Catatan Sunardian Wirodono
Kita mendengar, melihat dan membaca semua omongan orang-orang Partai Demokrat hari-hari ini. Semua omongan mereka adalah benar, jujur, suci, tanpa pretensi, mulia, tak ada yang salah, indah belaka, perfect, tanpa cacat. Benar-benar pencerminan wujud manusia dan politikus yang sempurna. Namun, bagaimana rasanya hidup dengan mereka? Nyamankah? Dinyatakan Robert Neville, seorang aktor, "Hidup bersama orang suci, ternyata jauh lebih melelahkan daripada menjadi orang suci itu sendiri." Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan, untuk melihat kesejatiannya, kita tinggal membacanya secara terbalik. Karena, dari semua yang mereka katakan "kanan", sesungguh-sungguhnya maksud adalah "kiri".
Puncak dari paradoks "kebenaran" dan "kebesaran" Pardem, bertumpu pada kerapuhannya, karena ia bergantung pada satu nama, Susilo Bambang Yudhoyono. Dari semua petinggi partai, entah yang bernama deklarator, pendiri, dewan penasehat, dewan pembina, dewan pengawasa, dewan pimpinan, dewan ini dan itu, semuanya berkata sama: Tergantung pada pribadi Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikatakan oleh Ruhut Sitompul "yang mulia dan kita hormati, guru kita, the founding father kita!" SBY telah menjadi Dewa yang tak terkira dan tak tersentuh. Sementara, nasehat Ki Hajar Dewantara, tokoh nasionalis dan pendidik kita mengatakan, "Kita boleh mengagumi seseorang, namun kita tidak akan tumbuh ketika kita mendewakan seseorang itu!"
Meski ia dilahirkan di jaman modern, kuatnya patronase di Pardem, menunjuk bahwa ini partai yang benar-benar sangat tradisional, sangat ketinggalan jaman dan tidak logis, sekali pun demikian gambaran umumnya partai-partai politik kita, bahkan pada PKS sekali pun, yang tetap juga bergantung pada Dewan Syuro.
Tidak ada satu pun partai yang benar-benar merupakan cerminan dari arus bawah, perwakilan dan alat serta media masyarakat madani, karena di sana ada bangunan hierarki yang kemudian menjadi daerah otonom serta otoritas dari katel-kartel kepentingan, dengan sistem kepartaian yang bersifat oligarkis.
Tentu hal tersebut bisa dimengerti, namun dengan sistem yang rapuh, di mana akses partisipasi anggota tidak terjadi, seorang begawan atau seorang jagoan hulig-huligan, perlahan akan digerus oleh berbagai kepentingan yang belibet di sana. Dan tidak ada satu sistem yang bisa menjaga dan menjamin, bagaimana tingkat kepatuhan karena sakralitas para petinggi partai pun juga sesuatu yang mudah diombang-ambingkan oleh sistem kepolitikan kita yang agenda utamanya masih berkisar pada power sharing.
Partai politik pada akhirnya, hanya menjadi semacam "perseroan terbatas" dengan investor tunggal, maupun para penanam saham di luarnya, yang sama sekali tidak memberi ruang dan peran anggota, karena mereka bukanlah subyek pelaku, melainkan obyek penderita dan "alamat kepentingan" yang menjadikan mereka harus ada dan "berjuang".
Pada sisi itu, logis bisa kita katakan, posisi sentral SBY adalah faktor negatif Pardem itu sendiri. Jika kita ingin memberitahu masa depan Pardem, maka jalan satu-satunya ialah SBY mundur dari posisinya sebagai Ketua Dewan Pembina dan melepaskannya kepada kepengurusan eksekutif partai. Bisakah? Tentu saja para penggila SBY akan berteriak-teriak tidak setuju. Bagi saya, setidaknya, itu lebih baik, karena Pardem akan dengan sukses dan cepat menggali kuburnya sendiri. Dan apakah Indonesia akan hancur tanpa Pardem? Tentu tidak. Demikian juga jika tak ada parpol-parpol yang lainnya, juga tidak ngaruh-ngaruh amat. Wong amat saja tidak ngaruh!
Karena sudah terbuktikan, dari sejak 1998 hingga kini, tidak ada korelasi atau hubungan positif antara adanya partai politik dengan kemajuan bangsa dan negara.
Sepanjang partai politik tidak bisa menciptakan sistem partisipasi dan pengawasan dari konstituen, secara aktif, maka pembusukan politik benar-benar akan jauh lebih efektif dan efisien.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
wish not a mix language of java english
BalasHapus