Mengapa nasib
Prabowo begitu malang nian? Karena poros partai politik pendukungnya kecil. Bukankah
jika PKS dan PAN bergabung, tanpa Demokrat, mereka bisa mencapreskan Prabowo?
Justeru karena perolehan suara PAN dan PKS pas-pasan itu, keduanya jadi ngotot
mendesakkan kepentingannya. Termasuk kemudian memakai rekomendasi ijtima ulama
GNPF sebagai senjata penekan.
Bahkan, misalnya pun, yang muncul kemudian Ustadz Abdul Somad. Karena kue pembagian tiga partai itu, jika pun toh tak mendapat wapres, kursi menteri pasti jauh lebih besar, dibanding perolehan dalam koalisi Jokowi yang 9 parpol?
Itu itung-itungan dagang yang lumrah saja. Cilakanya, dengan masuknya Demokrat, tanpa dukungan PKS dan PAN, Prabowo bisa mengusung diri sebagai capres. Tentu dengan imbalan AHY cawapres. Karena jika tidak, ngapain Demokrat merangsek ke Gerindra? Bukankah konon SBY sudah dapat jatah menteri untuk AHY, jika bergabung ke Jokowi? Tapi, masa' cuma menteri, sampai harus mengorbankan karir kemiliteran yang cerah-ceria?
Bagi SBY, meski tak sangat yakin menang, AHY cawapres penting untuk tahun ini. Karena lima tahun mendatang, AHY akan merasa lebih leading. Karena 'sudah berpengalaman’ di level pilpres sebagai kandidat. Kita bisa bayangkan, bagaimana ambisi SBY untuk puteranya ini.
AHY dipanggil pulang, ketika sebagai anggota TNI sedang bertugas di luar negeri. Panggilan itu berujung keputusan AHY mengundurkan diri dari dinas kemiliteran. The Rising Star generasi baru TNI ini, ternyata dimajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017. Hasilnya buruk, AHY tumbang diputaran pertama. Perolehan suaranya di bawah 20%, meski menurut orang-orang Demokrat itu capaian luar biasa bagus.
Karena itu, ketum PAN terus bermanuver. Kongres partai 6-7 Agustus diundur 9 Agustus 2018, sehari menjelang penutupan pendaftaran capres. Ini jelas merepotkan kubu Gerindra, meski secara angka president threshold tak masalah jika hanya berkoalisi dengan Demokrat. Namun secara psikologi politik, tentu itu bermasalah sebagaimana jika Gerindra kehilangan PKS.
Di situ, jika kehilangan PAN dan PKS, Gerindra bisa agak limbung, karena cap 'mewakili' ummat (dengan double m, untuk menyebut kelompok Islam), akan kedodoran. Prabowo-AHY, cap yang muncul adalah ‘nasionalis-nasionalis’, atau bahkan ‘tentara-tentara’. Beda tentu jika Prabowo-Segaf al Jufrie, atau Prabowo-Ustadz Abdul Somad. Prabowo akan kelunturan cap yang tampak mewakili ummat (ingat lagi; dobel m).
Senyampang itu, PKS, mungkin juga PAN, pada detik terakhir menunggu bola muntah dari pencapresan Jokowi. Jika bukan join dengan Cak Imin, PKS dan juga PAN, mungkin langsung meluncur ke Cak Imin. Siapa tahu bisa di-spik-spik untuk membelot dari koalisi Jokowi. Hingga terbentuklah poros baru, PAN-PKS-PKB. Dengan tawaran Cak Imin jadi capres, bukan hanya cawapres, siapa tahu keponakan Gus Dur itu terbuai. Atau muncul capres lain misal Gatot Nurmantyo, Cak Imin tetap cawapres?
Jika Jokowi mendaftar 10 Agustus, dan kubu Prabowo masih mbulet, bisa jadi KPU hanya menerima satu calon. Pendaftaran akan diperpanjang hingga 14 hari (sesuai aturan KPU berdasar UU). Tampaknya, skenario ini punya kemungkinan dijalankan, bisa jadi oleh Gerindra, PKS dan PAN. Mengulur waktu.
Bahkan, misalnya pun, yang muncul kemudian Ustadz Abdul Somad. Karena kue pembagian tiga partai itu, jika pun toh tak mendapat wapres, kursi menteri pasti jauh lebih besar, dibanding perolehan dalam koalisi Jokowi yang 9 parpol?
Itu itung-itungan dagang yang lumrah saja. Cilakanya, dengan masuknya Demokrat, tanpa dukungan PKS dan PAN, Prabowo bisa mengusung diri sebagai capres. Tentu dengan imbalan AHY cawapres. Karena jika tidak, ngapain Demokrat merangsek ke Gerindra? Bukankah konon SBY sudah dapat jatah menteri untuk AHY, jika bergabung ke Jokowi? Tapi, masa' cuma menteri, sampai harus mengorbankan karir kemiliteran yang cerah-ceria?
Bagi SBY, meski tak sangat yakin menang, AHY cawapres penting untuk tahun ini. Karena lima tahun mendatang, AHY akan merasa lebih leading. Karena 'sudah berpengalaman’ di level pilpres sebagai kandidat. Kita bisa bayangkan, bagaimana ambisi SBY untuk puteranya ini.
AHY dipanggil pulang, ketika sebagai anggota TNI sedang bertugas di luar negeri. Panggilan itu berujung keputusan AHY mengundurkan diri dari dinas kemiliteran. The Rising Star generasi baru TNI ini, ternyata dimajukan sebagai calon gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017. Hasilnya buruk, AHY tumbang diputaran pertama. Perolehan suaranya di bawah 20%, meski menurut orang-orang Demokrat itu capaian luar biasa bagus.
Karena itu, ketum PAN terus bermanuver. Kongres partai 6-7 Agustus diundur 9 Agustus 2018, sehari menjelang penutupan pendaftaran capres. Ini jelas merepotkan kubu Gerindra, meski secara angka president threshold tak masalah jika hanya berkoalisi dengan Demokrat. Namun secara psikologi politik, tentu itu bermasalah sebagaimana jika Gerindra kehilangan PKS.
Di situ, jika kehilangan PAN dan PKS, Gerindra bisa agak limbung, karena cap 'mewakili' ummat (dengan double m, untuk menyebut kelompok Islam), akan kedodoran. Prabowo-AHY, cap yang muncul adalah ‘nasionalis-nasionalis’, atau bahkan ‘tentara-tentara’. Beda tentu jika Prabowo-Segaf al Jufrie, atau Prabowo-Ustadz Abdul Somad. Prabowo akan kelunturan cap yang tampak mewakili ummat (ingat lagi; dobel m).
Senyampang itu, PKS, mungkin juga PAN, pada detik terakhir menunggu bola muntah dari pencapresan Jokowi. Jika bukan join dengan Cak Imin, PKS dan juga PAN, mungkin langsung meluncur ke Cak Imin. Siapa tahu bisa di-spik-spik untuk membelot dari koalisi Jokowi. Hingga terbentuklah poros baru, PAN-PKS-PKB. Dengan tawaran Cak Imin jadi capres, bukan hanya cawapres, siapa tahu keponakan Gus Dur itu terbuai. Atau muncul capres lain misal Gatot Nurmantyo, Cak Imin tetap cawapres?
Jika Jokowi mendaftar 10 Agustus, dan kubu Prabowo masih mbulet, bisa jadi KPU hanya menerima satu calon. Pendaftaran akan diperpanjang hingga 14 hari (sesuai aturan KPU berdasar UU). Tampaknya, skenario ini punya kemungkinan dijalankan, bisa jadi oleh Gerindra, PKS dan PAN. Mengulur waktu.
Jika itu yang
terjadi, betapa tampak bagaimana para elite politik tak bisa menyelesaikan
persoalan mereka bersama. Lebih karena ego masing-masing yang dikedepankan,
daripada konsepsi politik kenegaraan demi bangsa dan negara, bagi kemakmuran
dan keadilan rakyat (yang memang, bisa jadi, sama sekali tak dimiliki, karena
hanya ambisi kekuasaan politik semata). Politik kekuasaan hanya berimplikasi pada kesejahteraan mereka. Tak ada
urusan dengan rakyat.
Siapapun, entah Jokowi, Prabowo, maupun SBY, semestinya melihat; bahwa yang dinanti rakyat adalah apa konsepsi kalian, untuk negara dan bangsa ini? Apa rencana kalian, grand-design, prioritas kerja, bagaimana strategi, mekanisme dan system kerja dijalankan? Itu yang mestinya dijual, agar rakyat pemilih tahu seberapa kualitas pemikiran, yang jika kemudian ditambah track-record, kapasitas, kapabelitas, rakyat punya gambaran siapa akan dipilih.
Jika soal capres-cawapres pun urusannya hanya segelintir orang, yang di Indonesia ternyata bukan hanya parpol, melainkan ada kepentingan kalangan akademisi, militer dan ulama, maka posisi rakyat akan cenderung hanya sekedar objek kekuasaan. Padahal, hatinurani rakyat bukan benda mati. Kemenangan Jokowi sudah membuktikan itu, di Jakarta (2012) dan di Indonesia (2014).
Pada sisi lain, Prof. Dr. Azrumardy Azra, salah satu cendekiawan muslim Indonesia, dengan gamblang mengatakan; Untuk membenahi masalah negara tidak bisa hanya dengan ilmu agama. Urusan capres dan cawapres, tak bisa hanya dengan legitimasi dan kriteria langit yang tak terhingga. Dalam kenyataan hidup hingga hari ini, soal doa yang dikabulkan pun manusia tak bisa mendefinisikan tepat, apalagi memastikan mana doa yang mustajab. Apakah ulama bisa memastikan cara mensejahterakan rakyat dengan bermunajat, atau doa massal?
Pertanyaan itu bukan bermaksud menghina, namun bukankah ada dalil, bahkan ayat kitab suci yang mengatakan bahwa tuhan takkan mengubah nasib suatu bangsa tanpa mereka sendiri memperjuangkannya? Itu artinya, bagaimana mengimplementasikan bahasa langit dengan bahasa bumi, yang juga membutuhkan ilmu-pengetahuan, keterampilan teknis, dan semangat berkarya, bukan hanya berkarsa.
Jika diyakini popularitas Ustadz Abdul Somad bisa menjadi jaminan ummat (lagi-lagi ingat; dobel m), apa kira-kira yang menjadi musabab mengapa da’i sejuta ummat Zainuddin MZ, bahkan pendangdhut paling sohor seluruh dunia Rhoma Irama, gagal membuat partai, dan tak laku menjadi presiden? Bahkan Yusril Ihza Mahendra yang ganteng itu pun, partainya hanya memperoleh 1,46% dalam Pileg 2014, dan tak tembus electoral threshold dari 90% pemilih Islam?
Di situ sesungguhnya pemimpin partai, calon presiden, mesti lebih bertaniah pada rakyat. Bukan yang lain, apalagi pada orang yang memakai legitimasi agama, tetapi melarikan diri ke luar negeri. Setahun lebih tak balik ke Indonesia, untuk menjelaskan persoalan hukumnya yang belum diselesaikan.
Para capres dan cawapres, sesungguhnya cukup menjelaskan pada rakyat, apa yang ingin dilakukan untuk Indonesia Raya ini, dan bagaimana caranya. Kalau soal sorga dan neraka, biar saja ditanyakan pada ulama, pastor, pendeta, bhiksu, atau para ahli agama. Tapi soal membuat rakyat menikmati keadilan sosial, kemakmuran yang adil dan merata? Itu yang ditunggu.
Kalau agama dibuat main-main, seperti terpercik ke muka sendiri. Hingga seolah agama itu menjebakmu. Padahal, bukankah engkau yang menjadikannya jebakan?
Siapapun, entah Jokowi, Prabowo, maupun SBY, semestinya melihat; bahwa yang dinanti rakyat adalah apa konsepsi kalian, untuk negara dan bangsa ini? Apa rencana kalian, grand-design, prioritas kerja, bagaimana strategi, mekanisme dan system kerja dijalankan? Itu yang mestinya dijual, agar rakyat pemilih tahu seberapa kualitas pemikiran, yang jika kemudian ditambah track-record, kapasitas, kapabelitas, rakyat punya gambaran siapa akan dipilih.
Jika soal capres-cawapres pun urusannya hanya segelintir orang, yang di Indonesia ternyata bukan hanya parpol, melainkan ada kepentingan kalangan akademisi, militer dan ulama, maka posisi rakyat akan cenderung hanya sekedar objek kekuasaan. Padahal, hatinurani rakyat bukan benda mati. Kemenangan Jokowi sudah membuktikan itu, di Jakarta (2012) dan di Indonesia (2014).
Pada sisi lain, Prof. Dr. Azrumardy Azra, salah satu cendekiawan muslim Indonesia, dengan gamblang mengatakan; Untuk membenahi masalah negara tidak bisa hanya dengan ilmu agama. Urusan capres dan cawapres, tak bisa hanya dengan legitimasi dan kriteria langit yang tak terhingga. Dalam kenyataan hidup hingga hari ini, soal doa yang dikabulkan pun manusia tak bisa mendefinisikan tepat, apalagi memastikan mana doa yang mustajab. Apakah ulama bisa memastikan cara mensejahterakan rakyat dengan bermunajat, atau doa massal?
Pertanyaan itu bukan bermaksud menghina, namun bukankah ada dalil, bahkan ayat kitab suci yang mengatakan bahwa tuhan takkan mengubah nasib suatu bangsa tanpa mereka sendiri memperjuangkannya? Itu artinya, bagaimana mengimplementasikan bahasa langit dengan bahasa bumi, yang juga membutuhkan ilmu-pengetahuan, keterampilan teknis, dan semangat berkarya, bukan hanya berkarsa.
Jika diyakini popularitas Ustadz Abdul Somad bisa menjadi jaminan ummat (lagi-lagi ingat; dobel m), apa kira-kira yang menjadi musabab mengapa da’i sejuta ummat Zainuddin MZ, bahkan pendangdhut paling sohor seluruh dunia Rhoma Irama, gagal membuat partai, dan tak laku menjadi presiden? Bahkan Yusril Ihza Mahendra yang ganteng itu pun, partainya hanya memperoleh 1,46% dalam Pileg 2014, dan tak tembus electoral threshold dari 90% pemilih Islam?
Di situ sesungguhnya pemimpin partai, calon presiden, mesti lebih bertaniah pada rakyat. Bukan yang lain, apalagi pada orang yang memakai legitimasi agama, tetapi melarikan diri ke luar negeri. Setahun lebih tak balik ke Indonesia, untuk menjelaskan persoalan hukumnya yang belum diselesaikan.
Para capres dan cawapres, sesungguhnya cukup menjelaskan pada rakyat, apa yang ingin dilakukan untuk Indonesia Raya ini, dan bagaimana caranya. Kalau soal sorga dan neraka, biar saja ditanyakan pada ulama, pastor, pendeta, bhiksu, atau para ahli agama. Tapi soal membuat rakyat menikmati keadilan sosial, kemakmuran yang adil dan merata? Itu yang ditunggu.
Kalau agama dibuat main-main, seperti terpercik ke muka sendiri. Hingga seolah agama itu menjebakmu. Padahal, bukankah engkau yang menjadikannya jebakan?
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 7 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar