Sekiranya SBY bertemu Ahok, ngobrol panjang lebar, apakah akan keluar
rayuan gombalnya, sebagaimana ketika memuji-muji PKS, bahwa partai itu
tak seperti penilaian orang-orang? Apakah SBY juga akan bisa berkata,
Ahok tak sebagaimana penilaian orang-orang, yang menjadikan alasan Anies
sebagai gubernur DKI?
Tak usah berandai-andai. Apalagi mengandaikan SBY berkata apa-adanya, tanpa pujasastra yang belibet. Ahok telah menemukan waktu untuk menunjukkan kebenaran. Meski bisa sama reaktifnya dengan Anies, Ahok lebih presisi dengan keputusan-keputusannya, sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Apakah ia sakti? Ia menjalankan cara-cara Jokowi, dengan sedikit pencanggihan. Ketika menjawab pertanyaan Jokowi, tentang bagaimana blusukan yang canggih, Ahok menjawab dengan i-blusukan. Saya menduga, i-blusukan bukan dengan teknologi internet, melainkan intelijen-blusukan. Ia rekrut anak-anak muda, fresh graduate (atau bahkan ada yang baru lulus SMA, seperti tsamara Amany yang kini bersama PSI), menjadi mata-mata yang memelototi Jakarta 24 jam.
Ketika mencopot seorang pejabat, Ahok sudah mendapatkan semua bukti-bukti untuk alasan mengapa mencopot. Ketika menyemprot stafnya, intelijen Ahok (anak-anak muda itu) sudah bekerja, sebagaimana sepasukan intelijen yang menyamar dan mendapatkan bukti-bukti tak terbantahkan. Bahkan soal mafia tanah kuburan, Ahok lebih punya data rinci daripada kepala sudin yang mestinya lebih tahu rinci.
Jika Zulkifli Hasan mengeluh OTT KPK bisa mengakibatkan kita kehabisan pejabat negara, Ahok meyakini bisa memenuhi dengan merekrut anak-anak muda yang lebih terdidik, profesional, dan memiliki dedikasi serta integritas lebih baik. Persoalannya, aturan negara yang belibet membuat yang tua dan tak berprestasi (korup pula), menguasai jaring-jaring birokrasi.
Waktu warga protes soal lurah perempuan, karena tak beragama Islam, Ahok tetap dengan keputusannya. Ketika kita masih berpolitik secara ecek-ecek, apalagi memainkan isyu identitas, Ahok mewacanakan batas waktu penugasan. ASN adalah petugas administrasi, pelayan publik, tak ada urusan dengan politik apalagi politik agama. Tak ada lurah atau camat, juga walikota, yang bisa menjadi raja, ngendon di satu tempat dalam waktu lama.
Ahok tidak blusukan, secara fisik sebagaimana Jokowi dulu. Tapi ia menyebar mata-mata, intelijen. Bukan untuk menangkap siapa yang berbeda atau mengritiknya, seperti cara Soeharto. Hal itu justeru untuk mendengarkan keluhan warga, apa yang mereka inginkan, dan apa penyebab yang menjadi kendala. Pemerintahan Ahok efektif dan efisien. Ia memakai dana operasionalnya sebagai gubernur, yang bisa menjadi hak pribadinya untuk membayar anak-anak muda itu. Beda dengan Anies, membayar para sahabatnya menjadi tim khusus gubernur dengan APBD.
Disitu masalahnya. Di DKI Jakarta berputar duit Rp 70 trilyun per-tahun. Itu sesuatu banget. Dan di jaman Ahok, rasanya tikus mati di lumbung padi. Apalagi Ahok berani membantai preman-preman berbagai kelas, termasuk memutus bansos untuk FPI. Bahkan Ahok berani berkata lantang membubarkan FPI pada waktu itu.
Atas nama agama, Ahok pun disingkirkan dengan narasi begitu canggih, gabungan antara kebodohan yang dimanfaatkan dan kepintaran yang tega. Hasilnya, politik hanyalah untuk kepentingan politik itu sendiri. Bahagiakah warganya, sebahagia gubernur dan para kambratnya? Sampai kini, Anies masih terus berpolitik, karena hanya dengan itulah tetap eksis. Tentang tugasnya bekerja melayani warga? Kan ada staf atau bawahan!
Orang menduga Anies sedang mendisain diri menjadi korban bullying. Saya kira anggapan berlebihan. Segala blunder yang dilakukan, lebih karena ketidakmampuan dalam masalah-masalah teknis. Ia seorang politikus, bahkan sejak hendak menjadi rektor Universitas Paramadina dulu.
Orang bilang Ahok ember, tetapi mulutnya tak lebih berbahaya dibanding mulut Anies. Jika Ahok menjelaskan dirinya dengan bekerja, Anies menjelaskan dengan kata-kata. Di situ ember Ahok adalah karakter atau gaya pribadi, tetapi kapasitasnya tak terbantahkan. Ia ember, karena berhadapan para preman segala lini. Dari kaki-lima hingga penjahat anggaran.
Atas nama agama, Ahok bisa disingkirkan. Dan kelompok Anies bangga dengan keberhasilan itu. Dalam penutupan ijtima ulama GNPF, Rizieq Shihab yang menjadi penasihat, ngomong dari Mekkah, bahwa cara-cara pemenangan di Pilkada DKI Jakarta 2017 itu, akan mereka pakai lagi, karena meyakini efektif, dan memberikan kekuatan tak terduga. Yusuf Martak ketua penyelenggara ijtima ulama GNPF berkali-kali sebelumnya juga ngomong soal itu.
Percayakah kita akan janji SBY dan Prabowo, yang dalam pertemuan bilateral pertama mereka berjanji untuk tidak memainkan isyu agama? Omongan politikus haruslah dicurigai. Politik itu, tergantung ‘demi’-nya. Mereka bisa ngawur, dan tak tahu malu untuk cidera janji, hanya karena demi. Entah itu demi anak, atau demi agama. Padahal, aselinya, demi bagaimana cara hidup enak. Uang datang sendiri, hedonisme terpenuhi, dan snobisme bisa didapatkan sembari menyebut-nyebut kehormatan dan kemuliaan. Toh di mana-mana, orang bodoh rela ditipu.
Dan Ahok? Ia tidak berbuat jahat di penjara. Ia tidak nanggap ndangdhut atau pesta sex di lapas. Ia tidak menyuap kalapas karena tak punya uang korupsi yang disisakan. Ia hanya sebatas ember di mulut. Ia bahkan tak mau keluar penjara dengan bebas bersyarat, karena ia bukan barang palsu. Ia ingin bebas murni, meski masyarakat belum tentu memberinya kebebasan murni. Kecuali masyarakat makin tahu, bahwa mereka selama ini jadi objek tipu-tipu dengan alasan agama.
Rakyat dijanjikan sorga, tetapi kalau kelak mati. Sedang para penipu? Mereka menikmati sorga hari ini, karena uang untuk hedonisme dan snobisme, termasuk biaya fustun, dibayar cash. Tidak nunggu mati.
Tak usah berandai-andai. Apalagi mengandaikan SBY berkata apa-adanya, tanpa pujasastra yang belibet. Ahok telah menemukan waktu untuk menunjukkan kebenaran. Meski bisa sama reaktifnya dengan Anies, Ahok lebih presisi dengan keputusan-keputusannya, sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Apakah ia sakti? Ia menjalankan cara-cara Jokowi, dengan sedikit pencanggihan. Ketika menjawab pertanyaan Jokowi, tentang bagaimana blusukan yang canggih, Ahok menjawab dengan i-blusukan. Saya menduga, i-blusukan bukan dengan teknologi internet, melainkan intelijen-blusukan. Ia rekrut anak-anak muda, fresh graduate (atau bahkan ada yang baru lulus SMA, seperti tsamara Amany yang kini bersama PSI), menjadi mata-mata yang memelototi Jakarta 24 jam.
Ketika mencopot seorang pejabat, Ahok sudah mendapatkan semua bukti-bukti untuk alasan mengapa mencopot. Ketika menyemprot stafnya, intelijen Ahok (anak-anak muda itu) sudah bekerja, sebagaimana sepasukan intelijen yang menyamar dan mendapatkan bukti-bukti tak terbantahkan. Bahkan soal mafia tanah kuburan, Ahok lebih punya data rinci daripada kepala sudin yang mestinya lebih tahu rinci.
Jika Zulkifli Hasan mengeluh OTT KPK bisa mengakibatkan kita kehabisan pejabat negara, Ahok meyakini bisa memenuhi dengan merekrut anak-anak muda yang lebih terdidik, profesional, dan memiliki dedikasi serta integritas lebih baik. Persoalannya, aturan negara yang belibet membuat yang tua dan tak berprestasi (korup pula), menguasai jaring-jaring birokrasi.
Waktu warga protes soal lurah perempuan, karena tak beragama Islam, Ahok tetap dengan keputusannya. Ketika kita masih berpolitik secara ecek-ecek, apalagi memainkan isyu identitas, Ahok mewacanakan batas waktu penugasan. ASN adalah petugas administrasi, pelayan publik, tak ada urusan dengan politik apalagi politik agama. Tak ada lurah atau camat, juga walikota, yang bisa menjadi raja, ngendon di satu tempat dalam waktu lama.
Ahok tidak blusukan, secara fisik sebagaimana Jokowi dulu. Tapi ia menyebar mata-mata, intelijen. Bukan untuk menangkap siapa yang berbeda atau mengritiknya, seperti cara Soeharto. Hal itu justeru untuk mendengarkan keluhan warga, apa yang mereka inginkan, dan apa penyebab yang menjadi kendala. Pemerintahan Ahok efektif dan efisien. Ia memakai dana operasionalnya sebagai gubernur, yang bisa menjadi hak pribadinya untuk membayar anak-anak muda itu. Beda dengan Anies, membayar para sahabatnya menjadi tim khusus gubernur dengan APBD.
Disitu masalahnya. Di DKI Jakarta berputar duit Rp 70 trilyun per-tahun. Itu sesuatu banget. Dan di jaman Ahok, rasanya tikus mati di lumbung padi. Apalagi Ahok berani membantai preman-preman berbagai kelas, termasuk memutus bansos untuk FPI. Bahkan Ahok berani berkata lantang membubarkan FPI pada waktu itu.
Atas nama agama, Ahok pun disingkirkan dengan narasi begitu canggih, gabungan antara kebodohan yang dimanfaatkan dan kepintaran yang tega. Hasilnya, politik hanyalah untuk kepentingan politik itu sendiri. Bahagiakah warganya, sebahagia gubernur dan para kambratnya? Sampai kini, Anies masih terus berpolitik, karena hanya dengan itulah tetap eksis. Tentang tugasnya bekerja melayani warga? Kan ada staf atau bawahan!
Orang menduga Anies sedang mendisain diri menjadi korban bullying. Saya kira anggapan berlebihan. Segala blunder yang dilakukan, lebih karena ketidakmampuan dalam masalah-masalah teknis. Ia seorang politikus, bahkan sejak hendak menjadi rektor Universitas Paramadina dulu.
Orang bilang Ahok ember, tetapi mulutnya tak lebih berbahaya dibanding mulut Anies. Jika Ahok menjelaskan dirinya dengan bekerja, Anies menjelaskan dengan kata-kata. Di situ ember Ahok adalah karakter atau gaya pribadi, tetapi kapasitasnya tak terbantahkan. Ia ember, karena berhadapan para preman segala lini. Dari kaki-lima hingga penjahat anggaran.
Atas nama agama, Ahok bisa disingkirkan. Dan kelompok Anies bangga dengan keberhasilan itu. Dalam penutupan ijtima ulama GNPF, Rizieq Shihab yang menjadi penasihat, ngomong dari Mekkah, bahwa cara-cara pemenangan di Pilkada DKI Jakarta 2017 itu, akan mereka pakai lagi, karena meyakini efektif, dan memberikan kekuatan tak terduga. Yusuf Martak ketua penyelenggara ijtima ulama GNPF berkali-kali sebelumnya juga ngomong soal itu.
Percayakah kita akan janji SBY dan Prabowo, yang dalam pertemuan bilateral pertama mereka berjanji untuk tidak memainkan isyu agama? Omongan politikus haruslah dicurigai. Politik itu, tergantung ‘demi’-nya. Mereka bisa ngawur, dan tak tahu malu untuk cidera janji, hanya karena demi. Entah itu demi anak, atau demi agama. Padahal, aselinya, demi bagaimana cara hidup enak. Uang datang sendiri, hedonisme terpenuhi, dan snobisme bisa didapatkan sembari menyebut-nyebut kehormatan dan kemuliaan. Toh di mana-mana, orang bodoh rela ditipu.
Dan Ahok? Ia tidak berbuat jahat di penjara. Ia tidak nanggap ndangdhut atau pesta sex di lapas. Ia tidak menyuap kalapas karena tak punya uang korupsi yang disisakan. Ia hanya sebatas ember di mulut. Ia bahkan tak mau keluar penjara dengan bebas bersyarat, karena ia bukan barang palsu. Ia ingin bebas murni, meski masyarakat belum tentu memberinya kebebasan murni. Kecuali masyarakat makin tahu, bahwa mereka selama ini jadi objek tipu-tipu dengan alasan agama.
Rakyat dijanjikan sorga, tetapi kalau kelak mati. Sedang para penipu? Mereka menikmati sorga hari ini, karena uang untuk hedonisme dan snobisme, termasuk biaya fustun, dibayar cash. Tidak nunggu mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar