Catatan Sunardian Wirodono
Di Dumay, kutemukan banyak kisah, dari yang alay hingga perseteruan klasik dari kamar tidur. Seolah itu jagat pelepasan, yang diharap jika pun tak menyelesaikan, sedikit membebaskan atau memuaskan dari segala keterhimpitan.
Ada begitu banyak doa dan harapan dilantunkan, juga kemarahan, kejengkelan, dan segala sumpah-serapah. Rasa-rasanya, jika yang menjadi sasaran ngerti, semestinya justeru berterimakasih pada Zuckerbergh, karena ibarat katup pelepas, sebuah banjir bandang atau ledakan besar bisa terhindarkan. Karena perlawanan di Dumay hanyalah maya, dan tak pernah menjadi nyata. Adakah ia akan sama nasib, dengan suku Maya di Amerika Latino itu? Orang Islam bilang 'wallahu'alam bhisawab!' Orang Jawa bilang 'aku ra tanggungjawab!'
Indonesia masih saja menyedihkan. Justeru ketika kehidupan kepolitikan kita lebih dipenuhi agenda para politisi itu sendiri, yang sama sekali tidak nyangkut pada kepentingan rakyat. Karena rakyat, bagi mereka hanyalah Dumay juga, yang hanya mereka perlukan setiap lima tahun sekali atau pas ada kepentingannya. Rakyat hanyalah alat legalitas, yang setelahnya tak berhubungan sama sekali. Dan para politisi yang berada di eksekutif atau pun legislatif, kemudian terjebak dalam lingkaran setan yang mereka ciptakan sendiri, karena di sana tak ada etika dan tanggungjawab pengabdian. Semuanya hanya kamuflase, semu belaka, sama alaynya dengan jagat Dumay.
Pada sisi lain, kita dapati kepemimpinan di segala sektor, hanyalah dunia jual-beli, hitungan-hitungan dagang yang hanya penuh perhitungan untung dan rugi. Tapi akal-budi kita, tak sanggup meningkatkan perannya, agar untung-rugi itu dibimbing oleh karsa untuk tumbuh bersama. Jika kita kenal ajaran 'tiji tibeh' yang dijunjung tinggi hanyalah semangat balas dendam, bukan untuk 'mukti siji mukti kabeh' (satu mulia, mulia bersama) melainkan jika seseorang terkena masalah atau dikorbankan, ia akan kobarkan 'mati siji mati kabeh' (satu mampus, mampus bersama).
Bayangkanlah, sebagai ketua dewan pembina, pemegang saham tunggal dan de-facto adalah ketua umum partai Demokrat, untuk menyelesaikan gonjang-ganjing, SBY melingkar-lingkar. Bertemu pribadi dan sendiri, empat mata saja dengan AU. Sementara kemudian ia mengadakan pertemuan dengan para petinggi partai dan anggota dewan pembina lainnya tanpa AU. Pada sisi lain, ia biarkan para jajaran petinggi partai mengadakan pertemuan sendiri-sendiri. Ngomong sendiri-sendiri. Dengan lingkup partai yang semua orang partainya ngomong 'semuanya menunggu sabda bapak the founding father', tapi tak pernah ada kejelasan dan ketegasan kepemimpinan.
Itu bukan kerumitan masalah, namun kerumitan agenda karena begitu banyak kepentingan, kalkulasi, itung-itungan, yang semuanya menginti pada teori-teori pragmatisme politik. Dan demikianlah akhirnya, jika kemudian ada yang mengatakan ini negeri tanpa pilot, republik tanpa nakhoda. Yang ada adalah generasi perampok, para penumpang gelap reformasi 1998.
Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6%, adalah pertumbuhan alamiah karena akibat krisis ekonomi Eropa. Padahal, dengan kepemimpinan nasional yang riel, nyata, dan ada, Indonesia tidak akan terpuruk seperti sekarang ini.
Maka ketika beberapa nama disodorkan untuk menjadi calon presiden RI 2014, siapapun dia, adakah Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Prabowo Subianto, Wiranto, Jokowi, Sri Mulyani, Anas Urbaningrum, Puan Maharani, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Amien Rais, Jusuf Kalla, Rizal Ramlie (atau siapapun tokoh impian itu), semuanya adalah sampah dan omong kosong. Hati-hati dengan cermin tipu-daya.
Bukan mereka tidak bermutu, tapi kita tidak ingin selalu mengulang hal itu, yang hanya akan menguntungkan para calo dan penumpang gelap. Negeri ini tidak membutuhkan jagoan. Negeri ini membutuhkan gotong-royong semua pihak, membangun sistem ketatanegaraan yang benar. Seorang jagoan di Indonesia, hanya tampak bagus dalam citra, tapi pecundang dalam kenyataan, karena belibet kepentingan diri dan kelompoknya.
Selama kita tak mampu membangun sistem politik dan sistem ketatanegaraan, semua nama-nama yang dianggap jagoan itu menjadi tidak penting. Sejarah membuktikan, SBY yang citranya tinggi, ketidakmampuannya ternyata jauh lebih tinggi lagi. Selalu begitu. Indonesia tidak memerlukan presiden dan politisi serta para cecurutnya. Yang lebih kita perlukan, adalah rakyat yang berdaya. Tanpa pemimpin, sumber daya manusia kita yang berjumlah besar ini (empat terbesar di dunia) akan mampu menolong real ekonomi dan ekonomi mikro kita. Jika sirkulasi dan distribusinya mendapatkan jalan, maka rakyat akan mampu tumbuh bersama sendiri (tanpa politik), dan jika rakyat sudah bisa memenuhi hajat hidupnya sendiri, mereka bisa menolak harga suara mereka yang hanya 20 atau 50 ribu. Karena di balik kemurahhatian para elite itu, mereka mengambil atau mencuri jauh lebih banyak dari yang mereka berikan. Hati-hati penipuan model elite ini, karena penjahat bisa berkedok nabi juga, dengan dalil dan konsep-konsep karitas yang memukau, atau kecanggihannya beretorika. Untuk itu para penjahat perlu sekolah S2 sampai S3, bahkan es satu thermos agar makin canggih kata-katanya.
Di Dumay, kutemukan banyak kisah, dari yang,...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Mantebs om !
BalasHapusDan sepakat..
Ini tulisannya blum selesai atau memang ending-nya dibuat gitu mas?
BalasHapusPersoalan Indonesia seolah kayak lingkaran, mengulang-ulang,... dasar kasusnya sama, kebodohannya sama,...
BalasHapus