Dalam filem bokep, apakah adegan pernganuan dilakukan stuntman
dan stuntwoman? Jika jawaban atas pertanyaan itu ialah; “Jokowi yang salah!”, Anda
akan dapat sepeda.
Dari siapa? Mungkin dari tuhan atau malaikat jibril,
saya tidak tahu. Itu hanya sekedar gambaran, bagaimana absurdnya dunia politik
kita. Persis infrastruktur kita, yang setengah abad terbengkelai. Infrastruktur
politik kita juga sama sekali tak terbangun.
Politik hanya menjadi alat meraih kekuasaan. Tapi cara
yang dipakai hanya menunjukkan pertarungan antara si baik dan si buruk. Bisa
sangat personal, tidak mewakili diskursus dalam konteks bangsa dan negara.
Makanya, agama yang dogmatic sering diseret-seret untuk kepentingan ini.
Kemelakatan pada (yang disebut) tokoh, lebih banyak
karena narasi-narasi, bahkan sampai pada fiksi bernama glorifikasi (utusan
tuhan, dsb), mitologisasi (keturunan majapahit, dsb), atau mistifikasi (punya kesaktian, cerdas, bisa
ngilang, bisa menghilangkan orang, dsb). Hingga diskusi kita tentang politik
hanya sampai pada seorang penggosip, yang jika berbicara padamu hanya tentang
orang lain (terutama negatifnya). Atau jika tidak, akan jatuh pada seorang
pembual, yang jika berbicara padamu, hanya tentang dirinya sendiri.
Sementara itu, dalam jajaran bangsa-bangsa di dunia,
index prestasi kita dalam angka yang tak menggembirakan. Padahal, kita negara dengan
populasi terbesar ke-4 dunia, setelah Cina, India, dan kemudian AS. Pada hari
pertama Asian Games 18 saja, kontingen Tiongkok di peringkat pertama dengan
belasan medali emas.
Indeks demokrasi dan index ekonomi kita, belum
menggembirakan, meski punya potensi pertumbuhan ekonomi paling menggembirakan
saat ekonomi dunia ambruk. Pada sisi lain, index prestasi akademik kita rendah.
Tingkat literasi kita, nomor 2 dari bawah. Tapi index korupsi? Peringkat 96
dari 180 negara, setingkat di bawah Timor Leste.
Padahal, dengan kekayaan alam dan populasi penduduknya,
sesungguhnya bisa dimaknai sebagai berlimpahnya sdm kita. Tapi apakah kita bisa
bersatu? Politik telah memecah-belah kita. Bahkan ketika olahraga dan seni
(bukan hanya puisi, ya, Pak John F. Kennedy dan Sena Gumira) mempersatukan,
politik memporak-porandakan.
Seorang presiden yang ‘mau-maunya’ menjadi sales
marketing untuk negeri ini, untuk brand dan martabat bangsa dan negara, pun
dibully hanya karena bukan capres pilihannya. “Jika alam semesta menyatukan
kita, saya tidak tahu mengapa,” bertanya Sean O’Casey, dramawan Irlandia, “para
politikus memiliki kecenderungan memecah belah kita, memisahkan kita satu sama
lain.”
Politikus cenderung melawan hukum alam, di mana alam merupakan
usaha menyatukan kita bersama-sama. Yang kemudian terjadi adalah cara pandang
saling meniadakan. Hitam putih. Meski dunia literasi kita, dongeng, cerita
wayang, kethoprak, atau leghenda-legenda kita, sering melakukan simplifikasi.
Seolah dunia ini hanya dibalut perang tipologi, si baik dan si jahat.
Atau benarkah kita ini masyarakat biner? Hanya mengenal
hitam-putih? Sejarah perjuangan bangsa ini, oleh bapak-ibu pendiri bangsa kita,
dikayakan oleh warna-warni pemikiran. Tapi 32 tahun kekuasaan otoritarian
Soeharto merusak segalanya. Pasca Reformasi 1998, partai politik justeru bagian
dari masalah, bukannya pengurai dan apalagi penyelesai masalah.
Sukarno benar adanya ketika berpendapat bahwa perjuangannya dulu
lebih mudah. “Tapi perjuanganmu (kini) akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri.” Bangsa seperti apa? Yang ingin mengganti dasar negara dengan jalan
fitnah, menebar hoax, terror tapi pura-pura berpaham demokrasi dengan tagar
2019GantiPresiden. Bangsa yang melakukan korupsi, jualan agama tapi sambil chatting
sex. Bangsa yang karena beda pilihan politik dan agama, tidak akur dan merasa
paling pinter padahal goblig pol.
Kehadiran Jokowi (yang mampu mengalahkan trend
kepemimpinan masa lalu), adalah berkah transformasi politik kita. Semula
dinilai tak kapabel, tak memenuhi gambaran ideal dalam konvensi. Tidak gagah.
Tidak micara. Tidak cakep. Bukan keturunan ningrat. Tidak korupsi. Tapi begitu
kinerjanya diapresiasi dalam 87% kepuasan publik, dicari-carilah sisi buruk,
atau jika perlu tembak dengan fitnah dan hoax oleh yang dikalahkannya. Mulai
dari sisi identitas, hingga soal utang dan jual asset negara, yang tak perlu
pembuktian dan data. Karena ada saja rakyat yang mau dikibuli, entah dengan
duit atau nasbung, atau jika tidak logikanya sama-sama gemblung.
Apakah ‘aksi’ mogenya dalam pembukaan Asian Games 18 itu
pencitraan? Tentu saja. Goblog saja yang tidak mentargetkan itu. Jokowi
bertindak selaku sales marketing kita yang baik. Tinggal bagaimana kemudian
kita menangkap peluang itu. Itu yang tidak dilakukan, justeru malah ngomongin
stuntman. Stuntman ndhasmu njeblug.
Jadi, apa nih yang harus kita beresin? Stuntman atau
mulut kita? Jawabnya: Politikus! Karena politikuslah kekacauan terjadi. Partai
politik bukanlah lembaga moral yang bisa dipercaya. Karena bukan negara yang
menentukan nilai moral, melainkan kita, seperti kata Noam Chomsky. Atau menurut
Franklin D. Roosevelt, bukan presiden atau parlemen pemimpin negeri ini, tapi
kita, rakyat.
Cuma kalau rakyatnya cuek, golput, ogah mikirin, tentu
saja para penjahat negara riang gembira sebahagia-bahagianya. Rakyat yang juga
yang punya pengetahuan, apalagi kesadaran sejarah, yang baru terjadi 20 tahun
silam pun! Apalagi jika rakyatnya ribet bertarung rebutan balung, saling
nyanjung junjungan hanya karna duit dan nasbung. Meski ada yang lebih gemblung,
yakni pendukung ikan kembung tukang tenung jualan kucing dalam karung.
Politikus tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri, kata Charles de
Gaulle, mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya. Itu yang terjadi, dan
mereka pun besar kepala. Pede aja lagi, meletakkan otak mereka di pantat, dan orgasme ketika
rakyat yang bodoh bisa ditipu untuk menjilati otak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar