Tidaklah penting sesungguhnya, siapa cawapres. Rakyat hanya
membutuhkan siapa capres. Cawapres itu kepentingan elite partai.
Kepentingan bagi-bagi kursi para oligarkis. Mungkin soal bagi duit,
proyek ekonomi, atau kue pembangunan. Nggak ada urusan dengan rakyat.
Mangkanya kalau ada yang ngaku pengawal fatwa ulama, bahkan sudi-sudinya mendengarkan suara seorang pelarian, itu kedah-kedahnya mengikuti keyakinan bahwa kekuasaan harus ‘direbut’. Bagaimana pun caranya. Kata-kata direbut, saya comot dari sebuah baliho di Jakarta; Bahwa setelah 2017 Jakarta direbut kini 2019 giliran Indonesia direbut.
Selama ini mainstream media hanya menyorot elite. Itu sesuai watak industri media tentu. Di jaman medsos ini, semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Masing-masing tangan menggenggam media (gadget), maka masing-masing anggota masyarakat bisa menyuarakan opininya sendiri-sendiri.
Keramaian medsos, mestinya mengingatkan para elite, bahwa yang mereka hadapi bukanlah kotak (atau otak) kosong. Bukan sekedar objek politik, melainkan subjek-subjek politik dalam kelas dan kepentingan masing-masing yang amat beragam. Subjek-subjek politik yang mandiri ini, kata lain dari independen, menyampaikan opininya dengan bebas. Tanpa intervensi. Tanpa arahan. Berdasar keyakinan politiknya sendiri, seiring referensi dan atau preferensinya.
Perdebatan dan perbedaan yang muncul kemudian, lebih pada persoalan pilihan. Dan itu sehat-sehat saja, atau semestinya demikian. Jika kemudian biasanya ada tudingan ‘kamu ini bayaran kelompok yang kamu dukung’, atau ‘kamu punya ambisi pribadi untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan’, lebih soal kesiapan dalam berbeda pendapat.
Yang gampang menuding, apalagi memfitnah, biasanya modalnya tipis, baik karena pengetahuan atau ketidakterlatihan dalam diskusi dan negosiasi. Apalagi diskusi secara tertulis dan indirect, makin memperjelas siapa subjek politik yang mandiri dan sekedar kampret atau pun kecebong.
Selalu generasi tumbuh sesuai jamannya. Dengan latar belakang pemerintahan yang buruk sejak Orde Baru Soeharto, hingga Orde Soeharto Baru, situasi transisi dengan proses transformasi nilainya, sedang terjadi. Jika jalan perubahan terseok-seok, bisa dimengerti karena ketidakterlatihan. Apalagi, jika dalam situasi transisi ini ada orang pintar yang tega mengkapitalisasinya, sebagai strategi pemenangan kontestasi politik.
Ingat bagaimana Eep Saefulloh Fatah dengan fasih membuat framing, bahwa politik identitas itu bisa menjadi strategi politik paling efektif. Bahkan, dengan sadar dikatakan, yang bisa mengalahkan Ahok (dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017) adalah mulut Ahok sendiri. Dan kata-kata Ahok di Pulau Seribu, kemudian dipelintir habis dalam demo berjilid-jilid. Sampai akhirnya kemudian, GNPF bisa mengklaim sebagai ‘pemegang merk’ 212. Saya nasihatkan pada Bastian Tito dengan Pendekar Kapak Naga Geni 212, untuk diam saja, daripada mayatnya tak dishalatkan.
Tapi apa hasilnya kini? Dari Kali Sunter, Kali Sentiong yang dulu bersih di jaman Jokowi hingga Ahok, kini disebut Kali Item semuanya, karena menurut Sandiaga Uno nama itu doa. Kali Item yang dulunya cuma sebagiannya, kini menjadi nama untuk semua nama kali di Jakarta Utara itu. Jika jaman Ahok ada penggusuran, kini jaman Anies yang anti penggusuran ada proyek pelebaran. Kalau pun ada proyek penyempitan, itu jalur khusus sepeda yang para goweser sila nabrak-nabrak tiang penunjuk jalan, untuk uji helm dan uji nyali. Lumayan kok, dibuat dari besi, bukan dari bambu kayak tiang pancang bendera menyongsong Asian Games.
Dari itu saja, lepas perdebatan antara Anies dan KASN, dengan gampang kita menilai perbedaan kualitas pemimpin. Apalagi, kita kemudian tahu, bahwa Buni Yani, pemicu pertama kasus Ahok, kini adalah caleg PSI (Partai Solidaritas Indonesia), di mana partai ini dulu penyokong utama Ahok dalam pilkada DKI Jakarta 2017.
Apa maknanya? Ini bukan tentang rahasia tuhan. Ini rahasia manusia, yang sering lebih rumit dari rahasia tuhan. Maka apapun presidennya, sesungguhnya apa minumannya? Karena bagaimana pun, rakyatlah langsung tak langsung yang menghasilkan Jokowi. Rakyat jugalah, yang menghasilkan Prabowo, SBY, Amien Rais, dan para kambratnya itu.
Termasuk juga, rakyatlah yang menghasilkan Rizieq Shihab, yang entah bagaimana logikanya, suaranya masih diperdengarkan untuk menyodorkan capres dan cawapres dari tempat pelarian. Tapi, kenapa Demokrat tak diundang dalam ijtima ulama GNPF? Karena menurut Yusuf Martak, panitia ijtima ulama GNPF, SBY belum sowan ke Rizieq Shihab, sebagaimana dilakukan para tokoh nasional yang hadir di Peninsula kemarin, termasuk Tommie Soeharto dan Yusril Ihza Mahendra.
Bagaimana mungkin seorang pelarian bisa memaksa rakyat, untuk memilih paketan yang disarankan? Apakah ia sekelas Ayatullah Khomeini, yang dari Paris mengendalikan situasi politik Iran jaman Reza Pahlevi? Para followernya tahu kisah Khomeini juga belum tentu. Dijanjikan sorga yang tak bakal dirasainya saja percaya mati-matian, bukan lagi setengah mati. Padahal, jangankan membedakan antara benar dan salah, membedakan mati-matian dan setengah mati saja belum tentu ngerti.
Dari kelas nasbung kemudian ditawari paketan yang lebih dahsyat dari paketan ayam goreng pensiunan colonel AS, tentu luar biasa terhormat. Nih, makan paketan capres-cawapres yang jaminan sorga! Wajah Prabowo sendiri pun jadi makin bruwet. Ini seperti makan buah simalakama. Dimakan Titiek nggak balik, nggak dimakan Titiek tetap juga nggak balik. Tapi mau makan Titiek kok bukan muhrimnya,…!
Apalagi banyak yang menduga, mati-matian itu = mati beneran. Pantesan belum pernah mati sudah bisa mengatakan kalau di sorga ada 77 bidadari yang siap nganu. Emangnya dunia dalam kuasa para bidadara? Lha para bidadari di dunia yang mati, gimana kalau disambut 77 bidadari? Atau diem-diem kalian lagi promosi LGBT?
Kalau demikian, apa minumanmu? Rakyat atau AO? Kalau kita lihat figur para orangtua yang lagi sering nongol di tv itu, pastilah minumannya menyesuaikan umur. Mereka kebanyakan minum ao, anggur orangtua. Mangkanya mabuknya lucu.
Mangkanya kalau ada yang ngaku pengawal fatwa ulama, bahkan sudi-sudinya mendengarkan suara seorang pelarian, itu kedah-kedahnya mengikuti keyakinan bahwa kekuasaan harus ‘direbut’. Bagaimana pun caranya. Kata-kata direbut, saya comot dari sebuah baliho di Jakarta; Bahwa setelah 2017 Jakarta direbut kini 2019 giliran Indonesia direbut.
Selama ini mainstream media hanya menyorot elite. Itu sesuai watak industri media tentu. Di jaman medsos ini, semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Masing-masing tangan menggenggam media (gadget), maka masing-masing anggota masyarakat bisa menyuarakan opininya sendiri-sendiri.
Keramaian medsos, mestinya mengingatkan para elite, bahwa yang mereka hadapi bukanlah kotak (atau otak) kosong. Bukan sekedar objek politik, melainkan subjek-subjek politik dalam kelas dan kepentingan masing-masing yang amat beragam. Subjek-subjek politik yang mandiri ini, kata lain dari independen, menyampaikan opininya dengan bebas. Tanpa intervensi. Tanpa arahan. Berdasar keyakinan politiknya sendiri, seiring referensi dan atau preferensinya.
Perdebatan dan perbedaan yang muncul kemudian, lebih pada persoalan pilihan. Dan itu sehat-sehat saja, atau semestinya demikian. Jika kemudian biasanya ada tudingan ‘kamu ini bayaran kelompok yang kamu dukung’, atau ‘kamu punya ambisi pribadi untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan’, lebih soal kesiapan dalam berbeda pendapat.
Yang gampang menuding, apalagi memfitnah, biasanya modalnya tipis, baik karena pengetahuan atau ketidakterlatihan dalam diskusi dan negosiasi. Apalagi diskusi secara tertulis dan indirect, makin memperjelas siapa subjek politik yang mandiri dan sekedar kampret atau pun kecebong.
Selalu generasi tumbuh sesuai jamannya. Dengan latar belakang pemerintahan yang buruk sejak Orde Baru Soeharto, hingga Orde Soeharto Baru, situasi transisi dengan proses transformasi nilainya, sedang terjadi. Jika jalan perubahan terseok-seok, bisa dimengerti karena ketidakterlatihan. Apalagi, jika dalam situasi transisi ini ada orang pintar yang tega mengkapitalisasinya, sebagai strategi pemenangan kontestasi politik.
Ingat bagaimana Eep Saefulloh Fatah dengan fasih membuat framing, bahwa politik identitas itu bisa menjadi strategi politik paling efektif. Bahkan, dengan sadar dikatakan, yang bisa mengalahkan Ahok (dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017) adalah mulut Ahok sendiri. Dan kata-kata Ahok di Pulau Seribu, kemudian dipelintir habis dalam demo berjilid-jilid. Sampai akhirnya kemudian, GNPF bisa mengklaim sebagai ‘pemegang merk’ 212. Saya nasihatkan pada Bastian Tito dengan Pendekar Kapak Naga Geni 212, untuk diam saja, daripada mayatnya tak dishalatkan.
Tapi apa hasilnya kini? Dari Kali Sunter, Kali Sentiong yang dulu bersih di jaman Jokowi hingga Ahok, kini disebut Kali Item semuanya, karena menurut Sandiaga Uno nama itu doa. Kali Item yang dulunya cuma sebagiannya, kini menjadi nama untuk semua nama kali di Jakarta Utara itu. Jika jaman Ahok ada penggusuran, kini jaman Anies yang anti penggusuran ada proyek pelebaran. Kalau pun ada proyek penyempitan, itu jalur khusus sepeda yang para goweser sila nabrak-nabrak tiang penunjuk jalan, untuk uji helm dan uji nyali. Lumayan kok, dibuat dari besi, bukan dari bambu kayak tiang pancang bendera menyongsong Asian Games.
Dari itu saja, lepas perdebatan antara Anies dan KASN, dengan gampang kita menilai perbedaan kualitas pemimpin. Apalagi, kita kemudian tahu, bahwa Buni Yani, pemicu pertama kasus Ahok, kini adalah caleg PSI (Partai Solidaritas Indonesia), di mana partai ini dulu penyokong utama Ahok dalam pilkada DKI Jakarta 2017.
Apa maknanya? Ini bukan tentang rahasia tuhan. Ini rahasia manusia, yang sering lebih rumit dari rahasia tuhan. Maka apapun presidennya, sesungguhnya apa minumannya? Karena bagaimana pun, rakyatlah langsung tak langsung yang menghasilkan Jokowi. Rakyat jugalah, yang menghasilkan Prabowo, SBY, Amien Rais, dan para kambratnya itu.
Termasuk juga, rakyatlah yang menghasilkan Rizieq Shihab, yang entah bagaimana logikanya, suaranya masih diperdengarkan untuk menyodorkan capres dan cawapres dari tempat pelarian. Tapi, kenapa Demokrat tak diundang dalam ijtima ulama GNPF? Karena menurut Yusuf Martak, panitia ijtima ulama GNPF, SBY belum sowan ke Rizieq Shihab, sebagaimana dilakukan para tokoh nasional yang hadir di Peninsula kemarin, termasuk Tommie Soeharto dan Yusril Ihza Mahendra.
Bagaimana mungkin seorang pelarian bisa memaksa rakyat, untuk memilih paketan yang disarankan? Apakah ia sekelas Ayatullah Khomeini, yang dari Paris mengendalikan situasi politik Iran jaman Reza Pahlevi? Para followernya tahu kisah Khomeini juga belum tentu. Dijanjikan sorga yang tak bakal dirasainya saja percaya mati-matian, bukan lagi setengah mati. Padahal, jangankan membedakan antara benar dan salah, membedakan mati-matian dan setengah mati saja belum tentu ngerti.
Dari kelas nasbung kemudian ditawari paketan yang lebih dahsyat dari paketan ayam goreng pensiunan colonel AS, tentu luar biasa terhormat. Nih, makan paketan capres-cawapres yang jaminan sorga! Wajah Prabowo sendiri pun jadi makin bruwet. Ini seperti makan buah simalakama. Dimakan Titiek nggak balik, nggak dimakan Titiek tetap juga nggak balik. Tapi mau makan Titiek kok bukan muhrimnya,…!
Apalagi banyak yang menduga, mati-matian itu = mati beneran. Pantesan belum pernah mati sudah bisa mengatakan kalau di sorga ada 77 bidadari yang siap nganu. Emangnya dunia dalam kuasa para bidadara? Lha para bidadari di dunia yang mati, gimana kalau disambut 77 bidadari? Atau diem-diem kalian lagi promosi LGBT?
Kalau demikian, apa minumanmu? Rakyat atau AO? Kalau kita lihat figur para orangtua yang lagi sering nongol di tv itu, pastilah minumannya menyesuaikan umur. Mereka kebanyakan minum ao, anggur orangtua. Mangkanya mabuknya lucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar