Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq, berarti "pembela kebenaran"; lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 dan meninggal di Jakarta 4 November 1954), salah satu pahlawan, diplomat, pejuang kemerdekaan kita, bisa disebut seorang yang keras kepala, tanpa kompromi.
Pada tahun 1934, karena tugas, Agus Salim dan keluarga untuk kesekian kali pindah rumah, dan untuk itu harus berurusan dengan NIGM (Perusahaan Gas dan Listrik Hindia Belanda). Tapi gara-gara dikecewakan oleh birokrasi NIGM, yang menurutnya njelimet, Agus Salim memilih tak memakai gas dan listerik. Maka, rumah yang kebetulan berada di Gang Listrik itu, adalah satu-satunya tempat yang memakai lampu minyak.
Tapi sekali pun keras kepala, Agus Salim sesungguhnya seorang humanis. Ini cerita Ibu Jojet (anak Agus Salim, janda Johan Syahruzah, sekjen PSI), ketika Agus Salim tinggal di Yogyakarta pada 1922;
Jojet kecil, anak yang tak bisa tahan dengan air hujan. Berkali-kali ibunya marah dan meminta berhenti, menyalini dengan pakaian kering, Jojet kembali balik berhujan-hujan. "Pakaian kamu habis untuk berhujan-hujan jika kamu tak berhenti,..." kata ibunya.
Entah bagaimana, akhirnya justeru Jojet yang menawarkan agar dia diikat dengan stagen ibunya. Agus Salim dengan terpaksa, sesuai permintaan anaknya, mengikatnya dengan stagen.
Baru 10 menit, Agus Salim bertanya pada Jojet, apakah ikatannya boleh dibuka? Si anak menggeleng karena masih hujan.
Begitulah, beberapa kali Agus Salim bertanya dan ditolak anaknya.
Lama-lama pak jenggot ini kasihan juga, kemudian ia berkata pada isterinya, bahwa anak itu (Jojet) sudah tidak nakal lagi, tapi memang tidak bisa tahan kalau melihat hujan. Maka kemudian dilepaslah ikatan stagen pada Jojet. Dan apa yang terjadi kemudian? Justeru Agus Salimlah yang mengajak Jojet bermain hujan di sepanjang gang di Kampung Kauman, sebelah barat Alun-alun Lor Yogyakarta itu.
Agus Salim juga seorang pembicara ulung. Suatu saat, ketika dirinya sedang menjadi Guest Lecturer pada Cornell Univercity, 1953, Prof. Kahin, Indonesianis sohor itu bikin perkara. Gara-garanya, suatu ketika ia hendak ketamuan Ngo Dhin Dhiem (pernah menjadi Perdana Menteri Vietnam). Kenalan baiknya dari Vietnam ini, dikenal sebagai pembicara ulung. Begitu ia ngomong, orang lain tak bisa membantah dan hanya menjadi kambing-congek alias pendengar semata.
Kahin pun bikin acara makan bersama dengan mengundang Agus Salim dan Ngo Din Dhiem. Kahin tahu, bahwa walau pun Ngo tidak dapat bahasa Inggris, Agus Salim cukup fasih dalam bahasa Perancis yang dikuasai Ngo. Hasilnya?
Menurut Pak Kahin, kurang dari satu jam saja sudah ketahuan, Agus Salim menguasai pembicaraan dan membuat Ngo lebih banyak mengangguk-anggukkan kepala sembari mendengarkan penuh kekaguman.
Tapi, Agus Salim pernah mengaku dibuat tak berkutik oleh si Tukang Sado. Kelihaiannya bersilat lidah, tumpas sudah oleh rakyat jelata yang tentu pendidikan formalnya tak setinggi Agus Salim.
Pada suatu hari, di tahun `1925, Agus Salim naik sado (delman). Tiba-tiba, si kuda mengeluarkan bunyi kentut yang ribut.
"Wah, Bang, kudanya rupanya masuk angin,..." komentar Agus Salim pada si Tukang Sado.
Si Tukang Sado menukas gesit, "Bukan masuk angin, Tuan, tapi keluar angin,...!"
Agus Salim terdiam. | Sunardian berdasarkan tulisan Ibu Jojet, dari majalah Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, No 3, Tahun II Edisi April 1978
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar