Oleh Sunardian Wirodono
Drama politik kita hari-hari ini, amatlah meriahnya, apalagi hal itu dengan leluasa bisa dinikmati lewat dua saluran televisi seperti TV-One dan Metro TV. Ia menjadi tontonan alternatif, yang bisa jadi mampu bersaing dengan sinetron-sinetron kita. Dan keduanya, memiliki kesamaan, penuh dengan konflik, dan bertele-tele, namun tanpa isi.
Politik di sana, hadir sebagai wacana yang dominan, namun tanpa makna sama sekali, karena aspek kognisi telah berubah menjadi gossip. Sebagaimana ghalibnya gossip, ia beranak pinak dan masuk ke ranah afeksi yang bisa membius. Pembiusan itu antara lain, menyebabkan persoalan-persoalan di sana berubah menjadi tontonan belaka. Bahkan lebih jauh, bisa menjadi penghiburan tersendiri, tanpa penting lagi apa ending dari semua itu.
Masyarakat benar-benar menjadi manusia paria di sana, karena tak punya pilihan kecuali duduk di pinggir menonton. Peniadaan negara dalam pengertian politik, menjadi arena pasar yang ditandai dengan minimnya peran warga negara dalam pengambilan keputusan. Selain itu, politik perwakilan semasa kampanye dan pemilu, terbatas dalam permainan citra. Relasi antara partai politik dan warga, masih dalam skema ”massa mengambang”, dengan komodifikasi partai politik di dalamnya.
Komodifikasi (komersialisasi) partai politik itu, ditandai dengan berubahnya relasi perwakilan menjadi relasi ekonomi semata. Hal itu terbaca dari kekuatan kaum berduit dalam mendominasi partai politik. Jadi, terbalik dari harapan reformasi, untuk melakukan pelembagaan demokrasi, fenomena yang muncul adalah privatisasi partai politik ataupun pemerintahan. Buktinya, hingga kini tidak ada celah bagi rakyat, untuk mengontrol wakil rakyat dan presiden setelah pemilu. Jika pun muncul kritik dan protes, dimunculkan wacana personal dengan wacana normatif, seperti; "hargailah pemimpinmu", "kamu pun kalau duduk di sana tidak akan beda", "agama melarang kita protes pada pemimpin", "demonstrasi itu bikin macet dan merugikan rakyat", "jangan hanya mengritik orang lain, tapi ngaca dong!", dan seterusnya.
Sementara, senyampang dengan itu, jaringan mafia pasar finansial, bisa bertemu dengan agen partai politik dalam proses komodifikasi partai politik, yang bertujuan mengambil alih fungsi proteksi negara secara legal. Di situ, terbuka perselingkuhan antara kapital dan negara, yang menyebabkan peran moderasi negara mengabaikan hubungannya dengan rakyat dalam "golden triangle" civil society-state-capital (rakyat, negara, kaum modal).
Fokus perdebatan akhirnya hanya pada pergantian elite politik, tanpa memikirkan sistem representasi politik yang menentukan haluan negara. Dan ini khas dunia sinetron kita, politik akhirnya hanya menyangkut soal aktor-aktornya belaka, dengan segala macam citra tentang misi suci dan kemuliaan personal. Maka, "pagi-pagi" kemudian muncul nama-nama sebagai capres Indonesia 2014. Sementara masalah hari ini, adalah bagian dari penciptaan panggung peperangan untuk meraih piala citra. Bagi rakyat, sinetron politik yang penuh perdebatan itu, tidak lebih dari telenovela: bisa jadi populer, namun tetap berjarak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar