematian. Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun, dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekedar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita (www.andists.info).
Ini saya kutipkan tulisan seorang Sukarnois mengenai tanggal 21 Juni 1970; “Pak Karno seda,…” demikian seorang lelaki sedang menangis sesenggukan. Ia mengabarkan pada isterinya, Sukarno, Bung Karno, meninggal. Ia adalah seorang yang mengetahui kondisi dan fisik Bung Karno di Wisma Yaso.
Mereka pun kemudian dengan menumpang kendaraan militer, bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain, kecuali tiga truk berisi prajurit Marinir (dulu KKO). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO, sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono, pernah berkata, “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO!”
Banyak prediksi memperkirakan, andai saja Bung Karno menolak untuk turun tahta, dia dengan mudah akan melibas mahasiswa dan pasukan Jendral Soeharto. Karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya, dan terutama Siliwangi dengan panglima Mayjen Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negerinya. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah, bagi sebuah bangsa yang telah dipersatukannya dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Sukarno harus meninggalkan istana, pindah ke istana Bogor. Begitu turun tahta, tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya, Mayjend Amir Mahmud, disampaikan jam 8 pagi pada waktu Maret 1966, yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang.
Buru-buru Ibu Hartini, istri Bung Karno, mengumpulkan pakaian dan barang-barang yang dibutuhkan, serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang-barang lain semuanya ditinggalkan.
“Het is niet meer mijn huis,… “ sudahlah, ini bukan rumah saya lagi, demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Sukarno pindah ke Istana Batu Tulis , Bogor, sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam karantina di Wisma Yaso. Beberapa panglima dan loyalis, dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan, menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono, secara misterius, mati terbunuh di rumahnya.
Menurut penuturan saksi mata di Wisma Yaso; Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno. Mereka tak tahu, Bung Karno masih di RSPAD sebelumnya, atau dibawa ke Wisma Yaso.
Jenasah Bung Karno, berada di ruangan kamar yang suram di Wisma Yaso. Terbujur mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta waktu itu, yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah, serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak-bengkak, dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin ber-AC ,dan penuh dengan alat-alat medis di sebelah tempat tidurnya. Tak ada. Jauh dari itu semua. Yang ada hanya termos, dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam, dipenuhi jentik-jentik seperti nyamuk.
Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tanpa gorden. Dari dalam bisa terlihat, halaman belakang ditumbuhi rumput alang-alang setinggi dada manusia!
Jasad Bung Karno kemudian dipindahkan ke atas karpet, di lantai ruang tengah. Beberapa orang disana, sungkem (membungkuk hormat) kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah Orde Baru juga kebingungan, kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator? Walau Bung Karno berkeinginan agar dimakamkan di Istana Batu Tulis, pihak militer beralasan tetap tak mau mengambil resiko, apabila makam seorang Sukarno berdekatan dengan ibukota.
Maka dipilih Blitar, yang konon kota kelahirannya, sebagai peristirahatan terakhir. Dan tentu saja, Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini. Belakangan diketahui, bahwa tidak benar Sukarno lahir di Blitar, melainkan Surabaya.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, “Bung Karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara-cara yang amat kasar, dengan memukul-mukul meja, dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah, karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan,“ (Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966).
Dokter Kartono Mohamad, yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 Februari 1969 sampai 9 Juni 1970, serta mewancarai dokter Bung Karno; berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan, hanya vitamin B, B12, dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya adalah gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah, tidak diberikan (Kartono Mohamad, Kompas, 11 Mei 2006).
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan, “Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batu Tulis. Salah satu perawatnya, juga bukan perawat, tetapi dari Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat),” (Rachmawati, Kompas 13 Januari 2008).
Apa yang terjadi pada Sukarno, sangat berbeda dengan Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter-dokter dan peralatan canggih, untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Tapi, toh nyawa Soeharto juga tak bisa dipanjang-panjangkan, sebagaimana keharuman namanya hanyalah pendek, sekali pun pemeriksaan dari kehakiman jadwalnya disesuaikan dengan jadwal tidur Jendral Besar itu.
Sukarno, lahir di Surabaya 6 Juni 1901, dan wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970. He is Bung Karno, the Great Man! | Sebagian sumber informasi dari Iman Brotoseno, Andi St., dan beberapa nama.
SECUIL 21 JUNI 1970, KETIKA SUKARNO WAFAT | Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah (dan pelaku pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945), yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar, menuliskan kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang saya sunting bahasanya, juga karena panjangnya tulisan tersebut, tanpa mengurangi artinya:
Blitar. Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali, sesederhana semua makam di sekelilingnya.
Sejak subuh, sudah ada sekitar seratusan manusia hidup, berada di situ. Dan semua hanya berada di situ, seolah membatu, tanpa mengetahui sedang “ngapain” mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri, agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.
Kami semua di kota Malang, mendengar tentang Bung Karno yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari, dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan pada sebuah tempat di pinggir kali, di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang, di rumah Bung Karno di Batu Tulis, Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula kuasa rezim Soeharto, yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar, dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya, di daerah Paras Besar. Bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orangtuanya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di sebuah sekolah di Mojokerto, yang kemudian tugasnya (memang) dipindah ke Blitar.
Sore. matahari tinggal sepenggalan, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Beberapa orang yang berkerumun menunggu, didorong paksa oleh barisan tentara Angkatan Darat, agar menjauh dari tempat pemakaman.
Komandan upacara, Jenderal Maraden Panggabean memulai upacara. Saya (Cak Doel Arnowo, sw), berdiri berdesak-desakan di samping Kapolri Hoegeng Iman Santosa. Kami berbicara saling berbisik, “Ujung paling belakang rombongan ini berada di mana, Pak?” Beliau menjawab singkat, di kota Wlingi. Hah? Panjang iring-iringan rombongan yang mengantar jenasah Bung Karno ini, sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, utara kota Malang, sampai ke Blitar, tiada putus.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung, meski sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!”
Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans yang mengangkut Bung Karno, terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir, seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, mereka ada yang mengaku dari Madiun, Banyuwangi, bahkan dari Bali.
Saya berjalan ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, tempat kakak kandung beliau, Ibu Wardojo, tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar, karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan.
Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman, beberapa waktu kemudian, semua makam pahlawan di Taman Pahlawan Sentul dipindah ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan lokasi pemakaman sudah penuh. Tetapi pada kenyataannya, kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Kuburannya pun Tidak Boleh Dijenguk | Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum, dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam, harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?
Saya bersama ibu saya, dan beberapa saudara, datang secara mendadak pergi ke Blitar, dengan tujuan utama ziarah ke makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan, dan akhirnya sampai ke pimpinan yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin, dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara.
Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu galak, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu, merasa bertambah gagahnya di hadapan rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres, dan kami mendapat sepucuk surat. Namun apa yang terjadi?
Sesampai di makam, kami turun dari kendaraan dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukkan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya menoleh ke belakang, terkejut saya. Selain rombongan kami sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, rupanya telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol.
Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, menempel secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, tetapi saya ingat, kami memasuki pagar luar, dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang, dan hanya bisa memandang makamnya dari jarak yang mungkin hanya sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami, dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali, dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang mencium tangan kami, membuat saya merasa risih.
Salah seorang dari mereka ini mengatakan, sudah dua hari bermalam di sekitar makam, di udara terbuka, menunggu sebuah kesempatan seperti yang baru saja telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat. Rakyat Marhaen, kata Bung Karno!
Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi pemimpin mereka. Bapak mereka. Apa pun yang disebarluaskan media Soeharto, dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka, itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara. Semua dari lubuk hati.
Bosan Tak Berampun, Benar-benar Membosankan
Kebosanan adalah kejahatan paling buruk kedua di dunia, demikian sabda Jean Baudrillard (1929-2007. Namun, masih menurut Sang filsuf, menjadi orang yang membosankan, adalah kejahatan terburuk level tertinggi.
Maka nasehat selanjutnya, jangan pernah bosan dengan hal-hal yang membosankan, karena kalau itu terjadi, kau akan bosan dan itu akan melahirkan kebosanan baru yang lebih membosankan. Antara lain, kau akan jadi pribadi yang membosankan, dan lebih celaka lagi, kebosanan itu akan beranak-pinak dalam dirimu, dan sangat pasti, kau akan menjadi pribadi yang membosankan.
Menjadi pribadi yang membosankan, tentu menumbuhkan kebosanan baru dan menulari pembosan-pembosan yang lainnya, dan sebagaimana virus ganas, secara serentak, massif, menyebar ke seluruh permukaan tubuh dan pikiran, lingkungan kitaran. Semua jadi membosankan.
Bahkan sampai akhirnya, bosan benar-benar menjadi kata yang membosankan. Bosan kita mendengar kata bosan ini. Bagaimana jika kata bosan itu kita hapus dalam kosakata hidup kita, agar kita tak pernah merasakan kebosanan, biar hidup tidak membosankan, dan menciptakan kebosanan-kebosanan baru yang tak pernah bosan bertumbuhan?
Atau, jika saja kita sedikit kreatif, bagaimana agar bosan itu tidak membosankan? Bagaimana jika bosan kita bikin mainan yang asyik, atau kita main-mainin saja si bosan itu, sampai kita bosan sebosan-bosannya, agar dengan demikian si bosan itu juga menjadi bosan sendiri, karena menghadapi kebosanan yang membosankan?
Atau kita nyanyikan kebosanan itu, sebagaimana Sawung Jabo dan Iwan Fals menyeru; "Aku bosan!" Maka bosan mereka itu akan didengar para pemujanya dengan merdu. Dan membuat si bosan tidak membosankan. Si bosan menjadi enak didengar dan enak didendangkan. Dan tidak benar kata Baudrillard, bahwa kebosanan merupakan kejahatan tertinggi. Karena mendengar lagu "Aku Bosan" itu bisa menjadikan suasana hati jadi terhibur, kebosanan menjadi cair. Orang yang tadinya bosan kemudian berubah menjadi tibak bosan, dan dengan sendiri tidak membosankan serta tidak melahirkan kebosanan bagi orang-orang yang sudah bosan. Suasanan yang membosankan kemudian berubah menjadi tidak membosankan (apalagi bagi Jabo atau Iwan yang mendapat royalti dari lagu itu).
Tapi, apa semua orang mesti menjadi pencipta lagu? Dan pertanyaan membosankan lainnya, apa semua yang tiru-tiru menjadi pencipta lagu itu akan menciptakan lagu dengan judul sama "Aku Bosan"? Hah? Benar-benar membosankan!
Bosan aku dengan kata-katamu yang penuh dengan kata-kata bosan yang membosankan itu!
Maka nasehat selanjutnya, jangan pernah bosan dengan hal-hal yang membosankan, karena kalau itu terjadi, kau akan bosan dan itu akan melahirkan kebosanan baru yang lebih membosankan. Antara lain, kau akan jadi pribadi yang membosankan, dan lebih celaka lagi, kebosanan itu akan beranak-pinak dalam dirimu, dan sangat pasti, kau akan menjadi pribadi yang membosankan.
Menjadi pribadi yang membosankan, tentu menumbuhkan kebosanan baru dan menulari pembosan-pembosan yang lainnya, dan sebagaimana virus ganas, secara serentak, massif, menyebar ke seluruh permukaan tubuh dan pikiran, lingkungan kitaran. Semua jadi membosankan.
Bahkan sampai akhirnya, bosan benar-benar menjadi kata yang membosankan. Bosan kita mendengar kata bosan ini. Bagaimana jika kata bosan itu kita hapus dalam kosakata hidup kita, agar kita tak pernah merasakan kebosanan, biar hidup tidak membosankan, dan menciptakan kebosanan-kebosanan baru yang tak pernah bosan bertumbuhan?
Atau, jika saja kita sedikit kreatif, bagaimana agar bosan itu tidak membosankan? Bagaimana jika bosan kita bikin mainan yang asyik, atau kita main-mainin saja si bosan itu, sampai kita bosan sebosan-bosannya, agar dengan demikian si bosan itu juga menjadi bosan sendiri, karena menghadapi kebosanan yang membosankan?
Atau kita nyanyikan kebosanan itu, sebagaimana Sawung Jabo dan Iwan Fals menyeru; "Aku bosan!" Maka bosan mereka itu akan didengar para pemujanya dengan merdu. Dan membuat si bosan tidak membosankan. Si bosan menjadi enak didengar dan enak didendangkan. Dan tidak benar kata Baudrillard, bahwa kebosanan merupakan kejahatan tertinggi. Karena mendengar lagu "Aku Bosan" itu bisa menjadikan suasana hati jadi terhibur, kebosanan menjadi cair. Orang yang tadinya bosan kemudian berubah menjadi tibak bosan, dan dengan sendiri tidak membosankan serta tidak melahirkan kebosanan bagi orang-orang yang sudah bosan. Suasanan yang membosankan kemudian berubah menjadi tidak membosankan (apalagi bagi Jabo atau Iwan yang mendapat royalti dari lagu itu).
Tapi, apa semua orang mesti menjadi pencipta lagu? Dan pertanyaan membosankan lainnya, apa semua yang tiru-tiru menjadi pencipta lagu itu akan menciptakan lagu dengan judul sama "Aku Bosan"? Hah? Benar-benar membosankan!
Bosan aku dengan kata-katamu yang penuh dengan kata-kata bosan yang membosankan itu!
Bagaimana Memperlakukan Kekecewaan Diri?
"Seberapa besar kesuksesan Anda," ujar Robert Kiyosaki, motivator asal Amerika Serikat, "bisa diukur dari seberapa kuat keinginan Anda, setinggi apa mimpi-mimpi Anda, dan bagaimana Anda memperlakukan kekecewaan dalam hidup Anda."
Memperlakukan kekecewaan dalam hidup? Barangkali maksud Kiyosaki adalah bagaimana kita menikmati, merasakan, atau mengapresiasi kekecewaan. Karena sering kata "kekecewaan" kita perlakukan dengan kejam, yakni dengan tidak mau mengerti tentangnya.
Kekecewaan selalu dianggap sebagai musuh, yang tak boleh menyatu dengan kehidupan kita. Kita mesti mengenyahkan kekecewaan. Dan saking enggannya dengan yang bernama kekecewaan, maka ia kemudian dianggap memiliki harga yang negatif.
Padahal, kemampuan merasai kekecewaan juga menjadi ukuran dari sebuah tahapan kesuksesan. Kekecewaan adalah suatu proses penyadaran, mengenai kekurangan, kesalahan, ketidaksempurnaan dalam langkah pencapaian. Kekecewaan adalah alarm untuk melakukan peninjauan ke dalam diri kita.
Keinginan boleh kuat, mimpi boleh setinggi langit. Namun jika kita tak mampu memperlakukan kekecewaan dengan baik dan tepat pada posisinya, kedua hal tersebut tidak akan memiliki arti dan kekuatan apa-apa. Ia bisa membuat kita makin terjebak dalam satu ruangan hampa bernama ilusi, fatamorgana, dan bahkan kesunyian diri yang disebut-sebut sebagai hopeless, ketiadaan harapan, dan bahkan kesia-siaan.
Maka, kemampuan untuk memperlakukan kekecewaan setepatnya itu, menjadi faktor dasar, karena dari sanalah kemauan kita atas keinginan dan mimpi itu akan tidak mudah untuk punthes, tumbang, tak bertumbuh.
Dengan kemauan kita membuka pintu ke arah kesuksesan, kata seorang ilmuwan Perancis bernama Louis Pasteur (1822-1895), "Kemauan adalah sesuatu yang penting, karena aksi dan kerja biasanya mengikuti kemauan,..."
Memperlakukan kekecewaan dalam hidup? Barangkali maksud Kiyosaki adalah bagaimana kita menikmati, merasakan, atau mengapresiasi kekecewaan. Karena sering kata "kekecewaan" kita perlakukan dengan kejam, yakni dengan tidak mau mengerti tentangnya.
Kekecewaan selalu dianggap sebagai musuh, yang tak boleh menyatu dengan kehidupan kita. Kita mesti mengenyahkan kekecewaan. Dan saking enggannya dengan yang bernama kekecewaan, maka ia kemudian dianggap memiliki harga yang negatif.
Padahal, kemampuan merasai kekecewaan juga menjadi ukuran dari sebuah tahapan kesuksesan. Kekecewaan adalah suatu proses penyadaran, mengenai kekurangan, kesalahan, ketidaksempurnaan dalam langkah pencapaian. Kekecewaan adalah alarm untuk melakukan peninjauan ke dalam diri kita.
Keinginan boleh kuat, mimpi boleh setinggi langit. Namun jika kita tak mampu memperlakukan kekecewaan dengan baik dan tepat pada posisinya, kedua hal tersebut tidak akan memiliki arti dan kekuatan apa-apa. Ia bisa membuat kita makin terjebak dalam satu ruangan hampa bernama ilusi, fatamorgana, dan bahkan kesunyian diri yang disebut-sebut sebagai hopeless, ketiadaan harapan, dan bahkan kesia-siaan.
Maka, kemampuan untuk memperlakukan kekecewaan setepatnya itu, menjadi faktor dasar, karena dari sanalah kemauan kita atas keinginan dan mimpi itu akan tidak mudah untuk punthes, tumbang, tak bertumbuh.
Dengan kemauan kita membuka pintu ke arah kesuksesan, kata seorang ilmuwan Perancis bernama Louis Pasteur (1822-1895), "Kemauan adalah sesuatu yang penting, karena aksi dan kerja biasanya mengikuti kemauan,..."
Minggu, Juni 17, 2012
Kepercayaan Pada Diri Sendiri
Kebahagiaan sesungguhnya, ialah ketika kita tidak membenci mereka yang membenci kita. Bahagialah kita sesungguhnya, yang terbebaskan dari penyakit ini diantara mereka yang sakit. Bahagialah kita sesungguhnya, bebas dari ketamakan diantara mereka yang tamak. Bahagialah kita sesungguhnya, biarpun kita tidak memiliki apa-apa pun jua. Kemenangan mengakibatkan kebencian, setidaknya karena yang kalah takkan merasa senang. Bahagialah dia sesungguhnya, yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan, menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja saja, tidak istimewa, tidak pakai telor, tapi segalanya itu ialah hasil semua sebab-akibat logis dari apa yang dinamakan keyakinan akan kebenaran, keteguhan dalam memperjuangkan, dan berpasrah akan hasil.
Kita telah begitu lama dikondisikan, dibentuk, dicetak, untuk menjadi pribadi-pribadi yang sukses, yang memenangkan setiap pertandingan. Seolah kita tidak punya pilihan lain, atau haram hukumnya jika kita tidak sukses, tidak menang, gagal, pecundang. Tidak ada nilai sama sekali untuk itu. Karena itu, begitu banyak program, kata motivasi, kutipan kata bijak, yang dijejalkan pada kita. Ada training, kursus, membuka rahasia metode sukses, cara gampang untuk menang, mantra-mantra, strategi, dan lain sebagainya, agar kita menjadi pemenang.
Orientasi hidup pada kalah-menang semata, bisa menjebak. Apalagi jika yang diterapkan kemudian lebih pada hasil, yang pada akhirnya menonsenskan cara, proses, pergulatan, dan sebab-akibat di antara begitu banyak sebab-akibat yang saling belibet. Yang kadang membuat kita lupa, bahwa tidak ada teori tunggal untuk kesuksesan atau kemenangan, karena ia jauh lebih kompleks daripada pikiran kita yang lurus-lurus saja.
Hingga, sampai pun kita pada kesimpulan, dan keyakinan, bahwa kepasrahan adalah tanda kekalahan, sesuatu yang negatif. Karena pasrah sama dengan berhenti, pasif, nol, tanpa pergerakan, dan hanya menunggu. Memangnya, setelah kita meyakini sesuatu, memperjuangkan dengan segala sesuatunya, apakah kita bisa pastikan hasilnya? Jika iya, tentu hidup ini mudah dan menyenangkan, karena hasil tak perlu kita pasrahkan, melainkan kita pastikan. Lantas, kenapa ada “kekalahan” jika demikian?
Karena hidup memang tidak matematis. Ketika semuanya dirancang, dengan berbagai tinjauan dan sudut pandang, teori ina-ini atau ita-itu, semuanya positif dan di atas kertas menang, tapi kenyataan bisa berbeda. Lantas, kita menyalahkan siapapun, kecuali diri kita, bahwa mereka semua penyumbang kegagalan dan sumber bencana.
Siapa yang bisa menjadi pengukur paling presisi, paling tepat setepat-tepatnya, mengenai faktor kegagalan dan kesuksesan? Manusia belum bisa menciptakan alat pengukur itu. Yang bisa dilakukan hanyalah telaah post-factum, ketika semuanya sudah terjadi. Terus kemudiaan, dicari formulasinya, hingga menjadi teori atau pengetahuan yang bisa diuraikan dalil-dalilnya. Namun ketika dipakai oleh pihak lain, segala macam teori itu tidak menghasilkan akibat yang sama. Kenapa?
Ketika kesuksesan “Si Doel Anak Sekolahan”, atau “OVJ” atau Sean masuk Indol, atau Napoleon Bonaparte, atau Mr. Bean, dan lain sebagainya, diformulasikan menjadi teori dan strategi, dia tidak bisa menjadi mantra sakti yang berlaku dan berakibat sama. Kenapa, eh, kenapa? Kenapa Dion tersingkir sedang Yoda bertahan di Indol? Kenapa masih main fb, padahal Presiden masih tidur? Nggak ada hubungannnya!
Pertanyaan serupa, bisa ditempelkan pada Euro Cup 2012 ini juga, sekiranya hasil setiap pertandingan bisa kita tebak, karena kita telah memasukkan semua data-base masing-masing tim ke bank data dan computer siap menganalisis plus-minus dan peluang-peluangnya secara matematis serta njelimet, hasilnya toh bisa beda. Mengapa Rusia tersingkir, dan mengapa Yunani masuk 8 Besar? Alangkah tidak asyiknya pertandingan sepakbola itu, jika semuanya sudah ketahuan sebelum bertanding, hanya berdasarkan data. Para peramal skore sepakbola? Mereka hanya mencoba meyakinkan apa yang kita inginkan, atau mengguyahkannya. Dalam soal ini saja, kenapa kau tidak meyakini apa yang kau mengerti?
Persoalan kita sekarang, lebih pada soal keyakinan, atau kepercayaan pada diri sendiri. Selebihnya tak ada.
Jumat, Juni 15, 2012
Del Bosque, SBY, dan Piala Indonesia 2014
Oleh Sunardian Wirodono
Spanyol menang 4-0 atas Irlandia, dan bisa dipastikan Irlandia tersingkir dari Piala Eropa. Sementara ada pendapat Spanyol akan mempertahankan piala kemenangan itu, sebagaimana empat tahun sebelumnya. Demikian sepakbola.
Dalam pertandingan melawan Irlandia, kita melihat bagaimana pasukan Del Bosque bermain menawan, karena hampir tanpa perlawanan. Sebuah pertandingan yang tidak imbang. Keith Andrews, pelatih Irlandia, mengakui, timnya kalah kelas dari Spanyol. Dan ia tak menyalahkan siapa-siapa, kecuali dirinya, "Kami seperti mengejar bayangan,..."
Hingga lahir gol Torres pada menit keempat, menyamai rekor Raul Gonzales dalam Euro 2000, sebagai gol tercepat Spanyol dalam ajang piala itu. Gol bermula dari lepasnya bola dari penguasaan David Silva, akibat antisipasi Richard Dunne. Torres menjangkau bola, menggiringnya masuk kotak penalti, melewati Stephen Ward, dan Shay Given hanya bisa melenguh.
Dari 26 usaha penyerang Escapana, ada 20 peluang emas. Dan Pedro Proenca meniup peluit, 4-0 untuk Spanyol.
Kemenangan absolut ini membuka lebar jalan "La Furia Roja" ke perempat final, dan bahkan final yang bisa jadi berhadapan dengan (lagi-lagi) panser Jerman, mengulang real final empat tahun lalu? Dan Euro Cup akan tetap dipegang Spanyol, atau berganti raja baru? Kata teman saya yang tinggal di pesantren, wallahu'alam!
Spanyol memang mempesona. Kemenangannya semalam, terbesar sepanjang putaran final Euro. Ketika Euro 2008, (lagi-lagi) Spanyol menyikat Rusia dua kali dengan keunggulan tiga gol. Torres, Silva, Fabregas, menjadi trio musketeer yang mempesona. Gol kontribusi Silva bisa dinobatkan sebagai gol paling spektakuler menggempur kecekatan Given. Seolah di dalam Spanyol itu meruap aroma Chelsea, Manchester City, Barcelona, nama-nama club yang mencorong tahun ini.
Trio musketeer ini seolah menjadi legenda baru, karena kebersamaan ketiga pemain tersebut terjalin dalam waktu yang panjang. Mereka pula mengantar Spanyol menjadi juara Eropa 2008. Mereka juga yang mengawal tim Matador menjadi juara Piala Dunia 2010. Karena itulah, menurut Ruud Gullit, “Spanyol adalah tim yang harus dikalahkan,..." Kalau tidak? Ya, tentu saja dia yang juara!
Perjalanan Spanyol adalah perjalanan Vicente del Bosque Gonzales, lelaki kelahiran Salamanca, 23 Desember 1950 itu. Dan Del Bosque adalah suksesor. Ia telah menunjukkan kapasitasnya sebagai pelatih yang akrab dengan gelar juara. Ini dia buktikan ketika membesut Real Madrid dari 1999-2003. Ia dinilai sebagai pelatih paling sukses sepanjang sejarah klub raksasa Spanyol, karena berhasil mempersembahkan dua gelar Liga Champions (2000 dan 2002), dua trofi La Liga (2001 dan 2003), satu gelar Piala Super Spanyol (2001), satu gelar Piala Super Eropa (2002), dan satu gelar Piala Dunia Antar-klub (2002). Di samping itu, selama membesutnya, dia selalu membawa Madrid lolos ke semifinal Liga Champions.
Membangkucadangkan bomber-bomber seperti Fernando Torres, Alvaro Negredo, dan Fernando Llorente pada pertandingan awal dan genting melawan Itali, dan dikritik habis oleh Mourinho sebagai merusak spirit Spanyol, Bosque meyakini keputusannya, karena sudah dipikirkannya. Dan ia bertanggungjawab untuk itu, sebagaimana ia juga berani tak memanggil seorang pemain muda potensial yang cidera, "Kami punya sistem yang bisa berhasil. Orang-orang berpikir bahwa menurunkan striker sangatlah penting. Striker memang penting bagi kami, tapi memenangkan pertandingan lebih penting lagi. Kami punya 23 pemain yang semuanya bermain reguler di klub masing-masing. Kami punya beragam alternatif dan kami juga punya 65 persen penguasaan bola,..." kata Bosque.
Dengan kalem pelatih gaek ini berujar, seolah menyindir, "Tak ada yang bisa tenang di kompetisi besar semacam Euro, namun hasil ini telah membawa kami selangkah lebih maju."
Adakah ia akan mengulang kata-katanya ketika hendak memasuki Piala Dunia tahun lalu? "Kami harus membuktikannya di lapangan, bukan hanya terbuai dalam mimpi yang indah. Karena, di sana juga akan tampil raksasa-raksasa sepak bola dunia seperti Brasil, Jerman dan Italia, yang juga memiliki tekad dan keinginan yang sama dengan kami, yaitu menjadi juara," ungkapnya waktu itu, "Saya tak ingin mengecewakan semangat pemain saya!"
Dan Del Bosque memainkan sebuah simfoni yang indah. "Spanyol bermain bagaikan sebuah orkestra," kata Giovanni Trappatoni waktu Kroasia digulung Spanyol, "Mereka nyaris tidak menggunakan tenaga saat melawan kami, karena mereka melibatkan semua pemain."
Tiba-tiba, dan ini sungguh tak ada hubungannya, meski orang sering menghubung-hubungkan, melintas wajah Susilo Bambang Yudhoyono. Hah? Apa hubungannya? Tentu saya tak berharap SBY menjadi pelatih bola, bisa lebih amburadul PSSI nanti. Membuat partai saja dia otoriter, hingga harus menyingkirkan Anas dengan cara yang tidak elegant. Maksud saya, bukan hanya pada SBY saja sesungguhnya, tapi pada para politikus yang juga sangat gemar sepakbola, bahkan Anas Urbaningrum pun sekali-kalinya muncul di media, justeru dalam posisi mengulas sepakbola (Metro TV waktu itu, menjelang pertandingan Jerman-Belanda, harinya lupa). Kalau para politikus kita hendak masuk dalam Piala Politik 2014 kelak, saya ngimpi mereka akan ngomong seperti Del Bosque itu, "Kami harus membuktikannya di lapangan, bukan hanya terbuai dalam mimpi yang indah. Karena, di sana juga akan tampil raksasa-raksasa dunia politik seperti Golkar, PDI Perjuangan, Gerindra, Nasdem, PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, dan lain-lain, yang juga memiliki tekad dan keinginan yang sama dengan kami, yaitu menjadi juara 2014,..."
Tapi adakah Torres? Silva? Xavi? Fabregas? Dan lebih-lebih, adakah Del Bosque, dalam kepolitikan kita? Alangkah menyedihkan, jika para politikus itu tak bisa menciptakan gol sebagaimana Torres. Alih-alih gol, yang muncul malah gol-put!
Spanyol menang 4-0 atas Irlandia, dan bisa dipastikan Irlandia tersingkir dari Piala Eropa. Sementara ada pendapat Spanyol akan mempertahankan piala kemenangan itu, sebagaimana empat tahun sebelumnya. Demikian sepakbola.
Dalam pertandingan melawan Irlandia, kita melihat bagaimana pasukan Del Bosque bermain menawan, karena hampir tanpa perlawanan. Sebuah pertandingan yang tidak imbang. Keith Andrews, pelatih Irlandia, mengakui, timnya kalah kelas dari Spanyol. Dan ia tak menyalahkan siapa-siapa, kecuali dirinya, "Kami seperti mengejar bayangan,..."
Hingga lahir gol Torres pada menit keempat, menyamai rekor Raul Gonzales dalam Euro 2000, sebagai gol tercepat Spanyol dalam ajang piala itu. Gol bermula dari lepasnya bola dari penguasaan David Silva, akibat antisipasi Richard Dunne. Torres menjangkau bola, menggiringnya masuk kotak penalti, melewati Stephen Ward, dan Shay Given hanya bisa melenguh.
Dari 26 usaha penyerang Escapana, ada 20 peluang emas. Dan Pedro Proenca meniup peluit, 4-0 untuk Spanyol.
Kemenangan absolut ini membuka lebar jalan "La Furia Roja" ke perempat final, dan bahkan final yang bisa jadi berhadapan dengan (lagi-lagi) panser Jerman, mengulang real final empat tahun lalu? Dan Euro Cup akan tetap dipegang Spanyol, atau berganti raja baru? Kata teman saya yang tinggal di pesantren, wallahu'alam!
Spanyol memang mempesona. Kemenangannya semalam, terbesar sepanjang putaran final Euro. Ketika Euro 2008, (lagi-lagi) Spanyol menyikat Rusia dua kali dengan keunggulan tiga gol. Torres, Silva, Fabregas, menjadi trio musketeer yang mempesona. Gol kontribusi Silva bisa dinobatkan sebagai gol paling spektakuler menggempur kecekatan Given. Seolah di dalam Spanyol itu meruap aroma Chelsea, Manchester City, Barcelona, nama-nama club yang mencorong tahun ini.
Trio musketeer ini seolah menjadi legenda baru, karena kebersamaan ketiga pemain tersebut terjalin dalam waktu yang panjang. Mereka pula mengantar Spanyol menjadi juara Eropa 2008. Mereka juga yang mengawal tim Matador menjadi juara Piala Dunia 2010. Karena itulah, menurut Ruud Gullit, “Spanyol adalah tim yang harus dikalahkan,..." Kalau tidak? Ya, tentu saja dia yang juara!
Perjalanan Spanyol adalah perjalanan Vicente del Bosque Gonzales, lelaki kelahiran Salamanca, 23 Desember 1950 itu. Dan Del Bosque adalah suksesor. Ia telah menunjukkan kapasitasnya sebagai pelatih yang akrab dengan gelar juara. Ini dia buktikan ketika membesut Real Madrid dari 1999-2003. Ia dinilai sebagai pelatih paling sukses sepanjang sejarah klub raksasa Spanyol, karena berhasil mempersembahkan dua gelar Liga Champions (2000 dan 2002), dua trofi La Liga (2001 dan 2003), satu gelar Piala Super Spanyol (2001), satu gelar Piala Super Eropa (2002), dan satu gelar Piala Dunia Antar-klub (2002). Di samping itu, selama membesutnya, dia selalu membawa Madrid lolos ke semifinal Liga Champions.
Membangkucadangkan bomber-bomber seperti Fernando Torres, Alvaro Negredo, dan Fernando Llorente pada pertandingan awal dan genting melawan Itali, dan dikritik habis oleh Mourinho sebagai merusak spirit Spanyol, Bosque meyakini keputusannya, karena sudah dipikirkannya. Dan ia bertanggungjawab untuk itu, sebagaimana ia juga berani tak memanggil seorang pemain muda potensial yang cidera, "Kami punya sistem yang bisa berhasil. Orang-orang berpikir bahwa menurunkan striker sangatlah penting. Striker memang penting bagi kami, tapi memenangkan pertandingan lebih penting lagi. Kami punya 23 pemain yang semuanya bermain reguler di klub masing-masing. Kami punya beragam alternatif dan kami juga punya 65 persen penguasaan bola,..." kata Bosque.
Dengan kalem pelatih gaek ini berujar, seolah menyindir, "Tak ada yang bisa tenang di kompetisi besar semacam Euro, namun hasil ini telah membawa kami selangkah lebih maju."
Adakah ia akan mengulang kata-katanya ketika hendak memasuki Piala Dunia tahun lalu? "Kami harus membuktikannya di lapangan, bukan hanya terbuai dalam mimpi yang indah. Karena, di sana juga akan tampil raksasa-raksasa sepak bola dunia seperti Brasil, Jerman dan Italia, yang juga memiliki tekad dan keinginan yang sama dengan kami, yaitu menjadi juara," ungkapnya waktu itu, "Saya tak ingin mengecewakan semangat pemain saya!"
Dan Del Bosque memainkan sebuah simfoni yang indah. "Spanyol bermain bagaikan sebuah orkestra," kata Giovanni Trappatoni waktu Kroasia digulung Spanyol, "Mereka nyaris tidak menggunakan tenaga saat melawan kami, karena mereka melibatkan semua pemain."
Tiba-tiba, dan ini sungguh tak ada hubungannya, meski orang sering menghubung-hubungkan, melintas wajah Susilo Bambang Yudhoyono. Hah? Apa hubungannya? Tentu saya tak berharap SBY menjadi pelatih bola, bisa lebih amburadul PSSI nanti. Membuat partai saja dia otoriter, hingga harus menyingkirkan Anas dengan cara yang tidak elegant. Maksud saya, bukan hanya pada SBY saja sesungguhnya, tapi pada para politikus yang juga sangat gemar sepakbola, bahkan Anas Urbaningrum pun sekali-kalinya muncul di media, justeru dalam posisi mengulas sepakbola (Metro TV waktu itu, menjelang pertandingan Jerman-Belanda, harinya lupa). Kalau para politikus kita hendak masuk dalam Piala Politik 2014 kelak, saya ngimpi mereka akan ngomong seperti Del Bosque itu, "Kami harus membuktikannya di lapangan, bukan hanya terbuai dalam mimpi yang indah. Karena, di sana juga akan tampil raksasa-raksasa dunia politik seperti Golkar, PDI Perjuangan, Gerindra, Nasdem, PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, dan lain-lain, yang juga memiliki tekad dan keinginan yang sama dengan kami, yaitu menjadi juara 2014,..."
Tapi adakah Torres? Silva? Xavi? Fabregas? Dan lebih-lebih, adakah Del Bosque, dalam kepolitikan kita? Alangkah menyedihkan, jika para politikus itu tak bisa menciptakan gol sebagaimana Torres. Alih-alih gol, yang muncul malah gol-put!
Kamis, Juni 14, 2012
Politikus Busuk, Lawyer Hitam, dan Media Massa tanpa Agenda
Salah satu malapetaka yang menyedihkan, bagi sebuah bangsa dan negara, ialah ketika ia mendapati banyaknya lawyer (atau pembela hukum) yang culas, berjibunnya politikus busuk, serta adanya media massa yang hadir tanpa agenda. Kenapa? Karena semuanya bertumpu pada keuntungan yang sempit, baik pada diri maupun kelompoknya, dan abai pada nilai-nilai kemuliaan publik yang substansial.
Dalam sebuah bangsa dan negara yang sedang berproses atau tumbuh, tentu yang kita butuhkan adalah menguatkan nilai-nilai kemuliaan, perbuatan-perbuatan baik dan benar, yang akan menginspirasi dan memotivasi tumbuhnya benih-benih yang sama, yakni makin merebaknya kehidupan yang baik dan benar itu sendiri.
Sejak ambruknya otoritarianisme Orde Baru, dengan nilai-nilai kemutlakannya, kita menjadi bangsa yang riuh-rendah, namun tidak mengenali nilai-nilai keutamaan yang menjadi prioritas atau pondasi dari semuanya.
Reformasi 1998 hanya memberikan kita kebebasan untuk melakukan apa saja, namun seolah tak ada tatanan yang baku. Demokrasi modern yang didengung-dengungkan, adalah demokrasi dalam nilai yang paling dasar, yakni kebebasan. Namun kebebasan yang lahir adalah kebebasan yang merusak nilai-nilai kebebasan itu sendiri, karena nilai demokrasi yang dianut adalah sesuatu yang tidak esensial atau fundamental. Kebebasan tanpa nilai, tanpa etika, tanpa kehormatan diri.
Kebebasan dimaknai sebagai bebas yang sebebas-bebasnya. Bebas menafsirkan kebenaran menurut interpretasi dan persepsi masing-masing, tanpa mau mendengar dan melihat dari sisi pandangan lain orang. Sehingga kualitas diskusi bukanlah negosiasi nilai-nilai, melainkan lebih sekedar transaksi berdasarkan pemaksaan antara pihak satu pada pihak lainnya.
Dalam proses-proses pengadilan hukum, kita mendengarkan perdebatan yang riuh-rendah, lebih hanya untuk mencari kebenaran diri-sendiri. Cara akhirnya bukan menjadi sesuatu yang dimuliakan, melainkan tujuanlah yang menjadi target satu-satunya. Target itu harus tercapai, apapun cara yang dipakainya. Itu sebabnya para lawyer hitam, akan memakai cara apapun yang dimungkinkan. Bukan sekedar berdebat wacana, tetapi jika perlu melakukan pemaksaan, baik yang halus maupun kasar.
Hampir sejalan dengan itu, para politikus yang menjadi pemegang peran utama dalam proses perjalanan bangsa dan negara ini, seolah representasi dari kebenaran, karena mereka selalu mengaku mewakili amanat penderitaan rakyat. Alasan itu selalu dipakai sebagai dasar pemikiran, sekali pun lebih sering itu hanyalah sebagai starting point atau justifikasi. Selebihnya, sering tak berkaitan atau bertentangan sama sekali.
Jika dua hal tersebut, lawyer hitam dan politikus busuk bahu-membahu menjadi kekuatan, akan sangat mengerikan hasilnya. Apalagi ketika dua hal tersebut hanya berputar karena alasan yang sama, yakni uang. Dan itu akan menjadi sesuatu yang makin mengerikan, jika ditangkap oleh media (cetak, online, dan televisi), yang melihat hal itu sebagai obyek berita semata, tanpa agenda sama sekali.
Berbagai berita dimunculkan, dan dengan dalil kuno "bad news is best news", akan segera memenuhi atmosfir berfikir suatu masyarakat. Bahwa di dunia ini isinya hanyalah perdebatan atau pertengkaran melulu. Semakin ramai pertengkaran, semakin senang media mengakomodasinya. Bahkan tak jarang, sebuah konflik bisa direkayasa oleh media, karena peristiwa yang lurus dan adem-adem saja tidak akan laku untuk dijual.
Media massa seperti itu, adalah media yang hanya memiliki agenda kepentingan bagi dirinya sendiri, yakni mengejar oplah, rating, atau audiens share, namun sama sekali tak melihat apa residu, polusi atau dampak ikutannya bagai masyarakat yang mayoritas belum terdidik, secara sosial dan politik.
Masyarakat yang belum terdidik ini, tidak cukup memiliki daya imunitas untuk memilih. Bahkan, dalam bawah sadarnya akan terbentuk suatu stigma, bagaimana kenyataan itu bisa terbangun pada otaknya lebih karena ia tidak memiliki perbandingan.
Masyarakat yang tidak imun atau melek media ini, akan mudah diombang-ambingkan, dan secara tidak disadari bersama, akan masuk dalam pusaran arus permasalahan yang sebenarnya sama-sama tidak jelasnya. Maka yang muncul adalah situasi chaostic, kita kehilangan norma, aturan, etika, lebih karena digoda oleh kenyataan-kenyataan imajiner yang disodorkan oleh aktor-aktris media. Lebih buruk lagi jika media ini mengadopsi keyakinan bahwa mereka yang kontroversial itu yang menarik. Maka yang muncul kemudian tentulah hanya kegegap-gempitaan, yang tanpa memberi ruang untuk merenungkan, apa sesungguhnya yang terjadi.
Kita pelan-pelan dididik menjadi bangsa yang lebih suka ribet dengan kasus demi kasus, tanpa ada kewajiban menyelesaikan kasusnya, apalagi mengetahui dasar atau akar permasalahan.
Pelaku media, tentu akan berkilah bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan memilih cara. Namun inti sesungguhnya adalah bahwa media butuh alasan untuk target-target eksistensialnya. Yakni, terutama keuntungan finansial, karena media ini sudah makan investasi yang tinggi. Belum lagi jika owner telah menargetkan bahwa tahun ke sekian harus balik modal. Maka pelaku media menjadi bagian dari mesin-mesin untuk menarik keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Apapun caranya. Tak ada peduli dengan nilai kebangsaan, kenegaraan, atau tumbuhnya kualitas sumberdaya manusia.
Jika suatu masyarakat diteror dengan berita-berita yang negatif, berisi konflik demi konflik tanpa penyelesaian dan pembelajaran, maka masyarakat yang baru mau tumbuh dewasa ini akan (bukan saja terinspirtasi, melainkan) terintimidasi dan meyakini bahwa begitulah sebuah kehidupan harus dibangun. Pikiran-pikiran yang ada ialah mengembalikan kita pada adab rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Kebenaran dibangun oleh sebuah gertakan. Dan kebenaran yang dibangun atas dasar ketakutan pada salah satu pihak, ialah kebenaran yang kehilangan substansi dasarnya, yakni kebenaran yang tidak memberikan kenyamanan atau kedamaian. Kemudian akan muncul konformisme, lebih karena kita menghindari perdebatan, karena berbeda bisa menjadi sesuatu yang menakutkan, bukan lagi rahmat atau berkah seperti selama ini disodor-sodorkan pada kita.
Semua itu terjadi, lebih karena kita memilih pemikiran dan tindakan yang bersifat eksploitatif. Segala sesuatu diperas demi kepentingan diri kita sendiri. Kita sama sekali tak mau tahu, cara berfikir yang eksploratif, karena itu pasti berfikir tentang kemanfaatan bagi dan kepentingan orang di luar diri kita.
Cara berfikir eksploitatif, tentu bertumpu pada kepercayaan pada pragmatisme, aliran yang mengamini bahwa segala sesuatu harus dinilai dari seberapa ia bermanfaat (bagi kita), jika tidak bermanfaat (bagi kita), untuk apa ia dilakukan?
Cara berfikir ini tentu juga bersendi pada filsafat dasarnya, yakni tumbuh atas materialisme yang kita yakini sebagai jalan kebenaran. Dan untuk itu, maka sistem kapitalisme yang akan menuntun pada nilai-nilai kebenaran. Bahwa hidup itu adalah sesuatu yang bersifat progress, dan ukurannya, haruslah eksak bisa dilihat. Harus verbal, harus formal, harus dengan deret ukur yang tampak.
Sementara, kenyataan eksploitatif itu, telah banyak terbuktikan menuntun kita ke arah kebuntuan. Nilai-nilai modernitas, sebagian besar kini menjadi biang persoalan, dan bukan bagian dari penyelesai masalah. Kapitalisme juga akan macet jika mereka tidak mampu menggulirkan distribusi di lingkaran sekitar atau bawahnya. Karena itu, George Soros pada akhirnya menyadari, ia tidak mungkin kaya sendirian, sementara dunia sekitarnya ia hisap habis, karena itu tentu melawan hukum alam yang bernama sirkulasi.
Pancasila dengan nilai substansinya yang disebut Bung Karno sebagai gotong-royong, sesungguhnya adalah jawaban yang tepat untuk itu. Karena tumbuh bersama hanya akan mampu jika muncul pemikiran dan daya hidup yang eksploratif.
Hanya saja, itu semuanya tidak akan muncul, jika politikus busuk masih merajalela, lawyer hitam masih bebas bicara tanpa landasan etik, dan media massa tanpa agenda kemanusiaan masih berkibar karena investasi mereka belum balik.
Dalam sebuah bangsa dan negara yang sedang berproses atau tumbuh, tentu yang kita butuhkan adalah menguatkan nilai-nilai kemuliaan, perbuatan-perbuatan baik dan benar, yang akan menginspirasi dan memotivasi tumbuhnya benih-benih yang sama, yakni makin merebaknya kehidupan yang baik dan benar itu sendiri.
Sejak ambruknya otoritarianisme Orde Baru, dengan nilai-nilai kemutlakannya, kita menjadi bangsa yang riuh-rendah, namun tidak mengenali nilai-nilai keutamaan yang menjadi prioritas atau pondasi dari semuanya.
Reformasi 1998 hanya memberikan kita kebebasan untuk melakukan apa saja, namun seolah tak ada tatanan yang baku. Demokrasi modern yang didengung-dengungkan, adalah demokrasi dalam nilai yang paling dasar, yakni kebebasan. Namun kebebasan yang lahir adalah kebebasan yang merusak nilai-nilai kebebasan itu sendiri, karena nilai demokrasi yang dianut adalah sesuatu yang tidak esensial atau fundamental. Kebebasan tanpa nilai, tanpa etika, tanpa kehormatan diri.
Kebebasan dimaknai sebagai bebas yang sebebas-bebasnya. Bebas menafsirkan kebenaran menurut interpretasi dan persepsi masing-masing, tanpa mau mendengar dan melihat dari sisi pandangan lain orang. Sehingga kualitas diskusi bukanlah negosiasi nilai-nilai, melainkan lebih sekedar transaksi berdasarkan pemaksaan antara pihak satu pada pihak lainnya.
Dalam proses-proses pengadilan hukum, kita mendengarkan perdebatan yang riuh-rendah, lebih hanya untuk mencari kebenaran diri-sendiri. Cara akhirnya bukan menjadi sesuatu yang dimuliakan, melainkan tujuanlah yang menjadi target satu-satunya. Target itu harus tercapai, apapun cara yang dipakainya. Itu sebabnya para lawyer hitam, akan memakai cara apapun yang dimungkinkan. Bukan sekedar berdebat wacana, tetapi jika perlu melakukan pemaksaan, baik yang halus maupun kasar.
Hampir sejalan dengan itu, para politikus yang menjadi pemegang peran utama dalam proses perjalanan bangsa dan negara ini, seolah representasi dari kebenaran, karena mereka selalu mengaku mewakili amanat penderitaan rakyat. Alasan itu selalu dipakai sebagai dasar pemikiran, sekali pun lebih sering itu hanyalah sebagai starting point atau justifikasi. Selebihnya, sering tak berkaitan atau bertentangan sama sekali.
Jika dua hal tersebut, lawyer hitam dan politikus busuk bahu-membahu menjadi kekuatan, akan sangat mengerikan hasilnya. Apalagi ketika dua hal tersebut hanya berputar karena alasan yang sama, yakni uang. Dan itu akan menjadi sesuatu yang makin mengerikan, jika ditangkap oleh media (cetak, online, dan televisi), yang melihat hal itu sebagai obyek berita semata, tanpa agenda sama sekali.
Berbagai berita dimunculkan, dan dengan dalil kuno "bad news is best news", akan segera memenuhi atmosfir berfikir suatu masyarakat. Bahwa di dunia ini isinya hanyalah perdebatan atau pertengkaran melulu. Semakin ramai pertengkaran, semakin senang media mengakomodasinya. Bahkan tak jarang, sebuah konflik bisa direkayasa oleh media, karena peristiwa yang lurus dan adem-adem saja tidak akan laku untuk dijual.
Media massa seperti itu, adalah media yang hanya memiliki agenda kepentingan bagi dirinya sendiri, yakni mengejar oplah, rating, atau audiens share, namun sama sekali tak melihat apa residu, polusi atau dampak ikutannya bagai masyarakat yang mayoritas belum terdidik, secara sosial dan politik.
Masyarakat yang belum terdidik ini, tidak cukup memiliki daya imunitas untuk memilih. Bahkan, dalam bawah sadarnya akan terbentuk suatu stigma, bagaimana kenyataan itu bisa terbangun pada otaknya lebih karena ia tidak memiliki perbandingan.
Masyarakat yang tidak imun atau melek media ini, akan mudah diombang-ambingkan, dan secara tidak disadari bersama, akan masuk dalam pusaran arus permasalahan yang sebenarnya sama-sama tidak jelasnya. Maka yang muncul adalah situasi chaostic, kita kehilangan norma, aturan, etika, lebih karena digoda oleh kenyataan-kenyataan imajiner yang disodorkan oleh aktor-aktris media. Lebih buruk lagi jika media ini mengadopsi keyakinan bahwa mereka yang kontroversial itu yang menarik. Maka yang muncul kemudian tentulah hanya kegegap-gempitaan, yang tanpa memberi ruang untuk merenungkan, apa sesungguhnya yang terjadi.
Kita pelan-pelan dididik menjadi bangsa yang lebih suka ribet dengan kasus demi kasus, tanpa ada kewajiban menyelesaikan kasusnya, apalagi mengetahui dasar atau akar permasalahan.
Pelaku media, tentu akan berkilah bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan memilih cara. Namun inti sesungguhnya adalah bahwa media butuh alasan untuk target-target eksistensialnya. Yakni, terutama keuntungan finansial, karena media ini sudah makan investasi yang tinggi. Belum lagi jika owner telah menargetkan bahwa tahun ke sekian harus balik modal. Maka pelaku media menjadi bagian dari mesin-mesin untuk menarik keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Apapun caranya. Tak ada peduli dengan nilai kebangsaan, kenegaraan, atau tumbuhnya kualitas sumberdaya manusia.
Jika suatu masyarakat diteror dengan berita-berita yang negatif, berisi konflik demi konflik tanpa penyelesaian dan pembelajaran, maka masyarakat yang baru mau tumbuh dewasa ini akan (bukan saja terinspirtasi, melainkan) terintimidasi dan meyakini bahwa begitulah sebuah kehidupan harus dibangun. Pikiran-pikiran yang ada ialah mengembalikan kita pada adab rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Kebenaran dibangun oleh sebuah gertakan. Dan kebenaran yang dibangun atas dasar ketakutan pada salah satu pihak, ialah kebenaran yang kehilangan substansi dasarnya, yakni kebenaran yang tidak memberikan kenyamanan atau kedamaian. Kemudian akan muncul konformisme, lebih karena kita menghindari perdebatan, karena berbeda bisa menjadi sesuatu yang menakutkan, bukan lagi rahmat atau berkah seperti selama ini disodor-sodorkan pada kita.
Semua itu terjadi, lebih karena kita memilih pemikiran dan tindakan yang bersifat eksploitatif. Segala sesuatu diperas demi kepentingan diri kita sendiri. Kita sama sekali tak mau tahu, cara berfikir yang eksploratif, karena itu pasti berfikir tentang kemanfaatan bagi dan kepentingan orang di luar diri kita.
Cara berfikir eksploitatif, tentu bertumpu pada kepercayaan pada pragmatisme, aliran yang mengamini bahwa segala sesuatu harus dinilai dari seberapa ia bermanfaat (bagi kita), jika tidak bermanfaat (bagi kita), untuk apa ia dilakukan?
Cara berfikir ini tentu juga bersendi pada filsafat dasarnya, yakni tumbuh atas materialisme yang kita yakini sebagai jalan kebenaran. Dan untuk itu, maka sistem kapitalisme yang akan menuntun pada nilai-nilai kebenaran. Bahwa hidup itu adalah sesuatu yang bersifat progress, dan ukurannya, haruslah eksak bisa dilihat. Harus verbal, harus formal, harus dengan deret ukur yang tampak.
Sementara, kenyataan eksploitatif itu, telah banyak terbuktikan menuntun kita ke arah kebuntuan. Nilai-nilai modernitas, sebagian besar kini menjadi biang persoalan, dan bukan bagian dari penyelesai masalah. Kapitalisme juga akan macet jika mereka tidak mampu menggulirkan distribusi di lingkaran sekitar atau bawahnya. Karena itu, George Soros pada akhirnya menyadari, ia tidak mungkin kaya sendirian, sementara dunia sekitarnya ia hisap habis, karena itu tentu melawan hukum alam yang bernama sirkulasi.
Pancasila dengan nilai substansinya yang disebut Bung Karno sebagai gotong-royong, sesungguhnya adalah jawaban yang tepat untuk itu. Karena tumbuh bersama hanya akan mampu jika muncul pemikiran dan daya hidup yang eksploratif.
Hanya saja, itu semuanya tidak akan muncul, jika politikus busuk masih merajalela, lawyer hitam masih bebas bicara tanpa landasan etik, dan media massa tanpa agenda kemanusiaan masih berkibar karena investasi mereka belum balik.
Airmata Kristal dari Jiwa yang Palsu
Oleh Sunardian Wirodono
Belum lama ini, kita dihebohkan oleh Tina Agustini, seorang perempuan dari Sumedang (Jawa Barat), yang konon jika menangis bisa mengeluarkan airmata berbentuk kristal, mirip intan atau mutiara. Munculnya airmata kristal itu, konon pula, sudah terjadi sejak setahun lalu. Kepada siapa pun, Tina menantang, “Kalau ada orang yang tidak percaya, terserah saja!”
Dan akibat blow up mengenai airmata ajaib itu, banyak orang datang berobat padanya. Persis seperti kasus Ponari (Jawa Timur) dulu, dalam "keajaiban" yang lain.
Untuk membuktikan kebenarannya, Tina menunjukkan seratusan lebih butiran berlian itu kepada (lagi-lagi) media tentu saja. Media yang butuh sensasi (sebagai bagian dari kompetisi yang tidak sehat), memang membutuhkan berita yang lain dari yang lain untuk bisa mengumpulkan rating.
"Itulah bukti kebesaran Tuhan,..." begitu komat-kamit orang yang makin dibuihkan oleh media (terutama televisi).
Namun kemudian kenyataan berkata lain. Airmata mutiara itu ternyata rekayasa alias aspal, asli seasli-aslinya palsu. Modus Tina, sesungguhnya bukan baru, karena di Timur Tengah (saya lupa beritanya, apakah Hasnah Mohamed Meselmani, 12 tahun, dari Lebanon?), pernah pula terjadi penipuan serupa. Namun apakah dengan demikian, jika kejadian ajaib itu ternyata palsu, maka bukti kebesaran Tuhan juga palsu? Tentu tidak. Yang palsu adalah yang berulah palsu. Yang kerdil adalah yang berulah kerdil.
Kenapa berlian dianggap luar biasa dan berharga? Karena bentuknya yang kecil namun mampu memantulkan cahaya, berkilau. Berlian adalah perwujudan keindahan, sebuah nilai. Dan berlian dinilai berdasarkan beberapa kriteria, diantaranya karena potongannya (cut) yang membentuk lekuk-likunya. Karena lekuk-likunyalah ia mampu memantulkan bias cahaya. Maka semakin banyak cut, semakin berkilau dia. Semakin rumit sudut-sudutnya, semakin ia secara otomatis mampu membiaskan cahaya dari berbagai sudut dan rona.
Demikian juga sesungguhnya dengan manusia. Semakin banyak dia diasah dengan menyelesaikan permasalahan, semakin berkilau dia. Maka, setiap permasalahan yang menimpa kita, sesungguhnya bukanlah malapetaka. Karena setiap permasalahan itu, ialah sebuah cuting yang akan menjadikan kita pribadi yang siap. Pribadi yang bukan hanya siap menyerap cahaya, melainkan juga memantulkannya. Pribadi yang tidak hanya akan menyedot kesedihan, melainkan juga menguraikan kesedihan itu menjadi cahaya kebijaksanaan. Dan itulah yang akan menjadikan kita lebih cemerlang, sehingga mampu dan siap menerangi ruang yang lebih besar. Karenanya, manusia yang berkilau bagai kristal adalah karena ia kristalisasi dari berbagai penderitaan dan pengetahuan, yang memunculkan perikebijaksanaan atau kearifan.
Apa yang dilakukan oleh para penipu, dengan berlian palsu, hanyalah juga sinaran yang palsu. Sekali pun rahasia itu tak pernah ketahuan, tidak berarti keberuntungan yang akan diraihnya, karena justeru ia sedang menggali lubang kesengsaraan yang semakin dalam. Dan apa yang dilakukan oleh Tina Agustini, bukan satu-satunya sesungguhnya. Karena di banyak tempat, dengan segala rupa, kita sering dapati airmata berlian palsu, entah itu menetes dari para pejabat negara yang korup, dari politikus busuk, dari televisi yang penuh penghiburan, dari calon presiden yang tiba-tiba bagai nabi,...
Kita mungkin mengatakan, hanya orang bodoh rasanya, yang mau melakukan sebuah pekerjaan dengan taruhan nyawa tanpa bayaran, tanpa popularitas, atau bahkan tanpa selembar sertifikat, atau transaksi politik. Namun kita nanti akan sadar, bahwa dalam praksis politik yang remeh, akan ada seorang Ketua Dewan Pembina partai yang tiba-tiba terlihat bodoh, karena merasa sudah menyelesaikan masalah dengan menyodorkan kontrak politik.
Itulah sebabnya, kita tidak pernah berani mengatakan hal sama tersebut, jika orang yang melakukan itu bernama ibu, ibu kita, ibu Anda dan ibu saya. Ibu yang mengandung, yang melahirkan, kita. Yang mempertaruhkan nyawa dan urusannya sendiri, untuk kita, anaknya. Ia melakukan untuk kita tanpa reserve. Tanpa perlu mengeluarkan surat kontrak politik dan sejenisnya. Dan kita tak pernah berani mengatakan itu sesuatu yang tolol.
Padahal, sertifikat yang keluar pun, bukan atas nama dirinya, tetapi atas nama kita, anak yang dilahirkannya. Itulah ibu, yang kadang dibenci anaknya, karena selalu melakukan hal yang tidak populer. Mungkin sampai perlu memarahi, mencubit, hanya karena khawatir kelak anaknya akan jadi pribadi yang bangkrut, atau pecundang.
Kita sering mudah ditipu oleh yang tampak.
Belum lama ini, kita dihebohkan oleh Tina Agustini, seorang perempuan dari Sumedang (Jawa Barat), yang konon jika menangis bisa mengeluarkan airmata berbentuk kristal, mirip intan atau mutiara. Munculnya airmata kristal itu, konon pula, sudah terjadi sejak setahun lalu. Kepada siapa pun, Tina menantang, “Kalau ada orang yang tidak percaya, terserah saja!”
Dan akibat blow up mengenai airmata ajaib itu, banyak orang datang berobat padanya. Persis seperti kasus Ponari (Jawa Timur) dulu, dalam "keajaiban" yang lain.
Untuk membuktikan kebenarannya, Tina menunjukkan seratusan lebih butiran berlian itu kepada (lagi-lagi) media tentu saja. Media yang butuh sensasi (sebagai bagian dari kompetisi yang tidak sehat), memang membutuhkan berita yang lain dari yang lain untuk bisa mengumpulkan rating.
"Itulah bukti kebesaran Tuhan,..." begitu komat-kamit orang yang makin dibuihkan oleh media (terutama televisi).
Namun kemudian kenyataan berkata lain. Airmata mutiara itu ternyata rekayasa alias aspal, asli seasli-aslinya palsu. Modus Tina, sesungguhnya bukan baru, karena di Timur Tengah (saya lupa beritanya, apakah Hasnah Mohamed Meselmani, 12 tahun, dari Lebanon?), pernah pula terjadi penipuan serupa. Namun apakah dengan demikian, jika kejadian ajaib itu ternyata palsu, maka bukti kebesaran Tuhan juga palsu? Tentu tidak. Yang palsu adalah yang berulah palsu. Yang kerdil adalah yang berulah kerdil.
Kenapa berlian dianggap luar biasa dan berharga? Karena bentuknya yang kecil namun mampu memantulkan cahaya, berkilau. Berlian adalah perwujudan keindahan, sebuah nilai. Dan berlian dinilai berdasarkan beberapa kriteria, diantaranya karena potongannya (cut) yang membentuk lekuk-likunya. Karena lekuk-likunyalah ia mampu memantulkan bias cahaya. Maka semakin banyak cut, semakin berkilau dia. Semakin rumit sudut-sudutnya, semakin ia secara otomatis mampu membiaskan cahaya dari berbagai sudut dan rona.
Demikian juga sesungguhnya dengan manusia. Semakin banyak dia diasah dengan menyelesaikan permasalahan, semakin berkilau dia. Maka, setiap permasalahan yang menimpa kita, sesungguhnya bukanlah malapetaka. Karena setiap permasalahan itu, ialah sebuah cuting yang akan menjadikan kita pribadi yang siap. Pribadi yang bukan hanya siap menyerap cahaya, melainkan juga memantulkannya. Pribadi yang tidak hanya akan menyedot kesedihan, melainkan juga menguraikan kesedihan itu menjadi cahaya kebijaksanaan. Dan itulah yang akan menjadikan kita lebih cemerlang, sehingga mampu dan siap menerangi ruang yang lebih besar. Karenanya, manusia yang berkilau bagai kristal adalah karena ia kristalisasi dari berbagai penderitaan dan pengetahuan, yang memunculkan perikebijaksanaan atau kearifan.
Apa yang dilakukan oleh para penipu, dengan berlian palsu, hanyalah juga sinaran yang palsu. Sekali pun rahasia itu tak pernah ketahuan, tidak berarti keberuntungan yang akan diraihnya, karena justeru ia sedang menggali lubang kesengsaraan yang semakin dalam. Dan apa yang dilakukan oleh Tina Agustini, bukan satu-satunya sesungguhnya. Karena di banyak tempat, dengan segala rupa, kita sering dapati airmata berlian palsu, entah itu menetes dari para pejabat negara yang korup, dari politikus busuk, dari televisi yang penuh penghiburan, dari calon presiden yang tiba-tiba bagai nabi,...
Kita mungkin mengatakan, hanya orang bodoh rasanya, yang mau melakukan sebuah pekerjaan dengan taruhan nyawa tanpa bayaran, tanpa popularitas, atau bahkan tanpa selembar sertifikat, atau transaksi politik. Namun kita nanti akan sadar, bahwa dalam praksis politik yang remeh, akan ada seorang Ketua Dewan Pembina partai yang tiba-tiba terlihat bodoh, karena merasa sudah menyelesaikan masalah dengan menyodorkan kontrak politik.
Itulah sebabnya, kita tidak pernah berani mengatakan hal sama tersebut, jika orang yang melakukan itu bernama ibu, ibu kita, ibu Anda dan ibu saya. Ibu yang mengandung, yang melahirkan, kita. Yang mempertaruhkan nyawa dan urusannya sendiri, untuk kita, anaknya. Ia melakukan untuk kita tanpa reserve. Tanpa perlu mengeluarkan surat kontrak politik dan sejenisnya. Dan kita tak pernah berani mengatakan itu sesuatu yang tolol.
Padahal, sertifikat yang keluar pun, bukan atas nama dirinya, tetapi atas nama kita, anak yang dilahirkannya. Itulah ibu, yang kadang dibenci anaknya, karena selalu melakukan hal yang tidak populer. Mungkin sampai perlu memarahi, mencubit, hanya karena khawatir kelak anaknya akan jadi pribadi yang bangkrut, atau pecundang.
Kita sering mudah ditipu oleh yang tampak.
Selasa, Juni 12, 2012
Mempelajari Ulang Ajakan Michael Jackson
Beberapa lagu terbaik Michael Jackson, bukan hanya mengisahkan tentang cinta. Seperti layaknya lagu-lagu hits lain, syair lagu Jacko berisi pesan tentang semangat, inspirasi dan motivasi untuk sukses, serta ajakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan.
Heal The world, misalnya, make it a better place. Bagaimana ia mengajak kita membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Mengajak dunia untuk peduli dengan keadaan alam sekitar dan penderitaan orang lain. Dan perubahan yang lebih baik, dimulai dari diri sendiri.
You Are Not Alone, kata Jacko. I am here with you. Sesungguhnyalah, kita tak pernah sendirian. Ada orang lain, ada sesuatu di luar diri kita. Ia bisa keajaiban itu sendiri, Tuhan itu sendiri, atau representasi Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Nilai itu yang akan memberikan semangat bagi orang-orang yang sedang dilanda duka dan kesedihan. Kita tidak pernah sendirian, karena ada orang-orang yang mencintai dan mengasihi kita.
Karena itu, teriak Jacko dalam We are the world, "We are the ones who make a brighter day!" Bahwa kami, atau kitalah, yang membuat hari-hari ini cerah. Siapa lagi? Harus menunggu orang lain? Kapan lagi? Setelah semuanya terlambat? Kita ingin sudahi kebusukan itu sekarang. Tak ada peperangan, atau kekerasan dan intimidasi dari satu ke lainnya.
Dan itu tidak masalah, adakah engkau dari ini dan itu, dari yang hitam atau yang putih, sebagaimana dinyanyikannya dalam Black or White. It don't matter if your're black or white. Kita tidak semestinya memandang orang berdasarkan warna kulit, suku, agama, dan perbedaan lainnya. Karena ajaran-ajaran kemuliaan juga memberitahukan kita; Bukan atas kekayaan, kepandaian, ketampanan, melainkan apa amal perbuatanmu!
"Did you ever stop to notice, the crying earth the weeping shores?" bertanya Jacko dalam lagu Earth Song. Apakah kita akan biarkan bumi ini berduka dan semuanya akan sirna? When you're not on stop, kata Jacko kemudian dalam lagunya Don't Let it Get You Down. Jangan biarkan semuanya hancur-hancuran. Kita tidak boleh mudah menyerah untuk meraih impian dalam hidup ini. Dan dalam lagu Man in The Mirror, Jacko menasehati kita, untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik itu, ialah memulai dari diri sendiri. Take a look at yourself, and then make a change. Apakah bisa? Bisa, dalam lagu Ben kita tahu, bahwa setiap orang memiliki sisi positif. Jangan hanya melihat seseorang dari segi negatifnya saja.
Makanya, Be a Lion. I am standing strong and tall! You're the braves of them all! Kita tidak perlu takut menghadapi segala cobaan hidup. Kita mesti memiliki keberanian layaknya seekor singa.
Dalam lagu Keep The Faith, Michael Jackson lebih tegas lagi, "believe in yourself. No matter what it's gonna take. You can be a winner,..." Ini lagu tentang integritas dan jiwa optimis yang mesti dibangun. Percaya pada diri sendiri. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Anda dapat menjadi pemenang.
Heal The world, misalnya, make it a better place. Bagaimana ia mengajak kita membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Mengajak dunia untuk peduli dengan keadaan alam sekitar dan penderitaan orang lain. Dan perubahan yang lebih baik, dimulai dari diri sendiri.
You Are Not Alone, kata Jacko. I am here with you. Sesungguhnyalah, kita tak pernah sendirian. Ada orang lain, ada sesuatu di luar diri kita. Ia bisa keajaiban itu sendiri, Tuhan itu sendiri, atau representasi Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Nilai itu yang akan memberikan semangat bagi orang-orang yang sedang dilanda duka dan kesedihan. Kita tidak pernah sendirian, karena ada orang-orang yang mencintai dan mengasihi kita.
Karena itu, teriak Jacko dalam We are the world, "We are the ones who make a brighter day!" Bahwa kami, atau kitalah, yang membuat hari-hari ini cerah. Siapa lagi? Harus menunggu orang lain? Kapan lagi? Setelah semuanya terlambat? Kita ingin sudahi kebusukan itu sekarang. Tak ada peperangan, atau kekerasan dan intimidasi dari satu ke lainnya.
Dan itu tidak masalah, adakah engkau dari ini dan itu, dari yang hitam atau yang putih, sebagaimana dinyanyikannya dalam Black or White. It don't matter if your're black or white. Kita tidak semestinya memandang orang berdasarkan warna kulit, suku, agama, dan perbedaan lainnya. Karena ajaran-ajaran kemuliaan juga memberitahukan kita; Bukan atas kekayaan, kepandaian, ketampanan, melainkan apa amal perbuatanmu!
"Did you ever stop to notice, the crying earth the weeping shores?" bertanya Jacko dalam lagu Earth Song. Apakah kita akan biarkan bumi ini berduka dan semuanya akan sirna? When you're not on stop, kata Jacko kemudian dalam lagunya Don't Let it Get You Down. Jangan biarkan semuanya hancur-hancuran. Kita tidak boleh mudah menyerah untuk meraih impian dalam hidup ini. Dan dalam lagu Man in The Mirror, Jacko menasehati kita, untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik itu, ialah memulai dari diri sendiri. Take a look at yourself, and then make a change. Apakah bisa? Bisa, dalam lagu Ben kita tahu, bahwa setiap orang memiliki sisi positif. Jangan hanya melihat seseorang dari segi negatifnya saja.
Makanya, Be a Lion. I am standing strong and tall! You're the braves of them all! Kita tidak perlu takut menghadapi segala cobaan hidup. Kita mesti memiliki keberanian layaknya seekor singa.
Dalam lagu Keep The Faith, Michael Jackson lebih tegas lagi, "believe in yourself. No matter what it's gonna take. You can be a winner,..." Ini lagu tentang integritas dan jiwa optimis yang mesti dibangun. Percaya pada diri sendiri. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Anda dapat menjadi pemenang.
Film Pertama Usmar Ismail: Sebuah Pengakuan
Saya masih ingat pertunjukan perdana di Istana Negara buat film Perfini yang pertama "Darah dan Doa" atau "The Long March". Kalau tidak salah, itu adalah pertengahan tahun 1950 dan Presiden Sukarno barulah beberapa bulan menempati Istana Merdeka.
"Darah dan Doa", mungkin adalah film Indonesia yang pertama yang mendapat kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung Karno yang baru. Peristiwa itu adalah film Indonesia yang pertama yang mendapat kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung Karno yang baru. Peristiwa itu adalah suatu hal yang sukar saya lupakan, karena buat saya, itulah pertama kali, film yang saya sutradarai akan dinilai oleh banyak pemuka-pemuka Bangsa (Note: waktu itu usia Usmar Ismail 29 tahun, sw).
Sebelumnya saya telah membuat dua buah film untuk maskapaj (perusahaan, sw) Belanda "South Pacific Film Corporation", yaitu film "Harta Karun" berdasarkan karangan Moliere, "Si Bachil" dan "Tjitra" menurut sebuah lakon sandiwara yang saya tulis pada tahun 1943. Tetapi saya dapat mengatakan, bahwa kedua film itu adalah bukan film saya, karena pada waktu penulisan dan pembuatannya saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk yang selalu saya setujui dari pihak produser.
Meskipun "Tjitra" mendapat sambutan yang baik dari pihak pers, terus-terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi saya.
Karena itu saya lebih senang menganggap "Darah dan Doa" sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan dengan tanggungjawab sendiri. Hati saya berdebar-debar dalam pertunjukan perdana di Istana Negara itu, karena perasaan saya sangat tertekan memperhatikan adegan demi adegan tersorot di layar putih.
Ada-ada saja kesalahan yang saya lihat. Teranglah teknis film itu lebih buruk dari film-film "Harta Karun" dan "Tjitra", karena dikerjakan dengan peralatan yang jauh lebih primitif dan dengan jumlah orang yang lebih sedikit.
Film "Darah dan Doa" dibuat berdasarkan sebuah cerita Sitor Situmorang dan dimaksudkan sebagai suatu film yang berambisi besar, artinya sebagai film pertama tentang Revolusi Indonesia secara fisik yang baru saja selesai, film itu banyak maunya. Kalau dapat rasanya hendak dirangkul seluruh kejadian-kejadian besar yang baru saja berlangsung itu dalam film yang sempurna. Mungkin saya salah perhitungan, karena saya lebih banyak hanya dipimpin oleh semangat yang meluap-luap. Tetapi tanpa semangat yang meluap, film itu tidak akan pernah terjadi dan barangkali Perfini (Perusahaan Film Indonesia, perusahaan yang digagas oleh Usmar Ismail sejak di Yogyakarta pada 1949, sw) sebagai perusahaan tidak pernah pula akan bangun.
Waktu Sitor datang kepada saya dengan beberapa halaman cerita yang mengisahkan pengalaman seorang perwira Tentara Nasional Indonesia dalam mars yang bersejarah dari Timur ke Barat pulau Jawa, yang kemudian disebut menurut pengalaman Tentara Merah Tiongkok "The Long March", saya dengan segera tertarik kepada cerita itu.
Sejak ada berita-berita bahwa kedaulatan akan dipulihkan beberapa kawan dari Multifilm sudah saya ajak omong-omong tentang kemungkinan mendirikan suatu usaha sendiri. Yang sukar adalah modal dan peralatan. Sebelumnya saya sudah beberapa kali mendekati Mr. Sjamsuddin almarhum yang pada waktu itu menjabat Menteri Penerangan R.I., tentang kemungkinan memakai alat-alat bekas Multifilm, dengan suatu sikap tegas, bahwa saya tidak mau jadi pegawai Pemerintah. Saya ingin membuat film atas tanggungjawab sendiri. Mr. Sjamsuddin pada prinsipnya tidak keberatan dan atas dasar kesediaan itu kami berkumpul, antara lain dari bekas Multifilm HB Angin, Nawi Ismail, Max Tera dan beberapa yang lain, sedang dari Yogya datang kawan-kawan seperti Suryo Sumanto, Naziruddin Naib, dan Basuki Resobowo.
Tetapi pada saat terakhir, sesudah terbentuknya Perusahaan Film Negara, yang meneruskan pembuatan film-film cerita di bawah penyutradaraan bekas seorang letnan Belanda, angin dan Nawi merasa lebih aman untuk tetap tinggal di PFN. Saya tidak dapat menyalahkan mereka, karena dalam usaha baru yang hendak didirikan itu belumlah sama sekali kelihatan perspektif masa depan yang terang. Sampai waktu itu baru terkumpul uang Rp 30.000, uang pesangon sebagai berkas anggota-anggota TNI. Separoh antaranya dengan segera dibayarkan kepada PFN sebagai persekot, sewa studio, hingga waktu akan mulai produksi uang tinggal kurang lebih Rp 12.500. Meskipun nilai uang pada waktu itu masih rada lumayan, tetapi mengingat ongkos produksi film terakhir yang saya buat untuk "South Pacific" 67.500 Gulden (Belanda, sw), maka masih harus dicarikan tambahan banyak, dikirakan Rp 15.000.
Kendati pun demikian, dibuatlah suatu firma pada 30 Maret 1950 dan para hari itu juga saya berangkat ke daerah Subang untuk melakukan opname pertama. Tergesa-gesanya pembuatan akte notaris itu juga disebabkan karena oleh beberapa finansir telah disanggupi persekot Rp 100.000, malahan sudah akan diterimakan. Tetapi momok campur tangan orang lain yang tak mengerti sama sekali kepada cita-cita pembuatan film itu telah menggagalkan utang-piutang tersebut.
Shooting di Purwakarta | Baiklah saya kembali sebentar kepada persiapan-persiapan yang sementara telah dikerjakan di bidang kreatif pembuatan "Darah dan Doa".
Pada hakekatnya yang sudah punya pengalaman di bidang pembuatan film cerita hanyalah saudara Max Tera (kameraman) dan saya. Saudara Sjawal Muchtaruddin (sound-man) hanya punya pengalaman di radio, Basuki Resobowo (art-director) di atas panggung.
Kami telah mengadakan beberapa test-shooting dengan saudara Rendra Karno (waktu itu masih memakai nama Sukarno) di daerah hutan Ancol, tetapi sebagai orang baru yang penuh ambisi saya belum puas dengan hasil test itu. Saya ingin muka-muka baru dengan bakat-bakat yang segar, maka dipasanglah adpertensi di koran untuk mencari pemain-pemain. Dari beberapa ratus orang yang melamar, terpilih kurang lebih duapuluh orang pria dan wanita. Terbanyak pemuda-pemuda yang masih duduk di bangku sekolah, antaranya yang kemudian memegang peranan dalam film itu Del Juzar (sekarang SH), Sutjipto (sekarang Drs), Awaluddin (sekarang Drs., polisi), Aedy Mowardi (sekarang ahli imigrasi). Yang lain sekarang sudah punya nama di bidangnya masing-masing antara lain Trisnojuwono, Wisjnu Mouradi dan beberapa orang yang sekarang sudah jadi perwira pada angkatan bersenjata.
Mereka yang terpilih mendapat latihan dasar-dasar berperan di Gedung Kesenian selama beberapa minggu.
Demikianlah dengan sebuah kamera Akeley yang telah puluhan tahun umurnya dengan menyewa sebuah opelet rongsokan rombongan menuju ke Purwakarta. Sebelum, telah di urus ke sana saudara Sumanto untuk menghadap Overste Sambas yang pada waktu itu menjabat komandan resimen. Tetapi tidak bisa kembali untuk melaporkan hasil-hasil pembicaraannya karena kehabisan uang belanja.
Sebelum itu saya juga sudah pergi menghadap panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin ke Bandung untuk memohon bantuan pihak tentara dan pada prinsipnya disetujui. Tetapi sampai di Purwakarta semuanya harus dibicarakan ulang dengan Overste Sambas yang syukur saja mempunyai sikap yang luwes. Akhirnya kami diserahkan kepada Mayor Supardjo untuk mendapat bantuan di daerah Subang.
Semua rombongan menginap di sebuah pesanggrahan dan mulailah suatu cara kerja yang hingga saat ini masih sangat menakjubkan saya karena keistimewaannya. Pergi shooting dengan tiada cukup uang dan dengan persiapan yang kurang sekali, pada galibnya pastilah akan mengakibatkan malapetaka.
Tiap malam sehabis kerja, saya mengetik skrip buat esok harinya, berdasarkan cerita Sitor Situ8morang yang beberapa helai. Beberapa kawan yang turut dari Jakarta, sebagai peninjau antara lain saudara-saudara Asrul Sani dan Rivai Apin cuma geleng-geleng kepala saja. Memanglah, membuat film pada waktu itu masih dianggap sesuatu yang aneh dan banyak kawan-kawan yang ingin tahu, bagaimana saya sanggup menyelesaikan tugas itu.
Tetapi ada sesuatu yang menolong, yang pada waktu ini tak akan bisa lagi dialami, yaitu bahwa cetakan percontohan (rush prints) dengan segera dapat diselesaikan di PFN., dan terus dikirimkan kembali ke tempat lokasi untuk dilihat. Sementara saya menulis skrip, saudara Max Tera dan Djohan Sjafri menyelenggarakan montage film "Darah dan Doa" dan dari sehari ke sehari dapatlah diikuti pertumbuhan cerita itu.
Gadis Tunggal di Tengah Rombongan | Pada suatu hari, sesudah percobaan pemutaran montage kasar (editing offline, istilah anak sekarang, sw) itu, saya didatangi saudara Tong, pemilik bioskop. Ia memuji dan bertanya apakah sudah ada yang akan mengedarkan film itu. Sungguh mati, sampai saat itu, belum terpikir sedikitpun tentang peredarannya. Dan tawaran saudara Tong yang punya kantor peredaran di Jakarta telah saya terima dengan baik, apalagi sesudah dia menyatakan kesediaannya pula untuk memberikan persekot guna menyelesaikan film itu.
Hutang sudah bertumpuk, pesanggrahan sudah agak lama belum dibayar, para pemain mulai menggerutu, maka tawaran saudara Tong itu, sesungguhnya datang seperti pucuk dicinta ulam tiba. Bahwa perusahaan baru itu kemudian akan terlibat dalam semacam sistem ijon, pada waktu itu belum terpikir. Pokoknya produksi dapat diselesaikan.
Sesudah masuk ke studio di Jakarta, ternyata banyak adegan yang tak bisa dipakai karena ceritanya tak jalan. Diadakan lagi perombakan dan shooting tambahan, sampai-sampai menerobos ke lereng Gunung Lawu, kemudian pindah lagi ke lereng Gunung Gede untuk akhirnya terhampar ke pinggir Kali Citarum.
Untunglah pada waktu itu segala bantuan, baik dari pihak sipil maupun militer, diberikan dengan spontan dan,... cuma-cuma (sekarang situasinya agak lain). Untung pula di mana-mana berjumpa teman-teman lama dari ketentaraan (Usmar Ismail pernah tergabung dalam kesatuan TNI waktu perang kemerdekaan, sw). Salah seorang penaseghat tentara yang selalu turut dengan rombongan kami adalah kapten-dokter Sadono. Jasa-jasanya tidak mudah dilupakan. Amat terasa sekali kekurangan kemahiran dalam menghadapi persoalan-persoalan cinematografis, yaitu mencarikan penyelesaian visual yang efektif untuk suatu problema dramatis. Terasa ada, tetapi dalam pelaksanaan banyak kali luput.
Di samping itu ada lagi kesulitan-kesulitan tenaga yang memang belum punya pengalaman dan jumlahnya pun sedikit.
Saya masih ingat, bagaimana kami harus merangkap berbagai-bagai jabatan. Saya sendiri, selain dari produser-sutradara-penulis skenario, seringkali harus menjadi sopir, kuli angkut, make up man, pencatat skrip, assisten sendiri.
Sekarang rasanya tidak sanggup mengulangi kembali semua pengalaman itu. Banyak cerita-cerita nyata (anekdote) dapat saya kisahkan, cerita-cerita lucu, tetapi juga cerita-cerita sedih, pengalaman-pengalaman perseorangan, tetapi juga pengalaman secara rombongan.
Yang turut dengan rombongan hanyalah seorang gadis, di antara begitu banyak pemuda. Buat peranan wanita turut main seorang gadis Kalimantan namanya Farida. Hidungnya tidak mancung, tetapi matanya yang besar dan sendu menguasai seluruh air mukanya. Tidak mengherankan, beberapa pemuda dalam rombongan itu, lambat laun memberikan perhatian istimewa kepada Farida. Hal itu menimbulkan sedikit banyak pergeseran antara mereka. Seperti halnya dalam film, biasanya yang menang dalam perlombaan demikian adalah peran utama. Untunglah segala-galanya tidak mengakibatkan ekor yang lebih panjang dari masa shooting itu saja. Lagi pula gadis manis itu sudah ada yang punya.
Kesulitan dengan Pemain | Salah satu kesalahan saya sebagai orang baru ialah bahwa saya ingin segala-galanya autentiek, seperti aslinya dan di tempat aslinya. Tambah-tambah lagi para penasehat saya yang resmi dan tidak resmi juga mendorong saya, supaya jangan menyimpang dari kejadian-kejadian yang sebenarnya. Hanyalah, perlahan-lahan saya mengerti, bahwa film itu adalah betul-betul seni "make believe", membuat orang percaya tentang sesuatu, membuat kenyataan baru dari yang ada. Karena, banyak kali yang dibuat di tempat lain atau studio misalnya, lebih meyakinkan dari jika dibuat di tempat asalnya.
Di atas panggung sudah pengalaman saya mengendalikan pemain-pemain amatir, tetapi belum pernah saya menjumpai kesukaran yang lebih besar seperti pada film saya yang pertama itu. Seorang pemain pria amat perlente. Rambutnya tidak boleh kusut dan bajunya harus tetap bersih, meski pun dalam cerita dia harus kelihatan kumal, karena baru saja kembali dari pertempuran.
Pemain yang lain dengan kepala batu mengemukakan konsepsinya tentang peranan yang dijalankan, meski pun sudah berkali-kali diberi keterangan, bahwa dia seharusnya menginterpretasikan secara kreatif apa yang dimaksud oleh si pengarang, bukannya membikin kreasi sendiri.
Jawabn "tetapi saya merasakan lain" seringkali nkedengaran dalam pembahasan peranan-peranan. Berlainan dengan pemain profesional, kebanyakan pemain-pemain amatir dalam "Darah dan Doa" takut sekali akan over-acting, suatu hal yang memang sejalan dengan pendapat saya waktu itu.
Sesudah lebih banyak pengalaman dalam penyutradaraan, saya kemudian tahu, bahwa bermain kurang dari semestinya, under-acting, tidaklah selalu cocok dengan semua peranan. Kadang-kadang suatu peranan justeru mengharuskan over-acting.
Film pertama yang saya buat dengan tidak terikat kepada siapapun itu, memberikan pula kepada saya pelajaran, bahwa meskipun kita adalah majikan kita sendiri, tidaklah dengan sendirinya kita dapat berbuat sekehendak hati kita, karena masih banyak lagi ikatan-ikatan yang lain, seperti terbatasnya modal, peralatan, kemampuan, dan lain-lain.
Kisah Manusia Soedarto | Banyak yang ingin saya ceritakan dalam film "Darah dan Doa", justeru karena segala yang terjadi dalam film itu masih segar dalam ingatan, clash kedua, peristiwa Madiun, pemberontakan DI, penyerahan kedaulatan. Tetapi karena barangkali segala peristiwa itu masih terlalu dekat waktu kejadiannya, maka belumlah cukup kesempatan bagi saya untuk memilih peristiwa-peristiwa yang benar-benar ada hubungannya dengan kisah manusia Sudarto yang hendak diceritakan itu.
Sudarto ceritanya adalah seorang guru yang sebelum revolusi 17 Agustus yang kemudian dengan sadar turut revolusi bersenjata dan menjalankan tugasnya sebagai seorang prajurit yang baik sampai dia menjadi kapten.
Dengan patuh dia turut hijrah sesudah persetujuan Renville di tempatkan di Sarangan, di mana dia berkenalan dengan seorang gadis Jerman. Hubungannya dengan gadis itu tidak disetujui oleh rekannya, hingga pecahnya peristiwa Madiun merupakan suatu pelarian buat dia dari sangkaan kawan-kawannya. Tetapi peristiwa Madiun itu pula menimbulkan dalam jiwanya suatu perjuangan batin yang tidak tertahankan, karena dia harus menumpas kawan-kawannya yang lama dalam suatu pertempuran yang tak kenal ampun. Kembali dia mendapat kelegaan sementara, waktu dia di perintahkan kembali ke Jawa Barat, merembes masuk ke dalam daerah pendudukan Belanda dengan jalan kaki melalui hutan rimba gunung dan jurang. Dalam perjalanan itu Sudarto berkenalan dan jatuh cinta pada seorang jururawat yang kemudian tewas oleh peluru Belanda.
Dalam kesedihan itu dia menawarkan diri untuk menyusup ke dalam kota, tetapi dia tak dapat mengendalikan diri untuk tidak singgah ke tempat gadis Jerman yang dikenalnya di Sarangan dulu. Kelalaiannya itu menyebabkan dia ditangkap Belanda, dijebloskan ke dalam penjara dan dianiaya. Dia barulah keluar sesudah penyerahan kedaulatan, untuk turut serta merayakan kedatangan Presiden Sukarno di Jakarta. Tetapi waktu dia kembali ke pondoknya, peluru maut telah menunggunya. Dia ditembak mati oleh salah seorang kawannya dari Sarangan yang mau membalas dendam atas kejadian-kejadian pada peristiwa Madiun, kendatipun dia adalah orang yang paling tidak setuju dengan sesuatu pertikaian antara sesama bangsa.
Kenangan Sejarah | Kisah Sudarto adalah kisah sedih. Sudarto bukanlah pahlawan dalam arti yang biasa, tetapi adalah seorang manusia Indonesia yang terlibat dalam diseret oleh arus revolusi dan akhirnya menjadi korban revolusi itu, sebelum dia sempat menilai segala kejadian di sekelilingnya dengan sadar.
Saya tertarik kepada kisah Sudarto, karena menceritakan dengan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah. Tetapi tidak semua orang Indonesia setuju dengan saya antara lain sebagian dari para perwira Angkatan Darat di beberapa daerah yang menganggap saya tidak menggambarkan keperwiraan, tetapi melukiskan kelemahan-kelemahan seorang anggota tentara. Menilik kembali, saya tak ingat lagi, berapa bagian dari kisah itu kepunyaan Sitor dan berapa bagian daripadanya adalah karangan saya.
Meski pun bagaimana, "Darah dan Doa" sesungguhnya film Indonesia yang pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi. Pada tahun 1950, kendati pun revolusi fisik baru saja habis, sudah kedengaran keluh-kesah dari bekas-bekas pejuang yang merasa dirinya tidak dihargai dan beralih mengambil tindakan-tindakan yang negatif. Tetapi Sudarto sampai nafas yang terakhir, tetap percaya kepada tujuan perjuangannya. Dan sesungguhnya tindakan-tindakan yang diambil oleh beberapa komandan daerah untuk melarang beredarnya film itu menunjukkan kesempitan cara berfikir, suatu hal yang tak perlu diherankan dan disesalkan ketika itu.
Pada akhir pertunjukan di Istana Negara itu, saya merasakan suatu suasana yang tertekan, seolah-olah akhir film itu juga merupakan akhir segala jalan. Penuturan saya secara filmis, teranglah tidak sempurna, tetapi apa yang hendak saya katakan kiranya dapat dipahami oleh semua orang yang melihat meski pun tidak disetujui mereka.
Film "Darah dan Doa", bukanlah merupakan suatu sukses komersial, tetapi juga tidak menjadi kegagalan total. Film itu selesai dengan ongkos produksi kurang lebih Rp 150.000, suatu jumlah yang sangat besar karena pada waktu itu orang membuat film hanya dengan uang Rp 100.000.
Meski pun saya telah membuat dua film sebelum "Darah dan Doa", film itu saya rasakan sebagai film saya yang pertama.
Buat pertama kali sebuah film diselesaikan seluruhnya baik secara teknis-kreatif, maupun secara pertanggung-jawaban ekonomi, oleh anak-anak Indonesia. Dan buat pertama kali pula film Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya.
Dalam salah satu musyawarah bersama Dewan Film Indonesia, hari shooting pertama film "Darah dan Doa", yaitu tanggal 30 Maret, telah ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Dengan segala jerih-payah dan pengorbanan lahir-batin selama pembuatan film itu, kiranya kehormatan yang diberikan Dewan Film Indonesia kepada film saya yang pertama itu, merupakan penghargaan yang tak ada taranya hingga sukar bagi saya untuk menyatakan terima kasih karena kata-kata saja tidak akan ada artinya.
Bagi saya sendiri, kisah pembuatan sebuah film telah menjadi kisah hidup seorang anak manusia yang tidak sanggup lagi melepaskan diri dari suatu pekerjaan yang pada mulanya dipilihnya dengan tiada sengaja.
|Tulisan ini dikutipkan dari tulisan Usmar Ismail yang dimuat di majalah Intisari, no 1, th. I., 17 Agustus 1963.
"Darah dan Doa", mungkin adalah film Indonesia yang pertama yang mendapat kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung Karno yang baru. Peristiwa itu adalah film Indonesia yang pertama yang mendapat kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung Karno yang baru. Peristiwa itu adalah suatu hal yang sukar saya lupakan, karena buat saya, itulah pertama kali, film yang saya sutradarai akan dinilai oleh banyak pemuka-pemuka Bangsa (Note: waktu itu usia Usmar Ismail 29 tahun, sw).
Sebelumnya saya telah membuat dua buah film untuk maskapaj (perusahaan, sw) Belanda "South Pacific Film Corporation", yaitu film "Harta Karun" berdasarkan karangan Moliere, "Si Bachil" dan "Tjitra" menurut sebuah lakon sandiwara yang saya tulis pada tahun 1943. Tetapi saya dapat mengatakan, bahwa kedua film itu adalah bukan film saya, karena pada waktu penulisan dan pembuatannya saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk yang selalu saya setujui dari pihak produser.
Meskipun "Tjitra" mendapat sambutan yang baik dari pihak pers, terus-terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi saya.
Karena itu saya lebih senang menganggap "Darah dan Doa" sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan dengan tanggungjawab sendiri. Hati saya berdebar-debar dalam pertunjukan perdana di Istana Negara itu, karena perasaan saya sangat tertekan memperhatikan adegan demi adegan tersorot di layar putih.
Ada-ada saja kesalahan yang saya lihat. Teranglah teknis film itu lebih buruk dari film-film "Harta Karun" dan "Tjitra", karena dikerjakan dengan peralatan yang jauh lebih primitif dan dengan jumlah orang yang lebih sedikit.
Film "Darah dan Doa" dibuat berdasarkan sebuah cerita Sitor Situmorang dan dimaksudkan sebagai suatu film yang berambisi besar, artinya sebagai film pertama tentang Revolusi Indonesia secara fisik yang baru saja selesai, film itu banyak maunya. Kalau dapat rasanya hendak dirangkul seluruh kejadian-kejadian besar yang baru saja berlangsung itu dalam film yang sempurna. Mungkin saya salah perhitungan, karena saya lebih banyak hanya dipimpin oleh semangat yang meluap-luap. Tetapi tanpa semangat yang meluap, film itu tidak akan pernah terjadi dan barangkali Perfini (Perusahaan Film Indonesia, perusahaan yang digagas oleh Usmar Ismail sejak di Yogyakarta pada 1949, sw) sebagai perusahaan tidak pernah pula akan bangun.
Waktu Sitor datang kepada saya dengan beberapa halaman cerita yang mengisahkan pengalaman seorang perwira Tentara Nasional Indonesia dalam mars yang bersejarah dari Timur ke Barat pulau Jawa, yang kemudian disebut menurut pengalaman Tentara Merah Tiongkok "The Long March", saya dengan segera tertarik kepada cerita itu.
Sejak ada berita-berita bahwa kedaulatan akan dipulihkan beberapa kawan dari Multifilm sudah saya ajak omong-omong tentang kemungkinan mendirikan suatu usaha sendiri. Yang sukar adalah modal dan peralatan. Sebelumnya saya sudah beberapa kali mendekati Mr. Sjamsuddin almarhum yang pada waktu itu menjabat Menteri Penerangan R.I., tentang kemungkinan memakai alat-alat bekas Multifilm, dengan suatu sikap tegas, bahwa saya tidak mau jadi pegawai Pemerintah. Saya ingin membuat film atas tanggungjawab sendiri. Mr. Sjamsuddin pada prinsipnya tidak keberatan dan atas dasar kesediaan itu kami berkumpul, antara lain dari bekas Multifilm HB Angin, Nawi Ismail, Max Tera dan beberapa yang lain, sedang dari Yogya datang kawan-kawan seperti Suryo Sumanto, Naziruddin Naib, dan Basuki Resobowo.
Tetapi pada saat terakhir, sesudah terbentuknya Perusahaan Film Negara, yang meneruskan pembuatan film-film cerita di bawah penyutradaraan bekas seorang letnan Belanda, angin dan Nawi merasa lebih aman untuk tetap tinggal di PFN. Saya tidak dapat menyalahkan mereka, karena dalam usaha baru yang hendak didirikan itu belumlah sama sekali kelihatan perspektif masa depan yang terang. Sampai waktu itu baru terkumpul uang Rp 30.000, uang pesangon sebagai berkas anggota-anggota TNI. Separoh antaranya dengan segera dibayarkan kepada PFN sebagai persekot, sewa studio, hingga waktu akan mulai produksi uang tinggal kurang lebih Rp 12.500. Meskipun nilai uang pada waktu itu masih rada lumayan, tetapi mengingat ongkos produksi film terakhir yang saya buat untuk "South Pacific" 67.500 Gulden (Belanda, sw), maka masih harus dicarikan tambahan banyak, dikirakan Rp 15.000.
Kendati pun demikian, dibuatlah suatu firma pada 30 Maret 1950 dan para hari itu juga saya berangkat ke daerah Subang untuk melakukan opname pertama. Tergesa-gesanya pembuatan akte notaris itu juga disebabkan karena oleh beberapa finansir telah disanggupi persekot Rp 100.000, malahan sudah akan diterimakan. Tetapi momok campur tangan orang lain yang tak mengerti sama sekali kepada cita-cita pembuatan film itu telah menggagalkan utang-piutang tersebut.
Shooting di Purwakarta | Baiklah saya kembali sebentar kepada persiapan-persiapan yang sementara telah dikerjakan di bidang kreatif pembuatan "Darah dan Doa".
Pada hakekatnya yang sudah punya pengalaman di bidang pembuatan film cerita hanyalah saudara Max Tera (kameraman) dan saya. Saudara Sjawal Muchtaruddin (sound-man) hanya punya pengalaman di radio, Basuki Resobowo (art-director) di atas panggung.
Kami telah mengadakan beberapa test-shooting dengan saudara Rendra Karno (waktu itu masih memakai nama Sukarno) di daerah hutan Ancol, tetapi sebagai orang baru yang penuh ambisi saya belum puas dengan hasil test itu. Saya ingin muka-muka baru dengan bakat-bakat yang segar, maka dipasanglah adpertensi di koran untuk mencari pemain-pemain. Dari beberapa ratus orang yang melamar, terpilih kurang lebih duapuluh orang pria dan wanita. Terbanyak pemuda-pemuda yang masih duduk di bangku sekolah, antaranya yang kemudian memegang peranan dalam film itu Del Juzar (sekarang SH), Sutjipto (sekarang Drs), Awaluddin (sekarang Drs., polisi), Aedy Mowardi (sekarang ahli imigrasi). Yang lain sekarang sudah punya nama di bidangnya masing-masing antara lain Trisnojuwono, Wisjnu Mouradi dan beberapa orang yang sekarang sudah jadi perwira pada angkatan bersenjata.
Mereka yang terpilih mendapat latihan dasar-dasar berperan di Gedung Kesenian selama beberapa minggu.
Demikianlah dengan sebuah kamera Akeley yang telah puluhan tahun umurnya dengan menyewa sebuah opelet rongsokan rombongan menuju ke Purwakarta. Sebelum, telah di urus ke sana saudara Sumanto untuk menghadap Overste Sambas yang pada waktu itu menjabat komandan resimen. Tetapi tidak bisa kembali untuk melaporkan hasil-hasil pembicaraannya karena kehabisan uang belanja.
Sebelum itu saya juga sudah pergi menghadap panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin ke Bandung untuk memohon bantuan pihak tentara dan pada prinsipnya disetujui. Tetapi sampai di Purwakarta semuanya harus dibicarakan ulang dengan Overste Sambas yang syukur saja mempunyai sikap yang luwes. Akhirnya kami diserahkan kepada Mayor Supardjo untuk mendapat bantuan di daerah Subang.
Semua rombongan menginap di sebuah pesanggrahan dan mulailah suatu cara kerja yang hingga saat ini masih sangat menakjubkan saya karena keistimewaannya. Pergi shooting dengan tiada cukup uang dan dengan persiapan yang kurang sekali, pada galibnya pastilah akan mengakibatkan malapetaka.
Tiap malam sehabis kerja, saya mengetik skrip buat esok harinya, berdasarkan cerita Sitor Situ8morang yang beberapa helai. Beberapa kawan yang turut dari Jakarta, sebagai peninjau antara lain saudara-saudara Asrul Sani dan Rivai Apin cuma geleng-geleng kepala saja. Memanglah, membuat film pada waktu itu masih dianggap sesuatu yang aneh dan banyak kawan-kawan yang ingin tahu, bagaimana saya sanggup menyelesaikan tugas itu.
Tetapi ada sesuatu yang menolong, yang pada waktu ini tak akan bisa lagi dialami, yaitu bahwa cetakan percontohan (rush prints) dengan segera dapat diselesaikan di PFN., dan terus dikirimkan kembali ke tempat lokasi untuk dilihat. Sementara saya menulis skrip, saudara Max Tera dan Djohan Sjafri menyelenggarakan montage film "Darah dan Doa" dan dari sehari ke sehari dapatlah diikuti pertumbuhan cerita itu.
Gadis Tunggal di Tengah Rombongan | Pada suatu hari, sesudah percobaan pemutaran montage kasar (editing offline, istilah anak sekarang, sw) itu, saya didatangi saudara Tong, pemilik bioskop. Ia memuji dan bertanya apakah sudah ada yang akan mengedarkan film itu. Sungguh mati, sampai saat itu, belum terpikir sedikitpun tentang peredarannya. Dan tawaran saudara Tong yang punya kantor peredaran di Jakarta telah saya terima dengan baik, apalagi sesudah dia menyatakan kesediaannya pula untuk memberikan persekot guna menyelesaikan film itu.
Hutang sudah bertumpuk, pesanggrahan sudah agak lama belum dibayar, para pemain mulai menggerutu, maka tawaran saudara Tong itu, sesungguhnya datang seperti pucuk dicinta ulam tiba. Bahwa perusahaan baru itu kemudian akan terlibat dalam semacam sistem ijon, pada waktu itu belum terpikir. Pokoknya produksi dapat diselesaikan.
Sesudah masuk ke studio di Jakarta, ternyata banyak adegan yang tak bisa dipakai karena ceritanya tak jalan. Diadakan lagi perombakan dan shooting tambahan, sampai-sampai menerobos ke lereng Gunung Lawu, kemudian pindah lagi ke lereng Gunung Gede untuk akhirnya terhampar ke pinggir Kali Citarum.
Untunglah pada waktu itu segala bantuan, baik dari pihak sipil maupun militer, diberikan dengan spontan dan,... cuma-cuma (sekarang situasinya agak lain). Untung pula di mana-mana berjumpa teman-teman lama dari ketentaraan (Usmar Ismail pernah tergabung dalam kesatuan TNI waktu perang kemerdekaan, sw). Salah seorang penaseghat tentara yang selalu turut dengan rombongan kami adalah kapten-dokter Sadono. Jasa-jasanya tidak mudah dilupakan. Amat terasa sekali kekurangan kemahiran dalam menghadapi persoalan-persoalan cinematografis, yaitu mencarikan penyelesaian visual yang efektif untuk suatu problema dramatis. Terasa ada, tetapi dalam pelaksanaan banyak kali luput.
Di samping itu ada lagi kesulitan-kesulitan tenaga yang memang belum punya pengalaman dan jumlahnya pun sedikit.
Saya masih ingat, bagaimana kami harus merangkap berbagai-bagai jabatan. Saya sendiri, selain dari produser-sutradara-penulis skenario, seringkali harus menjadi sopir, kuli angkut, make up man, pencatat skrip, assisten sendiri.
Sekarang rasanya tidak sanggup mengulangi kembali semua pengalaman itu. Banyak cerita-cerita nyata (anekdote) dapat saya kisahkan, cerita-cerita lucu, tetapi juga cerita-cerita sedih, pengalaman-pengalaman perseorangan, tetapi juga pengalaman secara rombongan.
Yang turut dengan rombongan hanyalah seorang gadis, di antara begitu banyak pemuda. Buat peranan wanita turut main seorang gadis Kalimantan namanya Farida. Hidungnya tidak mancung, tetapi matanya yang besar dan sendu menguasai seluruh air mukanya. Tidak mengherankan, beberapa pemuda dalam rombongan itu, lambat laun memberikan perhatian istimewa kepada Farida. Hal itu menimbulkan sedikit banyak pergeseran antara mereka. Seperti halnya dalam film, biasanya yang menang dalam perlombaan demikian adalah peran utama. Untunglah segala-galanya tidak mengakibatkan ekor yang lebih panjang dari masa shooting itu saja. Lagi pula gadis manis itu sudah ada yang punya.
Kesulitan dengan Pemain | Salah satu kesalahan saya sebagai orang baru ialah bahwa saya ingin segala-galanya autentiek, seperti aslinya dan di tempat aslinya. Tambah-tambah lagi para penasehat saya yang resmi dan tidak resmi juga mendorong saya, supaya jangan menyimpang dari kejadian-kejadian yang sebenarnya. Hanyalah, perlahan-lahan saya mengerti, bahwa film itu adalah betul-betul seni "make believe", membuat orang percaya tentang sesuatu, membuat kenyataan baru dari yang ada. Karena, banyak kali yang dibuat di tempat lain atau studio misalnya, lebih meyakinkan dari jika dibuat di tempat asalnya.
Di atas panggung sudah pengalaman saya mengendalikan pemain-pemain amatir, tetapi belum pernah saya menjumpai kesukaran yang lebih besar seperti pada film saya yang pertama itu. Seorang pemain pria amat perlente. Rambutnya tidak boleh kusut dan bajunya harus tetap bersih, meski pun dalam cerita dia harus kelihatan kumal, karena baru saja kembali dari pertempuran.
Pemain yang lain dengan kepala batu mengemukakan konsepsinya tentang peranan yang dijalankan, meski pun sudah berkali-kali diberi keterangan, bahwa dia seharusnya menginterpretasikan secara kreatif apa yang dimaksud oleh si pengarang, bukannya membikin kreasi sendiri.
Jawabn "tetapi saya merasakan lain" seringkali nkedengaran dalam pembahasan peranan-peranan. Berlainan dengan pemain profesional, kebanyakan pemain-pemain amatir dalam "Darah dan Doa" takut sekali akan over-acting, suatu hal yang memang sejalan dengan pendapat saya waktu itu.
Sesudah lebih banyak pengalaman dalam penyutradaraan, saya kemudian tahu, bahwa bermain kurang dari semestinya, under-acting, tidaklah selalu cocok dengan semua peranan. Kadang-kadang suatu peranan justeru mengharuskan over-acting.
Film pertama yang saya buat dengan tidak terikat kepada siapapun itu, memberikan pula kepada saya pelajaran, bahwa meskipun kita adalah majikan kita sendiri, tidaklah dengan sendirinya kita dapat berbuat sekehendak hati kita, karena masih banyak lagi ikatan-ikatan yang lain, seperti terbatasnya modal, peralatan, kemampuan, dan lain-lain.
Kisah Manusia Soedarto | Banyak yang ingin saya ceritakan dalam film "Darah dan Doa", justeru karena segala yang terjadi dalam film itu masih segar dalam ingatan, clash kedua, peristiwa Madiun, pemberontakan DI, penyerahan kedaulatan. Tetapi karena barangkali segala peristiwa itu masih terlalu dekat waktu kejadiannya, maka belumlah cukup kesempatan bagi saya untuk memilih peristiwa-peristiwa yang benar-benar ada hubungannya dengan kisah manusia Sudarto yang hendak diceritakan itu.
Sudarto ceritanya adalah seorang guru yang sebelum revolusi 17 Agustus yang kemudian dengan sadar turut revolusi bersenjata dan menjalankan tugasnya sebagai seorang prajurit yang baik sampai dia menjadi kapten.
Dengan patuh dia turut hijrah sesudah persetujuan Renville di tempatkan di Sarangan, di mana dia berkenalan dengan seorang gadis Jerman. Hubungannya dengan gadis itu tidak disetujui oleh rekannya, hingga pecahnya peristiwa Madiun merupakan suatu pelarian buat dia dari sangkaan kawan-kawannya. Tetapi peristiwa Madiun itu pula menimbulkan dalam jiwanya suatu perjuangan batin yang tidak tertahankan, karena dia harus menumpas kawan-kawannya yang lama dalam suatu pertempuran yang tak kenal ampun. Kembali dia mendapat kelegaan sementara, waktu dia di perintahkan kembali ke Jawa Barat, merembes masuk ke dalam daerah pendudukan Belanda dengan jalan kaki melalui hutan rimba gunung dan jurang. Dalam perjalanan itu Sudarto berkenalan dan jatuh cinta pada seorang jururawat yang kemudian tewas oleh peluru Belanda.
Dalam kesedihan itu dia menawarkan diri untuk menyusup ke dalam kota, tetapi dia tak dapat mengendalikan diri untuk tidak singgah ke tempat gadis Jerman yang dikenalnya di Sarangan dulu. Kelalaiannya itu menyebabkan dia ditangkap Belanda, dijebloskan ke dalam penjara dan dianiaya. Dia barulah keluar sesudah penyerahan kedaulatan, untuk turut serta merayakan kedatangan Presiden Sukarno di Jakarta. Tetapi waktu dia kembali ke pondoknya, peluru maut telah menunggunya. Dia ditembak mati oleh salah seorang kawannya dari Sarangan yang mau membalas dendam atas kejadian-kejadian pada peristiwa Madiun, kendatipun dia adalah orang yang paling tidak setuju dengan sesuatu pertikaian antara sesama bangsa.
Kenangan Sejarah | Kisah Sudarto adalah kisah sedih. Sudarto bukanlah pahlawan dalam arti yang biasa, tetapi adalah seorang manusia Indonesia yang terlibat dalam diseret oleh arus revolusi dan akhirnya menjadi korban revolusi itu, sebelum dia sempat menilai segala kejadian di sekelilingnya dengan sadar.
Saya tertarik kepada kisah Sudarto, karena menceritakan dengan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah. Tetapi tidak semua orang Indonesia setuju dengan saya antara lain sebagian dari para perwira Angkatan Darat di beberapa daerah yang menganggap saya tidak menggambarkan keperwiraan, tetapi melukiskan kelemahan-kelemahan seorang anggota tentara. Menilik kembali, saya tak ingat lagi, berapa bagian dari kisah itu kepunyaan Sitor dan berapa bagian daripadanya adalah karangan saya.
Meski pun bagaimana, "Darah dan Doa" sesungguhnya film Indonesia yang pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi. Pada tahun 1950, kendati pun revolusi fisik baru saja habis, sudah kedengaran keluh-kesah dari bekas-bekas pejuang yang merasa dirinya tidak dihargai dan beralih mengambil tindakan-tindakan yang negatif. Tetapi Sudarto sampai nafas yang terakhir, tetap percaya kepada tujuan perjuangannya. Dan sesungguhnya tindakan-tindakan yang diambil oleh beberapa komandan daerah untuk melarang beredarnya film itu menunjukkan kesempitan cara berfikir, suatu hal yang tak perlu diherankan dan disesalkan ketika itu.
Pada akhir pertunjukan di Istana Negara itu, saya merasakan suatu suasana yang tertekan, seolah-olah akhir film itu juga merupakan akhir segala jalan. Penuturan saya secara filmis, teranglah tidak sempurna, tetapi apa yang hendak saya katakan kiranya dapat dipahami oleh semua orang yang melihat meski pun tidak disetujui mereka.
Film "Darah dan Doa", bukanlah merupakan suatu sukses komersial, tetapi juga tidak menjadi kegagalan total. Film itu selesai dengan ongkos produksi kurang lebih Rp 150.000, suatu jumlah yang sangat besar karena pada waktu itu orang membuat film hanya dengan uang Rp 100.000.
Meski pun saya telah membuat dua film sebelum "Darah dan Doa", film itu saya rasakan sebagai film saya yang pertama.
Buat pertama kali sebuah film diselesaikan seluruhnya baik secara teknis-kreatif, maupun secara pertanggung-jawaban ekonomi, oleh anak-anak Indonesia. Dan buat pertama kali pula film Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya.
Dalam salah satu musyawarah bersama Dewan Film Indonesia, hari shooting pertama film "Darah dan Doa", yaitu tanggal 30 Maret, telah ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Dengan segala jerih-payah dan pengorbanan lahir-batin selama pembuatan film itu, kiranya kehormatan yang diberikan Dewan Film Indonesia kepada film saya yang pertama itu, merupakan penghargaan yang tak ada taranya hingga sukar bagi saya untuk menyatakan terima kasih karena kata-kata saja tidak akan ada artinya.
Bagi saya sendiri, kisah pembuatan sebuah film telah menjadi kisah hidup seorang anak manusia yang tidak sanggup lagi melepaskan diri dari suatu pekerjaan yang pada mulanya dipilihnya dengan tiada sengaja.
|Tulisan ini dikutipkan dari tulisan Usmar Ismail yang dimuat di majalah Intisari, no 1, th. I., 17 Agustus 1963.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...