Sudah bisa ditebak, istilah “berantem” Jokowi beberapa hari lalu, akan diplintir. Dicomot bagian yang sesuai kepentingan. Sementara ajakan Amien Rais untuk Perang Badar? Comotan ayat-ayat perang kelompok 212 dan GNPF untuk Jokowi?
Darah numpuk di kepala, gara-gara tidur ngegantung kayak kampret, tak dianjurkan. Mikir bisa kebolak-balik. Simak ujaran kebencian dalam berbagai aktifitas 2019GantiPresiden, bahkan di masjid-masjid. Hingga ketika Tuan Guru Bajang (yang 2014 mendukung Prabowo kemudian 2019 mendukung Jokowi), mengingatkan untuk tak perlu memakai ayat-ayat perang, pun dibully.
Bila dicermati pidato lengkap Jokowi, sebenarnya ajakan agar
berkomunikasi politik santun. Tidak provokatif. Tetapi ketika toleransi
pada intoleransi justeru membuat makin tak terkendali, kita tak boleh
tinggal diam. Ini jaman proxy-war, perang asimetris dunia maya.
Pasukan cyber terus menyebar fitnah. Ujaran kebencian dan hoax, menyusup ke grup-grup WA. Menyinyiri dan memfitnah dengan berbagai cara, termasuk trending tagar ganti presiden.
Disampaikan Jokowi dalam rapat umum bersama relawan di SICC, Bogor (4/8/2018); “Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani,…”
“Tapi jangan ngajak (berantem) loh. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak, tidak boleh takut,” ujar Jokowi. Selebihnya ajakan konsolidasi biasa, yang tentu dilakukan pihak mana pun, untuk membangun soliditas dan militansi, “Kalau di sana militan, disini harus lebih militan. Kalau di sana,… blablabla.”
Jelas ajakannya. Berantem tidak perlu ada, jika tak dipancing-pancing atau dinyinyiri. Itu reaksi untuk tak membiarkan kesewenang-wenangan dalam wacana dan opini publik yang dibangun. Untuk tak membiarkan ketidakadilan dan kekurangajaran dilakukan semena-mena. Menyerang haram, membela diri harus.
Tapi, ingat, Jokowi bukan Soeharto, apalagi SBY dan Prabowo. Komunikasi politiknya sering tak terbaca, apalagi oleh Rocky Gerung, filsuf pengagum SBY sebagai ‘strateeeeg’. Jokowi sering memakai jurus dewa mabuk. Tak perlu bakar lumbung untuk membunuh tikus. Pernyataan Jokowi soal berantem, bisa jadi jebakan betmen. Membuat pihak lawan rajin mengeluarkan statemen normative tentang ‘menjaga perdamaian’ dan ‘anti kekerasan’. Dan ketika pihak lawan dengan gaya moralis memberi pernyataan tentang politik santun, anti-kekerasan, Jokowi (dan kita), tinggal menagih mereka untuk turut menegakkan.
Itu gaya komunikasi politik khas Jokowi yang androginis, tidak maskulin kayak militer. Tanpa perlu membakar lumbung, para tikus kebakaran jenggot. Jokowi tahu tikus jaman now banyak berjenggot. Jadi tak perlu sewot, kecuali memang hobi, menangnya sendiri. Semut saja kalau diculik tentara, akan melawan. Apalagi kini, sudah tidak pada jadi tentara.
Ayo, bantu Lombok!
Pasukan cyber terus menyebar fitnah. Ujaran kebencian dan hoax, menyusup ke grup-grup WA. Menyinyiri dan memfitnah dengan berbagai cara, termasuk trending tagar ganti presiden.
Disampaikan Jokowi dalam rapat umum bersama relawan di SICC, Bogor (4/8/2018); “Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani,…”
“Tapi jangan ngajak (berantem) loh. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak, tidak boleh takut,” ujar Jokowi. Selebihnya ajakan konsolidasi biasa, yang tentu dilakukan pihak mana pun, untuk membangun soliditas dan militansi, “Kalau di sana militan, disini harus lebih militan. Kalau di sana,… blablabla.”
Jelas ajakannya. Berantem tidak perlu ada, jika tak dipancing-pancing atau dinyinyiri. Itu reaksi untuk tak membiarkan kesewenang-wenangan dalam wacana dan opini publik yang dibangun. Untuk tak membiarkan ketidakadilan dan kekurangajaran dilakukan semena-mena. Menyerang haram, membela diri harus.
Tapi, ingat, Jokowi bukan Soeharto, apalagi SBY dan Prabowo. Komunikasi politiknya sering tak terbaca, apalagi oleh Rocky Gerung, filsuf pengagum SBY sebagai ‘strateeeeg’. Jokowi sering memakai jurus dewa mabuk. Tak perlu bakar lumbung untuk membunuh tikus. Pernyataan Jokowi soal berantem, bisa jadi jebakan betmen. Membuat pihak lawan rajin mengeluarkan statemen normative tentang ‘menjaga perdamaian’ dan ‘anti kekerasan’. Dan ketika pihak lawan dengan gaya moralis memberi pernyataan tentang politik santun, anti-kekerasan, Jokowi (dan kita), tinggal menagih mereka untuk turut menegakkan.
Itu gaya komunikasi politik khas Jokowi yang androginis, tidak maskulin kayak militer. Tanpa perlu membakar lumbung, para tikus kebakaran jenggot. Jokowi tahu tikus jaman now banyak berjenggot. Jadi tak perlu sewot, kecuali memang hobi, menangnya sendiri. Semut saja kalau diculik tentara, akan melawan. Apalagi kini, sudah tidak pada jadi tentara.
Ayo, bantu Lombok!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar