Oleh Sunardian Wirodono
"Agama dan sastra Arab telah saya pelajari. Tetapi saya masih terus mencari-cari. Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang tak berbeda. Musik masih digunakan. Bahasa tetap bahasa. Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai, namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar. Diam-diam saya pergi malam-malam, mencari rahasia Yang Satu. Mencari jalan sempurna. Semua pendeta, biksu, dan ulama saya temui. Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati. Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam, akhir mata tertutup dan inti maut, akhir ada dan tiada,.."
Demikian keluh kesah seorang lelaki bernama Wujil. Ia mulanya adalah seorang aktor dan pelawak, di istana Majapahit. Seorang bukan hanya popular, melainlkan juga terpelajar.
Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan.
Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang kemudian mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan, yang kemudian dituangkannya dalam kitab bernama Serat Wujil.
Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil,
"Jadikan dirimu cinta,
agar dapat memandang dunia dengan terang.
Kerusakan di dunia ini muncul,
karena tiada amal perbuatanmu, dan karena tiadanya cinta.
Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur,
yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna."
Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Pentingnya suluk-suluk awal itu, karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
Di antara wali yang paling prolifik, dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang, alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi), yang dilahirkan 1465, putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Sunan Bonang yang wafat pada tahun 1525 M, menurut Drewes, mencipta tidak kurang dari 20 suluk panjang yang kini dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional), dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.
Beberapa uraiannya yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, misalnya, uraian tentang cinta (‘isyq), baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan, maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu. Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
Cinta merupakan asas penciptaan, dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta. Yaitu, ar-rahman (pengasih) dan ar-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah), sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
(19) Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
(20) Keindahan, jangan di tempat jauh
engkau mencari-carinya
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahamilah, (semua adalah)
akibat dari laku jiwamu!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar