Masyarakat Kita
Memandang Dongeng. Dongeng adalah medium terindah dalam tradisi
lisan Nusantara, demikian tulis Pramoedya Anantara Toer (1925 – 2006), mengantar
buku ‘Dongeng Calon Arang’.
Tapi medium
yang indah itu, sama sekali tak terpetakan secara memadai dalam dunia literasi
kita. Setidaknya, demikian yang banyak muncul dalam teks para novelis kita.
Beberapa ‘pernyataan’ novel-novel anak muda menyebut
begini; “Ini
cuma kisah dongeng. Mana ada dongeng yang bisa menjadi kenyataan?” demikian
Monica Anggen dalam novelnya Be Mine.
Makanya, Dyah Rinni dalam Beautiful Liar,
menulis: “Kancil
itu kan salah satu binatang paling terkenal dalam dongeng rakyat Indonesia
tetapi kenapa nggak ada yang menjual kancil? Gimana orang mau kenal kancil
coba?”
Bagaimana coba? Atau dalam analogi Lia Indra Andriana, “Itik buruk rupa
yang berubah menjadi angsa hanya terjadi di negeri dongeng. Gadis biasa yang
terlihat cantik saat memakai gaun bagus juga hanya terjadi di dalam film. Dalam
kehidupan nyata, gaun bagus tidak selamanya bisa mengubah seseorang menjadi
Cinderella,” (Paper Romance).
Dongeng secara pasti dibedakan dengan dunia nyata,
bahkan digambarkan sebagai sesuatu yang mungkin menyebalkan, seperti tulis Sam
dalam novel Catatan Akhir Kuliah; “Mungkin ini sebabnya banyak mahasiswa
yang asyik tertidur di kelas karena kebanyakan dosen yang mengajar hampir
persis kayak membaca buku dongeng.”
Tampaknya, dongeng juga sering jadi bak sampah, untuk
gambaran pengalaman buruk manusia. Seperti tulis Winna Efendi dalam novel Happily Ever
After; “Cinta tidak seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia.” Dan
ini diperkuat dengan pernyataan novelis senior sekelas Mira W., dalam novel Cinta Cuma
Sepenggal Dusta, “Cinta sejati cuma ada dalam dongeng.”
Bahkan Dewi
Lestari alias Dee yang sohor itu, menulis dalam Perahu Kertas, “Betapa ironisnya realitas saat harus bersanding dengan dunia
dongeng.” Maka, kembali kita kutip
bagaimana Winna Efendi mengambil kesimpulan, “Untukmu yang mencintai
dongeng, biarkan mimpimu tetap hadir, jangan biarkan dunia menghalangimu. Sebab
kadang, saat kenyataan terlalu pedih untuk ditanggung, cerita tentang Pangeran,
Ksatria, dan sihir akan membuatmu bertahan dan percaya bahwa hidup selalu
menyimpan keajaiban.”
Tanpa tedeng
aling-aling, dalam novel Erstwhile:
Perserkutuan Sang, Joseph Rio Jovian Haminoto memvonis: “Seharusnya kamu
tidak percaya akan indahnya dongeng.”
Apakah ini suatu masalah? Dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia sendiri, memang masalah. Definisi dongeng memang tidak indah. Buku
rujukan kita dalam berbahasa yang baik dan benar itu, mendefinisikan dongeng
sebagai berikut: (1) cerita yang tidak benar-benar terjadi
(terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Contoh: 'anak-anak
gemar mendengarkan dongeng Seribu Satu Malam', dan (2) perkataan (berita dan sebagainya) yang
bukan-bukan atau tidak benar (kata kiasan).
Contoh: 'uraian yang panjang itu dianggapnya hanya dongeng belaka'.
Dalam
uraian tentang mendongeng, KBBI menjelaskan: (1) menceritakan
dongeng,
contoh: 'Nenek pandai mendongeng tentang raja-raja zaman dahulu'. (2) mengatakan yang tidak benar; berdusta, contoh: 'aku bukan mendongeng, melainkan menceritakan kejadian yang sebenarnya'.
contoh: 'Nenek pandai mendongeng tentang raja-raja zaman dahulu'. (2) mengatakan yang tidak benar; berdusta, contoh: 'aku bukan mendongeng, melainkan menceritakan kejadian yang sebenarnya'.
Bahkan
dalam definisi Paulo Coelho, dituliskannya, bahwa: “Pada setiap saat
dalam hidup kita, kita semua memiliki satu kaki dalam dongeng dan yang lainnya
di jurang.” Seolah dongeng adalah sesuatu yang buruk, sangat buruk, justeru
karena bukan merupakan fakta sebenarnya.
Dalam The Lion, the
Witch and the Wardrobe, C.S. Lewis (1898 – 1963) memposisikan dongeng
sebagai sesuatu yang berkait masa lalu. Kenangan lama, atau kenangan masa
bocah. Some day you will be old enough to
start reading fairy tales again, tulisnya. Suatu hari, kamu akan menjadi
tua dan mulai membaca cerita dongeng lagi. Padahal, Hans Christian Andersen, si
bapak dongeng dari Odense, Denmark, menyatakan, “Hidup itu sendiri adalah
dongeng yang menakjubkan.”
Jika kita kaitkan dengan
pernyataan Pramoedya di awal tulisan, tampaknya ada yang salah dalam
kita memposisikan dongeng, justeru jika kita kaitkan dengan aspek
kemanfaatannya. Dongeng, mungkin memang fiksi, bukan fakta. Tetapi apakah
kemudian tidak bermakna? Atau bahkan tidak bermanfaat?
Fiksi dan Fakta
dari Kisah Nabi Ibrahim. Jika kita mengacu pada pernyataan Pram, dikaitkan tingkat
literasi bangsa Indonesia yang masih rendah, di peringkat 60 dari 61 negara.
Nomor dua dari bawah, di atas Botswana dan di bawah Thailand. Hal itu hanya
menunjuk sebuah pertanda, bahwa kita tak pandai dalam mengenali jati diri kita.
Termasuk dalam menempatkan dongeng.
Di Nusantara Raya ini, ada begitu banyak dongeng, legenda,
hikayat, dan berbagai cerita rakyat yang tumbuh, sebagai bentuk sastra lisan
yang kaya. Namun ibarat mutiara di dasar telaga, ia tertutupi permukaan
kenyataan yang tak memiliki cerminan atau perbandingan.
Kemampuan literasi, dalam suatu masyarakat, adalah salah
satu kebutuhan yang sangat penting dimiliki setiap orang. Di mana pentingnya?
Pada saat antara manusia yang satu dan lainnya berkomunikasi dan berinteraksi.
Dalam konstruksi bangunan sosial masyarakat kita, di situ kelemahan kita seolah
tak punya pola atau pegangan, dalam membangun tata sosial kehidupan masyarakat.
Literasi kita tahu adalah proses membaca, menulis,
berbicara, mendengarkan, melihat dan berpendapat (seperti kita kutipkan dalam
buku Kuder dan Hasit, 2002). Literasi secara umum didefinisikan sebagai
kemampuan membaca dan menulis serta menggunakan
bahasa lisan. Yang semua itu adalah piranti-piranti penting dalam membangun
konstruksi sosial kita, apalagi dalam konteks berbangsa dan bernegara, karena
heterogenitas masyarakat.
Meski dengan sudut
pandang berbeda, tak sebagaimana Rocky Gerung mengatakan bahwa kitab suci
adalah fiksi, kitab-kitab suci agama Semitik juga lebih banyak disampaikan
dengan cerita. Lepas dari fiksi atau bukan, pandangan Kierkegaard menarik untuk
diperbandingkan di sini.
Kisah-kisah Nabi Ibrahim (Abraham), bapak tiga agama
semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam), nyaris tak masuk akal, sebagaimana
tertulis dalam kitab-kitab suci tiga agama itu. Tapi bagi filsuf Denmark, Soren
Aabye Kierkegaard (Kopenhagen, 1813 – 1855), hal itu ditelaah menarik. Bahwa tradisi
keagamaan yang dibangun Ibrahim, seolah ingin
menunjukkan yang tak masuk akal itu bisa terjadi. The impossible is possible itu terdapat baik dalam Perjanjian Lama
yang menjadi sumber utama seluruh kisah mengenai nabi-nabi bangsa Israel,
Perjanjian Baru, maupun dalam Alquran.
Jika Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati, maka dalam
simbolisme kisah Ibrahim, tokoh yang dikagumi Kierkegaard, manusialah yang
telah mati. Kematian manusia disusul kebangkitan kembali dalam bentuk kehidupan
baru. Di situ makna kebangkitan dalam pemikiran Kierkegaard, yang menyatakan
Ibrahim memiliki tingkat religiusitas yang amat kuat.
Kita sering melihat manusia religius memiliki sikap yang
dianggap aneh, nyentrik, tak masuk
akal atau bahkan gila. Hal ini disebabkan nilai-nilai religius bersifat murni
subjektif, dan paradoksal. Dalam penilaian tentang Tuhan, misalnya, jika Tuhan
ada dan mahasempurna, kenapa membiarkan adanya kejahatan? Kierkegaard
mengatakan paradoks Tuhan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional.
Sosok Nabi Ibrahim menurut Kierkegaard, telah masuk dalam
tahap religiusitas ini. Menurutnya, Ibrahim telah lulus dalam mempertahankan
keyakinan subjektifnya berdasarkan iman. Ibrahim bersedia mengorbankan Ismail,
anaknya, atas dasar keyakinan pribadi bahwa Tuhan memerintah untuk mengorbankan
anaknya itu.
Hidup dalam Tuhan, bagi Kierkegaard, adalah hidup dalam subjektivitas transenden. Tanpa
rasionalisasi dan ikatan duniawi. Subjektivitas yang hanya mengikuti jalan
Tuhan. Tak terikat nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (etis),
maupun tuntutan pribadi, masyarakat atau zaman.
Imajinasi dan
Tumbuhnya Nalar. Tumbuhnya manusia berkarakter, individu yang kuat dan
mandiri, adalah apa yang dikatakan Sukarno dengan imagination, imagination, imagination. Betapa bangsa Indonesia yang
semeter kurang sedepa itu, bisa
menghasilkan Borobudur. Di situ betapa pentingnya imajinasi. Logic will get you from A to B. Imagination
will take you everywhere, sebagaimana kata Albert Einstein. Nalar hanya
akan membawa anda dari A menuju B, namun imajinasi mampu membawa anda dari A ke
manapun. Apa pentingnya jika nalar membawa kemana pun, dibandingkan hanya terbatas
sampai Z saja?
Peradaban yang tumbuh adalah akibat dari manusia yang
ter-eksplorasi dan bukannya yang ter-eksploitasi. Dongeng berada dalam sisi
ini, bagaimana mengeksplorasi pemikiran manusia, agar tidak stagnan, mandeg, sehingga terjadi involusi kebudayaan yang mengakibatkan
peradaban juga mandeg.
Dalam pemikiran Kierkegaard yang penting, untuk menjadi
seorang beriman tak cukup. Kita adalah pribadi independen, dan bukan kumpulan
masa. Perubahan dimulai dari diri sendiri, bukan dari institusi. Di sana akan
tumbuh apa yang dinamakan inspirasi, inisiasi, motivasi, yang akhirnya
menumbuhkan partisipasi dalam intersubjektivitas, pemikiran aksersif dalam interaksi sosial dimana
peradaban manusia tumbuh dan berkembang.
Dalam konteks ini, kembali pada pemikiran Pramoedya,
bahwa dongeng adalah medium yang indah dalam tradisi lisan Nusantara, dan
seperti juga pernyataan HC Andersen, bahwa kehidupan itu sendiri adalah dongeng
yang menakjubkan; Kita tak bisa mengabaikan dongeng, sebagai titik awal keberangkatan,
untuk melakukan transformasi sosial
masyarakat Indonesia, yang selalu berada dalam perubahan.
Kenyataan-kenayataan sosial kita hari ini, adalah tumbuh
suburnya pragmatisme yang bersifat materialistik. Segala sesuatu hanya diukur
dari aspek kemanfaatan verbal. Sehingga tidak memberi ruang pada imaji,
kreativitas, serta daya nalar. Bahkan jika kita kembali pada kritik Dick
Hartoko, di awal dekade 70-an, negara kita ini, “terlalu sibuk dengan membangun
dunia baru. Tangan-tangan kita tidak pernah diam, selalu sibuk bekerja.”
(Keadaan Senggang Dasar Kebudayaan, Basis, 1972).
Beberapa pertanyaan Dick Hartoko waktu itu, “… bukankah
pula rumah baru itu kita ingin bangun menurut tradisi asli masing-masing
bangsa, sesuai dengan kepribadian kita, setia kepada sumber-sumber kebudayaan
yang paling aseli, sehingga berakar dalam alam kodrat manusia? Nah, salah satu
dasar sendi kebudayaan, baik di Timur maupun Barat, adalah keadaan senggang.”
Apa itu keadaan senggang? Bahkan dalam teori metafisika
yang disinggung Aristoteles pun, keadaan senggang ialah penting. Keadaan
berjarak, menarik diri dari kenyataan-kenyataan, fakta-fakta, segala yang eksak.
Bahkan secara etimologis, Dick Hartoko menyebutkan keadaan senggang itu dalam
bahasa Yunani disebut ‘skole’, dalam
bahasa Latin ‘scola’, dan dalam
bahasa Indonesia sekolah. Istilah
yang kita pergunakan untuk menunjukkan tempat pendidikan dan pengajaran, yang
berasal dari sebuah kata yang berarti senggang.
Senggang bukan luang, sebagaimana imajinasi bukan berarti
ngayawara alias melamun kosong.
Senggang adalah sikap jiwa, sikap spiritual yang tak semata-mata diakibatkan
faktor-faktor eksternal, seperti misalnya waktu terluang, hari libur atau
week-end. Senggang merupakan suatu sikap jiwa dan berlawanan dengan sikap krida,
hanya mementingkan segala yang bersifat lahir, fisik. Senggang adalah sikap retret, perenungan kembali akan
nilai-nilai hakiki. Dalam senggang terjadi perenungan, terjadi proses
internalisasi yang penting untuk menatap ke depan.
Begitu tak berjaraknya manusia dengan kenyataan-kenyataan
sosial (dan politik) kita dewasa ini, memudahkan manusia diombang-ambingkan
dongeng-dongeng baru, yang sama sekali tidak dimengerti. Bahkan, dengan
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, medsos, betapa manusia mudah
menyatakan menolak hoax, namun senyampang itu mereka hanyut secara tak sadar
ikut menyebar-luaskan hoax. Nalar lumpuh, imajinasi lumpuh, yang akibatnya daya
kritis juga lumpuh.
Jika orang dewasa bisa melakukan retret dengan me-refresh
masa lalu dan pengalaman-pengalaman hidupnya, maka anak-anak yang tumbuh akan
juga bisa merefresh pengalaman-pengalaman imajinatifnya, ketika berhadapan
dengan kenyataan dan pertumbuhan psikologis dan biologisnya.
Di situlah dongeng menjadi sesuatu yang secara fungsional
tak bisa diabaikan. Bahkan meski pun dongeng selama ini seolah dikhususkan bagi
anak-anak, sebagaimana CS Lewis menyamakan dongeng adalah masa lalu. Betapapun,
masa lalu justeru perlu ditengok sebagai perbandingan, bahan refleksi, mundur
untuk maju. Artinya, orang dewasa atau tua pun, juga memerlukan dongeng-dongeng,
sebagaimana HC Andersen mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah dongeng yang
menakjubkan.
Persoalannya kemudian, apa itu dongeng? Apa manfaatnya?
Dan bagaimana dongeng itu didongengkan? Pada jaman kini, dongeng tak
sebagaimana dalam gambaran romantik kita. Disampaikan oleh seorang nenek atau
kakek pada cucunya, atau oleh seorang ibu kepada anaknya, menjelang tidur.
Dongeng Masa Kini
dan Manfaatnya. Dongeng pada masa kini ada begitu banyak ragamnya, sesuai
perkembangan jaman. Dongeng kini bisa disampaikan kapan saja, tak selalu malam.
Bahkan dalam berbagai bentuknya, tak hanya diceritakan secara langsung,
melainkan juga dalam bentuk buku, bahkan secara audio-visual dalam film animasi,
atau live-action di berbagai wahana mainan anak-anak dan special events.
Walaupun terlihat sederhana,
anak-anak biasanya sangat serius mendengarnya, jika ceritanya menarik. Tentu saja, menyampaikan
dongeng yang menarik kepada anak membutuhkan keterampilan khusus. Hal tersebut
penting karena dengan memilih dongeng
yang isi ceritanya bagus, akan tertanam nilai-nilai moral yang baik. Pendongeng
yang baik akan selalu memberi ruang interaksi, dengan pendengar dongengnya,
sehingga nilai-nilai yang ingin disampaikan secara induktif bisa lebih
dimengerti atau terserap.
Dongeng yang baik juga mampu mengembangkan daya imajinasi anak, yang akan berperanan dalam perkembangan logika, daya nalar, kecerdasan tetapi juga sekaligus emotion inteligentia-nya. Dengan mendongengkan secara auditif, anak-anak akan terbiasa berimajinasi, memvisualkan sesuatu dalam pikirannya, untuk menjabarkan atau menyelesaikan suatu permasalahan.
Anak-anak yang terbiasa mendengar dongeng, biasanya bertambah perbendaharaan kata, ungkapan, watak orang, sejarah, sifat baik-buruk, teknik bercerita, dan lain sebagainya. Berbagai materi pelajaran sekolah pun, bahkan bisa kita masukkan pelan-pelan di dalam dongeng untuk membantu memahami pelajaran yang diberikan di sekolah.
Sisi lain dari itu semua, dongeng mampu untuk meningkatkan kreativitas anak. Kreatifitas anak bisa berkembang dalam berbagai bidang, jika dongeng yang disampaikan dibuat sedemikian rupa menjadi berbobot. Sah-sah saja apabila ingin menambahkan isi cerita dengan bumbu-bumbu, selama tidak merusak jalan cerita, sehingga menjadi aneh tidak menarik lagi.
Dongeng yang baik juga mampu mengembangkan daya imajinasi anak, yang akan berperanan dalam perkembangan logika, daya nalar, kecerdasan tetapi juga sekaligus emotion inteligentia-nya. Dengan mendongengkan secara auditif, anak-anak akan terbiasa berimajinasi, memvisualkan sesuatu dalam pikirannya, untuk menjabarkan atau menyelesaikan suatu permasalahan.
Anak-anak yang terbiasa mendengar dongeng, biasanya bertambah perbendaharaan kata, ungkapan, watak orang, sejarah, sifat baik-buruk, teknik bercerita, dan lain sebagainya. Berbagai materi pelajaran sekolah pun, bahkan bisa kita masukkan pelan-pelan di dalam dongeng untuk membantu memahami pelajaran yang diberikan di sekolah.
Sisi lain dari itu semua, dongeng mampu untuk meningkatkan kreativitas anak. Kreatifitas anak bisa berkembang dalam berbagai bidang, jika dongeng yang disampaikan dibuat sedemikian rupa menjadi berbobot. Sah-sah saja apabila ingin menambahkan isi cerita dengan bumbu-bumbu, selama tidak merusak jalan cerita, sehingga menjadi aneh tidak menarik lagi.
Dan yang tak bisa
dibantah, jika terjadi interaksi antara orangtua dan anak dalam mendongeng, secara
tidak langsung akan mempererat tali kasih sayang. Selain itu tertawa
bersama-sama juga dapat mendekatkan hubungan emosional. Pada sisi itu, dongeng menjadi
media atau alat untuk menghilangkan ketegangan atau stress.
Dongeng merupakan sastra lama, yang menceritakan kejadian fiksi dengan tujuan untuk memberikan hiburan serta nilai pendidikan. Jika selama ini kita mengenal dongeng dengan isi cerita yang berkisah tentang tentang suatu kejadian luar biasa, penuh khayalan (fiksi), dan dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tak benar-benar terjadi, bukan berarti ia kemudian menjadikan anak-anak seorang pengkhayal atau pelamun.
Dongeng merupakan sastra lama, yang menceritakan kejadian fiksi dengan tujuan untuk memberikan hiburan serta nilai pendidikan. Jika selama ini kita mengenal dongeng dengan isi cerita yang berkisah tentang tentang suatu kejadian luar biasa, penuh khayalan (fiksi), dan dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tak benar-benar terjadi, bukan berarti ia kemudian menjadikan anak-anak seorang pengkhayal atau pelamun.
Kembali lagi pada soal imajinasi yang disinggung Bung
Karno, dan juga Einstein atau Rama Dick Hartoko, yang kemudian juga disampaikan
oleh Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikan ‘ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani’. Di depan memberikan teladan (kebaikan), di
tengah membangun semangat, dan di belakang mendukungnya (memberi restu), dengan
mendirikan sekolah Taman Siswa pada waktu itu.
Ada begitu banyak jenis dongeng, yang memberi ruang
sangat leluasa untuk terjadi interaksi antarmanusia dan antargenerasi. Ada (1) fabel, dongeng binatang sebagaimana Dongeng Kancil. (2) Legenda, yang menceritakan peristiwa berhubungan dengan keajaiban
alam, seperti Legenda Gunung Tangkuban
Perahu. (3) Mite yang
menceritakan tentang hal-hal gaib (animisme)
seperti dewa-dewa, peri, dan mahluk halus. (4) Sage menceritakan suatu tokoh yang biasanya berkaitan dengan
sejarah (biasanya menyebar dari mulut ke mulut, sehingga lama-kelamaan terdapat
tambahan cerita yang bersifat khayal). (5) Parabel, dongeng
yang mengandung nilai-nilai pendidikan atau cerita pendek dan sederhana, yang
mengandung hikmah yang digunakan sebagai pedoman hidup, seperti Malin Kundang.
Dan lain-lain bentuk cerita seperti cerita jenaka, cerita pelipur lara, cerita
perumpaan, dan bahkan mungkin dongeng-dongen kreasi sendiri, yang sama sekali
baru. Karena di dalam dongeng itu unsur terpenting ialah kemampuan story telling. Menuturkan cerita, apapun
bentuk dan isinya. Sebagaimana di Inggris, pernah terjadi seorang ayah membuat
dongeng sayur, dengan menata aneka sayuran, untuk memotivasi agar anaknya mau
mengkonsumsi sayur.
Situasi sosial-kemasyarakatan kita hari-hari ini, bisa
jadi mencemaskan, karena kita terbelah oleh persoalan-persoalan politik, yang
sesungguhnya tidak secara langsung bersinggungan dengan kita. Tetapi dominasi
perbincangan kita, yang dipenuhi isu-isu sosial-politik, membat kita sangat
tidak berjarak, dan bahkan sangat terlibat, sehingga toleransi kita pada
perbedaan (yang memang belum terlatih), menjadi semakin tipis. Kita cenderung
intoleran dan mudah menistakan liyan. Apalagi, fakta sosial juga menunjukkan,
bagaimana anak-anak pun terseret, dan diseret, pada masalah-masalah yang belum
semestinya menjadi ranah emosi mereka.
Maka jika kita mengidealkan bahwa bangsa ini perlu
melakukan transformasi sosial, revolusi atau evolusi mental, gerakan mendongeng
pada generasi kini, menjadi alternatif untuk turut mewarnai bagaimana peradaban
dikembalikan pada jalurnya. Ialah tumbuhnya individu yang berkarakter.
Inisiatif Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menyelenggarakan
“Seharian Jakarta Mendongeng” pada 28 Oktober 2018, di Perpustakaan Nasional
R.I., Jakarta, semoga dalam rangka mengapa dongeng perlu hadir dalam kehidupan
manusia, dan terutama manusia Indonesia.
Kita sesungguhnya tak hanya memerlukan Jakarta yang
seharian mendongeng. Apalagi jika dongeng-dongengnya hanyalah merupakan isu-isu
recehan, entah itu yang bernama ganti Presiden, penistaan agama, dongeng
korupsi, ketidakbanggaan pada perolehan emas para pejuang kita di Asian Games
18, dan sejenisnya. Tetapi lebih dari itu, kita memerlukan Indonesia mendongeng
sepanjang waktu, sebagaimana nilai-nilai baik dan mulia harus terus
dikumandangkan, dari generasi ke generasi.
Pada hakikatnya dongeng bukan hanya sekedar bagian dari karya sastra lisan. Dan mendongeng juga
bukan hanya merupakan tradisi lisan sastra kita. Dongeng, juga mendongeng,
adalah bagian dari kasih sayang lintas generasi, untuk menjaga dan menumbuhkan
peradaban. Sebagai bagian dari karya sastra, tentu dongeng memberi nilai
tersendiri bagi kehidupan lintas generasi, baik anak maupun orangtua. Umar bin Khattab
berpesan, “Ajarilah anak dengan sastra. Dengan sastra, akan memperhalus budi
pekerti dan anak yang takut akan menjadi pemberani.”
Bukankah sebagaimana
dikatakan Robin Moore, penulis, “Di dalam diri kita
masing-masing, adalah pendongeng yang terlahir alami, menunggu untuk
dilepaskan."
Maka, mendongenglah.
Lima Manfaat Dongeng menurut Mark Greenwood, penulis buku anak dari
Australia:
1. Mengasah Imajinasi. Saat
mendengarkan dongeng, otak akan
membayangkan setiap tokoh dan tempat yang ada di dalam cerita. Nah, saat kita
membayangkan tokoh dan tempat, imajinasi kita sedang diasah secara tidak
langsung.
2. Lebih Kreatif. Saat
berimajinasi, kita pasti akan memberikan warna pada tokoh imajinasi tersebut. Proses
pemberian warna pada tokoh imajinasi itu bisa membuat kita lebih kreatif.
Semakin kuat imajinasi, maka tingkat kreatifitas kita pun akan semakin
meningkat.
3. Gemar Membaca. Selain mengasah
imajinasi dan meningkatkan kreatifitas, dongeng juga bisa membuat kita gemar membaca. Saat
mendengarkan dongeng, kita akan
penasaran dengan keseluruhan cerita atau hal lain yang berkaitan dengan dongeng tersebut. Jika kita sudah penasaran,
kita pun akan mencari buku dan berbagai sumber yang berkaitan untuk mengatasi
rasa penasaran tersebut.
4. Mengasah Cara Berkomunikasi. Dongeng juga bisa mengasah cara kita
berkomunikasi. Saat mendengarkan dongeng atau mendongeng, akan ada interaksi
antara dua orang atau lebih. Secara tidak langsung, hal itu membuat kita tahu
bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan nyaman.
5. Mengasah Kemampuan Menulis. Seseorang
yang suka dengan dongeng biasanya punya imajinasi sendiri. Imajinasi
itu biasanya disalurkan dalam sebuah tulisan. Saat imajinasi dibuat menjadi
sebuah tulisan, kita akan berusaha memilih kata yang bagus dan enak untuk
dibaca. Jadi, secara tidak langsung, kita sudah mengasah kemampuan menulis
kita.