Analisa atau pun pengamatan politik nasional kita, lebih dikuasai mereka yang percaya angka-angka. Baik dalam angka-angka dengan segala hukum akademik serta probabilitasnya, atau pun segala macam asumsi berdasar indikator-indikator yang mereka bangun.
Semua itu sesungguhnya teori probabilitas biasa saja. Akan sangat tergantung narasi untuk tampak meyakinkan atau tidak. Yang paling sering dilupa, adalah mengukur suara hati-nurani rakyat, yang tentu sebenarnya juga punya ukuran-ukuran tersendiri.
Ada sejumlah masyarakat yang bisa dikibuli ayat, dikibuli ulama atau jenderal, atau dengan argument-argumen demagogig. Mungkin saja kelompok ini jumlahnya besar, jika kita melihat Pilpres 2014, atau Pilkada DKI Jakarta 2017. Meski kita juga melihat pergeseran Pilkada Serentak 2018 di Jawa Barat, di mana Gerindra dan PKS bisa dikalahkan.
Di luar kapitalisasi isu, sentimen agama yang massif, kemenangan Anies atas Ahok berbeda dengan kemenangan Jokowi atas Prabowo, atau Ridwan Kamil atas Sudrajat dan pasangannya. Tak bisa dirangkum dalam satu analisis teori, karena persoalannya tak sama persis, khususnya dalam variable keterpilihan dan pemilihnya. Satu sama lain berbeda dan tak bisa dibandingkan.
Jika Rizieq, juga orang Gerindra serta terutama PKS yakin dengan gerakan 2019GantiPresiden, dengan mencontohkan kemenangan Anies atas Ahok, sebagai role model, saya kira itu soal kepedean saja, sekaligus keterbatasan sensibilitas dan sensitivitas wawasan politik nasionalnya. Pandangannya mikroskopic. Sebagaimana cara kerja lensa mikroskop, bias dengan persoalan peripheralnya.
Segala macam framing, dan juga claiming, yang mereka bangun, termasuk juga kepedean SBY atas AHY, Cak Imin atas ke-NU-annya dengan membangga-banggakan restu para kyai, hanyalah upaya-upaya untuk mengatasi kegundahan.
Tapi semua itu jika salah melakukan, bisa kontra-produktif. Kepedean Cak Imin, juga AHY, eh, SBY ding, bisa kontradiktif dengan citra yang ingin dibangun. Nilai kemudaan sebagai citra pemimpin masa depan, bisa tidak relevan dengan citra pemimpin masa kini. Karena masa depan dalam pragmatisme politik bisa kalah dengan realitas masa kini. Demikian juga yang selalu mengandalkan nilai kesantrian, dan restu para kyai, atau dukungan majoritas kelompok agama, bukan jaminan.
Di Jawa Barat, banyak ulama dikutip di berbagai poster, flyer, baliho, juga masjid-masjid, hasilnya tidak asyik. Sosok Ridwan Kamil tetap lebih dipercaya. Ini persoalan performance dan personalitas, yang didalamnya juga soal integritas, kapasitas, kapabelitas, yang lebih jelas tolok ukurnya.
Bagaimana pun, nilai personalitas dalam kontestasi pilihan, lebih berkecenderungan melekat pada sosok pilihan itu sendiri. Karakter, attitude, manner, sering tak berkorelasi dengan partai politik pengusung, apalagi dalam system massa mengambang kepolitikan kita. Dalam berbagai survey, selalu didapati data tak senantiasa parallel antara pilihan (bahkan keanggotaan dalam partai) dengan pilihan kandidatnya. Yang berafiliasi ke PKS tak sedikit memilih Jokowi, sebagaimana didapat data bahwa pemilih PDI Perjuangan majoritas dari kalangan santri dengan berbagai variabelnya.
Post-factum, dari berbagai hasil Pilkada Serentak kita bisa melihat, tokoh yang secara umum masuk dalam kriteria ‘baik’, selalu punya kans. Itu hukum alam, sekalipun para oligarkis partai sering mengingkari atau abai faktor ini. Bahkan, adanya kemenangan kotak kosong, seperti terjadi di Sulawesi, menunjukkan pemilik hak suara bukanlah pemilih yang tak punya mata dan telinga batin, untuk mengetahui dan menyeleksi pilihannya.
Tentu saja jangan bandingkan dengan kekalahan Ahok, yang banyak kalangan Cina sendiri jerih, dan bersikap abstain daripada hidupnya ‘susah’. Apalagi musuh Ahok juga dari orang-orang pemerintahannya sendiri. Mereka majoritas lebih suka pemimpin yang bermain di comfortable zone, atau berkecenderungan kompromis dan korup. Perubahan, sekali pun diniatkan ke arah perbaikan, tak selalu ramah lingkungan.
Kita tinggal melihat juga, di luar faktor-faktor teknis dan strategis, rakyat juga akan melihat para kandidat yang secara moralitas serta etik bisa diapresiasi. Apalagi jika sebelum beragama takut pada azab, tetapi setelah beragama mengafir-kafirkan liyan. Kalau misal dibuat polling untuk 200 juta penduduk Indonesia, yang memilih Gibran Rakabuming pasti lebih banyak dibanding milih Rizieq Shihab. Persis bagaimana ningrat bibit unggul seperti Prabowo, dulu di 2014, bisa dikalahkan oleh, ‘hei tukang kayu’, bernama Jokowi. Kenapa? Pertanyaan bodoh tak perlu dijawab.
Karena orang bisa jatuh bukan karena kata-katanya yang canggih, tapi karena pencilakannya, yang membuatnya terpeleset kulit pisang, seisinya. Demikian bukan, Firza Husein sayang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar