Selasa, Agustus 07, 2018

Belajar dari Para Empu

“Orang goblog sulit dapat kerja, akhirnya buka usaha sendiri. Saat bisnisnya berkembang, orang goblog mempekerjakan orang pintar,” demikian Bob Sadino (1933 – 2015) mengutarakan salah satu ilmunya. 

Di mana ilmunya? Ketika ia katakan ‘saat ia buka usaha sendiri’. Kalau kita hanya melihat ‘saat bisnisnya berkembang, orang goblog mempekerjakan orang pintar’, kita hanya tersepona pada yang dinamakan hasil, out put, atau buah dari usaha. 

Mungkin Bob Sadino sedang menceritakan dirinya sendiri, dan orang selalu takjub melihat bagaimana eksentriknya Bob. Dengan celana pendek dan baju lengan pendek kutung, ia bisa beranjangsana dengan Presiden Soeharto, meski bagian protokoler istana semula mensyaratkan dresscode yang standar. Dan seterusnya, cerita-cerita sejenis itu bisa dijumpai. 

Di Bekasi, terdapat pengusaha donat yang menjadi pesaing serius Dunkin Donat. Donat dari Bekasi ini, tiap pagi subuh sudah nangkring di warung-warung kecil seantero Jakarta dan Bekasi, di kampung-kampung. Harganya jauh lebih murah dibanding DD tentu, tetapi rasanya relative sama. Kelembutannya, teksturenya, juga tampilannya, tak jauh beda. Bedanya, harga jauh lebih murah. Pagi-pagi tanpa susah, tak perlu ke mall atau jalan raya, berada di dekat rumah, mudah dijangkau meski baru bangun tidur dan belum cuci muka. 

Pemilik usaha donat dari Bekasi ini, lulusan SD, tetapi dua tenaga andalannya, tenaga marketing dan chef masaknya, lulusan perguruan tinggi. Ada yang aneh? Tidak jika kita jeli melihat secara proporsional. Si pengusaha donat Bekasi ini mempunyai formulasi ilmu yang bisa jadi tak dapat ia jabarkan, tetapi memenuhi syarat dalam hal memenangkan kompetisi dari segi kualitas barang dan strategi marketing. 

Itu sama halnya dengan Burger Mblenger dengan daging dan bumbu lokal. Juga Burger Edam punya Pak Made dijajakan dengan gerobak masuk ke kampung-kampung Jakarta. Jadi, kata goblog yang disampaikan Bob, hanyalah karena (mungkin) bentuk kerendahatian, yang bisa jadi barulah dapat terbaca jika kita ngangsu kawruh, belajar, dengan magang kerja padanya. 

Cara belajar pada para Empu di jaman dulu, ialah diam memperhatikan segala taksu sang Empu. Sebagaimana Nabi Khidir mengajari kesabaran pada Musa, dan Musa tak sabar dengan pertanyaan-pertanyaan, dan akibatnya fatal karena kemarahan sang empu. 

Ketika dulu saya menjadi wartawan, mewawancarai beberapa tokoh yang mempesona, seperti para dalang wayang kulit Ki Gito Wates, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Kembar Gito-Gati dan lain sejenisnya, mereka belajar dari para gurunya dengan diam. Sejak kecil mereka menyimak solah-tingkah, dan praktik mendalang. 

Proses transformasi ilmu berjalan intens melalui hidup keseharian dan praktik mendalang. Proses belajar dilakukan dengan njinggleng, memperhatikan dengan tingkat intensitas yang dalam, kusyu’. Padahal, bisa jadi tak ada dialog antara guru dan murid di situ. 

Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving, berkata Mbah Kyai Albert Einstein. Hidup itu seperti bersepeda. Kalau kamu ingin menjaga keseimbanganmu, kamu harus terus bergerak maju. Sementara menurut Pak Sudjojono, pelukis yang pernah jadi anggota DPR fraksi PKI, naik sepeda itu tak ada teorinya. 

Menjaga keseimbangan itu, ialah proses intensi dalam pembelajaran, terus-menerus, tanpa henti, tekun, penuh cinta. Tapi, lalu bagaimana dengan urip mung mampir ngombe? 

Boleh saja. Cuma hati-hati, untuk turun dari sepeda yang kita gowes, juga ada teorinya agar kita tidak jatuh. Jangan seperti teori Pak Hardjo Gepeng dalam cerita Dagelan Mataram ‘Basiyo Mbecak’, bisa naik tak bisa turun. 

Akibatnya, ia mesti mencari tumpukan pasir, agar bisa menjatuhkan diri dari sepeda dengan aman. Betapa susahnya bukan? Bukan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...