Oleh Sunardian Wirodono
Pada akhirnya, jendral meja (artinya bukan jendral lapangan) SBY, menerapkan strategi ular maboknya. Melingkar-lingkar tak keruan, untuk sampai pada satu tujuan; Bagaimana cara menggulingkan AU (dari posisi ketum Pardem) dengan tanpa sama sekali belepotan tangannya dengan darah. Semua orang boleh menafikan ini, namun dalam politik apa yang diomongkan bisa beda dengan yang ditindakkan. Bahkan tak jarang, dalam politik citra, ngomong "a" agar orang tak tahu bahwa dia maunya ke "b".
Berbagai manuver dari para petinggi dan elite Pardem, dari Kemayoran hingga Cikeas, dan berbagai suara yang sama mbuletnya dengan omongan ketua dewan pembina DPP-Pardem, semuanya menyiratkan AU untuk turun. Meski tudingan ini akan ditolak dengan logika jungkir-balik, khas omongan oportunis dan politikus munafikus brutus. Maka semua ultimatum yang diberikan pada AU, hanya mengarah pada "kelegowoan" AU, untuk mundur dari ketum Pardem. Jika satu langkah ini tercapai, maka langkah berikutnya baru akan bisa ditancapkan.
Setelah gagal mengundang 99 deklarator dan pendiri partai, yang hanya dihadiri 9 orang, pada akhirnya membuat kelompok bayangan SBY sebentar hari lagi, mengadakan road-show pertemuan dengan 31 pengurus DPD dan bahkan DPC Pardem seluruh Indonesia. Agendanya pun juga jelas, "menyadarkan" orang-orang untuk menyelamatkan partai dalam 2014. Dengan cara, AU mundur sebagai ketum Pardem. Karena ultimatum tiga bulan bagi Ketum Pardem menaikkan angka elektabilitas 20%, adalah omong kosong. Apalagi, persoalan hukum dengan dipersangkakannya Angelina Sondakh oleh KPK, akan membuat waktu tiga bulan itu tidak memberikan ruang cukup bagi AU dan Pardem, sekali pun SBY turun ke lapangan melakukan pendekatan pada pendukungnya. Satu hal yang tak mungkin dengan dua alasan, posisinya sebagai presiden akan jauh lebih negatif, jika SBY terjebak dalam pusaran Pardem, namun alasan kedua yang lebih jelas, SBY bukanlah seorang politikus yang berdarah-darah, sehingga saripati kebijaksanaannya tak pernah meyakinkan kita, kecuali citranya yang pada akhirnya tergerus sendiri.
Persoalan gawatnya kemudian, kini mayoritas DPD-DPC, berada di tangan AU, dengan basis organisasi AU sebagai mantan ketum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tidak akan mudah bagi pendukung SBY mempengaruhi para pendukung AU, untuk menggusur AU dari Pardem. Yang terjadi, justeru bisa jadi pertarungan bubad Pardem, hingga pada akhirnya partai politik ini hancur lebur. Hancurnya Pardem sebagai partai, tidak akan sangat berpengaruh bagi Indonesia, karena bukan hanya ada banyak partai di luarnya, namun karena peran parpol itu sendiri tidak cukup significant untuk kemajuan bangsa dan negara.
Kita tunggu perang bubat ini. Jika AU bisa menggusur SBY dan para pendukungnya, maka ini sejarah "perebutan kuasa (pengaruh)" yang menarik dalam alih generasi ini. Setidaknya, AU punya kesempatan untuk membangun lokomotif baru, senyampang jika ia pun mampu membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam tindak korupsi sebagaimana dikatakan Nazaruddin.
Kemelut Pardem, hanya mencontohkan kasus-kasus klasik dalam kepartaian kita. Dengan kader jenggot, mengakar ke atas (dan hanya bergantung pada satu figur), kita tidak akan mendapatkan parpol yang kuat, karena sebagaimana manusia, pada akhirnya dia akan mampus juga seiring dengan kerentaan sang figur. Berbeda jika ia mengakar ke bawah, sebagaimana para pohon menunjukkan. meski meninggi mereka kuat menahan goncangan angin. AU sebenarnya mempunyai potensi menang dibanding SBY dalam pertarungan ini. Tapi kelompok pendukung SBY yang bersemangat "tiji tibeh" (mewakili pandangan politik Soehartoisme), tentu tak akan merelakan begitu saja kendaraan politik yang dibangunnya dulu direbut oleh "HMI". Tapi, tentu, itu harga yang harus dibayar bagi partai jenggot ini, sekali pun SBY sangat klimis janggutnya, dan tak pernah jelas sikapnya sebagai kepala negara dalam kasus GKI Yasmin!
Meski pun jika dilihat dari gelagat karakter politik kedua belah pihak, ko-eksistensi damai agaknya adalah pilihan terbaik. Bukan hanya soal Ibas Yudhoyono, tapi SBY tentu punya banyak pertimbangan paska 2014 ketika ia tak lagi menjadi penguasa dan partainya tercerai-berai pula.
Sementara AU, yang tampak senantiasa santun dan logis ini, pada dasarnya juga tak mendapat topangan yang kuat dan sepadan di luar Pardem. Yang dinamakan jodoh ialah, ketika satu sama lain merasakan cocok dan saling mengisi, sebagaimana karakter SBY maka demikian pulalah AU. Dan begitulah politik Indonesia. | Lereng Merapi, 9 Februari 2012.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar