Minggu, Februari 26, 2012

Jika Media Massa Hanya Cerminan, Buat Apa Jurnalisme Dipelajari?

Oleh Sunardian Wirodono

Barangkali, aturan etik profesional wartawan dulu dengan jurnalis masa kini beda, utamanya soal ber-opini. Contoh kasus pada Iwan Pilliang, jurnalis jejaring sosial yang meroket karena kasus Nazaruddin, begitu bisa tidak berjarak dengan opininya yang sangat personal. Bukan mengorek informasi, namun dia sangat terpesona dengan memverifikasi data atau fakta, yang data dan fakta itu sayangnya sudah ngendon terlebih dulu di kepalanya sebagai sesuatu yang diyakini benar. Tantangan menarik untuk mengukur obyektifitas, ketika ia ngotot mempersoalkan besar-kecil skala kesalahan etik. Baginya, kesalahan etik sekecil apapun, sudah cukup untuk (menyingkirkan) Chandra Hamzah dari KPK. Ini contoh formalisme berfikir dalam text, dan tidak melihat context.
Itu sama persis target perjuangan OC Kaligis dan kawan-kawan dari kubu Nazaruddin. Tembak dulu lewat etik, karena disitu celahnya. Kalau dari sisi ini mereka menang, Bibit dan Chandra didepak, juga yang lainnya, kekuatan KPK bisa dirongrong lagi, tentu saja sembari buying time untuk mengulur waktu ke jadwal pidananya. Entah kenapa, OC Kaligis justeru yang kedepak dari Nazaruddin.
Pada sisi lain, DPR juga memiliki kecenderungan yang bersifat reaktif, menyerang balik ketika merasa diserang. Dengan kewenangan konstitusionalnya, parlemen kita menjadi terlihat tidak fokus, dan kedodoran dalam tugas-tugas legislasinya. Bahkan tak jarang, lembaga ini juga sibuk untuk membuat pressure group dengan membentuk lembaga-lembaga ad-hoc untuk melakukan pengawasan ini dan itu. Tak peduli jika hal itu sesungguhnya merupakan ranah yudikatif.
Sungguh kita bisa melihat, pressure group ini tampak begitu kompak, dan sangat tahu serta menguasai media. Media massa (terutama TV), yang kadang terlihat culun, juga tak jelas, apa agendanya. Mereka menjadi corong siapa saja, tetapi tak kita lihat arah media yang inspiring kecuali hanya memanfaatkan situasi, sebagai ciri khas orang jualan (berita).
Tiadanya sikap atau karakter media itu, membuat media lebih dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu. Selama ini, kita lihat, beberapa nama yang itu-itu juga, beredar dari tv satu ke tv lainnya, dari berbagai diskusi dan pertemuan, dengan omongan yang tak berubah (juga data yang freeze), dan berkacamata kuda. UU Penyiaran 2002 sesungguhnya sudah mengaturnya, namun pemerintah yang berkelindan (berselingkuh) dengan kapital, kini memukul balik pada Partai Demokrat yang "berseteru" dengan TV-One (yang ditengarai ke Aburizal Bakrie, Golkar) dan Metro-TV (Surya Paloh, Pardem). Jika sejak dulu pemerintah konsisten dengan UU Penyiaran sebelum direvisi, kasus semacam ini bisa terhindarkan. Tapi ciri kelompok kepentingan, barulah berpikir normatif ketika kepentingannya dirugikan.
Sekiranya segala macam aturan, undang-undang (tentu saja undang-undang yang mulia, karena tak tertutup kemungkinan kejahatan negara dimulai dari perancangan undang-undangnya), itu ditegakkan, maka tabrakan kepentingan bisa dihindarkan sejak awal. Itulah sebabnya, dalam skala yang lebih luas, Enstein si filsuf jabrik itu mengingatkan bagaimana kepemimpinan yang gagal mempunyai dampak yang luas. "Tidak ada yang lebih merusak martabat pemerintah dan hukum negeri, dibanding meloloskan undang-undang yang tidak bisa ditegakkan!"
Dalam konstelasi politik demikian itu, di manakah peranan atau posisi media massa? Pembawa terang, ataukah penumpang gelap?
Komunikasi kita dewasa ini, sebagaimana dimunculkan dalam berbagai media kita, selalu begitu bersemangat terjebak dalam text by text, namun tak pernah bisa mengurai apa context dari semua itu. Apalagi jika media kita lebih asyik-masyuk pada peristiwa-peristiwa, dan tidak pernah mengerti permasalahan-permasalahan yang menjadikan semuanya itu terjadi.
Alangkah menyedihkannya media (lebih khusus lagi lihat media televisi kita) yang terjebak dalam kotak kedunguannya, sehingga ia tidak pernah menjadi inspirasi, karena sebagaimana cermin, ia hanya memantulkan. Jika demikian, masih perlukah belajar tentang komunikasi massa di sana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...