Catatan : Sunardian Wirodono
NURHAYATI SRI HARDINI, 76 tahun lalu lahir (29 Februari 1936) di Semarang. Siapa nama ini, tentu agak asing. Namun tidak jika kita menyebut favename-nya sebagai Nh. Dini. Dengan segera kita akan mengetahui beberapa karyanya seperti "Pada Sebuah Kapal" (1972), "La Barka" (1975), "Namaku Hiroko" (1977), "Orang-orang Tran" (1983), "Pertemuan Dua Hati" (1998), dan sebagainya. Ia adalah perempuan penulis sastra terkemuka kita.
Jika kita hendak mengenalnya, sangat mudah, karena ia menulis serangkaian cerita kenangan, seperti "Sebuah Lorong di Kotaku" (1978), "Padang Ilalang di Belakang Rumah" (1979), "Langit dan Bumi Sahabat Kami" (1979), "Sekayu" (1981), dan "Kuncup Berseri" (1982). Semuanya itu, secara sangat jelas menggambarkan kehidupan masa lalunya di Semarang.
Sesuai bentuknya sebagai cerita kenangan, kelima karya itu bercerita mengenai kenangan dan pengalamannya dari masa kecil sampai menjelang memasuki usia dewasa. Meski pun dalam cerita kenangan tersebut, Nh. Dini tidak hanya menceritakan kenangan pribadi, melainkan juga menyoroti berbagai peristiwa dan budaya masyarakat tempat dia tumbuh, yaitu budaya Jawa. Untuk melanjutkan pemahaman tentang beliau, ada baiknya kemudian jika kita membaca novel terbaru Nh. Dini "La Grande Borne" (2007), yang dengan sedikit terang-benderang menceritakan episode penting perkawinannya dengan Yves Coffin (diplomat Prancis), hingga pada mimpinya untuk melarikan dua anaknya, Lintang dan Padang.
Tahun 1957-1960 bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways), sebagai pramugari. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut-turut ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat. Namun perkawinannya retak, hubungannya dengan suami memburuk. Apalagi ketika suaminya tak lagi sebagai diplomat, namun justeru makin sibuk sendiri dengan hobi fotografi.
Dua anaknya memang tidak mengikuti Dini, karena mahligai perkawinannya ambruk 1980. Dan ia tidak mendapatkan apa-apa. Waktu itu semua orang menyalahkannya, karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak (Marie-Claire Lintang, kini tinggal di Perancis, 43 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini tinggal di Kanada, 37 tahun). Dan karena itu pula, ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS, yang itu pun kemudian digunakan untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang, ketika memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Nh. Dini kembali berpindah kewarganegaraan Indonesia pada 1985, setelah lima tahun sebelumnya mulai menetap di Jakarta dan Semarang.
Dini dididik dalam tradisi kepriyayian Jawa yang menjunjung nilai-nilai ke-kstaria-an, kedua orangtuanya bisa dibilang liberal dan egaliter dalam mendidik anak-anaknya, meski tetap memegang teguh kesantuan priayi. Dan memang, jadilah Dini seorang yang kritis, apalagi sebagai perempuan yang risau akan persoalan gender (menurut Budi Darma, semua itu tercermin dalam karya-karya Dini yang penuh kemarahan pada kaum laki-laki).
Kehidupan di Indonesia, adalah masa-masa sulitnya. Apalagi pada tahun-tahun 1996-2000. Ia tak punya rumah. Nebeng di rumah temannya yang sempit dan reyot. Bahkan ia juga hidup dari topangan keuangan teman-temannya. Royalti dari buku-bukunya yang laris, tidak memadai, apalagi itu diberikan per-semester. Ia belum masuk dalam periode booming buku sebagaimana Andrea Hirata misalnya. Padahal, ia banyak menerima penghargaan dari berbagai pihak. Saking pahitnya hidup, piagam, piala, trofi, semuanya dikumpulkan untuk kemudian dijualnya ke penjual rongsokan. Hasilnya? Dari semua penghargaannya itu, ia mendapat uang Rp 200.000 (duaratus ribu rupiah), karena ia memang butuh uang untuk hidupnya.
Belum lagi ketika hepatitis B merangseknya. Hidupnya seolah hancur. Ia butuh perawatan kesehatan yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian pula kemudian penyakit vertigonya, hingga ia tidak bisa menulis lagi. Ia banting setir menjadi pelukis, sempat pameran dan laku beberapa. Namun, beberapa tahun kemudian, ia merasa Tuhan tidak merestui tentang banting setir profesi itu.
Dini seorang yang keras kepala, dan untuk prinsipnya, tak bisa ditawar. Karena itu juga, ia seorang yang gigih. ia bisa tidak kompromi. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000. Hingga sampai piagam dan piala-piala penghargaan yang dijualnya dengan "penghargaan" Rp 200.000 dari si penjual rongsokan tadi.
Baru pada tahun 2003, ia mendapat penghargaan berupa uang dari Pusat Bahasa (Depdiknas) sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah), itu pun, karena Megawati (sebagai Wakil Presiden waktu itu), mendengar Ratu Sirikit memberinya hadiah Rp 50.000.000 (limapuluh juta rupiah) berkait dengan SEA Write Award yang diterima Dini dari pemerintah Thailand. Baru pada 2011, Freedom Institute memberinya penghargaan Bakrie Award dengan nominal Rp 50.000.000.
Namun biaya hidup Dini memang tinggi. Boros? Ya, terutama untuk perawatan kesehatannya yang setiap minggu harus melakukan terapi bagi penyakit yang dideritanya. Ia benar-benar paria dan tak punya apa-apa. Dewan Kesenian Jawa Tengah pernah menggalang dana, dan mendapatkan Rp 11 juta untuk pembiayaan perawatan hepatitys B yang disandangnya waktu itu. Untuk kehidupan kesehariannya, dulu ada seorang teman pramugari GIA yang membantunya, sebulan memberinya Rp 500.000, namun setelah suami dari teman itu meninggal, bantuan itu tak pernah ada lagi.
Sebagai orang yang hidup sendiri, sampai akhirnya 2003-2006 ia tinggal di Panti Wreda (Rumah Lansia) di Yogyakarta, dan sempat memindahkan perpustakaan anak-anaknya ke Yogya pula. Tapi 2007 ia pindah ke Rumah Lansia Wisma Langen Werdhasih, Desa Lerep, Kec. Ungaran, Kab. Semarang (30 km selatan kota Semarang). Untuk mengobati penyakit vertigonya, karena tak mau menyusahkan orang lain, NH Dini merelakan sekitar 30 lukisan yang dibuatnya untuk dijual.
Dalam perbincangan saya di Yogya (2004), Dini pernah mengatakan, bagaimana penghargaan pemerintah Malaysia pada seniman. Seorang setaraf Nh, Dini, di Malaysia, akan diangkat sebagai sastrawan negara, yang artinya semua kehidupannya ditanggung oleh negara. Biasanya, untuk mereka yang telah berusia di atas 50 tahun dan telah mengabdi dalam profesinya selama 10 tahun.
Saya tiba-tiba teringat pada film "Iris" (Richard Eyre, 2001), true story novelis Iris Murdoch yang diperankan Judi Dench dan Kate Winslet sekaligus, gambaran kehidupan terkininya hampir mirip.
Dalam sebuah wawancara dengan media online, Nh. Dini menceriterakan bahwa dirinya pernah berkirim surat kepada Presiden SBY. Bukan untuk meminta bantuan, melainkan meminta Askes (Asuransi Kesehatan), yang itu pun artinya hanya akan mendapat subsidi 10% dari biaya perawatan kesehatan. Tiga kali ia menulis surat dan baru kemudian mendapatkan jawaban dari Setneg, bahwa dirinya tidak termasuk nama yang mendapatkan Askes. "Itu betul-betul kurangajar," Dini geram, "itu akan kualat sama saya nanti. Dan itu masuk dalam doa saya,..."
Kini, Nh. Dini yang mempesona dengan karya-karyanya itu, menunggui lukisan-lukisannya, di lereng perbukitan sunyi di Ungaran. Menunggui lukisan-lukisan itu dibeli oleh siapapun yang sudi, untuk membiayai vertigonya.
Mbak Dini, Tuhan besertamu. Semoga dikuatkan dan dipasrahkan, dalam 76 tahun perjalanan hidupmu! | Lereng Merapi, 28 Februari 2012
Selasa, Februari 28, 2012
Senin, Februari 27, 2012
Nh. Dini. Dalam Kesendirian dan Kegigihannya
Renungan 76 Tahun Nh. Dini, 29 Februari 1936-2012
Oleh Sunardian Wirodono
"Aku mendapat sebutan perempuan simpanan dari mulut masyarakat. Tetapi itu tidak menyinggung perasaanku. Aku dan Yoshida saling membutuhkan. Dia memberiku semua yang kuminta. Tetapi aku tidak pernah mengganggu ketentraman orang lain, tidak merugikan siapa pun. Bahkan aku menolong banyak dan kawan dan kenalan dengan hartaku. Penghasilan bar Manhattan kupergunakan buat membangun kembali rumah orangtuaku. Juga buat menyekolahkan adikku. Seorang belajar ilmu pertanian, lainnya ilmu peternakan. Kedua pengetahuan itu dapat digabung guna pembangunan desa."
Demikian kutipan novel "Namaku Hiroko" (Pustaka Jaya, 1977) karya Nh. Dini, yang diselesaikan dan tidak diubah lagi pada Agustus 1974 di Semarang. Novel ini cukup laris pada jamannya, dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Apalagi sebagai perempuan penulis, Nh. Dini pastilah mempunyai sudut pandang yang unik dan orisinal, setidaknya berbeda, dibanding dengan mayoritas para lelaki penulis pada saatnya.
Nh. Dini, termasuk penulis yang produktif. Beberapa di antaranya yang sangat terkenal, Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1998), dan masih banyak lagi berupa kumpulan cerpen, novellet ataupun cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki.
Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya.
Nh. Dini, lahir di Semarang, 29 Februari 1936. Tahun 1957-1960 bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways), sebagai pramugari. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut-turut ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang, serta pernah pula di Yogyakarta.
Nh. Dini, adalah perempuan novelis Indonesia yang kuat. Dia bukan masuk sastra motivasi sebagaimana umumnya perempuan penulis masa kini, tetapi sebagai angkatan lama ia seorang penulis sastra yang soliter. Bahkan dalam novel Namaku Hiroko yang dikutip di atas, menampakkan munculnya pandangan generasi baru kaum perempuan. Sekali pun setting yang dipakainya adalah Jepang, Nh. Dini sedang berbicara tentang dirinya sebagai bagian dari kaum perempuan Indonesia pada tahun-tahun awal Orde Baru.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai penulis sastra di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta (atas hal ini, ia "rela" kehilangan dua anaknya, perempuan dan lelaki, yang tinggal di luar negeri, yang waktu itu dalam asuhan suaminya). Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu (Semarang).
Menjadi pengarang selama hampir 70 tahun tidaklah mudah. Tahun 1996-2000, ia sempat menjual barang-barangnya. Apalagi ketika sakit terkena hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh berbagai kalangan. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Dini tersentuh hatinya, ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya.
Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta, di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan, untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, diteruskan di aula Graha Wredha Mulya Yogyakarta.
Ulangtahunnya dirayakan dalam empat tahun sekali. Tahun ini, kalender Februari ditutup pada tanggal 29, itu hari kelahirannya, 76 tahun silam. Mau merayakan tahun ini, atau nunggu empat tahun lagi?
NH Dini sekarang tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran. Dengan kesendiriannya. Selamat ulang tahun Mbak, beserta hormat saya!
MEWAWANCARAI PENULIS TERMAHAL
Pada jaman dulu kala, pada dekade 80-an, ada dua penulis jual mahal bagi kalangan pers. Yang satu bernama Ashadi Siregar (penulis novel seri "Cintaku di Kampus Biru"), dan satunya lagi bernama Nh. Dini. Mahal dalam pengertian, tak mudah untuk bisa mengajak mereka berbincang. Apalagi Nh. Dini, yang telah "berpengalaman" hidup di berbagai negara. Untuk mewawancarainya, ia memberlakukan tarif tertentu, yang bisa jadi lebih gede daripada gaji sebulan wartawan cemen. Hm, ngehek juga, huh!
Tapi saya beruntung, ketika pada awal 1980, saya bertemu dengan Nh. Dini tak sengaja, ketika beliau pas ke Indonesia. Sebagai wartawan culun pada awal-awal ke Jakarta, saya mendapat tugas untuk membuat wawancara in-depth dengan Ajip Rosidi yang kebetulan hendak berangkat ke Jepang. Eh, di rumah Mang Ajip di Kukusan (Depok), berkumpul Nh Dini dan seorang kritikus sastra (yang mampus gue, hingga waktu mau upload tulisan ini nggak keinget, siapaaaa, maafkan hamba).
Justeru karena "tidak memburu" Nh. Dini itulah, saya jadi lebih leluasa berbincang, meski pura-pura fokus ke Ajip Rosidi. Tapiiii, problemnya, pimred saya di majalah perbukuan OPTIMIS, Kasijanto (kini dosen sejarah UI), tak mau ambil resiko, takut kalau dituntut. Wah, jadul banget ya? Coba media sekarang, pasti bras-bress!
"Ini yang diwawancarai siapa?" Ajip Rosidi lama-lama curiga.
"Dudu aku to, Dik?" Nh. Dini memotong.
Saya cuma cengengesan.
Oleh Sunardian Wirodono
"Aku mendapat sebutan perempuan simpanan dari mulut masyarakat. Tetapi itu tidak menyinggung perasaanku. Aku dan Yoshida saling membutuhkan. Dia memberiku semua yang kuminta. Tetapi aku tidak pernah mengganggu ketentraman orang lain, tidak merugikan siapa pun. Bahkan aku menolong banyak dan kawan dan kenalan dengan hartaku. Penghasilan bar Manhattan kupergunakan buat membangun kembali rumah orangtuaku. Juga buat menyekolahkan adikku. Seorang belajar ilmu pertanian, lainnya ilmu peternakan. Kedua pengetahuan itu dapat digabung guna pembangunan desa."
Demikian kutipan novel "Namaku Hiroko" (Pustaka Jaya, 1977) karya Nh. Dini, yang diselesaikan dan tidak diubah lagi pada Agustus 1974 di Semarang. Novel ini cukup laris pada jamannya, dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Apalagi sebagai perempuan penulis, Nh. Dini pastilah mempunyai sudut pandang yang unik dan orisinal, setidaknya berbeda, dibanding dengan mayoritas para lelaki penulis pada saatnya.
Nh. Dini, termasuk penulis yang produktif. Beberapa di antaranya yang sangat terkenal, Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1998), dan masih banyak lagi berupa kumpulan cerpen, novellet ataupun cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki.
Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya.
Nh. Dini, lahir di Semarang, 29 Februari 1936. Tahun 1957-1960 bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways), sebagai pramugari. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut-turut ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang, serta pernah pula di Yogyakarta.
Nh. Dini, adalah perempuan novelis Indonesia yang kuat. Dia bukan masuk sastra motivasi sebagaimana umumnya perempuan penulis masa kini, tetapi sebagai angkatan lama ia seorang penulis sastra yang soliter. Bahkan dalam novel Namaku Hiroko yang dikutip di atas, menampakkan munculnya pandangan generasi baru kaum perempuan. Sekali pun setting yang dipakainya adalah Jepang, Nh. Dini sedang berbicara tentang dirinya sebagai bagian dari kaum perempuan Indonesia pada tahun-tahun awal Orde Baru.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai penulis sastra di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta (atas hal ini, ia "rela" kehilangan dua anaknya, perempuan dan lelaki, yang tinggal di luar negeri, yang waktu itu dalam asuhan suaminya). Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu (Semarang).
Menjadi pengarang selama hampir 70 tahun tidaklah mudah. Tahun 1996-2000, ia sempat menjual barang-barangnya. Apalagi ketika sakit terkena hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh berbagai kalangan. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Dini tersentuh hatinya, ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya.
Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta, di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan, untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, diteruskan di aula Graha Wredha Mulya Yogyakarta.
Ulangtahunnya dirayakan dalam empat tahun sekali. Tahun ini, kalender Februari ditutup pada tanggal 29, itu hari kelahirannya, 76 tahun silam. Mau merayakan tahun ini, atau nunggu empat tahun lagi?
NH Dini sekarang tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran. Dengan kesendiriannya. Selamat ulang tahun Mbak, beserta hormat saya!
MEWAWANCARAI PENULIS TERMAHAL
Pada jaman dulu kala, pada dekade 80-an, ada dua penulis jual mahal bagi kalangan pers. Yang satu bernama Ashadi Siregar (penulis novel seri "Cintaku di Kampus Biru"), dan satunya lagi bernama Nh. Dini. Mahal dalam pengertian, tak mudah untuk bisa mengajak mereka berbincang. Apalagi Nh. Dini, yang telah "berpengalaman" hidup di berbagai negara. Untuk mewawancarainya, ia memberlakukan tarif tertentu, yang bisa jadi lebih gede daripada gaji sebulan wartawan cemen. Hm, ngehek juga, huh!
Tapi saya beruntung, ketika pada awal 1980, saya bertemu dengan Nh. Dini tak sengaja, ketika beliau pas ke Indonesia. Sebagai wartawan culun pada awal-awal ke Jakarta, saya mendapat tugas untuk membuat wawancara in-depth dengan Ajip Rosidi yang kebetulan hendak berangkat ke Jepang. Eh, di rumah Mang Ajip di Kukusan (Depok), berkumpul Nh Dini dan seorang kritikus sastra (yang mampus gue, hingga waktu mau upload tulisan ini nggak keinget, siapaaaa, maafkan hamba).
Justeru karena "tidak memburu" Nh. Dini itulah, saya jadi lebih leluasa berbincang, meski pura-pura fokus ke Ajip Rosidi. Tapiiii, problemnya, pimred saya di majalah perbukuan OPTIMIS, Kasijanto (kini dosen sejarah UI), tak mau ambil resiko, takut kalau dituntut. Wah, jadul banget ya? Coba media sekarang, pasti bras-bress!
"Ini yang diwawancarai siapa?" Ajip Rosidi lama-lama curiga.
"Dudu aku to, Dik?" Nh. Dini memotong.
Saya cuma cengengesan.
Hari Gini Masih Berfesbuk? Sebuah Metamorfosis Jejaring Sosial
Catatan Sunardian Wirodono
Penemuan jejaring sosial seperti facebook dan twitter, bagi masyarakat Indonesia, bisa menjadi berkah namun juga bisa sebaliknya. Menjadi berkah, karena ruang partisipasi publik, yang semenjak "Demokrasi Terpimpin" Sukarno (1957) makin dimutlakkan oleh Soeharto (1968-1998), dan tidak mengalami revisi atau reformasi dalam sistem politik kita hingga hari ini, seolah bisa seketika dipotong. Faham demokrasi yang paling purba meruak, siapa saja boleh ngomong.
Celakanya, ada dua hal yang menghawatirkan mengenai hal ini. Yang pertama, masyarakat kita tidak terdidik untuk partisipasi itu, karena lama terkungkung sebagai obyek. Ketika ujug-ujug ruang itu terbuka, ketidakterlatihan itu bisamemunculkan masalah-masalah baru.
Secara teknis, karena masyarakat kita dipaksa berkomunikasi secara tertulis, namun masyarakat kita bukanlah masyarakat yang terdidik dalam hal itu. Sehingga bentuk komunikasi tertulis itu masih saja mengesankan fakta, bahwa kita adalah masyarakat lisan. Bukan masyarakat yang mengalami proses literacy media, wong minat baca saja rendah. Padahal kita tahu, ketiadaan referensi tentu akan memberikan problem serius dalam berkomunikasi tulis. Munculnya bahasa alay, adalah contoh bagaimana komunikasi tulis bisa dipaksa oleh keterbatasan keypad handphone dan jumlah karakter maksimal yang dibolehkan. Belum lagi ketika Mark Zuckerbergh harus berkompetisi dengan jejaring sosial lainnya, sehingga facebook kini bisa diakomodasi memakai handphone, yang tentu targetnya adalah pemudahan pengaksesan, untuk menjaring pemakai sebanyak-banyaknya. Sementara kita tahu, kemampuan akses hp yang terbatas, makin membuat pola komunikasi fb menjadi makin personal dan eksklusif. Apalagi, fb yang semula mengatakan carilah sebanyak-banyaknya sahabat, kini dibatasi dengan syarat aneh, "apakah anda mengenal dia,..." kalau sudah kenal ngapain juga kenalan (lagian kalau belum kenal, emang mau ngenalin)?
Faktor kedua; Dengan mudahnya membuat email, sebagai syarat untuk membuat akun fb, media ini kemudian menjadi semacam "junk media", karena jati diri atau identitas pemilik akun tidak terverifikasi. Ada banyak nama-nama indah di sana, seperti "Penyair Berdarah", "Rembulan Retak", "Pengelana Asmara", "Yang Tersakiti Selalu", "Pemuja Janda", dan entah apalagi, yang entah apa pula tujuannya.
Dari dua hal tersebut, maka kita bisa mengerti, apa saja yang muncul dalam berbagai status dan komentar jejaring sosial bernama fesbuk itu. Ia kemudian tak jauh beda dengan handphone yang bisa mengirim SMS atau MMS, hanya dengan cara yang sedikit lebih canggih. Misalnya, bisa serentak diketahui oleh mutual friends atau yang terkoneksi. Dalam komunikasi handphone, ia hanya bisa berkomunikasi dengan satu nomor saja (BB dan hp yang canggih mengembangkan komunikasi grup, namun tetap saja terbatas). Sementara, di fesbuk (atau twitter) bisa terakses dengan komunikan yang lebih terbuka, meski di luar "komunitas" dan kepentingannya, tetap saja tidak terjadi komunikasi karena komunike-nya tidak dikenali alias asing.
Maka kemudian perkembangan fb ditengarai dengan dua kecenderungan. Pertama para fesbuker yang tidak nyaman, pada akhirnya kembali ke fitrahnya, dengan memakai fasilitas fesbuk seperti membuat "grup" atau "page", karena di sana mereka bisa memilih yang seide, sehobi, sepemikiran, seminat, karena merasa lebih nyaman dalam berkomunikasi. Kecenderungan kedua, pola komunikasi fesbuk menjadi makin terseleksi hanya pada kelompok yang memang di dunia nyata sudah saling kenal, baik teman sekolah, kampus, yang kini masih satu kota atau tersebar ke berbagai negara. Isi "pembicaraan tertulis" mereka, adalah persoalan-persoalan internal mereka, isyu-isyu domestik dengan idiom-idiom personalnya yang orang di luar kepentingan dan komunitas itu tidak dengan leluasa bisa "tune in". Apalagi jika yang muncul adalah soal yang benar-benar sangat pribadi, dengan kalimat menggantung, informasi yang sesat dan "ngapain juga urusannya,...!"
Pada pertama kali, tampaknya hal itu menyenangkan, karena media fesbuk mampu menawarkan alternatif, pola lain dalam berkomunikasi. Bagi mereka para pemuja konsep "antitese" yang selalu melafalkan perlawanan pada berbagai kebekuan sistem, fesbuk dianggap sebagai media yang membebaskan. Namun pada sisi lain, perlahan dan pasti, pada akhirnya fesbuk justeru menjadi penjajah baru, karena kita tidak berada dalam kapasitas yang sama, sejajar, setara, yang memungkinkan munculnya komunikasi dan informasi yang elegant.
Lantas, apa masalahnya? Tak ada. Ini hanya analisis fakta, yang fungsinya lebih untuk memposisikan diri atau menyikapinya. Karena masing-masing orang tentu mempunyai pilihannya sendiri-sendiri. Maka, kita akan melihat, bagaimana jika kelak facebook melakukan verifikasi data mengenai akun-akunnya. Artinya, seseorang hanya akan mempunyai satu akun, dengan data pemilik yang telah diverifikasi kebenaran faktualnya. Maka nama-nama "alias" yang puitis dan sadis itu, dengan sendirinya akan musnah. Jika pun ada fave-name, maka identitas kepemilikannya jelas.
Kenapa? Tentu saja Mark Zuckerberg tak mau kehilangan muka, karena medianya pada satu sisi dianggap tidak memiliki peran significant dalam dunia komunikasi, karena ia hanya sekedar mengeksploitasi (dan bukan mengeksplorasi) pertumbuhan masyarakat. Dalam masyarakat yang un-educated, media yang mempunyai kelebihan dan kelemahan seperti fesbuk, akan menjadi alat ampuh untuk tumbuhnya anomali dan dekadensi. Beberapa penelitian membuktikan, bagaimana pola komunikasi di fesbuk (juga twitter) ditengarai mulai menjadi tidak nyaman. Kenapa? Karena media itu memfasilitasi orang tidak bertanggungjawab untuk melakukan apa saja tanpa bisa ditengarai kualitasnya. Dalam masyarakat normal saja, tak sedikit kita temui perilaku lempar batu sembunyi tangan, apalagi ketika ada teknologi yang memberikan fasilitas untuk itu.
Masyarakat yang rindu eksis, dan masyarakat yang kurang terdidik, akan merasakan bagaimana kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dunia maya. Namun, kecanggihan teknologi itu tidak memberikan makna apa-apa kecuali pemuasan nafsu pribadi, sebagai masyarakat konsumen yang pemilih, namun tak mampu menyodorkan content. Itu jika kita sepakat yang bernama content bukanlah sekedar "isi" melainkan "berisi". Isi adalah fakta, bisa besar bisa kecil, tetapi "berisi" adalah suatu proses pemuliaan untuk menambah, memuliakan, memproses ke arah kebaikan, dan sejenisnya.
Penemuan jejaring sosial seperti facebook dan twitter, bagi masyarakat Indonesia, bisa menjadi berkah namun juga bisa sebaliknya. Menjadi berkah, karena ruang partisipasi publik, yang semenjak "Demokrasi Terpimpin" Sukarno (1957) makin dimutlakkan oleh Soeharto (1968-1998), dan tidak mengalami revisi atau reformasi dalam sistem politik kita hingga hari ini, seolah bisa seketika dipotong. Faham demokrasi yang paling purba meruak, siapa saja boleh ngomong.
Celakanya, ada dua hal yang menghawatirkan mengenai hal ini. Yang pertama, masyarakat kita tidak terdidik untuk partisipasi itu, karena lama terkungkung sebagai obyek. Ketika ujug-ujug ruang itu terbuka, ketidakterlatihan itu bisamemunculkan masalah-masalah baru.
Secara teknis, karena masyarakat kita dipaksa berkomunikasi secara tertulis, namun masyarakat kita bukanlah masyarakat yang terdidik dalam hal itu. Sehingga bentuk komunikasi tertulis itu masih saja mengesankan fakta, bahwa kita adalah masyarakat lisan. Bukan masyarakat yang mengalami proses literacy media, wong minat baca saja rendah. Padahal kita tahu, ketiadaan referensi tentu akan memberikan problem serius dalam berkomunikasi tulis. Munculnya bahasa alay, adalah contoh bagaimana komunikasi tulis bisa dipaksa oleh keterbatasan keypad handphone dan jumlah karakter maksimal yang dibolehkan. Belum lagi ketika Mark Zuckerbergh harus berkompetisi dengan jejaring sosial lainnya, sehingga facebook kini bisa diakomodasi memakai handphone, yang tentu targetnya adalah pemudahan pengaksesan, untuk menjaring pemakai sebanyak-banyaknya. Sementara kita tahu, kemampuan akses hp yang terbatas, makin membuat pola komunikasi fb menjadi makin personal dan eksklusif. Apalagi, fb yang semula mengatakan carilah sebanyak-banyaknya sahabat, kini dibatasi dengan syarat aneh, "apakah anda mengenal dia,..." kalau sudah kenal ngapain juga kenalan (lagian kalau belum kenal, emang mau ngenalin)?
Faktor kedua; Dengan mudahnya membuat email, sebagai syarat untuk membuat akun fb, media ini kemudian menjadi semacam "junk media", karena jati diri atau identitas pemilik akun tidak terverifikasi. Ada banyak nama-nama indah di sana, seperti "Penyair Berdarah", "Rembulan Retak", "Pengelana Asmara", "Yang Tersakiti Selalu", "Pemuja Janda", dan entah apalagi, yang entah apa pula tujuannya.
Dari dua hal tersebut, maka kita bisa mengerti, apa saja yang muncul dalam berbagai status dan komentar jejaring sosial bernama fesbuk itu. Ia kemudian tak jauh beda dengan handphone yang bisa mengirim SMS atau MMS, hanya dengan cara yang sedikit lebih canggih. Misalnya, bisa serentak diketahui oleh mutual friends atau yang terkoneksi. Dalam komunikasi handphone, ia hanya bisa berkomunikasi dengan satu nomor saja (BB dan hp yang canggih mengembangkan komunikasi grup, namun tetap saja terbatas). Sementara, di fesbuk (atau twitter) bisa terakses dengan komunikan yang lebih terbuka, meski di luar "komunitas" dan kepentingannya, tetap saja tidak terjadi komunikasi karena komunike-nya tidak dikenali alias asing.
Maka kemudian perkembangan fb ditengarai dengan dua kecenderungan. Pertama para fesbuker yang tidak nyaman, pada akhirnya kembali ke fitrahnya, dengan memakai fasilitas fesbuk seperti membuat "grup" atau "page", karena di sana mereka bisa memilih yang seide, sehobi, sepemikiran, seminat, karena merasa lebih nyaman dalam berkomunikasi. Kecenderungan kedua, pola komunikasi fesbuk menjadi makin terseleksi hanya pada kelompok yang memang di dunia nyata sudah saling kenal, baik teman sekolah, kampus, yang kini masih satu kota atau tersebar ke berbagai negara. Isi "pembicaraan tertulis" mereka, adalah persoalan-persoalan internal mereka, isyu-isyu domestik dengan idiom-idiom personalnya yang orang di luar kepentingan dan komunitas itu tidak dengan leluasa bisa "tune in". Apalagi jika yang muncul adalah soal yang benar-benar sangat pribadi, dengan kalimat menggantung, informasi yang sesat dan "ngapain juga urusannya,...!"
Pada pertama kali, tampaknya hal itu menyenangkan, karena media fesbuk mampu menawarkan alternatif, pola lain dalam berkomunikasi. Bagi mereka para pemuja konsep "antitese" yang selalu melafalkan perlawanan pada berbagai kebekuan sistem, fesbuk dianggap sebagai media yang membebaskan. Namun pada sisi lain, perlahan dan pasti, pada akhirnya fesbuk justeru menjadi penjajah baru, karena kita tidak berada dalam kapasitas yang sama, sejajar, setara, yang memungkinkan munculnya komunikasi dan informasi yang elegant.
Lantas, apa masalahnya? Tak ada. Ini hanya analisis fakta, yang fungsinya lebih untuk memposisikan diri atau menyikapinya. Karena masing-masing orang tentu mempunyai pilihannya sendiri-sendiri. Maka, kita akan melihat, bagaimana jika kelak facebook melakukan verifikasi data mengenai akun-akunnya. Artinya, seseorang hanya akan mempunyai satu akun, dengan data pemilik yang telah diverifikasi kebenaran faktualnya. Maka nama-nama "alias" yang puitis dan sadis itu, dengan sendirinya akan musnah. Jika pun ada fave-name, maka identitas kepemilikannya jelas.
Kenapa? Tentu saja Mark Zuckerberg tak mau kehilangan muka, karena medianya pada satu sisi dianggap tidak memiliki peran significant dalam dunia komunikasi, karena ia hanya sekedar mengeksploitasi (dan bukan mengeksplorasi) pertumbuhan masyarakat. Dalam masyarakat yang un-educated, media yang mempunyai kelebihan dan kelemahan seperti fesbuk, akan menjadi alat ampuh untuk tumbuhnya anomali dan dekadensi. Beberapa penelitian membuktikan, bagaimana pola komunikasi di fesbuk (juga twitter) ditengarai mulai menjadi tidak nyaman. Kenapa? Karena media itu memfasilitasi orang tidak bertanggungjawab untuk melakukan apa saja tanpa bisa ditengarai kualitasnya. Dalam masyarakat normal saja, tak sedikit kita temui perilaku lempar batu sembunyi tangan, apalagi ketika ada teknologi yang memberikan fasilitas untuk itu.
Masyarakat yang rindu eksis, dan masyarakat yang kurang terdidik, akan merasakan bagaimana kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dunia maya. Namun, kecanggihan teknologi itu tidak memberikan makna apa-apa kecuali pemuasan nafsu pribadi, sebagai masyarakat konsumen yang pemilih, namun tak mampu menyodorkan content. Itu jika kita sepakat yang bernama content bukanlah sekedar "isi" melainkan "berisi". Isi adalah fakta, bisa besar bisa kecil, tetapi "berisi" adalah suatu proses pemuliaan untuk menambah, memuliakan, memproses ke arah kebaikan, dan sejenisnya.
Minggu, Februari 26, 2012
Jika Media Massa Hanya Cerminan, Buat Apa Jurnalisme Dipelajari?
Oleh Sunardian Wirodono
Barangkali, aturan etik profesional wartawan dulu dengan jurnalis masa kini beda, utamanya soal ber-opini. Contoh kasus pada Iwan Pilliang, jurnalis jejaring sosial yang meroket karena kasus Nazaruddin, begitu bisa tidak berjarak dengan opininya yang sangat personal. Bukan mengorek informasi, namun dia sangat terpesona dengan memverifikasi data atau fakta, yang data dan fakta itu sayangnya sudah ngendon terlebih dulu di kepalanya sebagai sesuatu yang diyakini benar. Tantangan menarik untuk mengukur obyektifitas, ketika ia ngotot mempersoalkan besar-kecil skala kesalahan etik. Baginya, kesalahan etik sekecil apapun, sudah cukup untuk (menyingkirkan) Chandra Hamzah dari KPK. Ini contoh formalisme berfikir dalam text, dan tidak melihat context.
Itu sama persis target perjuangan OC Kaligis dan kawan-kawan dari kubu Nazaruddin. Tembak dulu lewat etik, karena disitu celahnya. Kalau dari sisi ini mereka menang, Bibit dan Chandra didepak, juga yang lainnya, kekuatan KPK bisa dirongrong lagi, tentu saja sembari buying time untuk mengulur waktu ke jadwal pidananya. Entah kenapa, OC Kaligis justeru yang kedepak dari Nazaruddin.
Pada sisi lain, DPR juga memiliki kecenderungan yang bersifat reaktif, menyerang balik ketika merasa diserang. Dengan kewenangan konstitusionalnya, parlemen kita menjadi terlihat tidak fokus, dan kedodoran dalam tugas-tugas legislasinya. Bahkan tak jarang, lembaga ini juga sibuk untuk membuat pressure group dengan membentuk lembaga-lembaga ad-hoc untuk melakukan pengawasan ini dan itu. Tak peduli jika hal itu sesungguhnya merupakan ranah yudikatif.
Sungguh kita bisa melihat, pressure group ini tampak begitu kompak, dan sangat tahu serta menguasai media. Media massa (terutama TV), yang kadang terlihat culun, juga tak jelas, apa agendanya. Mereka menjadi corong siapa saja, tetapi tak kita lihat arah media yang inspiring kecuali hanya memanfaatkan situasi, sebagai ciri khas orang jualan (berita).
Tiadanya sikap atau karakter media itu, membuat media lebih dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu. Selama ini, kita lihat, beberapa nama yang itu-itu juga, beredar dari tv satu ke tv lainnya, dari berbagai diskusi dan pertemuan, dengan omongan yang tak berubah (juga data yang freeze), dan berkacamata kuda. UU Penyiaran 2002 sesungguhnya sudah mengaturnya, namun pemerintah yang berkelindan (berselingkuh) dengan kapital, kini memukul balik pada Partai Demokrat yang "berseteru" dengan TV-One (yang ditengarai ke Aburizal Bakrie, Golkar) dan Metro-TV (Surya Paloh, Pardem). Jika sejak dulu pemerintah konsisten dengan UU Penyiaran sebelum direvisi, kasus semacam ini bisa terhindarkan. Tapi ciri kelompok kepentingan, barulah berpikir normatif ketika kepentingannya dirugikan.
Sekiranya segala macam aturan, undang-undang (tentu saja undang-undang yang mulia, karena tak tertutup kemungkinan kejahatan negara dimulai dari perancangan undang-undangnya), itu ditegakkan, maka tabrakan kepentingan bisa dihindarkan sejak awal. Itulah sebabnya, dalam skala yang lebih luas, Enstein si filsuf jabrik itu mengingatkan bagaimana kepemimpinan yang gagal mempunyai dampak yang luas. "Tidak ada yang lebih merusak martabat pemerintah dan hukum negeri, dibanding meloloskan undang-undang yang tidak bisa ditegakkan!"
Dalam konstelasi politik demikian itu, di manakah peranan atau posisi media massa? Pembawa terang, ataukah penumpang gelap?
Komunikasi kita dewasa ini, sebagaimana dimunculkan dalam berbagai media kita, selalu begitu bersemangat terjebak dalam text by text, namun tak pernah bisa mengurai apa context dari semua itu. Apalagi jika media kita lebih asyik-masyuk pada peristiwa-peristiwa, dan tidak pernah mengerti permasalahan-permasalahan yang menjadikan semuanya itu terjadi.
Alangkah menyedihkannya media (lebih khusus lagi lihat media televisi kita) yang terjebak dalam kotak kedunguannya, sehingga ia tidak pernah menjadi inspirasi, karena sebagaimana cermin, ia hanya memantulkan. Jika demikian, masih perlukah belajar tentang komunikasi massa di sana?
Barangkali, aturan etik profesional wartawan dulu dengan jurnalis masa kini beda, utamanya soal ber-opini. Contoh kasus pada Iwan Pilliang, jurnalis jejaring sosial yang meroket karena kasus Nazaruddin, begitu bisa tidak berjarak dengan opininya yang sangat personal. Bukan mengorek informasi, namun dia sangat terpesona dengan memverifikasi data atau fakta, yang data dan fakta itu sayangnya sudah ngendon terlebih dulu di kepalanya sebagai sesuatu yang diyakini benar. Tantangan menarik untuk mengukur obyektifitas, ketika ia ngotot mempersoalkan besar-kecil skala kesalahan etik. Baginya, kesalahan etik sekecil apapun, sudah cukup untuk (menyingkirkan) Chandra Hamzah dari KPK. Ini contoh formalisme berfikir dalam text, dan tidak melihat context.
Itu sama persis target perjuangan OC Kaligis dan kawan-kawan dari kubu Nazaruddin. Tembak dulu lewat etik, karena disitu celahnya. Kalau dari sisi ini mereka menang, Bibit dan Chandra didepak, juga yang lainnya, kekuatan KPK bisa dirongrong lagi, tentu saja sembari buying time untuk mengulur waktu ke jadwal pidananya. Entah kenapa, OC Kaligis justeru yang kedepak dari Nazaruddin.
Pada sisi lain, DPR juga memiliki kecenderungan yang bersifat reaktif, menyerang balik ketika merasa diserang. Dengan kewenangan konstitusionalnya, parlemen kita menjadi terlihat tidak fokus, dan kedodoran dalam tugas-tugas legislasinya. Bahkan tak jarang, lembaga ini juga sibuk untuk membuat pressure group dengan membentuk lembaga-lembaga ad-hoc untuk melakukan pengawasan ini dan itu. Tak peduli jika hal itu sesungguhnya merupakan ranah yudikatif.
Sungguh kita bisa melihat, pressure group ini tampak begitu kompak, dan sangat tahu serta menguasai media. Media massa (terutama TV), yang kadang terlihat culun, juga tak jelas, apa agendanya. Mereka menjadi corong siapa saja, tetapi tak kita lihat arah media yang inspiring kecuali hanya memanfaatkan situasi, sebagai ciri khas orang jualan (berita).
Tiadanya sikap atau karakter media itu, membuat media lebih dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu. Selama ini, kita lihat, beberapa nama yang itu-itu juga, beredar dari tv satu ke tv lainnya, dari berbagai diskusi dan pertemuan, dengan omongan yang tak berubah (juga data yang freeze), dan berkacamata kuda. UU Penyiaran 2002 sesungguhnya sudah mengaturnya, namun pemerintah yang berkelindan (berselingkuh) dengan kapital, kini memukul balik pada Partai Demokrat yang "berseteru" dengan TV-One (yang ditengarai ke Aburizal Bakrie, Golkar) dan Metro-TV (Surya Paloh, Pardem). Jika sejak dulu pemerintah konsisten dengan UU Penyiaran sebelum direvisi, kasus semacam ini bisa terhindarkan. Tapi ciri kelompok kepentingan, barulah berpikir normatif ketika kepentingannya dirugikan.
Sekiranya segala macam aturan, undang-undang (tentu saja undang-undang yang mulia, karena tak tertutup kemungkinan kejahatan negara dimulai dari perancangan undang-undangnya), itu ditegakkan, maka tabrakan kepentingan bisa dihindarkan sejak awal. Itulah sebabnya, dalam skala yang lebih luas, Enstein si filsuf jabrik itu mengingatkan bagaimana kepemimpinan yang gagal mempunyai dampak yang luas. "Tidak ada yang lebih merusak martabat pemerintah dan hukum negeri, dibanding meloloskan undang-undang yang tidak bisa ditegakkan!"
Dalam konstelasi politik demikian itu, di manakah peranan atau posisi media massa? Pembawa terang, ataukah penumpang gelap?
Komunikasi kita dewasa ini, sebagaimana dimunculkan dalam berbagai media kita, selalu begitu bersemangat terjebak dalam text by text, namun tak pernah bisa mengurai apa context dari semua itu. Apalagi jika media kita lebih asyik-masyuk pada peristiwa-peristiwa, dan tidak pernah mengerti permasalahan-permasalahan yang menjadikan semuanya itu terjadi.
Alangkah menyedihkannya media (lebih khusus lagi lihat media televisi kita) yang terjebak dalam kotak kedunguannya, sehingga ia tidak pernah menjadi inspirasi, karena sebagaimana cermin, ia hanya memantulkan. Jika demikian, masih perlukah belajar tentang komunikasi massa di sana?
Politikus dan Warisan Utang Negara
Malam hari hujan di pojokan Starbuck, yang terletak di puncak bukit Gunung Kidul, seberang pasar desa Gemolong nan miskin, bertemu beberapa nama beken. Udara dingin barangkali yang membuat mereka memilih nongkrong. Ada juga di sana, Kanjeng Ratu Kidul diiring oleh Mbah Maridjan.
"Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi, namun demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut," berkata Clement Atlee, mantan Perdana Menteri Inggris, setelah mencicipi mochacinno yang anget.
"Masalahnya, tutup mulut paling efektif itu dengan uang," Henry Ford, pendiri Ford Motor, sembari ngicipi secangkir Purwoceng, nyeletuk. "Berpikir adalah pekerjaan terberat, karena itulah sedikit sekali orang yang mau menggunakan otaknya."
Lyndon B. Johnson, presiden AS ke-36, ngekek mendengarnya, "Apabila dua orang selalu sepakat dalam segala hal, itu berarti cuma satu orang yang berpikir. Kwakwakwak,...!"
"Ketawanya kayak ketawa fesbuker," Will Rogers, sang pelawak itu menukas, "Itulah! Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang!"
Voltaire, sang filsuf yang sedari tadi keheran-heranan melihat sekepal es krim kemampul di atas kopi tubruknya menggeremeng, "Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya!"
"Kenapa begitu?" tanya SW (numpang beken, hiks) yang merasa agamanya beda, maksudnya, nggak punya duit.
"Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri," jawab Charles de Gaule, presiden pertama Perancis, "karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya,..."
"Dan hasilnya? Mingkar-mingkuring ukara,..." Kanjeng Ratu Kidul ikut nimbrung.
"Yang artinya?" serempak para bule itu bertanya.
Kanjeng Ratu menoleh pada Mbah Maridjan. Mbah Maridjan pun tanggap, begitu satu sruputan caffelate dengan kopi dari Amungme itu menyodok lidahnya, si embah itu pun teriak, "Rosaaaaa!"
Tiba-tiba, muncul anak perempuan bertubuh mungil, wajahnya seperti penyanyi, menatap Mbah Maridjan, "Simbah memanggil saya?"
"Yang artinya,..." Mbah Maridjan akhirnya menjawab juga, "menurut Herbert Hoover, presiden AS ke-31, berbahagialah generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi hutang bangsa,..." (Sunardian Wirodono)
"Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi, namun demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut," berkata Clement Atlee, mantan Perdana Menteri Inggris, setelah mencicipi mochacinno yang anget.
"Masalahnya, tutup mulut paling efektif itu dengan uang," Henry Ford, pendiri Ford Motor, sembari ngicipi secangkir Purwoceng, nyeletuk. "Berpikir adalah pekerjaan terberat, karena itulah sedikit sekali orang yang mau menggunakan otaknya."
Lyndon B. Johnson, presiden AS ke-36, ngekek mendengarnya, "Apabila dua orang selalu sepakat dalam segala hal, itu berarti cuma satu orang yang berpikir. Kwakwakwak,...!"
"Ketawanya kayak ketawa fesbuker," Will Rogers, sang pelawak itu menukas, "Itulah! Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang!"
Voltaire, sang filsuf yang sedari tadi keheran-heranan melihat sekepal es krim kemampul di atas kopi tubruknya menggeremeng, "Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya!"
"Kenapa begitu?" tanya SW (numpang beken, hiks) yang merasa agamanya beda, maksudnya, nggak punya duit.
"Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri," jawab Charles de Gaule, presiden pertama Perancis, "karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya,..."
"Dan hasilnya? Mingkar-mingkuring ukara,..." Kanjeng Ratu Kidul ikut nimbrung.
"Yang artinya?" serempak para bule itu bertanya.
Kanjeng Ratu menoleh pada Mbah Maridjan. Mbah Maridjan pun tanggap, begitu satu sruputan caffelate dengan kopi dari Amungme itu menyodok lidahnya, si embah itu pun teriak, "Rosaaaaa!"
Tiba-tiba, muncul anak perempuan bertubuh mungil, wajahnya seperti penyanyi, menatap Mbah Maridjan, "Simbah memanggil saya?"
"Yang artinya,..." Mbah Maridjan akhirnya menjawab juga, "menurut Herbert Hoover, presiden AS ke-31, berbahagialah generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi hutang bangsa,..." (Sunardian Wirodono)
Revolusi Indonesia dalam Involusi Pemikiran
Oleh Sunardian Wirodono
Para remaja Indonesia, sering mewarisi hal yang mereka tak mengerti hakikat masalahnya. Sering lebih cenderung, hal itu membuktikan bahwa ajaran syariat kita begitu dominan, hingga dari generasi ke generasi yang muncul adalah pemikiran formalis. Perkelahian anak-anak SMA 70, Boedoet, Berland, dan lain-lain, bisa terjadi turun-temurun, bahkan sering muncul para mentor masing-masing.
Para fanatikus Indonesia, yang terdidik di kampus maupun jalanan, juga mencirikan hal yang setali tiga uang. Para pengidola Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Sukarno, Mohammad Natsir, seolah mewakili absolutisme bagaimana pertarungan ide-ide para mentornya dulu.
Bagaimana mau mengadakan revolusi jika yang terjadi adalah involusi pemikiran? Seriuskah kita dengan Indonesia ini? tentu jawabnya serius. Namun kotak-kotak pemikiran itu membuat tak ada reformasi dalam pemikiran sesungguhnya, kecuali hanya dalam slogan. Tak ada restorasi yang sesungguhnya, kecuali hanya tagline sebuah parpol.
Di antara "Trio Minang" Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir pun, juga berkelahi sendiri-sendiri. Dan Bung Karno, si Jawa yang tidak berpendidikan luar negeri itu, sering dalam percaturan itu dikambingcongekkan seolah paria.
Seandainya, ya, seandainya. Bukan hanya borjuasi gaya hidup, tapi kadang kita mewarisi borjuasi pemikiran. Padahal, pengertian borjuis di situ lebih kepada "berada dalam kelompok elite". Sementara pola hidup Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, tetaplah sederhana, dan penganut humanisme universal dalam praktik. Sjahrir dan Hatta walaupun berbeda pandangan dari visi politik, tetapi dalam hubungan pribadinya mereka berteman dekat. Sama halnya dengan Bung Karno, pada sisi lain sebelum dan sesudah berada di tampuk kekuasaan. Sementara dalam pandangan Islam "kiri"-nya, Tan Malaka yang berwatak keras, radikal dan tidak kompromi, tentu karena dipengaruhi dari mana dia berasal.
Bisakah kita keluar dari kotak involusi pemikiran? Bisakah kita berada dalam "the Indonesian dream team"? Itu persoalan besar. Pokok dan pojok pikiran para founding father kita dulu, untung berada dalam bingkai karakter manusia intelektual dan berbudi. Sehingga fokus perjuangan masih menjadi prioritas. Tapi generasi kini? Yang penting adalah tawuran, dan tak tahu apa masalah sebenarnya. Kemudian, hanya mewarisi semangat asal beda, dan saling tuding. Persis tawuran anak SMA sikapnya.
Padahal, ya, padahal, seandainya Tanri Abeng lahir pada jaman dulu, mungkin the nation management itu bisa diuraikan. Karena manajemen tim itulah kelemahan kita. Kita tidak bisa membedakan peran, tugas, dan fungsi.
Dalam ilmu manajemen, ada beda antara orang marketing dan sales. Orang marketing bisa saja sarat dengan pengetahuan dalam hal pemasaran, tetapi orang sales lahir sebagai orang sales, menjual. Talenta sales itu tidaklah bisa dipelajari secara teoritis, meski sekarang ada banyak buku mengenai hal itu.
Itulah yang terjadi kira-kira pada kelompok-kelompok ini dan itu. Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, memang adalah pemikir-pemikir handal. Namun mereka bukanlah terlahir sebagai pemimpin yang "merakyat" (= popular, jangan lekas ngamuk dengan istilah ini). Sementara Bung Karno lahir dengan talenta dan kharisma pemimpin, terlepas kita menyukai atau tidak fakta ini. Senyatanya, ketika Sjahrir menjadi PM, sekiranya dia memiliki talenta kepemimpinan, tentunya dia tidak akan gagal dalam periodenya yang pendek itu.
Jadi ada yang mesti ngomong, dan ada yang mikir. Dalam manajemen ideal, CEO tidak perlu orang pintar, tapi harus orang yang punya kemampuan memimpin. Orang pintar bisa dibayar oleh CEO perusahaan. CEO justru tugasnya memang ngomong, dan tidak kebagian "mikir" (jangan cepat menyimpulkan, karena "tidak mikirnya" pemimpin berkualitas tentu beda dengan "mikirnya" orang bodoh).
Seandainya saja para orangtua kita dulu mau mengalah pada ego masing-masing, dan seandainya mereka berada dalam satu tim, Indonesia Raya sudah maju dari dulunya. Tapi, cobalah renungkan, mengapa dalam tim sepakbola saja, tak ada jaminan berkumpulnya individu-individu berkualitas itu menjadi kesebelasan yang handal?
Mampukah kita mengurai benang kusut, dan mengubah cara berfikir, dan tidak mengulang-ulang fanatisme sempit kita? Melakukan re-interpretasi, dan keluar dari jebakan masa lalu? Kita masih saja terkotak-kotak, dan merasa paling pintar. Nasehat sang gitaris rock Jimmy Hendrix, sesungguhnya sederhana saja, "Yang pinter ngomong, yang bijak mendengarkan!" Bisakah? Bisakah menanggalkan kacamata kuda, menyalah-nyalahkan masa lalu, dan berebut benar sudut pandang?
Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah, ialah manusia tak pernah mau belajar darinya. Demikian mengutip kutbah G.W.F. Hegel (1770–1831), pengarang AS. Dan, sebagaimana tawuran anak-anak SMA, mereka sering tidak tahu, apa sih sebenarnya yang mereka pertawurkan?
Revolusi tak pernah bisa bergulir dari involusi. Jika rakyat diam, lebih karena mereka tak punya pilihan, kecuali bertahan dalam piramida korban kekuasaan.
Para remaja Indonesia, sering mewarisi hal yang mereka tak mengerti hakikat masalahnya. Sering lebih cenderung, hal itu membuktikan bahwa ajaran syariat kita begitu dominan, hingga dari generasi ke generasi yang muncul adalah pemikiran formalis. Perkelahian anak-anak SMA 70, Boedoet, Berland, dan lain-lain, bisa terjadi turun-temurun, bahkan sering muncul para mentor masing-masing.
Para fanatikus Indonesia, yang terdidik di kampus maupun jalanan, juga mencirikan hal yang setali tiga uang. Para pengidola Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Sukarno, Mohammad Natsir, seolah mewakili absolutisme bagaimana pertarungan ide-ide para mentornya dulu.
Bagaimana mau mengadakan revolusi jika yang terjadi adalah involusi pemikiran? Seriuskah kita dengan Indonesia ini? tentu jawabnya serius. Namun kotak-kotak pemikiran itu membuat tak ada reformasi dalam pemikiran sesungguhnya, kecuali hanya dalam slogan. Tak ada restorasi yang sesungguhnya, kecuali hanya tagline sebuah parpol.
Di antara "Trio Minang" Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir pun, juga berkelahi sendiri-sendiri. Dan Bung Karno, si Jawa yang tidak berpendidikan luar negeri itu, sering dalam percaturan itu dikambingcongekkan seolah paria.
Seandainya, ya, seandainya. Bukan hanya borjuasi gaya hidup, tapi kadang kita mewarisi borjuasi pemikiran. Padahal, pengertian borjuis di situ lebih kepada "berada dalam kelompok elite". Sementara pola hidup Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, tetaplah sederhana, dan penganut humanisme universal dalam praktik. Sjahrir dan Hatta walaupun berbeda pandangan dari visi politik, tetapi dalam hubungan pribadinya mereka berteman dekat. Sama halnya dengan Bung Karno, pada sisi lain sebelum dan sesudah berada di tampuk kekuasaan. Sementara dalam pandangan Islam "kiri"-nya, Tan Malaka yang berwatak keras, radikal dan tidak kompromi, tentu karena dipengaruhi dari mana dia berasal.
Bisakah kita keluar dari kotak involusi pemikiran? Bisakah kita berada dalam "the Indonesian dream team"? Itu persoalan besar. Pokok dan pojok pikiran para founding father kita dulu, untung berada dalam bingkai karakter manusia intelektual dan berbudi. Sehingga fokus perjuangan masih menjadi prioritas. Tapi generasi kini? Yang penting adalah tawuran, dan tak tahu apa masalah sebenarnya. Kemudian, hanya mewarisi semangat asal beda, dan saling tuding. Persis tawuran anak SMA sikapnya.
Padahal, ya, padahal, seandainya Tanri Abeng lahir pada jaman dulu, mungkin the nation management itu bisa diuraikan. Karena manajemen tim itulah kelemahan kita. Kita tidak bisa membedakan peran, tugas, dan fungsi.
Dalam ilmu manajemen, ada beda antara orang marketing dan sales. Orang marketing bisa saja sarat dengan pengetahuan dalam hal pemasaran, tetapi orang sales lahir sebagai orang sales, menjual. Talenta sales itu tidaklah bisa dipelajari secara teoritis, meski sekarang ada banyak buku mengenai hal itu.
Itulah yang terjadi kira-kira pada kelompok-kelompok ini dan itu. Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, memang adalah pemikir-pemikir handal. Namun mereka bukanlah terlahir sebagai pemimpin yang "merakyat" (= popular, jangan lekas ngamuk dengan istilah ini). Sementara Bung Karno lahir dengan talenta dan kharisma pemimpin, terlepas kita menyukai atau tidak fakta ini. Senyatanya, ketika Sjahrir menjadi PM, sekiranya dia memiliki talenta kepemimpinan, tentunya dia tidak akan gagal dalam periodenya yang pendek itu.
Jadi ada yang mesti ngomong, dan ada yang mikir. Dalam manajemen ideal, CEO tidak perlu orang pintar, tapi harus orang yang punya kemampuan memimpin. Orang pintar bisa dibayar oleh CEO perusahaan. CEO justru tugasnya memang ngomong, dan tidak kebagian "mikir" (jangan cepat menyimpulkan, karena "tidak mikirnya" pemimpin berkualitas tentu beda dengan "mikirnya" orang bodoh).
Seandainya saja para orangtua kita dulu mau mengalah pada ego masing-masing, dan seandainya mereka berada dalam satu tim, Indonesia Raya sudah maju dari dulunya. Tapi, cobalah renungkan, mengapa dalam tim sepakbola saja, tak ada jaminan berkumpulnya individu-individu berkualitas itu menjadi kesebelasan yang handal?
Mampukah kita mengurai benang kusut, dan mengubah cara berfikir, dan tidak mengulang-ulang fanatisme sempit kita? Melakukan re-interpretasi, dan keluar dari jebakan masa lalu? Kita masih saja terkotak-kotak, dan merasa paling pintar. Nasehat sang gitaris rock Jimmy Hendrix, sesungguhnya sederhana saja, "Yang pinter ngomong, yang bijak mendengarkan!" Bisakah? Bisakah menanggalkan kacamata kuda, menyalah-nyalahkan masa lalu, dan berebut benar sudut pandang?
Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah, ialah manusia tak pernah mau belajar darinya. Demikian mengutip kutbah G.W.F. Hegel (1770–1831), pengarang AS. Dan, sebagaimana tawuran anak-anak SMA, mereka sering tidak tahu, apa sih sebenarnya yang mereka pertawurkan?
Revolusi tak pernah bisa bergulir dari involusi. Jika rakyat diam, lebih karena mereka tak punya pilihan, kecuali bertahan dalam piramida korban kekuasaan.
Rabu, Februari 22, 2012
Sinetron Politik Kita Hari-hari Ini
Oleh Sunardian Wirodono
Drama politik kita hari-hari ini, amatlah meriahnya, apalagi hal itu dengan leluasa bisa dinikmati lewat dua saluran televisi seperti TV-One dan Metro TV. Ia menjadi tontonan alternatif, yang bisa jadi mampu bersaing dengan sinetron-sinetron kita. Dan keduanya, memiliki kesamaan, penuh dengan konflik, dan bertele-tele, namun tanpa isi.
Politik di sana, hadir sebagai wacana yang dominan, namun tanpa makna sama sekali, karena aspek kognisi telah berubah menjadi gossip. Sebagaimana ghalibnya gossip, ia beranak pinak dan masuk ke ranah afeksi yang bisa membius. Pembiusan itu antara lain, menyebabkan persoalan-persoalan di sana berubah menjadi tontonan belaka. Bahkan lebih jauh, bisa menjadi penghiburan tersendiri, tanpa penting lagi apa ending dari semua itu.
Masyarakat benar-benar menjadi manusia paria di sana, karena tak punya pilihan kecuali duduk di pinggir menonton. Peniadaan negara dalam pengertian politik, menjadi arena pasar yang ditandai dengan minimnya peran warga negara dalam pengambilan keputusan. Selain itu, politik perwakilan semasa kampanye dan pemilu, terbatas dalam permainan citra. Relasi antara partai politik dan warga, masih dalam skema ”massa mengambang”, dengan komodifikasi partai politik di dalamnya.
Komodifikasi (komersialisasi) partai politik itu, ditandai dengan berubahnya relasi perwakilan menjadi relasi ekonomi semata. Hal itu terbaca dari kekuatan kaum berduit dalam mendominasi partai politik. Jadi, terbalik dari harapan reformasi, untuk melakukan pelembagaan demokrasi, fenomena yang muncul adalah privatisasi partai politik ataupun pemerintahan. Buktinya, hingga kini tidak ada celah bagi rakyat, untuk mengontrol wakil rakyat dan presiden setelah pemilu. Jika pun muncul kritik dan protes, dimunculkan wacana personal dengan wacana normatif, seperti; "hargailah pemimpinmu", "kamu pun kalau duduk di sana tidak akan beda", "agama melarang kita protes pada pemimpin", "demonstrasi itu bikin macet dan merugikan rakyat", "jangan hanya mengritik orang lain, tapi ngaca dong!", dan seterusnya.
Sementara, senyampang dengan itu, jaringan mafia pasar finansial, bisa bertemu dengan agen partai politik dalam proses komodifikasi partai politik, yang bertujuan mengambil alih fungsi proteksi negara secara legal. Di situ, terbuka perselingkuhan antara kapital dan negara, yang menyebabkan peran moderasi negara mengabaikan hubungannya dengan rakyat dalam "golden triangle" civil society-state-capital (rakyat, negara, kaum modal).
Fokus perdebatan akhirnya hanya pada pergantian elite politik, tanpa memikirkan sistem representasi politik yang menentukan haluan negara. Dan ini khas dunia sinetron kita, politik akhirnya hanya menyangkut soal aktor-aktornya belaka, dengan segala macam citra tentang misi suci dan kemuliaan personal. Maka, "pagi-pagi" kemudian muncul nama-nama sebagai capres Indonesia 2014. Sementara masalah hari ini, adalah bagian dari penciptaan panggung peperangan untuk meraih piala citra. Bagi rakyat, sinetron politik yang penuh perdebatan itu, tidak lebih dari telenovela: bisa jadi populer, namun tetap berjarak.
Drama politik kita hari-hari ini, amatlah meriahnya, apalagi hal itu dengan leluasa bisa dinikmati lewat dua saluran televisi seperti TV-One dan Metro TV. Ia menjadi tontonan alternatif, yang bisa jadi mampu bersaing dengan sinetron-sinetron kita. Dan keduanya, memiliki kesamaan, penuh dengan konflik, dan bertele-tele, namun tanpa isi.
Politik di sana, hadir sebagai wacana yang dominan, namun tanpa makna sama sekali, karena aspek kognisi telah berubah menjadi gossip. Sebagaimana ghalibnya gossip, ia beranak pinak dan masuk ke ranah afeksi yang bisa membius. Pembiusan itu antara lain, menyebabkan persoalan-persoalan di sana berubah menjadi tontonan belaka. Bahkan lebih jauh, bisa menjadi penghiburan tersendiri, tanpa penting lagi apa ending dari semua itu.
Masyarakat benar-benar menjadi manusia paria di sana, karena tak punya pilihan kecuali duduk di pinggir menonton. Peniadaan negara dalam pengertian politik, menjadi arena pasar yang ditandai dengan minimnya peran warga negara dalam pengambilan keputusan. Selain itu, politik perwakilan semasa kampanye dan pemilu, terbatas dalam permainan citra. Relasi antara partai politik dan warga, masih dalam skema ”massa mengambang”, dengan komodifikasi partai politik di dalamnya.
Komodifikasi (komersialisasi) partai politik itu, ditandai dengan berubahnya relasi perwakilan menjadi relasi ekonomi semata. Hal itu terbaca dari kekuatan kaum berduit dalam mendominasi partai politik. Jadi, terbalik dari harapan reformasi, untuk melakukan pelembagaan demokrasi, fenomena yang muncul adalah privatisasi partai politik ataupun pemerintahan. Buktinya, hingga kini tidak ada celah bagi rakyat, untuk mengontrol wakil rakyat dan presiden setelah pemilu. Jika pun muncul kritik dan protes, dimunculkan wacana personal dengan wacana normatif, seperti; "hargailah pemimpinmu", "kamu pun kalau duduk di sana tidak akan beda", "agama melarang kita protes pada pemimpin", "demonstrasi itu bikin macet dan merugikan rakyat", "jangan hanya mengritik orang lain, tapi ngaca dong!", dan seterusnya.
Sementara, senyampang dengan itu, jaringan mafia pasar finansial, bisa bertemu dengan agen partai politik dalam proses komodifikasi partai politik, yang bertujuan mengambil alih fungsi proteksi negara secara legal. Di situ, terbuka perselingkuhan antara kapital dan negara, yang menyebabkan peran moderasi negara mengabaikan hubungannya dengan rakyat dalam "golden triangle" civil society-state-capital (rakyat, negara, kaum modal).
Fokus perdebatan akhirnya hanya pada pergantian elite politik, tanpa memikirkan sistem representasi politik yang menentukan haluan negara. Dan ini khas dunia sinetron kita, politik akhirnya hanya menyangkut soal aktor-aktornya belaka, dengan segala macam citra tentang misi suci dan kemuliaan personal. Maka, "pagi-pagi" kemudian muncul nama-nama sebagai capres Indonesia 2014. Sementara masalah hari ini, adalah bagian dari penciptaan panggung peperangan untuk meraih piala citra. Bagi rakyat, sinetron politik yang penuh perdebatan itu, tidak lebih dari telenovela: bisa jadi populer, namun tetap berjarak.
Selasa, Februari 21, 2012
Dongeng Bodoh tentang Bodoh dan tidak Bodoh
Oleh Sunardian Wirodono
Entahlah apa sesungguhnya pekerjaan duo sohib kental Susilo dan Mbambang ini. Karena pagi yang sudah kelar dengan mentari gantheng sekaligus cantik itu, dilewatkannya dengan nongkrong di pinggir jalan. Kenapakah mereka berdua nongkrong dipinggir jalan? Karena bisa dituding gilalah mereka, jika nongkrong di tengah jalan yang ribut orang berebut bersidahulu.
Syahdan, Susilo hanya ingin membuktikan kepada Mbambang, tentang seorang manusia terbodoh di dunia, yang konon menurutnya layak masuk The Guinness Book of Record. Kenapa tidak bermaksud tercatat di MURI saja, agar kelihatan nasionalis? Pasalnya bukan nasionalis atau tidak, tapi soal kemampuan membayar sajalah, yang menyebabkan Susilo memilih TGBoR yang tidak berbayar.
"Bentar lagi, kau akan lihat, Indonesia ini punya makhluk terbodoh di seluruh dunia,..." berkata Susilo pada sohibnya.
"Yang bener, Su?" Mbambang balik bertanya.
Hatta, maka muncullah seorang lelaki dewasa, melangkah mendekat ke arah Susilo dan Mbambang nongkrong.
"Nah, ini dia," Susilo beranjak dan menyongsong lelaki dewasa itu. Susilo kemudian berkata pada lelaki dewasa itu, "Hei, kamu boleh pilih, ambil salah satu uang ini. Terserah kamu pilih yang mana?"
Susilo menyodorkan dua lembar uang rupiah. Duaribu rupiah di tangan kanan dan limaribu rupiah di tangan kiri, kepada lelaki dewasa itu.
Seperti mesin, lelaki dewasa itu pun bergerak mengambil uang Rp 2000 dan kemudian pergi begitu saja.
"Nah, lihat, Mbang,..." Susilo antusias menunjukkan pada Mbambang, "dia memilih yang duaribu, bukan yang limaribu! Bodoh banget 'kan?"
"Ah, kebetulan saja 'kali! Mungkin dia khilaf, Su!"
"Enggak, deh!" Susilo menukas penuh semangat, "berkali-kali aku sudah membuktikannya, dan ia tetap pada pilihannya itu. Ini bukan hanya pada kamu aku tunjukkan. Pada Radjasa, pada Silalahi, pada Anas, Poltak, Mallarangeng, Marzuki,... aku tunjukkan pada mereka untuk membuktikan kata-kataku. Semuanya sama, dia memilih yang dua ribu! Bodoh banget 'kan? Rasanya nggak ada deh orang terbodoh yang lebih bodoh dibanding ini semua,...!"
Konon, pada esok harinya, duo sohib Susilo dan Mbambang kembali nongkrong di tempat sama, menunggu kejadian yang sama pula. Dan seperti kemarin, Susilo melakukan hal yang sama, dan lelaki dewasa itu pun juga memilih hal yang sama.
"Nah, iya 'kan? Bodoh banget 'kan?" Susilo meyakinkan Mbambang, "Kalau masih penasaran, besok kita buktikan lagi!"
Karena penasaran, Mbambang menyusul langkah si lelaki dewasa, dan bertanya, "Hei, Bapak, kenapa Bapak lebih memilih uang duaribu rupiah, dan bukannya mengambil yang limaribu rupiah?"
Si lelaki dewasa menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Mbambang, "Pak, sungguh bodohlah saya, jika saya mengambil yang limaribu, teman Bapak itu tentu tak akan mengulang-ulang kebodohannya,...!"
"Hm,.... Su, Su,...!" Mbambang menggeleng-gelengkan kepala sembari menghela nafas. Ia pandangi lelaki dewasa yang melangkah menjauh, ke ujung cakrawala jingga yang jijay.
Mbambang tersentak, lelaki dewasa itu seperti Morgan Freeman, dalam film Bruce Almighty, "jangan-jangan dia Tuhan yang ngejawantah? Aaaah, makin nggak jelas, siapa sesungguhnya yang bodoh di sini, aku atau Susilo! Atau yang baca dongeng bodoh ini?"
Entahlah apa sesungguhnya pekerjaan duo sohib kental Susilo dan Mbambang ini. Karena pagi yang sudah kelar dengan mentari gantheng sekaligus cantik itu, dilewatkannya dengan nongkrong di pinggir jalan. Kenapakah mereka berdua nongkrong dipinggir jalan? Karena bisa dituding gilalah mereka, jika nongkrong di tengah jalan yang ribut orang berebut bersidahulu.
Syahdan, Susilo hanya ingin membuktikan kepada Mbambang, tentang seorang manusia terbodoh di dunia, yang konon menurutnya layak masuk The Guinness Book of Record. Kenapa tidak bermaksud tercatat di MURI saja, agar kelihatan nasionalis? Pasalnya bukan nasionalis atau tidak, tapi soal kemampuan membayar sajalah, yang menyebabkan Susilo memilih TGBoR yang tidak berbayar.
"Bentar lagi, kau akan lihat, Indonesia ini punya makhluk terbodoh di seluruh dunia,..." berkata Susilo pada sohibnya.
"Yang bener, Su?" Mbambang balik bertanya.
Hatta, maka muncullah seorang lelaki dewasa, melangkah mendekat ke arah Susilo dan Mbambang nongkrong.
"Nah, ini dia," Susilo beranjak dan menyongsong lelaki dewasa itu. Susilo kemudian berkata pada lelaki dewasa itu, "Hei, kamu boleh pilih, ambil salah satu uang ini. Terserah kamu pilih yang mana?"
Susilo menyodorkan dua lembar uang rupiah. Duaribu rupiah di tangan kanan dan limaribu rupiah di tangan kiri, kepada lelaki dewasa itu.
Seperti mesin, lelaki dewasa itu pun bergerak mengambil uang Rp 2000 dan kemudian pergi begitu saja.
"Nah, lihat, Mbang,..." Susilo antusias menunjukkan pada Mbambang, "dia memilih yang duaribu, bukan yang limaribu! Bodoh banget 'kan?"
"Ah, kebetulan saja 'kali! Mungkin dia khilaf, Su!"
"Enggak, deh!" Susilo menukas penuh semangat, "berkali-kali aku sudah membuktikannya, dan ia tetap pada pilihannya itu. Ini bukan hanya pada kamu aku tunjukkan. Pada Radjasa, pada Silalahi, pada Anas, Poltak, Mallarangeng, Marzuki,... aku tunjukkan pada mereka untuk membuktikan kata-kataku. Semuanya sama, dia memilih yang dua ribu! Bodoh banget 'kan? Rasanya nggak ada deh orang terbodoh yang lebih bodoh dibanding ini semua,...!"
Konon, pada esok harinya, duo sohib Susilo dan Mbambang kembali nongkrong di tempat sama, menunggu kejadian yang sama pula. Dan seperti kemarin, Susilo melakukan hal yang sama, dan lelaki dewasa itu pun juga memilih hal yang sama.
"Nah, iya 'kan? Bodoh banget 'kan?" Susilo meyakinkan Mbambang, "Kalau masih penasaran, besok kita buktikan lagi!"
Karena penasaran, Mbambang menyusul langkah si lelaki dewasa, dan bertanya, "Hei, Bapak, kenapa Bapak lebih memilih uang duaribu rupiah, dan bukannya mengambil yang limaribu rupiah?"
Si lelaki dewasa menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Mbambang, "Pak, sungguh bodohlah saya, jika saya mengambil yang limaribu, teman Bapak itu tentu tak akan mengulang-ulang kebodohannya,...!"
"Hm,.... Su, Su,...!" Mbambang menggeleng-gelengkan kepala sembari menghela nafas. Ia pandangi lelaki dewasa yang melangkah menjauh, ke ujung cakrawala jingga yang jijay.
Mbambang tersentak, lelaki dewasa itu seperti Morgan Freeman, dalam film Bruce Almighty, "jangan-jangan dia Tuhan yang ngejawantah? Aaaah, makin nggak jelas, siapa sesungguhnya yang bodoh di sini, aku atau Susilo! Atau yang baca dongeng bodoh ini?"
Senin, Februari 20, 2012
Belajar dari Panda Ndut Bernama Po di "Kungfu Panda"
Catatan Sunardian Wirodono
Kenal Po? Panda ndut dalam film "Kungfu Panda", yang untuk bangun dari tidur pun susah-payah, dan ketika bergerak pun bermasalah? Bagaimana mungkin ia bisa menjadi pendekar kungfu? Tapi Master Oogway justeru meyakininya, meski Shifu asisten kepercayaannya sama sekali tidak mempercayai hal itu.
Po kerap kali dipandang sebelah mata oleh Shifu, yang akhirnya menjadi master setelah Master Oogway mangkat. Menurutnya, Po tak berbakat dan butuh waktu lama untuk menjadi pendekar.
Tapi akhirnya, Master Shifu yang awalnya ogah-ogahan melatih Po, bersedia melatihnya. Shifu, dalam bimbingan spiritual Master Oogway, akhirnya membimbing Po, sekali pun dengan susah payah. Kita tidak akan bisa mengembangkan orang lain, jika kita tak menghargai kemampuan mereka. Begitu setidaknya inspirasi dari Oogway.
Meski pun, pada awalnya, justeru Po yang frustrasi, karena tak satu pun ajaran Shifu yang nyantol di otaknya. Master Shifu tak berhenti memberi semangat dan meyakinkan Po. Seorang Ksatria tak akan menyerah dengan rintangan apa pun. "You cannot leave! A real warrior never quits!" begitu nasehat Master Shifu. Dan pada akhirnya, Po memang mampu menguasai ilmu Kungfu.
Po dan Shifu, pada hakikatnya adalah dua contoh baik tentang berfikir negatif. Betapa diri kita mudah menyerah, gagal mencapai impian atau tujuan gara-gara berpikir negatif pada diri sendiri. Po frustrasi karena meyakini dirinya takkan mampu menguasai kungfu. Master Shifu under-estimate atas Po, dan meyakini Po tidak akan bisa melakukan apa yang ada dalam keyakinan Oogway.
Tapi, akhirnya kita tahu, Master Oogwaylah yang benar. Pegangan Master Oogway sangat sederhana. "Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present." (Masa lalu adalah sejarah, esok adalah misteri, saat ini adalah anugerah, karena itu saat ini bisa juga disebut 'hadiah').
Jangan biarkan diri kita dihalangi kegagalan masa lalu dan ketakutan masa depan. Berjuanglah, karena masa sekarang telah dianugerahkan Tuhan pada kita.
Bagaimana akhirnya Shifu mengajar Po? "But perhaps that is my fault. I cannot train you the way I have trained the Five. I now see that the way to get through to you is with this (a bowl of dumplings),..." demikian kata Master Shifu pada Po.
Po doyan makan, dan selalu bersemangat dengan makanan. Kelebihan Po ini dijadikan siasat Shifu membantu Po menguasai teknik-teknik ilmu naga, untuk melawan Tai Lung, murid kesayangan Shifu yang berkhianat.
Hal yang sama juga bisa kita terapkan pada diri kita, karena masing-masing individu memiliki keunikan. Gali dan temukan sisi unik Anda. Jadikan sebagai pemicu keberhasilan tujuan yang ingin Anda raih.
Dalam tataran lebih lanjut, persoalannya adalah keyakinan. Yakni ketika Po sudah menguasai ilmu kungfu, dan ia dihadapkan pada ujian tingkat lanjut. Meski pada akhirnya Po hampir putus asa, karena tak juga berhasil memecahkan rahasia Kitab Naga, yang isinya hanya lembaran-lembaran kosong, namun ia ingat nasehat ayahnya. Nasihat ayahnya saat memberikan resep rahasia sup mie keluarga mereka. Bahwa resep itu, teori itu, wasiat atau keajaiban itu, tidak ada.
Po yang hampir frustrasi ketika bertanding melawan Tai Lung, kembali bangun dan sadar. Po memandang dirinya lebih positif, bahwa dia bisa mengalahkan Tai Lung dan menyelamatkan Master Shifu. Tak ada urusan dengan Kitab Naga. Yang penting adalah keyakinan diri!
Sama halnya jika kita berpikir diri kita spesial dan berharga, kita pasti punya kekuatan untuk melakukan hal-hal spesial. Kita pasti bisa, jika kita berpikir 'kita bisa'. Ingat juga nasehat Master Oogway, "You just need to believe, believe in yourself!" Karena rahasia menjadi spesial adalah yakin dan percaya, bahwa kita adalah pribadi yang spesial.
Kenal Po? Panda ndut dalam film "Kungfu Panda", yang untuk bangun dari tidur pun susah-payah, dan ketika bergerak pun bermasalah? Bagaimana mungkin ia bisa menjadi pendekar kungfu? Tapi Master Oogway justeru meyakininya, meski Shifu asisten kepercayaannya sama sekali tidak mempercayai hal itu.
Po kerap kali dipandang sebelah mata oleh Shifu, yang akhirnya menjadi master setelah Master Oogway mangkat. Menurutnya, Po tak berbakat dan butuh waktu lama untuk menjadi pendekar.
Tapi akhirnya, Master Shifu yang awalnya ogah-ogahan melatih Po, bersedia melatihnya. Shifu, dalam bimbingan spiritual Master Oogway, akhirnya membimbing Po, sekali pun dengan susah payah. Kita tidak akan bisa mengembangkan orang lain, jika kita tak menghargai kemampuan mereka. Begitu setidaknya inspirasi dari Oogway.
Meski pun, pada awalnya, justeru Po yang frustrasi, karena tak satu pun ajaran Shifu yang nyantol di otaknya. Master Shifu tak berhenti memberi semangat dan meyakinkan Po. Seorang Ksatria tak akan menyerah dengan rintangan apa pun. "You cannot leave! A real warrior never quits!" begitu nasehat Master Shifu. Dan pada akhirnya, Po memang mampu menguasai ilmu Kungfu.
Po dan Shifu, pada hakikatnya adalah dua contoh baik tentang berfikir negatif. Betapa diri kita mudah menyerah, gagal mencapai impian atau tujuan gara-gara berpikir negatif pada diri sendiri. Po frustrasi karena meyakini dirinya takkan mampu menguasai kungfu. Master Shifu under-estimate atas Po, dan meyakini Po tidak akan bisa melakukan apa yang ada dalam keyakinan Oogway.
Tapi, akhirnya kita tahu, Master Oogwaylah yang benar. Pegangan Master Oogway sangat sederhana. "Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present." (Masa lalu adalah sejarah, esok adalah misteri, saat ini adalah anugerah, karena itu saat ini bisa juga disebut 'hadiah').
Jangan biarkan diri kita dihalangi kegagalan masa lalu dan ketakutan masa depan. Berjuanglah, karena masa sekarang telah dianugerahkan Tuhan pada kita.
Bagaimana akhirnya Shifu mengajar Po? "But perhaps that is my fault. I cannot train you the way I have trained the Five. I now see that the way to get through to you is with this (a bowl of dumplings),..." demikian kata Master Shifu pada Po.
Po doyan makan, dan selalu bersemangat dengan makanan. Kelebihan Po ini dijadikan siasat Shifu membantu Po menguasai teknik-teknik ilmu naga, untuk melawan Tai Lung, murid kesayangan Shifu yang berkhianat.
Hal yang sama juga bisa kita terapkan pada diri kita, karena masing-masing individu memiliki keunikan. Gali dan temukan sisi unik Anda. Jadikan sebagai pemicu keberhasilan tujuan yang ingin Anda raih.
Dalam tataran lebih lanjut, persoalannya adalah keyakinan. Yakni ketika Po sudah menguasai ilmu kungfu, dan ia dihadapkan pada ujian tingkat lanjut. Meski pada akhirnya Po hampir putus asa, karena tak juga berhasil memecahkan rahasia Kitab Naga, yang isinya hanya lembaran-lembaran kosong, namun ia ingat nasehat ayahnya. Nasihat ayahnya saat memberikan resep rahasia sup mie keluarga mereka. Bahwa resep itu, teori itu, wasiat atau keajaiban itu, tidak ada.
Po yang hampir frustrasi ketika bertanding melawan Tai Lung, kembali bangun dan sadar. Po memandang dirinya lebih positif, bahwa dia bisa mengalahkan Tai Lung dan menyelamatkan Master Shifu. Tak ada urusan dengan Kitab Naga. Yang penting adalah keyakinan diri!
Sama halnya jika kita berpikir diri kita spesial dan berharga, kita pasti punya kekuatan untuk melakukan hal-hal spesial. Kita pasti bisa, jika kita berpikir 'kita bisa'. Ingat juga nasehat Master Oogway, "You just need to believe, believe in yourself!" Karena rahasia menjadi spesial adalah yakin dan percaya, bahwa kita adalah pribadi yang spesial.
Jumat, Februari 17, 2012
Cobalah Engkau Buka Telingamu, dan Rendahkanlah Suaramu
Renungan Sunardian Wirodono
Yang sering dilakukan oleh orang-orang yang berprinsip pokoknya paling benar dan paling mulia, adalah pemutarbalikan fakta. Menyodorkan yang normatif benar dan tidak terbantahkan (absolut, seperti agama misalnya), baru kemudian hal itu dipakai sebagai logika pembenaran untuk sebuah kasus yang mestinya harus dilihat konteks peristiwanya (karena kita tidak sedang membahas teks. Mengapa? Karena teksnya sudah jelas. Teks itu misalnya "Islam itu haq dan rahmatan lil alamien", dst).
Nilai perjuangan sekelompok orang, bukan hanya dilihat dari niat dan tujuannya, melainkan juga harus dilihat dari cara. Di sini persoalannya, ketika cara-cara yang dipakai negatif (meski mengaku niat dan tujuannya mulia). Itu yang dikritisi, yang dipersoalkan. Jangan kemudian pokok masalahnya diubah dan dipindahkan ke niat dan tujuannya itu, untuk menegasi atau mementahkan logika sebab-akibat ketika sebuah reaksi muncul.
Pembicaraan kita hari-hari ini mengenai organisasi massa yang sering melakukan kekerasan dan anarkisme, akhirnya berbelok seolah-olah terjadi "pertarungan" antara nilai agama yang haq dengan kehendak bebas masyarakat yang menolak agama.
Secara etik dan normatif, tak ada masyarakat yang ingin bebas lepas tanpa kendali dan aturan. Dan bukan itu pokok persoalannya. Pokok persoalan kita, adalah menolak dilakukannya praktik kekerasan, mengabaikan hukum-hukum positif negara dengan alasan apapun. Titik.
Keras, kasar, anarkis berbeda dengan tegas. Menurut sabda Kanjeng Nabi Muhammad, tegas itu mantap dalam kebijaksanaan, sedangkan keras dalam kesewenang-wenangan, itu artinya kejam. Lagi pula, lanjut beliau, memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain.
Karena itu, dalam hal apapun, janganlah berlebihan (QS, Al-A'raaf, 31), karena sungguh itu sesuatu yang tidak disukai oleh Allah. Bahkan dalam hal-hal keduniawian, dengan kekasih, dengan uang, dengan kekuasaan, dengan kelompok kepentingan, dengan musuhmu, sebagaimana diriwayatkan Al-Tirmidzi, Kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda, "Cintailah kekasihmu sewajarnya saja, karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia kan menjadi kekasihmu"
Yang terjadi sekarang ini, dan jauh lebih berbahaya, adalah perang wacana, perebutan media. Yang sayangnya, kata-kata bahwa "terbuka untuk berdialog" hanyalah lips-service, karena pada praktiknya ajakan itu tak pernah disertai kehendak untuk mau mendengarkan, lebih mencari tempat untuk ngomong sendiri, dan membungkam mulut pihak lain.
Janganlah menganggap dirimu paling benar, karena itu merendahkan Allah. Hanya Allah yang mahabenar dengan segala firmannya, hanya orang dogol yang menganggap dirinya paling benar dan mulia.
Alangkah menyedihkannya, ketika masalah ini dibiarkan menjadi perang wacana dan perang media, sementara pihak-pihak yang mestinya merepresentasikan kepentingan publik itu sama sekali absen atau tidak hadir. Apakah itu Kepala Negara, Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, dan lain-lain pihak. Seolah mereka makin menegaskan, bahwa republik ini benar-benar menuju negara gagal. Negara di mana para aparatnya hanya punya komptensi dalam kepentingan politik praktis, namun sama sekali tidak mempunyai arti strategis dalam berbangsa dan bernagara.
Jika kita menulis tentang FPI, Forkabi, FBR, PP, dan lain sebagainya, kita tidak ada urusan dengan apa agama dan etnis mereka. Tapi, ketika mereka menganiaya yang tak berdaya, kita wajib mengingatkan bahwa itu tidak mencerminkan perilaku manusia yang baik. Dan lebih buruk lagi, jika yang sudah dianiaya itu dimintai dan dirampas harta-bendanya, itu sama dengan taik. Bahkan mungkin masih lebih baik taik, karena taik bisa jadi pupuk.
Duduklah tenang, pahami latar belakang masalah, dan jangan beringsut untuk memutar-balikkan fakta. Bukalah matamu, bukanlah telingamu, dan bukalah hatimu. Nasehat Kanjeng Nabi Muhammad shallahullahu allaihi wassalam, rendahkanlah suaramu,...
Yang sering dilakukan oleh orang-orang yang berprinsip pokoknya paling benar dan paling mulia, adalah pemutarbalikan fakta. Menyodorkan yang normatif benar dan tidak terbantahkan (absolut, seperti agama misalnya), baru kemudian hal itu dipakai sebagai logika pembenaran untuk sebuah kasus yang mestinya harus dilihat konteks peristiwanya (karena kita tidak sedang membahas teks. Mengapa? Karena teksnya sudah jelas. Teks itu misalnya "Islam itu haq dan rahmatan lil alamien", dst).
Nilai perjuangan sekelompok orang, bukan hanya dilihat dari niat dan tujuannya, melainkan juga harus dilihat dari cara. Di sini persoalannya, ketika cara-cara yang dipakai negatif (meski mengaku niat dan tujuannya mulia). Itu yang dikritisi, yang dipersoalkan. Jangan kemudian pokok masalahnya diubah dan dipindahkan ke niat dan tujuannya itu, untuk menegasi atau mementahkan logika sebab-akibat ketika sebuah reaksi muncul.
Pembicaraan kita hari-hari ini mengenai organisasi massa yang sering melakukan kekerasan dan anarkisme, akhirnya berbelok seolah-olah terjadi "pertarungan" antara nilai agama yang haq dengan kehendak bebas masyarakat yang menolak agama.
Secara etik dan normatif, tak ada masyarakat yang ingin bebas lepas tanpa kendali dan aturan. Dan bukan itu pokok persoalannya. Pokok persoalan kita, adalah menolak dilakukannya praktik kekerasan, mengabaikan hukum-hukum positif negara dengan alasan apapun. Titik.
Keras, kasar, anarkis berbeda dengan tegas. Menurut sabda Kanjeng Nabi Muhammad, tegas itu mantap dalam kebijaksanaan, sedangkan keras dalam kesewenang-wenangan, itu artinya kejam. Lagi pula, lanjut beliau, memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain.
Karena itu, dalam hal apapun, janganlah berlebihan (QS, Al-A'raaf, 31), karena sungguh itu sesuatu yang tidak disukai oleh Allah. Bahkan dalam hal-hal keduniawian, dengan kekasih, dengan uang, dengan kekuasaan, dengan kelompok kepentingan, dengan musuhmu, sebagaimana diriwayatkan Al-Tirmidzi, Kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda, "Cintailah kekasihmu sewajarnya saja, karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nanti ia kan menjadi kekasihmu"
Yang terjadi sekarang ini, dan jauh lebih berbahaya, adalah perang wacana, perebutan media. Yang sayangnya, kata-kata bahwa "terbuka untuk berdialog" hanyalah lips-service, karena pada praktiknya ajakan itu tak pernah disertai kehendak untuk mau mendengarkan, lebih mencari tempat untuk ngomong sendiri, dan membungkam mulut pihak lain.
Janganlah menganggap dirimu paling benar, karena itu merendahkan Allah. Hanya Allah yang mahabenar dengan segala firmannya, hanya orang dogol yang menganggap dirinya paling benar dan mulia.
Alangkah menyedihkannya, ketika masalah ini dibiarkan menjadi perang wacana dan perang media, sementara pihak-pihak yang mestinya merepresentasikan kepentingan publik itu sama sekali absen atau tidak hadir. Apakah itu Kepala Negara, Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, dan lain-lain pihak. Seolah mereka makin menegaskan, bahwa republik ini benar-benar menuju negara gagal. Negara di mana para aparatnya hanya punya komptensi dalam kepentingan politik praktis, namun sama sekali tidak mempunyai arti strategis dalam berbangsa dan bernagara.
Jika kita menulis tentang FPI, Forkabi, FBR, PP, dan lain sebagainya, kita tidak ada urusan dengan apa agama dan etnis mereka. Tapi, ketika mereka menganiaya yang tak berdaya, kita wajib mengingatkan bahwa itu tidak mencerminkan perilaku manusia yang baik. Dan lebih buruk lagi, jika yang sudah dianiaya itu dimintai dan dirampas harta-bendanya, itu sama dengan taik. Bahkan mungkin masih lebih baik taik, karena taik bisa jadi pupuk.
Duduklah tenang, pahami latar belakang masalah, dan jangan beringsut untuk memutar-balikkan fakta. Bukalah matamu, bukanlah telingamu, dan bukalah hatimu. Nasehat Kanjeng Nabi Muhammad shallahullahu allaihi wassalam, rendahkanlah suaramu,...
Kamis, Februari 16, 2012
Mengapa Menjadi Tidak Toleran dan Tak Mau Mendengar?
Oleh Sunardian Wirodono
"Pesan" yang ingin disampaikan oleh Bramantyo Prijosusilo, saat hendak menggelar pertunjukan seni Social Sculpture (Patung Sosial) yang berjudul Aku Melawan Perusakan Atas Nama Agama di depan Markas MMI, Jalan Karanglo, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (15/2/2012), berhasil dengan sukses.
Meski ia mengatakan "hendak", namun pertunjukannya sudah dimulai sejak ia mengatakannya. Polisi dan Majelis Mujahiddin Indonesia, dan juga tentu media, menjadi pendukung pementasan yang baik. Mereka adalah "aktor-aktor" sejati atas pesan Bramantyo untuk soal yang dikatakannya sebagai "gejala radikalisme yang mengancam keberadaan negara dan ketentraman Bangsa Indonesia."
Yogyakarta, adalah setting sosial yang bagus, karena selama ini, kota ini mengklaim sebagai kota yang penuh toleransi dan menjunjung keberagaman. Namun kita tahu, sebagai bangsa formalis, bahwa semua ini menjadi cenderung omong kosong.
Perkembangan Yogyakarta, sebagaimana kota-kota lain, kini adalah maraknya kelompok-kelompok faham keagamaan dengan pemahaman dan pelaksanaan yang cenderungan eksklusif, in-toleran, dan pemutlak-mutlakan yang pada akhirnya anti dialog dan dengan sendirinya anti kritik, karena merasa paling benar, paling mulia, paling punya hak atas sorga, dan makhluk pilhan Tuhan (mana buktinya, nggak perlu dijelaskan, percaya ya begitu kalau nggak percaya berarti menghina dan darahnya halal untuk ditumpahkan,....).
Apa yang dulu dikembangkan dengan cara inklusif dan inkulturalistik oleh para Wali Sanga, dan telah mendidik bangsa Jawa, khususnya Yogyakarta, menjadi toleran dan terbuka itu, kini tak mampu memahami model-model pemahaman keagamaan yang sangat berbalikan gaya. Dan ketika keris sudah disorongkan di belakang punggung, bangsa Jawa menjadi sungkan dan kikuk mendengar suara takbir yang diteriakkan dengan otot leher yang meregang.
Saya cuma bisa membayangkan, bisa jadi suara adzan di beberapa masjid Yogya, dengan cengkok tembang Macapatan pun akan dianggap musjrik. Dan dialog-dialog ruang publik di Malioboro, akan dipenuhi idiom-idiom dari Timur Tengah yang amat sangat religius itu, manakala di pinggiran Yogya dari jalan Wates, dari selatan di Karanglo, dari utara di Pogung, dan dari sudut-sudut remang,...
Agama bisa menjadi berkah, namun juga sebaliknya, ketika kita merasa menjadi juru-bicara Tuhan, tanpa reserve, namun sesungguhnya juga tanpa bisa menunjukkan surat keputusan dari Tuhan. Maka, jika dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah, dengan seni hidup lebih indah, dan dengan agama hidup lebih berkah, mengapa dengan kamu hidup menjadi malah lebih gerah?
Tak ada yang salah?
"Pesan" yang ingin disampaikan oleh Bramantyo Prijosusilo, saat hendak menggelar pertunjukan seni Social Sculpture (Patung Sosial) yang berjudul Aku Melawan Perusakan Atas Nama Agama di depan Markas MMI, Jalan Karanglo, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (15/2/2012), berhasil dengan sukses.
Meski ia mengatakan "hendak", namun pertunjukannya sudah dimulai sejak ia mengatakannya. Polisi dan Majelis Mujahiddin Indonesia, dan juga tentu media, menjadi pendukung pementasan yang baik. Mereka adalah "aktor-aktor" sejati atas pesan Bramantyo untuk soal yang dikatakannya sebagai "gejala radikalisme yang mengancam keberadaan negara dan ketentraman Bangsa Indonesia."
Yogyakarta, adalah setting sosial yang bagus, karena selama ini, kota ini mengklaim sebagai kota yang penuh toleransi dan menjunjung keberagaman. Namun kita tahu, sebagai bangsa formalis, bahwa semua ini menjadi cenderung omong kosong.
Perkembangan Yogyakarta, sebagaimana kota-kota lain, kini adalah maraknya kelompok-kelompok faham keagamaan dengan pemahaman dan pelaksanaan yang cenderungan eksklusif, in-toleran, dan pemutlak-mutlakan yang pada akhirnya anti dialog dan dengan sendirinya anti kritik, karena merasa paling benar, paling mulia, paling punya hak atas sorga, dan makhluk pilhan Tuhan (mana buktinya, nggak perlu dijelaskan, percaya ya begitu kalau nggak percaya berarti menghina dan darahnya halal untuk ditumpahkan,....).
Apa yang dulu dikembangkan dengan cara inklusif dan inkulturalistik oleh para Wali Sanga, dan telah mendidik bangsa Jawa, khususnya Yogyakarta, menjadi toleran dan terbuka itu, kini tak mampu memahami model-model pemahaman keagamaan yang sangat berbalikan gaya. Dan ketika keris sudah disorongkan di belakang punggung, bangsa Jawa menjadi sungkan dan kikuk mendengar suara takbir yang diteriakkan dengan otot leher yang meregang.
Saya cuma bisa membayangkan, bisa jadi suara adzan di beberapa masjid Yogya, dengan cengkok tembang Macapatan pun akan dianggap musjrik. Dan dialog-dialog ruang publik di Malioboro, akan dipenuhi idiom-idiom dari Timur Tengah yang amat sangat religius itu, manakala di pinggiran Yogya dari jalan Wates, dari selatan di Karanglo, dari utara di Pogung, dan dari sudut-sudut remang,...
Agama bisa menjadi berkah, namun juga sebaliknya, ketika kita merasa menjadi juru-bicara Tuhan, tanpa reserve, namun sesungguhnya juga tanpa bisa menunjukkan surat keputusan dari Tuhan. Maka, jika dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah, dengan seni hidup lebih indah, dan dengan agama hidup lebih berkah, mengapa dengan kamu hidup menjadi malah lebih gerah?
Tak ada yang salah?
Musyawarah Para Binatang
Oleh Sunardian Wirodono
Syahdan, berlangsunglah musyawarah hewan, di suatu tempat yang (demi keamanan) saya tak boleh menyebutkannya.
DOMBA : "Heran deh, kenapa nama saya sering diseret-seret jika manusia mengadu manusia,..."
KAMBING : "Itulah tidak berperikebinatangannya mereka. Nama saya juga sering dipakai. Seolah bangsa yang yang berkulit item itu jahat, salah, nggak baik. Mereka kan mestinya bikin label sendiri, toh kami nggak pernah ngomong kambing kami yang jelek sebagai manusia hitam."
BABI : "Aaah, sudahlah, ngomongin manusia nggak ada habisnya. Bayangin coba, kenapa mereka memakai namaku untuk memaki-maki."
CORO : "Hiks,...!"
ANJING : "Iya, idem! Namaku juga sering dipakai jadi bagian. Kok nggak diganti 'Soetan lu!', Poltak lu!', 'Dasar politikus!',..."
TIKUS : "Eit, nha, nha, kalian juga seret-seret sesama warga negara binatang. Emang kami bisa milih nama bukan 'tikus' misalnya, bisa milih ujud kayak Adele misalnya? Tikus kan juga makhluk ciptaan Tuhan? Kenapa kalau bikin kartun koruptor mesti ngambil prototype kami-kami coba?"
BURUNG HANTU : "Wah, nggak ngerti bahasa Latin nih,... kikuk!"
ULAR : "Saya juga mau protes, apa salahnya dengan lidah saya? Lidah saya emang bercabang, tapi tidak semua ular tidak jujur. Kita semua kalau 'a' ya ngomong 'a'. Jangan lihat dari bentuk fisik dong. Fisik banget ih kalian! Bar-bar!"
KUDA : "Huehehehehe, kasiman deh kaliyan. Jadilah kuda. Apalagi kuda jantan. Bertenaga kuda. Ada pula mobil bernama Kuda."
TIGER, PANTHER, KIJANG, pada ketawa ngikik, "Kik, kikk, kiiikkk,...!"
ELANG, RAJAWALI, GARUDA : "Kik, kik, kik,...!"
MERPATI : "Hihihihi, merpati tak pernah ingkar janji,....!"
MONYET : "Hmmm, tapi nggak pernah ada binatang yang dijadikan ikon cinta sepertiku, hiks, I love u, Beib!"
BEBERAPA BINATANG : "Sssst, awas, Buaya darat lewat,..."
BUAYA : "Dasar! Emang buaya hidup di darat doang? Dasar manusia berotak kerbau!"
KERBAU : "Hei, kamu jangan menghina yaaah!"
MACAN : "Huehehe, gue Macan Kemayoran!"
KELINCI : "Ada lagi sih, Macan Ompong! Eh, numpang nanya, ada yang mau gantiin namaku nggak ya, untuk eksperimen,..."
KERBAU : "Jadi kerbau percobaan? Ogah, kelinci percobaan itu udah pas!"
GAJAH : "Ngemeng epeh? Tahu nggak sakitnya dibilang kayak Gajah Bengkak! Plis deh!"
KUTU : "Baru segitu! Bayangin dibilang Kutu Kupret! Dasar manusia kayak setan belang,...!"
SETAN : "Eiiitttssss! Jangan bawa-bawa nama gue ya, kita beda aliran, gggrrrrhhhhh! Eh, Bau, Kerbau, katanya kamu dipake buat simbol manusia ya? Siapa tuh?"
KERBAU : "Ewet, Tan!"
Syahdan, berlangsunglah musyawarah hewan, di suatu tempat yang (demi keamanan) saya tak boleh menyebutkannya.
DOMBA : "Heran deh, kenapa nama saya sering diseret-seret jika manusia mengadu manusia,..."
KAMBING : "Itulah tidak berperikebinatangannya mereka. Nama saya juga sering dipakai. Seolah bangsa yang yang berkulit item itu jahat, salah, nggak baik. Mereka kan mestinya bikin label sendiri, toh kami nggak pernah ngomong kambing kami yang jelek sebagai manusia hitam."
BABI : "Aaah, sudahlah, ngomongin manusia nggak ada habisnya. Bayangin coba, kenapa mereka memakai namaku untuk memaki-maki."
CORO : "Hiks,...!"
ANJING : "Iya, idem! Namaku juga sering dipakai jadi bagian. Kok nggak diganti 'Soetan lu!', Poltak lu!', 'Dasar politikus!',..."
TIKUS : "Eit, nha, nha, kalian juga seret-seret sesama warga negara binatang. Emang kami bisa milih nama bukan 'tikus' misalnya, bisa milih ujud kayak Adele misalnya? Tikus kan juga makhluk ciptaan Tuhan? Kenapa kalau bikin kartun koruptor mesti ngambil prototype kami-kami coba?"
BURUNG HANTU : "Wah, nggak ngerti bahasa Latin nih,... kikuk!"
ULAR : "Saya juga mau protes, apa salahnya dengan lidah saya? Lidah saya emang bercabang, tapi tidak semua ular tidak jujur. Kita semua kalau 'a' ya ngomong 'a'. Jangan lihat dari bentuk fisik dong. Fisik banget ih kalian! Bar-bar!"
KUDA : "Huehehehehe, kasiman deh kaliyan. Jadilah kuda. Apalagi kuda jantan. Bertenaga kuda. Ada pula mobil bernama Kuda."
TIGER, PANTHER, KIJANG, pada ketawa ngikik, "Kik, kikk, kiiikkk,...!"
ELANG, RAJAWALI, GARUDA : "Kik, kik, kik,...!"
MERPATI : "Hihihihi, merpati tak pernah ingkar janji,....!"
MONYET : "Hmmm, tapi nggak pernah ada binatang yang dijadikan ikon cinta sepertiku, hiks, I love u, Beib!"
BEBERAPA BINATANG : "Sssst, awas, Buaya darat lewat,..."
BUAYA : "Dasar! Emang buaya hidup di darat doang? Dasar manusia berotak kerbau!"
KERBAU : "Hei, kamu jangan menghina yaaah!"
MACAN : "Huehehe, gue Macan Kemayoran!"
KELINCI : "Ada lagi sih, Macan Ompong! Eh, numpang nanya, ada yang mau gantiin namaku nggak ya, untuk eksperimen,..."
KERBAU : "Jadi kerbau percobaan? Ogah, kelinci percobaan itu udah pas!"
GAJAH : "Ngemeng epeh? Tahu nggak sakitnya dibilang kayak Gajah Bengkak! Plis deh!"
KUTU : "Baru segitu! Bayangin dibilang Kutu Kupret! Dasar manusia kayak setan belang,...!"
SETAN : "Eiiitttssss! Jangan bawa-bawa nama gue ya, kita beda aliran, gggrrrrhhhhh! Eh, Bau, Kerbau, katanya kamu dipake buat simbol manusia ya? Siapa tuh?"
KERBAU : "Ewet, Tan!"
HOS Tjokroaminoto: Di Depan Siapa Tuan Duduk?
Syahdan, pada suatu hari, Oemar Said Tjokroaminoto dihadapkan ke depan Pengadilan Tinggi Belanda (Raad van Justitie) karena difitnah. Peristiwa ini terjadi di jaman penjajahan Belanda, di hadapan majelis hakim-hakim Belanda.
Hakim pengadilan itu, seorang Belanda, bertanya dengan angkuhnya, "Tuan Tjokro, apakah Tuan tahu di hadapan siapa Tuan sekarang berdiri?"
Tjokroaminoto (yang memang dalam posisi berdiri) diam, tidak menjawab.
Hakim kembali bertanya, dengan nada setengah membentak, "Tahukah Tuan bahwa Tuan berdiri di hadapan Voorzitter Raad van Justitie!"
Kembali Tjokroaminoto diam. Tidak menjawab.
Namun, beberapa saat kemudian, Tjokroaminoto menjawab tenang, dengan balik bertanya pada voorzitter (ketua) Pengadilan Tinggi itu, "Tuan Voorzitter Raad van Justitie, tahukah Tuan di hadapan siapa sekarang Tuan duduk?"
Tjokroaminoto berhenti sejenak. Ruang pengadilan senyap. Menunggu.
Tjokroaminoto dianggap rakyat sebagai Ratu Adil yang dinantikan, atau sering dihubungkan dengan Prabu Heru Tjakra juru selamat yang dijanjikan seperti dalam ramalan Jayabaya (Dahm, 1969). Tapi Tjokroaminoto menolak. Katanya, Ratu Adil bukan dalam ujud manusia, tapi dalam ujud ide, yakni sosialisme.
Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun (Jawa Timur) pada 16 Agustus 1882, penggagas dan ketua Sarekat Islam [yang juga guru politik Sukarno muda itu], meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934, oleh Tan Malaka [dalam 'Dari Penjara ke Penjara'] disebut; "... seorang yang di mulut orang Barat pasti akan disebut 'the uncrowned king (raja tak bermahkota) of Indonesia, yang bersikap ramah pada siapa saja yang menghampiri,.."
Pemikir sosialisme Islam ini, kembali ke cerita awal, di depan para hakim-hakim Belanda itu meneruskan jawabannya, lugas, "Tuan duduk di hadapan Ketua Central Sarekat Islam seluruh Indonesia!"
Hakim pengadilan itu, seorang Belanda, bertanya dengan angkuhnya, "Tuan Tjokro, apakah Tuan tahu di hadapan siapa Tuan sekarang berdiri?"
Tjokroaminoto (yang memang dalam posisi berdiri) diam, tidak menjawab.
Hakim kembali bertanya, dengan nada setengah membentak, "Tahukah Tuan bahwa Tuan berdiri di hadapan Voorzitter Raad van Justitie!"
Kembali Tjokroaminoto diam. Tidak menjawab.
Namun, beberapa saat kemudian, Tjokroaminoto menjawab tenang, dengan balik bertanya pada voorzitter (ketua) Pengadilan Tinggi itu, "Tuan Voorzitter Raad van Justitie, tahukah Tuan di hadapan siapa sekarang Tuan duduk?"
Tjokroaminoto berhenti sejenak. Ruang pengadilan senyap. Menunggu.
Tjokroaminoto dianggap rakyat sebagai Ratu Adil yang dinantikan, atau sering dihubungkan dengan Prabu Heru Tjakra juru selamat yang dijanjikan seperti dalam ramalan Jayabaya (Dahm, 1969). Tapi Tjokroaminoto menolak. Katanya, Ratu Adil bukan dalam ujud manusia, tapi dalam ujud ide, yakni sosialisme.
Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun (Jawa Timur) pada 16 Agustus 1882, penggagas dan ketua Sarekat Islam [yang juga guru politik Sukarno muda itu], meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934, oleh Tan Malaka [dalam 'Dari Penjara ke Penjara'] disebut; "... seorang yang di mulut orang Barat pasti akan disebut 'the uncrowned king (raja tak bermahkota) of Indonesia, yang bersikap ramah pada siapa saja yang menghampiri,.."
Pemikir sosialisme Islam ini, kembali ke cerita awal, di depan para hakim-hakim Belanda itu meneruskan jawabannya, lugas, "Tuan duduk di hadapan Ketua Central Sarekat Islam seluruh Indonesia!"
Pelajaran Cinta dari Sunan Bonang
Oleh Sunardian Wirodono
"Agama dan sastra Arab telah saya pelajari. Tetapi saya masih terus mencari-cari. Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang tak berbeda. Musik masih digunakan. Bahasa tetap bahasa. Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai, namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar. Diam-diam saya pergi malam-malam, mencari rahasia Yang Satu. Mencari jalan sempurna. Semua pendeta, biksu, dan ulama saya temui. Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati. Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam, akhir mata tertutup dan inti maut, akhir ada dan tiada,.."
Demikian keluh kesah seorang lelaki bernama Wujil. Ia mulanya adalah seorang aktor dan pelawak, di istana Majapahit. Seorang bukan hanya popular, melainlkan juga terpelajar.
Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan.
Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang kemudian mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan, yang kemudian dituangkannya dalam kitab bernama Serat Wujil.
Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil,
"Jadikan dirimu cinta,
agar dapat memandang dunia dengan terang.
Kerusakan di dunia ini muncul,
karena tiada amal perbuatanmu, dan karena tiadanya cinta.
Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur,
yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna."
Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Pentingnya suluk-suluk awal itu, karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
Di antara wali yang paling prolifik, dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang, alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi), yang dilahirkan 1465, putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Sunan Bonang yang wafat pada tahun 1525 M, menurut Drewes, mencipta tidak kurang dari 20 suluk panjang yang kini dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional), dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.
Beberapa uraiannya yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, misalnya, uraian tentang cinta (‘isyq), baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan, maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu. Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
Cinta merupakan asas penciptaan, dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta. Yaitu, ar-rahman (pengasih) dan ar-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah), sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
(19) Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
(20) Keindahan, jangan di tempat jauh
engkau mencari-carinya
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahamilah, (semua adalah)
akibat dari laku jiwamu!
"Agama dan sastra Arab telah saya pelajari. Tetapi saya masih terus mencari-cari. Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang tak berbeda. Musik masih digunakan. Bahasa tetap bahasa. Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai, namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar. Diam-diam saya pergi malam-malam, mencari rahasia Yang Satu. Mencari jalan sempurna. Semua pendeta, biksu, dan ulama saya temui. Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati. Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam, akhir mata tertutup dan inti maut, akhir ada dan tiada,.."
Demikian keluh kesah seorang lelaki bernama Wujil. Ia mulanya adalah seorang aktor dan pelawak, di istana Majapahit. Seorang bukan hanya popular, melainlkan juga terpelajar.
Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan.
Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang kemudian mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan, yang kemudian dituangkannya dalam kitab bernama Serat Wujil.
Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil,
"Jadikan dirimu cinta,
agar dapat memandang dunia dengan terang.
Kerusakan di dunia ini muncul,
karena tiada amal perbuatanmu, dan karena tiadanya cinta.
Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur,
yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna."
Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Pentingnya suluk-suluk awal itu, karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.
Di antara wali yang paling prolifik, dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang, alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi), yang dilahirkan 1465, putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Sunan Bonang yang wafat pada tahun 1525 M, menurut Drewes, mencipta tidak kurang dari 20 suluk panjang yang kini dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional), dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.
Beberapa uraiannya yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, misalnya, uraian tentang cinta (‘isyq), baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan, maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu. Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.
Cinta merupakan asas penciptaan, dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta. Yaitu, ar-rahman (pengasih) dan ar-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah), sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.
(19) Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
(20) Keindahan, jangan di tempat jauh
engkau mencari-carinya
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahamilah, (semua adalah)
akibat dari laku jiwamu!
Rabu, Februari 15, 2012
Haji Agus Salim yang Keras Kepala tapi Humanis
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq, berarti "pembela kebenaran"; lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 dan meninggal di Jakarta 4 November 1954), salah satu pahlawan, diplomat, pejuang kemerdekaan kita, bisa disebut seorang yang keras kepala, tanpa kompromi.
Pada tahun 1934, karena tugas, Agus Salim dan keluarga untuk kesekian kali pindah rumah, dan untuk itu harus berurusan dengan NIGM (Perusahaan Gas dan Listrik Hindia Belanda). Tapi gara-gara dikecewakan oleh birokrasi NIGM, yang menurutnya njelimet, Agus Salim memilih tak memakai gas dan listerik. Maka, rumah yang kebetulan berada di Gang Listrik itu, adalah satu-satunya tempat yang memakai lampu minyak.
Tapi sekali pun keras kepala, Agus Salim sesungguhnya seorang humanis. Ini cerita Ibu Jojet (anak Agus Salim, janda Johan Syahruzah, sekjen PSI), ketika Agus Salim tinggal di Yogyakarta pada 1922;
Jojet kecil, anak yang tak bisa tahan dengan air hujan. Berkali-kali ibunya marah dan meminta berhenti, menyalini dengan pakaian kering, Jojet kembali balik berhujan-hujan. "Pakaian kamu habis untuk berhujan-hujan jika kamu tak berhenti,..." kata ibunya.
Entah bagaimana, akhirnya justeru Jojet yang menawarkan agar dia diikat dengan stagen ibunya. Agus Salim dengan terpaksa, sesuai permintaan anaknya, mengikatnya dengan stagen.
Baru 10 menit, Agus Salim bertanya pada Jojet, apakah ikatannya boleh dibuka? Si anak menggeleng karena masih hujan.
Begitulah, beberapa kali Agus Salim bertanya dan ditolak anaknya.
Lama-lama pak jenggot ini kasihan juga, kemudian ia berkata pada isterinya, bahwa anak itu (Jojet) sudah tidak nakal lagi, tapi memang tidak bisa tahan kalau melihat hujan. Maka kemudian dilepaslah ikatan stagen pada Jojet. Dan apa yang terjadi kemudian? Justeru Agus Salimlah yang mengajak Jojet bermain hujan di sepanjang gang di Kampung Kauman, sebelah barat Alun-alun Lor Yogyakarta itu.
Agus Salim juga seorang pembicara ulung. Suatu saat, ketika dirinya sedang menjadi Guest Lecturer pada Cornell Univercity, 1953, Prof. Kahin, Indonesianis sohor itu bikin perkara. Gara-garanya, suatu ketika ia hendak ketamuan Ngo Dhin Dhiem (pernah menjadi Perdana Menteri Vietnam). Kenalan baiknya dari Vietnam ini, dikenal sebagai pembicara ulung. Begitu ia ngomong, orang lain tak bisa membantah dan hanya menjadi kambing-congek alias pendengar semata.
Kahin pun bikin acara makan bersama dengan mengundang Agus Salim dan Ngo Din Dhiem. Kahin tahu, bahwa walau pun Ngo tidak dapat bahasa Inggris, Agus Salim cukup fasih dalam bahasa Perancis yang dikuasai Ngo. Hasilnya?
Menurut Pak Kahin, kurang dari satu jam saja sudah ketahuan, Agus Salim menguasai pembicaraan dan membuat Ngo lebih banyak mengangguk-anggukkan kepala sembari mendengarkan penuh kekaguman.
Tapi, Agus Salim pernah mengaku dibuat tak berkutik oleh si Tukang Sado. Kelihaiannya bersilat lidah, tumpas sudah oleh rakyat jelata yang tentu pendidikan formalnya tak setinggi Agus Salim.
Pada suatu hari, di tahun `1925, Agus Salim naik sado (delman). Tiba-tiba, si kuda mengeluarkan bunyi kentut yang ribut.
"Wah, Bang, kudanya rupanya masuk angin,..." komentar Agus Salim pada si Tukang Sado.
Si Tukang Sado menukas gesit, "Bukan masuk angin, Tuan, tapi keluar angin,...!"
Agus Salim terdiam. | Sunardian berdasarkan tulisan Ibu Jojet, dari majalah Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, No 3, Tahun II Edisi April 1978
Pada tahun 1934, karena tugas, Agus Salim dan keluarga untuk kesekian kali pindah rumah, dan untuk itu harus berurusan dengan NIGM (Perusahaan Gas dan Listrik Hindia Belanda). Tapi gara-gara dikecewakan oleh birokrasi NIGM, yang menurutnya njelimet, Agus Salim memilih tak memakai gas dan listerik. Maka, rumah yang kebetulan berada di Gang Listrik itu, adalah satu-satunya tempat yang memakai lampu minyak.
Tapi sekali pun keras kepala, Agus Salim sesungguhnya seorang humanis. Ini cerita Ibu Jojet (anak Agus Salim, janda Johan Syahruzah, sekjen PSI), ketika Agus Salim tinggal di Yogyakarta pada 1922;
Jojet kecil, anak yang tak bisa tahan dengan air hujan. Berkali-kali ibunya marah dan meminta berhenti, menyalini dengan pakaian kering, Jojet kembali balik berhujan-hujan. "Pakaian kamu habis untuk berhujan-hujan jika kamu tak berhenti,..." kata ibunya.
Entah bagaimana, akhirnya justeru Jojet yang menawarkan agar dia diikat dengan stagen ibunya. Agus Salim dengan terpaksa, sesuai permintaan anaknya, mengikatnya dengan stagen.
Baru 10 menit, Agus Salim bertanya pada Jojet, apakah ikatannya boleh dibuka? Si anak menggeleng karena masih hujan.
Begitulah, beberapa kali Agus Salim bertanya dan ditolak anaknya.
Lama-lama pak jenggot ini kasihan juga, kemudian ia berkata pada isterinya, bahwa anak itu (Jojet) sudah tidak nakal lagi, tapi memang tidak bisa tahan kalau melihat hujan. Maka kemudian dilepaslah ikatan stagen pada Jojet. Dan apa yang terjadi kemudian? Justeru Agus Salimlah yang mengajak Jojet bermain hujan di sepanjang gang di Kampung Kauman, sebelah barat Alun-alun Lor Yogyakarta itu.
Agus Salim juga seorang pembicara ulung. Suatu saat, ketika dirinya sedang menjadi Guest Lecturer pada Cornell Univercity, 1953, Prof. Kahin, Indonesianis sohor itu bikin perkara. Gara-garanya, suatu ketika ia hendak ketamuan Ngo Dhin Dhiem (pernah menjadi Perdana Menteri Vietnam). Kenalan baiknya dari Vietnam ini, dikenal sebagai pembicara ulung. Begitu ia ngomong, orang lain tak bisa membantah dan hanya menjadi kambing-congek alias pendengar semata.
Kahin pun bikin acara makan bersama dengan mengundang Agus Salim dan Ngo Din Dhiem. Kahin tahu, bahwa walau pun Ngo tidak dapat bahasa Inggris, Agus Salim cukup fasih dalam bahasa Perancis yang dikuasai Ngo. Hasilnya?
Menurut Pak Kahin, kurang dari satu jam saja sudah ketahuan, Agus Salim menguasai pembicaraan dan membuat Ngo lebih banyak mengangguk-anggukkan kepala sembari mendengarkan penuh kekaguman.
Tapi, Agus Salim pernah mengaku dibuat tak berkutik oleh si Tukang Sado. Kelihaiannya bersilat lidah, tumpas sudah oleh rakyat jelata yang tentu pendidikan formalnya tak setinggi Agus Salim.
Pada suatu hari, di tahun `1925, Agus Salim naik sado (delman). Tiba-tiba, si kuda mengeluarkan bunyi kentut yang ribut.
"Wah, Bang, kudanya rupanya masuk angin,..." komentar Agus Salim pada si Tukang Sado.
Si Tukang Sado menukas gesit, "Bukan masuk angin, Tuan, tapi keluar angin,...!"
Agus Salim terdiam. | Sunardian berdasarkan tulisan Ibu Jojet, dari majalah Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, No 3, Tahun II Edisi April 1978
Senin, Februari 13, 2012
Kualitas Hidup, Kualitas Pertanyaan, dan Kualitas Jawaban
Catatan Sunardian Wirodono
Apakah kau akan kenyang, bisa membayar utang, beli iPad, mentraktir pacarmu, dengan kata-kata indah dari para filsuf, penyair, motivator, dan para perajin kata-kata?
Apakah kau bisa mengubah hidupmu, membuat kegagalan menjadi menyenangkan, dan kesuksesan begitu gampang diraih, hanya dengan kata-kata buaian dari mereka?
Sering saya mendengar, bukan pertanyaan, tapi pernyataan seperti itu. Bagi saya, pertanyaan atau pun pernyataan itu sama anehnya. Karena ia bukan lagi muncul dari sinisme atau fatalisme, tapi dari cara berfikir yang dungu.
Semua orang juga tahu, yang mengenyangkan adalah makanan, mungkin nasi, gandum, roti, dan lain sejenisnya. Yang bisa untuk membeli iPad, mentraktir pacar, membayar utang, adalah uang. Dan seterusnya dan sebagainya.
Pertanyaan dan pernyataan dungu itu merupakan bentuk negasi, penolakan yang spontan muncul dari bawah sadar kita, lebih karena persoalan semantika atau teknis belaka. Tapi, sesungguhnya, tak ada perdebatan atau perlawanan substansial yang logis.
Buktinya, tanpa disadari, para negator (atau penolak) itu, pada hakikatnya dibimbing oleh kesadaran tertentu untuk menjawab berbagai persoalan, kecuali jika fatalisme yang ada dalam dirinya sudah sampai tahap nihilisme. Sudah luweh-bebek, mau mati sekarang atau besok, sama saja.
Karena mereka sendiri juga tak bisa menjawab persoalan sederhana. Jika kita naik mobil, naik sepeda motor, naik sepeda onthel, atau jalan kaki, siapakah sesungguhnya yang membuat kita berpindah tempat dari yang satu ke lainnya? Dari sini ke sana atau sana ke sini? Mobilnyakah, motornyakah, kakikah?
Taruhlah dengan mobil sama baru dan merknya, sama penuh bensin dan sama beresnya, sama start dan finishnya, tetapi kenapa ada yang lebih cepat, ada yang lambat, bahkan ada yang macet, ada yang tabrakan, ada yang kesasar.
Karena kualitas mobil atau pengendaranya?
Kualitas jawaban Anda soal ini, adalah kualitas diri Anda.
Apakah kau akan kenyang, bisa membayar utang, beli iPad, mentraktir pacarmu, dengan kata-kata indah dari para filsuf, penyair, motivator, dan para perajin kata-kata?
Apakah kau bisa mengubah hidupmu, membuat kegagalan menjadi menyenangkan, dan kesuksesan begitu gampang diraih, hanya dengan kata-kata buaian dari mereka?
Sering saya mendengar, bukan pertanyaan, tapi pernyataan seperti itu. Bagi saya, pertanyaan atau pun pernyataan itu sama anehnya. Karena ia bukan lagi muncul dari sinisme atau fatalisme, tapi dari cara berfikir yang dungu.
Semua orang juga tahu, yang mengenyangkan adalah makanan, mungkin nasi, gandum, roti, dan lain sejenisnya. Yang bisa untuk membeli iPad, mentraktir pacar, membayar utang, adalah uang. Dan seterusnya dan sebagainya.
Pertanyaan dan pernyataan dungu itu merupakan bentuk negasi, penolakan yang spontan muncul dari bawah sadar kita, lebih karena persoalan semantika atau teknis belaka. Tapi, sesungguhnya, tak ada perdebatan atau perlawanan substansial yang logis.
Buktinya, tanpa disadari, para negator (atau penolak) itu, pada hakikatnya dibimbing oleh kesadaran tertentu untuk menjawab berbagai persoalan, kecuali jika fatalisme yang ada dalam dirinya sudah sampai tahap nihilisme. Sudah luweh-bebek, mau mati sekarang atau besok, sama saja.
Karena mereka sendiri juga tak bisa menjawab persoalan sederhana. Jika kita naik mobil, naik sepeda motor, naik sepeda onthel, atau jalan kaki, siapakah sesungguhnya yang membuat kita berpindah tempat dari yang satu ke lainnya? Dari sini ke sana atau sana ke sini? Mobilnyakah, motornyakah, kakikah?
Taruhlah dengan mobil sama baru dan merknya, sama penuh bensin dan sama beresnya, sama start dan finishnya, tetapi kenapa ada yang lebih cepat, ada yang lambat, bahkan ada yang macet, ada yang tabrakan, ada yang kesasar.
Karena kualitas mobil atau pengendaranya?
Kualitas jawaban Anda soal ini, adalah kualitas diri Anda.
Minggu, Februari 12, 2012
Sedang Apakah, Duhai, Engkau Di Sana?
Oleh Sunardian Wirodono
Sedang apakah, duhai, engkau di sana? Sedang menyesali hidup, merutukinya? Atau sedang menikmati cinta yang meriah? Apapun, sepanjang engkau tahu, bahwa semuanya bukan tanpa sebab, bukan tanpa akibat.
Bahwa perjalanan hidup ini, tidak mak-bedunduk, tidak sekonyong-konyong dan tidak sebagaimana Mr. Bean yang menyanyikan masa lalu (Yesterday, Beatles) tanpa harmony, "Suddenly,..."
Dalam keyakinan Islam ada "asbabul nujum dan asbabul wurud", dalam keyakinan Asmuni ada asbab-asbab tempat puntung rokok, dan tak ada hil-hil yang mustahal, ada teks ada konteks, ada alpha dan omega, yang semuanya itu mengajarkan kepedulian kita mengingat, merenungkan, memikir ulang; Bahwa tak ada ini tanpa itu, tak ada itu tanpa ini.
Cobalah lamunkan pengalamanmu secara lebih terorganisasi, lebih intens, dan terfokus. Ia akan membuatmu lebih berenergi dan mengajakmu untuk siap beraksi kembali. Cobalah dengarkan musik yang indah, dengan semua inderamu. Bukan hanya mendengarkan suaranya, melainkan melihatnya, merasakannya, dan bergerak bersamanya. Dengan itu kau akan lakukan perjalanan mental ke suatu tempat yang lain. Ciptakanlah film layar lebar di batinmu, dan jadilah tokoh satu-satunya di dalamnya. Engkau pastilah jauh lebih "ahik punya" dibanding Brad Pitt, dibanding Angelina Jolie, dibanding siapapun bintang pesonamu.
Susunlah sebuah cerita petualangan, sebuah film sequel, bagaimana kau menembus ruang angkasa luar, perjalanan menembus batas waktu, bertualang di bawah samudera fana hidupmu, terjun bebas dari angkasa impian.
Lepaskan ketergantungan dari para penulis skenario yang cethek, atau lupakan para sutradara abal-abal, yang lebih bangga menduplikasi film-film asing daripada film-film kehidupan sekitarnya.
Sedang apakah, duhai, engkau di sana? Semoga kau baik-baik saja. Jangan bersedih dan mengeluh, sekiranya TOEFLmu tak mencapai 600, karena diluar PNS di Deperindag, masih banyak pekerjaan lainnya. Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan tapi imajinasi, demikian dikatakan Einstein. Kenapa? Karena imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawamu dari A ke B, namun imajinasi akan membawa kemana-mana. Karenanya Sukarno suka berteriak-teriak, "Imagination! Imagination! Imagination!"
Orang-orang seperti kita yang percaya pada fisika, lagi-lagi ini kata Einstein, mengetahui bahwa perbedaan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan hanyalah sebuah ilusi yang terus menerus ada. Tapi apakah cinta itu ilusi? Renungkanlah, dan cobalah dengarkan lagu yang dilantunkan Whitney Houston (3 Agustus 1963 - 11 Februari 2012), yang baru saja meninggalkan kita, dalam 'I Will Always Love You';
"I hope life treats you kind.
And I hope you have all you dreamed of.
And I'm wishing you joy and happiness.
But above all this - I wish you love,..."
Sedang apakah, duhai, engkau di sana? Sedang menyesali hidup, merutukinya? Atau sedang menikmati cinta yang meriah? Apapun, sepanjang engkau tahu, bahwa semuanya bukan tanpa sebab, bukan tanpa akibat.
Bahwa perjalanan hidup ini, tidak mak-bedunduk, tidak sekonyong-konyong dan tidak sebagaimana Mr. Bean yang menyanyikan masa lalu (Yesterday, Beatles) tanpa harmony, "Suddenly,..."
Dalam keyakinan Islam ada "asbabul nujum dan asbabul wurud", dalam keyakinan Asmuni ada asbab-asbab tempat puntung rokok, dan tak ada hil-hil yang mustahal, ada teks ada konteks, ada alpha dan omega, yang semuanya itu mengajarkan kepedulian kita mengingat, merenungkan, memikir ulang; Bahwa tak ada ini tanpa itu, tak ada itu tanpa ini.
Cobalah lamunkan pengalamanmu secara lebih terorganisasi, lebih intens, dan terfokus. Ia akan membuatmu lebih berenergi dan mengajakmu untuk siap beraksi kembali. Cobalah dengarkan musik yang indah, dengan semua inderamu. Bukan hanya mendengarkan suaranya, melainkan melihatnya, merasakannya, dan bergerak bersamanya. Dengan itu kau akan lakukan perjalanan mental ke suatu tempat yang lain. Ciptakanlah film layar lebar di batinmu, dan jadilah tokoh satu-satunya di dalamnya. Engkau pastilah jauh lebih "ahik punya" dibanding Brad Pitt, dibanding Angelina Jolie, dibanding siapapun bintang pesonamu.
Susunlah sebuah cerita petualangan, sebuah film sequel, bagaimana kau menembus ruang angkasa luar, perjalanan menembus batas waktu, bertualang di bawah samudera fana hidupmu, terjun bebas dari angkasa impian.
Lepaskan ketergantungan dari para penulis skenario yang cethek, atau lupakan para sutradara abal-abal, yang lebih bangga menduplikasi film-film asing daripada film-film kehidupan sekitarnya.
Sedang apakah, duhai, engkau di sana? Semoga kau baik-baik saja. Jangan bersedih dan mengeluh, sekiranya TOEFLmu tak mencapai 600, karena diluar PNS di Deperindag, masih banyak pekerjaan lainnya. Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan tapi imajinasi, demikian dikatakan Einstein. Kenapa? Karena imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawamu dari A ke B, namun imajinasi akan membawa kemana-mana. Karenanya Sukarno suka berteriak-teriak, "Imagination! Imagination! Imagination!"
Orang-orang seperti kita yang percaya pada fisika, lagi-lagi ini kata Einstein, mengetahui bahwa perbedaan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan hanyalah sebuah ilusi yang terus menerus ada. Tapi apakah cinta itu ilusi? Renungkanlah, dan cobalah dengarkan lagu yang dilantunkan Whitney Houston (3 Agustus 1963 - 11 Februari 2012), yang baru saja meninggalkan kita, dalam 'I Will Always Love You';
"I hope life treats you kind.
And I hope you have all you dreamed of.
And I'm wishing you joy and happiness.
But above all this - I wish you love,..."
Sabtu, Februari 11, 2012
Kita Sama-sama Bosan dengan Semua Omong Kosong Demokrasi Ini
Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, (11/2) menunggu kedatangan ketua umum FPI Habieb Riezieq, untuk menyatakan penolakannya atas pendirian FPI di Kaltim itu.
Catatan Sunardian Wirodono
Bangsa dan Negara Indonesia ini, semakin nyata, berjalan atas dua track. Track yang pertama adalah jalur yang dikuasai oleh para penganut Trias Politica Montezqieu, yang senyatanya hanya melahirkan kaum elitis. Sementara jalur lainnya, adalah jalur rakyat yang sama sekali tak berhubungan dengan jalur pertama itu.
Bayangkanlah, sekarang ini, rakyat harus menyelesaikan permasalahannya sendiri, soal perebutan lahan, tanah ulayat, dan lebih-lebih jika sudah menyangkut konflik agama. Sebagaimana yang terjadi di Bogor, Mataram, dan berbagai kota lainnya, hingga penolakan masyarakat etnik Dayak atas kedatangan ketua FPI di Palangkaraya. Negara, benar-benar tidak hadir dalam situasi-situasi krusial warganya.
Jika pun dua jalur itu dipertemukan, secara formal dan prosedural negara yang mengaku penganut demokrasi modern, dipertemukan dalam apa yang dinamakan Pemilu (Pemilihan Umum), namun seperti kata John Lenon dalam kartun-kartun ciptaannya, general election itu lebih merupakan general erection (ketegangan umum, anak Yogya menyebutnya 'lajel rame-rame'). Lebih gawat lagi jika 'general' disitu bukan dalam arti 'umum', melainkan bermunculannya para jenderal bintang jie-sam-soe (alias bintang 2, 3, atau 4, karena jenderal bintang 5 hanya milik Pangsar Sudirman dan Jendral Besar Soeharto).
Segala macam unsur dalam trias politika (eks-leg-yud), pada dasarnya adalah satu, ialah eksekutif belaka, alias manusia yang lebih bermentalkan sebagai pamong (pejabat) dan bukan pamomong (pemimpin, pinilih). Sebagai pamong, mereka cenderung sebagai priayi dalam pengertian paling dasar, justeru adalah pihak yang merasa lebih dan minta dilayani (misal pesawat kepresidenan yang tidak prioritas dan rasional, serta naiknya anggaran untuk DPR, sebagaimana juga permintaan naik gaji orang-orang BI).
Rakyat, selama ini hanya sebagai alasan bagi tegaknya kekuasaan, bukan tegaknya kesejahteraan. Karenanya, rakyat hanya ada dalam pidato dan batang tubuh serta pasal, dari segala macam undang-undang dan perda, namun sama sekali tak ada di atas kenyataan sosialnya.
Bagaimana cara memutus persoalan ini? Jika rakyat adalah massa waktu, maka waktu bagi penguasa korup sesungguhnya terbatas. Jika partai politik sementara ini tak bisa diharap, maka biasanya ibu pertiwi menyimpan anak-anak terbaik untuk menggantikan semuanya itu. Jika generasi Anas Urbaningrum pun tak bisa dipercaya, pasti hal itu mengindikasikan ada generasi yang lebih baik dari mereka, entah kapan.
Di tengah sistem pendidikan yang mau dikuasai mutlak oleh negara (baca: pemerintah alias penguasa), tetap masih ada generasi yang dididik oleh kebenaran-kebenaran sejarah. Bisa jadi jauh lebih lambat, namun dia memberikan tempat untuk kesabaran, bagaimana nanti terbangun struktur bangsa dan negara yang lebih baik, yang pada akhirnya rakyatlah yang menjadi subyek pelaku dari perjalanan ini.
Ada pun mereka yang kita tempatkan dalam eksekutif-legislatif-yudikatif, benar-benar kelak hanya sebagai pelaksana, yang tidak akan kita bolehkan merampok hak-hak rakyat untuk mengontrol, mendelegitimasi, merecall, dan melakukan rolling party, (bukan the rulling party) yang nyata korup. Sejarah selalu membuktikan, bagaimana dulu ketika PNI berkuasa, politikus PNI banyak yang terlibat dalam kasus korupsi, sama dengan ketika Golkar berkuasa, sama pula dengan ketika Pardem berkuasa. Karena mereka tak rela dikontrol dan meniadakan partisipasi rakyat.
Kita masih boleh bermimpi, sembari terus melakukan hal-hal kecil namun dengan cinta yang besar, sesuai bakat dan bidang kita. Yakni, menyirami tumbuhnya individu yang rasional dan toleran, dalam lingkungan masing-masing. Sembari sesekali berharap, semoga Tuhan tidak sedang bereksperimen sebagaimana diyakini oleh Einstein. Kita semua sama-sama bosan dengan semua omong kosong demokrasi ini.
Catatan Sunardian Wirodono
Bangsa dan Negara Indonesia ini, semakin nyata, berjalan atas dua track. Track yang pertama adalah jalur yang dikuasai oleh para penganut Trias Politica Montezqieu, yang senyatanya hanya melahirkan kaum elitis. Sementara jalur lainnya, adalah jalur rakyat yang sama sekali tak berhubungan dengan jalur pertama itu.
Bayangkanlah, sekarang ini, rakyat harus menyelesaikan permasalahannya sendiri, soal perebutan lahan, tanah ulayat, dan lebih-lebih jika sudah menyangkut konflik agama. Sebagaimana yang terjadi di Bogor, Mataram, dan berbagai kota lainnya, hingga penolakan masyarakat etnik Dayak atas kedatangan ketua FPI di Palangkaraya. Negara, benar-benar tidak hadir dalam situasi-situasi krusial warganya.
Jika pun dua jalur itu dipertemukan, secara formal dan prosedural negara yang mengaku penganut demokrasi modern, dipertemukan dalam apa yang dinamakan Pemilu (Pemilihan Umum), namun seperti kata John Lenon dalam kartun-kartun ciptaannya, general election itu lebih merupakan general erection (ketegangan umum, anak Yogya menyebutnya 'lajel rame-rame'). Lebih gawat lagi jika 'general' disitu bukan dalam arti 'umum', melainkan bermunculannya para jenderal bintang jie-sam-soe (alias bintang 2, 3, atau 4, karena jenderal bintang 5 hanya milik Pangsar Sudirman dan Jendral Besar Soeharto).
Segala macam unsur dalam trias politika (eks-leg-yud), pada dasarnya adalah satu, ialah eksekutif belaka, alias manusia yang lebih bermentalkan sebagai pamong (pejabat) dan bukan pamomong (pemimpin, pinilih). Sebagai pamong, mereka cenderung sebagai priayi dalam pengertian paling dasar, justeru adalah pihak yang merasa lebih dan minta dilayani (misal pesawat kepresidenan yang tidak prioritas dan rasional, serta naiknya anggaran untuk DPR, sebagaimana juga permintaan naik gaji orang-orang BI).
Rakyat, selama ini hanya sebagai alasan bagi tegaknya kekuasaan, bukan tegaknya kesejahteraan. Karenanya, rakyat hanya ada dalam pidato dan batang tubuh serta pasal, dari segala macam undang-undang dan perda, namun sama sekali tak ada di atas kenyataan sosialnya.
Bagaimana cara memutus persoalan ini? Jika rakyat adalah massa waktu, maka waktu bagi penguasa korup sesungguhnya terbatas. Jika partai politik sementara ini tak bisa diharap, maka biasanya ibu pertiwi menyimpan anak-anak terbaik untuk menggantikan semuanya itu. Jika generasi Anas Urbaningrum pun tak bisa dipercaya, pasti hal itu mengindikasikan ada generasi yang lebih baik dari mereka, entah kapan.
Di tengah sistem pendidikan yang mau dikuasai mutlak oleh negara (baca: pemerintah alias penguasa), tetap masih ada generasi yang dididik oleh kebenaran-kebenaran sejarah. Bisa jadi jauh lebih lambat, namun dia memberikan tempat untuk kesabaran, bagaimana nanti terbangun struktur bangsa dan negara yang lebih baik, yang pada akhirnya rakyatlah yang menjadi subyek pelaku dari perjalanan ini.
Ada pun mereka yang kita tempatkan dalam eksekutif-legislatif-yudikatif, benar-benar kelak hanya sebagai pelaksana, yang tidak akan kita bolehkan merampok hak-hak rakyat untuk mengontrol, mendelegitimasi, merecall, dan melakukan rolling party, (bukan the rulling party) yang nyata korup. Sejarah selalu membuktikan, bagaimana dulu ketika PNI berkuasa, politikus PNI banyak yang terlibat dalam kasus korupsi, sama dengan ketika Golkar berkuasa, sama pula dengan ketika Pardem berkuasa. Karena mereka tak rela dikontrol dan meniadakan partisipasi rakyat.
Kita masih boleh bermimpi, sembari terus melakukan hal-hal kecil namun dengan cinta yang besar, sesuai bakat dan bidang kita. Yakni, menyirami tumbuhnya individu yang rasional dan toleran, dalam lingkungan masing-masing. Sembari sesekali berharap, semoga Tuhan tidak sedang bereksperimen sebagaimana diyakini oleh Einstein. Kita semua sama-sama bosan dengan semua omong kosong demokrasi ini.
Kamis, Februari 09, 2012
Pertarungan Sesungguhnya, AU versus SBY
Oleh Sunardian Wirodono
Pada akhirnya, jendral meja (artinya bukan jendral lapangan) SBY, menerapkan strategi ular maboknya. Melingkar-lingkar tak keruan, untuk sampai pada satu tujuan; Bagaimana cara menggulingkan AU (dari posisi ketum Pardem) dengan tanpa sama sekali belepotan tangannya dengan darah. Semua orang boleh menafikan ini, namun dalam politik apa yang diomongkan bisa beda dengan yang ditindakkan. Bahkan tak jarang, dalam politik citra, ngomong "a" agar orang tak tahu bahwa dia maunya ke "b".
Berbagai manuver dari para petinggi dan elite Pardem, dari Kemayoran hingga Cikeas, dan berbagai suara yang sama mbuletnya dengan omongan ketua dewan pembina DPP-Pardem, semuanya menyiratkan AU untuk turun. Meski tudingan ini akan ditolak dengan logika jungkir-balik, khas omongan oportunis dan politikus munafikus brutus. Maka semua ultimatum yang diberikan pada AU, hanya mengarah pada "kelegowoan" AU, untuk mundur dari ketum Pardem. Jika satu langkah ini tercapai, maka langkah berikutnya baru akan bisa ditancapkan.
Setelah gagal mengundang 99 deklarator dan pendiri partai, yang hanya dihadiri 9 orang, pada akhirnya membuat kelompok bayangan SBY sebentar hari lagi, mengadakan road-show pertemuan dengan 31 pengurus DPD dan bahkan DPC Pardem seluruh Indonesia. Agendanya pun juga jelas, "menyadarkan" orang-orang untuk menyelamatkan partai dalam 2014. Dengan cara, AU mundur sebagai ketum Pardem. Karena ultimatum tiga bulan bagi Ketum Pardem menaikkan angka elektabilitas 20%, adalah omong kosong. Apalagi, persoalan hukum dengan dipersangkakannya Angelina Sondakh oleh KPK, akan membuat waktu tiga bulan itu tidak memberikan ruang cukup bagi AU dan Pardem, sekali pun SBY turun ke lapangan melakukan pendekatan pada pendukungnya. Satu hal yang tak mungkin dengan dua alasan, posisinya sebagai presiden akan jauh lebih negatif, jika SBY terjebak dalam pusaran Pardem, namun alasan kedua yang lebih jelas, SBY bukanlah seorang politikus yang berdarah-darah, sehingga saripati kebijaksanaannya tak pernah meyakinkan kita, kecuali citranya yang pada akhirnya tergerus sendiri.
Persoalan gawatnya kemudian, kini mayoritas DPD-DPC, berada di tangan AU, dengan basis organisasi AU sebagai mantan ketum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tidak akan mudah bagi pendukung SBY mempengaruhi para pendukung AU, untuk menggusur AU dari Pardem. Yang terjadi, justeru bisa jadi pertarungan bubad Pardem, hingga pada akhirnya partai politik ini hancur lebur. Hancurnya Pardem sebagai partai, tidak akan sangat berpengaruh bagi Indonesia, karena bukan hanya ada banyak partai di luarnya, namun karena peran parpol itu sendiri tidak cukup significant untuk kemajuan bangsa dan negara.
Kita tunggu perang bubat ini. Jika AU bisa menggusur SBY dan para pendukungnya, maka ini sejarah "perebutan kuasa (pengaruh)" yang menarik dalam alih generasi ini. Setidaknya, AU punya kesempatan untuk membangun lokomotif baru, senyampang jika ia pun mampu membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam tindak korupsi sebagaimana dikatakan Nazaruddin.
Kemelut Pardem, hanya mencontohkan kasus-kasus klasik dalam kepartaian kita. Dengan kader jenggot, mengakar ke atas (dan hanya bergantung pada satu figur), kita tidak akan mendapatkan parpol yang kuat, karena sebagaimana manusia, pada akhirnya dia akan mampus juga seiring dengan kerentaan sang figur. Berbeda jika ia mengakar ke bawah, sebagaimana para pohon menunjukkan. meski meninggi mereka kuat menahan goncangan angin. AU sebenarnya mempunyai potensi menang dibanding SBY dalam pertarungan ini. Tapi kelompok pendukung SBY yang bersemangat "tiji tibeh" (mewakili pandangan politik Soehartoisme), tentu tak akan merelakan begitu saja kendaraan politik yang dibangunnya dulu direbut oleh "HMI". Tapi, tentu, itu harga yang harus dibayar bagi partai jenggot ini, sekali pun SBY sangat klimis janggutnya, dan tak pernah jelas sikapnya sebagai kepala negara dalam kasus GKI Yasmin!
Meski pun jika dilihat dari gelagat karakter politik kedua belah pihak, ko-eksistensi damai agaknya adalah pilihan terbaik. Bukan hanya soal Ibas Yudhoyono, tapi SBY tentu punya banyak pertimbangan paska 2014 ketika ia tak lagi menjadi penguasa dan partainya tercerai-berai pula.
Sementara AU, yang tampak senantiasa santun dan logis ini, pada dasarnya juga tak mendapat topangan yang kuat dan sepadan di luar Pardem. Yang dinamakan jodoh ialah, ketika satu sama lain merasakan cocok dan saling mengisi, sebagaimana karakter SBY maka demikian pulalah AU. Dan begitulah politik Indonesia. | Lereng Merapi, 9 Februari 2012.
Pada akhirnya, jendral meja (artinya bukan jendral lapangan) SBY, menerapkan strategi ular maboknya. Melingkar-lingkar tak keruan, untuk sampai pada satu tujuan; Bagaimana cara menggulingkan AU (dari posisi ketum Pardem) dengan tanpa sama sekali belepotan tangannya dengan darah. Semua orang boleh menafikan ini, namun dalam politik apa yang diomongkan bisa beda dengan yang ditindakkan. Bahkan tak jarang, dalam politik citra, ngomong "a" agar orang tak tahu bahwa dia maunya ke "b".
Berbagai manuver dari para petinggi dan elite Pardem, dari Kemayoran hingga Cikeas, dan berbagai suara yang sama mbuletnya dengan omongan ketua dewan pembina DPP-Pardem, semuanya menyiratkan AU untuk turun. Meski tudingan ini akan ditolak dengan logika jungkir-balik, khas omongan oportunis dan politikus munafikus brutus. Maka semua ultimatum yang diberikan pada AU, hanya mengarah pada "kelegowoan" AU, untuk mundur dari ketum Pardem. Jika satu langkah ini tercapai, maka langkah berikutnya baru akan bisa ditancapkan.
Setelah gagal mengundang 99 deklarator dan pendiri partai, yang hanya dihadiri 9 orang, pada akhirnya membuat kelompok bayangan SBY sebentar hari lagi, mengadakan road-show pertemuan dengan 31 pengurus DPD dan bahkan DPC Pardem seluruh Indonesia. Agendanya pun juga jelas, "menyadarkan" orang-orang untuk menyelamatkan partai dalam 2014. Dengan cara, AU mundur sebagai ketum Pardem. Karena ultimatum tiga bulan bagi Ketum Pardem menaikkan angka elektabilitas 20%, adalah omong kosong. Apalagi, persoalan hukum dengan dipersangkakannya Angelina Sondakh oleh KPK, akan membuat waktu tiga bulan itu tidak memberikan ruang cukup bagi AU dan Pardem, sekali pun SBY turun ke lapangan melakukan pendekatan pada pendukungnya. Satu hal yang tak mungkin dengan dua alasan, posisinya sebagai presiden akan jauh lebih negatif, jika SBY terjebak dalam pusaran Pardem, namun alasan kedua yang lebih jelas, SBY bukanlah seorang politikus yang berdarah-darah, sehingga saripati kebijaksanaannya tak pernah meyakinkan kita, kecuali citranya yang pada akhirnya tergerus sendiri.
Persoalan gawatnya kemudian, kini mayoritas DPD-DPC, berada di tangan AU, dengan basis organisasi AU sebagai mantan ketum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Tidak akan mudah bagi pendukung SBY mempengaruhi para pendukung AU, untuk menggusur AU dari Pardem. Yang terjadi, justeru bisa jadi pertarungan bubad Pardem, hingga pada akhirnya partai politik ini hancur lebur. Hancurnya Pardem sebagai partai, tidak akan sangat berpengaruh bagi Indonesia, karena bukan hanya ada banyak partai di luarnya, namun karena peran parpol itu sendiri tidak cukup significant untuk kemajuan bangsa dan negara.
Kita tunggu perang bubat ini. Jika AU bisa menggusur SBY dan para pendukungnya, maka ini sejarah "perebutan kuasa (pengaruh)" yang menarik dalam alih generasi ini. Setidaknya, AU punya kesempatan untuk membangun lokomotif baru, senyampang jika ia pun mampu membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam tindak korupsi sebagaimana dikatakan Nazaruddin.
Kemelut Pardem, hanya mencontohkan kasus-kasus klasik dalam kepartaian kita. Dengan kader jenggot, mengakar ke atas (dan hanya bergantung pada satu figur), kita tidak akan mendapatkan parpol yang kuat, karena sebagaimana manusia, pada akhirnya dia akan mampus juga seiring dengan kerentaan sang figur. Berbeda jika ia mengakar ke bawah, sebagaimana para pohon menunjukkan. meski meninggi mereka kuat menahan goncangan angin. AU sebenarnya mempunyai potensi menang dibanding SBY dalam pertarungan ini. Tapi kelompok pendukung SBY yang bersemangat "tiji tibeh" (mewakili pandangan politik Soehartoisme), tentu tak akan merelakan begitu saja kendaraan politik yang dibangunnya dulu direbut oleh "HMI". Tapi, tentu, itu harga yang harus dibayar bagi partai jenggot ini, sekali pun SBY sangat klimis janggutnya, dan tak pernah jelas sikapnya sebagai kepala negara dalam kasus GKI Yasmin!
Meski pun jika dilihat dari gelagat karakter politik kedua belah pihak, ko-eksistensi damai agaknya adalah pilihan terbaik. Bukan hanya soal Ibas Yudhoyono, tapi SBY tentu punya banyak pertimbangan paska 2014 ketika ia tak lagi menjadi penguasa dan partainya tercerai-berai pula.
Sementara AU, yang tampak senantiasa santun dan logis ini, pada dasarnya juga tak mendapat topangan yang kuat dan sepadan di luar Pardem. Yang dinamakan jodoh ialah, ketika satu sama lain merasakan cocok dan saling mengisi, sebagaimana karakter SBY maka demikian pulalah AU. Dan begitulah politik Indonesia. | Lereng Merapi, 9 Februari 2012.
Selasa, Februari 07, 2012
Dialog Dogol Susilo & Mbambang
Pagi-pagi, sudah terjadi kehebohan. Susilo datang ke kantor dengan dua mata lebam.
"Kenapa dengan matamu, Su?" bertanya Mbambang.
“Ceritanya 'gini, Mbang," Susilo becerita, "tadi aku antri bis di belakang wanita yang tuinggiii besar. Aku lihat rok wanita itu terjepit diantara belahan pantatnya. Aku bermaksud menolongnya, aku tarik kain roknya agar terlihat rapi. Eh, dia malah berbalik ke arahku dan meninju mata kiriku.”
“Lha mata kananmu, Su?”
“Aku pikir dia nggak suka kain roknya aku rapiin, ya udah aku slempitin lagi kain roknya itu, ke belahan pantatnya. Adakah aku salah, Mbang?"
"Oh, tidak, selama kau tak jadi presiden, Su!"
"Kenapa dengan matamu, Su?" bertanya Mbambang.
“Ceritanya 'gini, Mbang," Susilo becerita, "tadi aku antri bis di belakang wanita yang tuinggiii besar. Aku lihat rok wanita itu terjepit diantara belahan pantatnya. Aku bermaksud menolongnya, aku tarik kain roknya agar terlihat rapi. Eh, dia malah berbalik ke arahku dan meninju mata kiriku.”
“Lha mata kananmu, Su?”
“Aku pikir dia nggak suka kain roknya aku rapiin, ya udah aku slempitin lagi kain roknya itu, ke belahan pantatnya. Adakah aku salah, Mbang?"
"Oh, tidak, selama kau tak jadi presiden, Su!"
Senin, Februari 06, 2012
Sandhyakalaning Partai Demokrat
Catatan Sunardian Wirodono
Kita mendengar, melihat dan membaca semua omongan orang-orang Partai Demokrat hari-hari ini. Semua omongan mereka adalah benar, jujur, suci, tanpa pretensi, mulia, tak ada yang salah, indah belaka, perfect, tanpa cacat. Benar-benar pencerminan wujud manusia dan politikus yang sempurna. Namun, bagaimana rasanya hidup dengan mereka? Nyamankah? Dinyatakan Robert Neville, seorang aktor, "Hidup bersama orang suci, ternyata jauh lebih melelahkan daripada menjadi orang suci itu sendiri." Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan, untuk melihat kesejatiannya, kita tinggal membacanya secara terbalik. Karena, dari semua yang mereka katakan "kanan", sesungguh-sungguhnya maksud adalah "kiri".
Puncak dari paradoks "kebenaran" dan "kebesaran" Pardem, bertumpu pada kerapuhannya, karena ia bergantung pada satu nama, Susilo Bambang Yudhoyono. Dari semua petinggi partai, entah yang bernama deklarator, pendiri, dewan penasehat, dewan pembina, dewan pengawasa, dewan pimpinan, dewan ini dan itu, semuanya berkata sama: Tergantung pada pribadi Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikatakan oleh Ruhut Sitompul "yang mulia dan kita hormati, guru kita, the founding father kita!" SBY telah menjadi Dewa yang tak terkira dan tak tersentuh. Sementara, nasehat Ki Hajar Dewantara, tokoh nasionalis dan pendidik kita mengatakan, "Kita boleh mengagumi seseorang, namun kita tidak akan tumbuh ketika kita mendewakan seseorang itu!"
Meski ia dilahirkan di jaman modern, kuatnya patronase di Pardem, menunjuk bahwa ini partai yang benar-benar sangat tradisional, sangat ketinggalan jaman dan tidak logis, sekali pun demikian gambaran umumnya partai-partai politik kita, bahkan pada PKS sekali pun, yang tetap juga bergantung pada Dewan Syuro.
Tidak ada satu pun partai yang benar-benar merupakan cerminan dari arus bawah, perwakilan dan alat serta media masyarakat madani, karena di sana ada bangunan hierarki yang kemudian menjadi daerah otonom serta otoritas dari katel-kartel kepentingan, dengan sistem kepartaian yang bersifat oligarkis.
Tentu hal tersebut bisa dimengerti, namun dengan sistem yang rapuh, di mana akses partisipasi anggota tidak terjadi, seorang begawan atau seorang jagoan hulig-huligan, perlahan akan digerus oleh berbagai kepentingan yang belibet di sana. Dan tidak ada satu sistem yang bisa menjaga dan menjamin, bagaimana tingkat kepatuhan karena sakralitas para petinggi partai pun juga sesuatu yang mudah diombang-ambingkan oleh sistem kepolitikan kita yang agenda utamanya masih berkisar pada power sharing.
Partai politik pada akhirnya, hanya menjadi semacam "perseroan terbatas" dengan investor tunggal, maupun para penanam saham di luarnya, yang sama sekali tidak memberi ruang dan peran anggota, karena mereka bukanlah subyek pelaku, melainkan obyek penderita dan "alamat kepentingan" yang menjadikan mereka harus ada dan "berjuang".
Pada sisi itu, logis bisa kita katakan, posisi sentral SBY adalah faktor negatif Pardem itu sendiri. Jika kita ingin memberitahu masa depan Pardem, maka jalan satu-satunya ialah SBY mundur dari posisinya sebagai Ketua Dewan Pembina dan melepaskannya kepada kepengurusan eksekutif partai. Bisakah? Tentu saja para penggila SBY akan berteriak-teriak tidak setuju. Bagi saya, setidaknya, itu lebih baik, karena Pardem akan dengan sukses dan cepat menggali kuburnya sendiri. Dan apakah Indonesia akan hancur tanpa Pardem? Tentu tidak. Demikian juga jika tak ada parpol-parpol yang lainnya, juga tidak ngaruh-ngaruh amat. Wong amat saja tidak ngaruh!
Karena sudah terbuktikan, dari sejak 1998 hingga kini, tidak ada korelasi atau hubungan positif antara adanya partai politik dengan kemajuan bangsa dan negara.
Sepanjang partai politik tidak bisa menciptakan sistem partisipasi dan pengawasan dari konstituen, secara aktif, maka pembusukan politik benar-benar akan jauh lebih efektif dan efisien.
Kita mendengar, melihat dan membaca semua omongan orang-orang Partai Demokrat hari-hari ini. Semua omongan mereka adalah benar, jujur, suci, tanpa pretensi, mulia, tak ada yang salah, indah belaka, perfect, tanpa cacat. Benar-benar pencerminan wujud manusia dan politikus yang sempurna. Namun, bagaimana rasanya hidup dengan mereka? Nyamankah? Dinyatakan Robert Neville, seorang aktor, "Hidup bersama orang suci, ternyata jauh lebih melelahkan daripada menjadi orang suci itu sendiri." Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan, untuk melihat kesejatiannya, kita tinggal membacanya secara terbalik. Karena, dari semua yang mereka katakan "kanan", sesungguh-sungguhnya maksud adalah "kiri".
Puncak dari paradoks "kebenaran" dan "kebesaran" Pardem, bertumpu pada kerapuhannya, karena ia bergantung pada satu nama, Susilo Bambang Yudhoyono. Dari semua petinggi partai, entah yang bernama deklarator, pendiri, dewan penasehat, dewan pembina, dewan pengawasa, dewan pimpinan, dewan ini dan itu, semuanya berkata sama: Tergantung pada pribadi Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikatakan oleh Ruhut Sitompul "yang mulia dan kita hormati, guru kita, the founding father kita!" SBY telah menjadi Dewa yang tak terkira dan tak tersentuh. Sementara, nasehat Ki Hajar Dewantara, tokoh nasionalis dan pendidik kita mengatakan, "Kita boleh mengagumi seseorang, namun kita tidak akan tumbuh ketika kita mendewakan seseorang itu!"
Meski ia dilahirkan di jaman modern, kuatnya patronase di Pardem, menunjuk bahwa ini partai yang benar-benar sangat tradisional, sangat ketinggalan jaman dan tidak logis, sekali pun demikian gambaran umumnya partai-partai politik kita, bahkan pada PKS sekali pun, yang tetap juga bergantung pada Dewan Syuro.
Tidak ada satu pun partai yang benar-benar merupakan cerminan dari arus bawah, perwakilan dan alat serta media masyarakat madani, karena di sana ada bangunan hierarki yang kemudian menjadi daerah otonom serta otoritas dari katel-kartel kepentingan, dengan sistem kepartaian yang bersifat oligarkis.
Tentu hal tersebut bisa dimengerti, namun dengan sistem yang rapuh, di mana akses partisipasi anggota tidak terjadi, seorang begawan atau seorang jagoan hulig-huligan, perlahan akan digerus oleh berbagai kepentingan yang belibet di sana. Dan tidak ada satu sistem yang bisa menjaga dan menjamin, bagaimana tingkat kepatuhan karena sakralitas para petinggi partai pun juga sesuatu yang mudah diombang-ambingkan oleh sistem kepolitikan kita yang agenda utamanya masih berkisar pada power sharing.
Partai politik pada akhirnya, hanya menjadi semacam "perseroan terbatas" dengan investor tunggal, maupun para penanam saham di luarnya, yang sama sekali tidak memberi ruang dan peran anggota, karena mereka bukanlah subyek pelaku, melainkan obyek penderita dan "alamat kepentingan" yang menjadikan mereka harus ada dan "berjuang".
Pada sisi itu, logis bisa kita katakan, posisi sentral SBY adalah faktor negatif Pardem itu sendiri. Jika kita ingin memberitahu masa depan Pardem, maka jalan satu-satunya ialah SBY mundur dari posisinya sebagai Ketua Dewan Pembina dan melepaskannya kepada kepengurusan eksekutif partai. Bisakah? Tentu saja para penggila SBY akan berteriak-teriak tidak setuju. Bagi saya, setidaknya, itu lebih baik, karena Pardem akan dengan sukses dan cepat menggali kuburnya sendiri. Dan apakah Indonesia akan hancur tanpa Pardem? Tentu tidak. Demikian juga jika tak ada parpol-parpol yang lainnya, juga tidak ngaruh-ngaruh amat. Wong amat saja tidak ngaruh!
Karena sudah terbuktikan, dari sejak 1998 hingga kini, tidak ada korelasi atau hubungan positif antara adanya partai politik dengan kemajuan bangsa dan negara.
Sepanjang partai politik tidak bisa menciptakan sistem partisipasi dan pengawasan dari konstituen, secara aktif, maka pembusukan politik benar-benar akan jauh lebih efektif dan efisien.
Minggu, Februari 05, 2012
Tidak Penting Kita Punya Presiden atau Tidak
Catatan Sunardian Wirodono
Di Dumay, kutemukan banyak kisah, dari yang alay hingga perseteruan klasik dari kamar tidur. Seolah itu jagat pelepasan, yang diharap jika pun tak menyelesaikan, sedikit membebaskan atau memuaskan dari segala keterhimpitan.
Ada begitu banyak doa dan harapan dilantunkan, juga kemarahan, kejengkelan, dan segala sumpah-serapah. Rasa-rasanya, jika yang menjadi sasaran ngerti, semestinya justeru berterimakasih pada Zuckerbergh, karena ibarat katup pelepas, sebuah banjir bandang atau ledakan besar bisa terhindarkan. Karena perlawanan di Dumay hanyalah maya, dan tak pernah menjadi nyata. Adakah ia akan sama nasib, dengan suku Maya di Amerika Latino itu? Orang Islam bilang 'wallahu'alam bhisawab!' Orang Jawa bilang 'aku ra tanggungjawab!'
Indonesia masih saja menyedihkan. Justeru ketika kehidupan kepolitikan kita lebih dipenuhi agenda para politisi itu sendiri, yang sama sekali tidak nyangkut pada kepentingan rakyat. Karena rakyat, bagi mereka hanyalah Dumay juga, yang hanya mereka perlukan setiap lima tahun sekali atau pas ada kepentingannya. Rakyat hanyalah alat legalitas, yang setelahnya tak berhubungan sama sekali. Dan para politisi yang berada di eksekutif atau pun legislatif, kemudian terjebak dalam lingkaran setan yang mereka ciptakan sendiri, karena di sana tak ada etika dan tanggungjawab pengabdian. Semuanya hanya kamuflase, semu belaka, sama alaynya dengan jagat Dumay.
Pada sisi lain, kita dapati kepemimpinan di segala sektor, hanyalah dunia jual-beli, hitungan-hitungan dagang yang hanya penuh perhitungan untung dan rugi. Tapi akal-budi kita, tak sanggup meningkatkan perannya, agar untung-rugi itu dibimbing oleh karsa untuk tumbuh bersama. Jika kita kenal ajaran 'tiji tibeh' yang dijunjung tinggi hanyalah semangat balas dendam, bukan untuk 'mukti siji mukti kabeh' (satu mulia, mulia bersama) melainkan jika seseorang terkena masalah atau dikorbankan, ia akan kobarkan 'mati siji mati kabeh' (satu mampus, mampus bersama).
Bayangkanlah, sebagai ketua dewan pembina, pemegang saham tunggal dan de-facto adalah ketua umum partai Demokrat, untuk menyelesaikan gonjang-ganjing, SBY melingkar-lingkar. Bertemu pribadi dan sendiri, empat mata saja dengan AU. Sementara kemudian ia mengadakan pertemuan dengan para petinggi partai dan anggota dewan pembina lainnya tanpa AU. Pada sisi lain, ia biarkan para jajaran petinggi partai mengadakan pertemuan sendiri-sendiri. Ngomong sendiri-sendiri. Dengan lingkup partai yang semua orang partainya ngomong 'semuanya menunggu sabda bapak the founding father', tapi tak pernah ada kejelasan dan ketegasan kepemimpinan.
Itu bukan kerumitan masalah, namun kerumitan agenda karena begitu banyak kepentingan, kalkulasi, itung-itungan, yang semuanya menginti pada teori-teori pragmatisme politik. Dan demikianlah akhirnya, jika kemudian ada yang mengatakan ini negeri tanpa pilot, republik tanpa nakhoda. Yang ada adalah generasi perampok, para penumpang gelap reformasi 1998.
Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6%, adalah pertumbuhan alamiah karena akibat krisis ekonomi Eropa. Padahal, dengan kepemimpinan nasional yang riel, nyata, dan ada, Indonesia tidak akan terpuruk seperti sekarang ini.
Maka ketika beberapa nama disodorkan untuk menjadi calon presiden RI 2014, siapapun dia, adakah Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Prabowo Subianto, Wiranto, Jokowi, Sri Mulyani, Anas Urbaningrum, Puan Maharani, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Amien Rais, Jusuf Kalla, Rizal Ramlie (atau siapapun tokoh impian itu), semuanya adalah sampah dan omong kosong. Hati-hati dengan cermin tipu-daya.
Bukan mereka tidak bermutu, tapi kita tidak ingin selalu mengulang hal itu, yang hanya akan menguntungkan para calo dan penumpang gelap. Negeri ini tidak membutuhkan jagoan. Negeri ini membutuhkan gotong-royong semua pihak, membangun sistem ketatanegaraan yang benar. Seorang jagoan di Indonesia, hanya tampak bagus dalam citra, tapi pecundang dalam kenyataan, karena belibet kepentingan diri dan kelompoknya.
Selama kita tak mampu membangun sistem politik dan sistem ketatanegaraan, semua nama-nama yang dianggap jagoan itu menjadi tidak penting. Sejarah membuktikan, SBY yang citranya tinggi, ketidakmampuannya ternyata jauh lebih tinggi lagi. Selalu begitu. Indonesia tidak memerlukan presiden dan politisi serta para cecurutnya. Yang lebih kita perlukan, adalah rakyat yang berdaya. Tanpa pemimpin, sumber daya manusia kita yang berjumlah besar ini (empat terbesar di dunia) akan mampu menolong real ekonomi dan ekonomi mikro kita. Jika sirkulasi dan distribusinya mendapatkan jalan, maka rakyat akan mampu tumbuh bersama sendiri (tanpa politik), dan jika rakyat sudah bisa memenuhi hajat hidupnya sendiri, mereka bisa menolak harga suara mereka yang hanya 20 atau 50 ribu. Karena di balik kemurahhatian para elite itu, mereka mengambil atau mencuri jauh lebih banyak dari yang mereka berikan. Hati-hati penipuan model elite ini, karena penjahat bisa berkedok nabi juga, dengan dalil dan konsep-konsep karitas yang memukau, atau kecanggihannya beretorika. Untuk itu para penjahat perlu sekolah S2 sampai S3, bahkan es satu thermos agar makin canggih kata-katanya.
Di Dumay, kutemukan banyak kisah, dari yang,...
Di Dumay, kutemukan banyak kisah, dari yang alay hingga perseteruan klasik dari kamar tidur. Seolah itu jagat pelepasan, yang diharap jika pun tak menyelesaikan, sedikit membebaskan atau memuaskan dari segala keterhimpitan.
Ada begitu banyak doa dan harapan dilantunkan, juga kemarahan, kejengkelan, dan segala sumpah-serapah. Rasa-rasanya, jika yang menjadi sasaran ngerti, semestinya justeru berterimakasih pada Zuckerbergh, karena ibarat katup pelepas, sebuah banjir bandang atau ledakan besar bisa terhindarkan. Karena perlawanan di Dumay hanyalah maya, dan tak pernah menjadi nyata. Adakah ia akan sama nasib, dengan suku Maya di Amerika Latino itu? Orang Islam bilang 'wallahu'alam bhisawab!' Orang Jawa bilang 'aku ra tanggungjawab!'
Indonesia masih saja menyedihkan. Justeru ketika kehidupan kepolitikan kita lebih dipenuhi agenda para politisi itu sendiri, yang sama sekali tidak nyangkut pada kepentingan rakyat. Karena rakyat, bagi mereka hanyalah Dumay juga, yang hanya mereka perlukan setiap lima tahun sekali atau pas ada kepentingannya. Rakyat hanyalah alat legalitas, yang setelahnya tak berhubungan sama sekali. Dan para politisi yang berada di eksekutif atau pun legislatif, kemudian terjebak dalam lingkaran setan yang mereka ciptakan sendiri, karena di sana tak ada etika dan tanggungjawab pengabdian. Semuanya hanya kamuflase, semu belaka, sama alaynya dengan jagat Dumay.
Pada sisi lain, kita dapati kepemimpinan di segala sektor, hanyalah dunia jual-beli, hitungan-hitungan dagang yang hanya penuh perhitungan untung dan rugi. Tapi akal-budi kita, tak sanggup meningkatkan perannya, agar untung-rugi itu dibimbing oleh karsa untuk tumbuh bersama. Jika kita kenal ajaran 'tiji tibeh' yang dijunjung tinggi hanyalah semangat balas dendam, bukan untuk 'mukti siji mukti kabeh' (satu mulia, mulia bersama) melainkan jika seseorang terkena masalah atau dikorbankan, ia akan kobarkan 'mati siji mati kabeh' (satu mampus, mampus bersama).
Bayangkanlah, sebagai ketua dewan pembina, pemegang saham tunggal dan de-facto adalah ketua umum partai Demokrat, untuk menyelesaikan gonjang-ganjing, SBY melingkar-lingkar. Bertemu pribadi dan sendiri, empat mata saja dengan AU. Sementara kemudian ia mengadakan pertemuan dengan para petinggi partai dan anggota dewan pembina lainnya tanpa AU. Pada sisi lain, ia biarkan para jajaran petinggi partai mengadakan pertemuan sendiri-sendiri. Ngomong sendiri-sendiri. Dengan lingkup partai yang semua orang partainya ngomong 'semuanya menunggu sabda bapak the founding father', tapi tak pernah ada kejelasan dan ketegasan kepemimpinan.
Itu bukan kerumitan masalah, namun kerumitan agenda karena begitu banyak kepentingan, kalkulasi, itung-itungan, yang semuanya menginti pada teori-teori pragmatisme politik. Dan demikianlah akhirnya, jika kemudian ada yang mengatakan ini negeri tanpa pilot, republik tanpa nakhoda. Yang ada adalah generasi perampok, para penumpang gelap reformasi 1998.
Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6%, adalah pertumbuhan alamiah karena akibat krisis ekonomi Eropa. Padahal, dengan kepemimpinan nasional yang riel, nyata, dan ada, Indonesia tidak akan terpuruk seperti sekarang ini.
Maka ketika beberapa nama disodorkan untuk menjadi calon presiden RI 2014, siapapun dia, adakah Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, Prabowo Subianto, Wiranto, Jokowi, Sri Mulyani, Anas Urbaningrum, Puan Maharani, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Amien Rais, Jusuf Kalla, Rizal Ramlie (atau siapapun tokoh impian itu), semuanya adalah sampah dan omong kosong. Hati-hati dengan cermin tipu-daya.
Bukan mereka tidak bermutu, tapi kita tidak ingin selalu mengulang hal itu, yang hanya akan menguntungkan para calo dan penumpang gelap. Negeri ini tidak membutuhkan jagoan. Negeri ini membutuhkan gotong-royong semua pihak, membangun sistem ketatanegaraan yang benar. Seorang jagoan di Indonesia, hanya tampak bagus dalam citra, tapi pecundang dalam kenyataan, karena belibet kepentingan diri dan kelompoknya.
Selama kita tak mampu membangun sistem politik dan sistem ketatanegaraan, semua nama-nama yang dianggap jagoan itu menjadi tidak penting. Sejarah membuktikan, SBY yang citranya tinggi, ketidakmampuannya ternyata jauh lebih tinggi lagi. Selalu begitu. Indonesia tidak memerlukan presiden dan politisi serta para cecurutnya. Yang lebih kita perlukan, adalah rakyat yang berdaya. Tanpa pemimpin, sumber daya manusia kita yang berjumlah besar ini (empat terbesar di dunia) akan mampu menolong real ekonomi dan ekonomi mikro kita. Jika sirkulasi dan distribusinya mendapatkan jalan, maka rakyat akan mampu tumbuh bersama sendiri (tanpa politik), dan jika rakyat sudah bisa memenuhi hajat hidupnya sendiri, mereka bisa menolak harga suara mereka yang hanya 20 atau 50 ribu. Karena di balik kemurahhatian para elite itu, mereka mengambil atau mencuri jauh lebih banyak dari yang mereka berikan. Hati-hati penipuan model elite ini, karena penjahat bisa berkedok nabi juga, dengan dalil dan konsep-konsep karitas yang memukau, atau kecanggihannya beretorika. Untuk itu para penjahat perlu sekolah S2 sampai S3, bahkan es satu thermos agar makin canggih kata-katanya.
Di Dumay, kutemukan banyak kisah, dari yang,...
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...