Konon ulama itu ahli agama, pewaris (ilmu) nabi. Tapi, ilmu tak sebagaimana harta warisan. Siapa saja yang mau belajar, bisa mendapatkan, baik ilmu dari nabi, filsuf, maupun ilmu hidup dari rakyat jelata.
Ulama Indonesia, mungkin terbiasa diposisikan yang dituakan, yang didengarkan, harus diturut. Hingga sering tak proporsional. Dalam soal agama, tentu (ada juga yang bilang mungkin) saja. Tapi dalam soal lain? Pilpres?
Karena perkembangan jaman, ilmu bisa diakses siapa saja, di mana saja, darimana saja, kapan saja. Tak ada yang sangat otoritatif dalam hal ini. Apalagi ilmu-ilmu modern.
Senyatanya, rekomendasi para (yang mengaku) ulama dalam Pilpres 2019,
menjadi suatu masalah. Contoh rekomendasi ijtima ulama GNPF. Dengan
menyebut paket bernama, telah mengunci negosiasi dalam koalisi Prabowo.
Demikian juga manuver Cak Imin, menyeret-nyeret para ulama di PBNU, menjadikan blunder tersendiri di kubu Jokowi. Para ulama, kiri dan kanan, telah menyandera demokrasi menjadi kembali ke jaman baheula. Dalam bahasa-bahasa langit yang sulit dimengerti dalam konteks hak demokrasi rakyat. Pada hubungan patron-klien ini, kita berjalan mundur.
Sementara yang kita tahu, dari pelajaran sejarah, rekomendasi nabi pun hanya berupa formulasi, kriteria, Maka muncul 4 pilar (sidiq, amanah, tabligh, fatanah) karakter kepemimpinan. Ahok sangat hapal hal itu, dan mengamalkannya waktu menjadi anggota DPR maupun Gubernur.
Dengan segala hormat, sayang banget jika ahli agama, atau ahli sorga, menurunkan derajatnya menjadi ahli presiden semata. Cemen banget. Bikinlah kriteria, pemimpin yang baik itu bagaimana. Serahkan pada mereka yang berani menawarkan program sebagai formulasi dari nilai-nilai kebaikan atau kemuliaan itu. Menjadi rencana kerja, yang bisa dilihat dan dinilai 180 juta rakyat Indonesia yang mempunyak hak pilih. Pemilu, dan Pilpres, sebagai faham demokrasi modern, tidak ditentukan oleh ulama, tetapi rakyat pemilih.
Ulama memberi arah, tentu monggo saja. Tetapi allah pun memberi batasan para ulama dengan kepentingan. Sejauh apa kepentingannya? Maka bekalilah para calon presiden Indonesia, siapa saja, dengan ilmu, akhlak, etika, moral, yang terpancar dari nilai-nilai agama.
Jangan sodorkan mereka pada rakyat, hanya karena sudah panjenengan kasih japa-mantra, atau sekedar aksesoris agama yang tipis dan lamis. Toh rakyat juga tahu. Bisa membedakan calon baik dan buruk berdasar track-record. Bukan karena legitimasi alim-ulama, para profesor kampus, atau lembaga polling serta dukungan media apapun.
Ini surat malam untuk para kyai dan ulama yang saya hormati. Yang tidak saya hormati, tentu karena argumentasi yang bisa saya sampaikan, dengan segenap permohonan maaf, kepada tuhan allah subhanahu wa ta’alla.
Demikian juga manuver Cak Imin, menyeret-nyeret para ulama di PBNU, menjadikan blunder tersendiri di kubu Jokowi. Para ulama, kiri dan kanan, telah menyandera demokrasi menjadi kembali ke jaman baheula. Dalam bahasa-bahasa langit yang sulit dimengerti dalam konteks hak demokrasi rakyat. Pada hubungan patron-klien ini, kita berjalan mundur.
Sementara yang kita tahu, dari pelajaran sejarah, rekomendasi nabi pun hanya berupa formulasi, kriteria, Maka muncul 4 pilar (sidiq, amanah, tabligh, fatanah) karakter kepemimpinan. Ahok sangat hapal hal itu, dan mengamalkannya waktu menjadi anggota DPR maupun Gubernur.
Dengan segala hormat, sayang banget jika ahli agama, atau ahli sorga, menurunkan derajatnya menjadi ahli presiden semata. Cemen banget. Bikinlah kriteria, pemimpin yang baik itu bagaimana. Serahkan pada mereka yang berani menawarkan program sebagai formulasi dari nilai-nilai kebaikan atau kemuliaan itu. Menjadi rencana kerja, yang bisa dilihat dan dinilai 180 juta rakyat Indonesia yang mempunyak hak pilih. Pemilu, dan Pilpres, sebagai faham demokrasi modern, tidak ditentukan oleh ulama, tetapi rakyat pemilih.
Ulama memberi arah, tentu monggo saja. Tetapi allah pun memberi batasan para ulama dengan kepentingan. Sejauh apa kepentingannya? Maka bekalilah para calon presiden Indonesia, siapa saja, dengan ilmu, akhlak, etika, moral, yang terpancar dari nilai-nilai agama.
Jangan sodorkan mereka pada rakyat, hanya karena sudah panjenengan kasih japa-mantra, atau sekedar aksesoris agama yang tipis dan lamis. Toh rakyat juga tahu. Bisa membedakan calon baik dan buruk berdasar track-record. Bukan karena legitimasi alim-ulama, para profesor kampus, atau lembaga polling serta dukungan media apapun.
Ini surat malam untuk para kyai dan ulama yang saya hormati. Yang tidak saya hormati, tentu karena argumentasi yang bisa saya sampaikan, dengan segenap permohonan maaf, kepada tuhan allah subhanahu wa ta’alla.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar