Dalam setiap pemilu, sejuta capres mungkin kurang bagi Indonesia. Kenapa? Karena semua orang, pihak, lembaga, parpol, ulama, tentara, tukang becak, ormas, mempunyai kepentingan dan agenda sendiri-sendiri untuk calon presidennya sendiri-sendiri.
KPU sebagai komisi negara yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pemilu sudah memutuskan capres resmi, dan itu artinya sudah melalui proses penelitian, verifikasi atas akurasi data, berdasarkan aturan main dari sejak pendirian parpol, pileg, dan berbagai aturan perundang-undangannya. Dan tentu, untuk lolos dari semuanya itu, bukan sesuatu yang mudah. Tetapi massa kepentingan punya kepentingannya sendiri, dan tak peduli dengan kepentingan bersama.
Meski KPU sudah memutuskan hanya dua capres, tetap saja banyak pihak mempersoalkan sah-absahnya masing-masing capres (kenapa tidak 3, 4, atau sejuta capres independen? Sekali lagi lihat proses yang terjadi, dengan aturan yang berlaku sebagai hal yang tak boleh dinafikan, jika ingin obyektif).
Perdebatan kita hari ini masih soal identitas capres, bahkan sampai capres halal-haram, dan bahkan celakanya ada statemen capres yang mengatakan pilih yang ini karena yang itu maling.
Padahal mestinya, perdebatan kita bukan itu lagi, tetapi bagaimana meyakinkan rakyat untuk memilih mereka, bahwa kita punya masa depan dan harapan untuk bertumbuh. Bagaimana caranya? Jabarkanlah itu dalam rencana kerja dan cara mengerjakannya.
Perjalanan demokrasi kita, memang menyedihkan. Jika dulu peradaban bangsa dan negara ini ditumbuhkan dalam proses-proses dialog yang mencerahkan, maka pada era Orde Baru Soeharto semua bentuk partisipasi dibungkam dalam pemerintahannya yang otoriter. Dan akibatnya, begitu muncul angin perubahan, semua sendi negara rontok, karena tak punya akar. Reformasi hanyalah nama, karena diisi orang-orang yang tidak tumbuh dan masih dalam paradigma Orba. Tidak terdidik dalam perbedaan, tidak terlatih bernegosiasi atau diskusi. Kita hanya dicekoki dengan kemutlakan-kemutlakan. Terbiasa kebenaran mutlak dan kesalahan mutlak.
Maka kemudian muncul kecenderungan jadi apolitis, frustrasi, dan tak peduli. Sementara, para elite parpol, juga tak mampu mendewasakan diri. Parpol hanya sekedar lembaga kepentingan elitenya. Dalam kaitan pilpres ini, kita dengar bagaimana elite politik berbeda pilihan dan dukungan dengan partainya. Rekan sekoalisi seperti Rieke Diah Pitaloka 'menyerang' kebijakan Cak Imin sebagai Menaker. Fahri Hamzah 'menyerang' kebijakan Hatta Radjasa sebagai Menko SBY atas kasus Mentan Suswono, padahal mereka dalam satu koalisi pilpres. Rachmawati Soekarnoputri yang penasehat Nasdem, mendukung Prabowo dan dengan gagah perkasa bisa ngomong: "Silakan kalau Nasdem mau memecat saya,..." Pernyataan paling absurd abad ini.
Semua itu petunjuk, betapa partai politik tidak mengajarkan apa-apa, pada anggotanya, elitenya, apalagi rakyat. Politik hanya sebatas kepentingan kekuasaan sesaat, yang mengabaikan segalanya, termasuk logika, moral, dan etika.
Dan perdebatan politik kita hari-hari ini, sama sekali tidak mutu blas. Capres sudah disahkan KPU, tetapi KPU dan Bawaslu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi di lapangan. Mereka bilang mau menegakkan pemilu yang fair dan berintegritas, tapi pura-pura tidak tahu apa yang terjadi di lapangan. Para komisioner negara tentu mestinya berwawasan kenegaraan, tapi kalau digerakkan oleh manusia sekelas pencari kerja semata, pastilah akan terlihat pada kinerjanya. Dimana penghinaan pada konstitusi dan lambang-lambang negara didiamkan seolah tak ada aturan.
Pembiaran kampanye politik yang liar, dengan sendirinya tidak akan memunculkan pendidikan politik yang mendewasakan. Pemilu 2014 ini, semakin buruk saja kualitasnya. Di dunia ini, apalagi di Indonesia, cuma sedikit orang yang menginginkan kebebasan, kebanyakan hanya menginginkan seorang tuan yang adil, itu kata Gaius Sallatus Crispus. Dan yang paling menyedihkan, sebagaimana dikatakan Robert F. Kennedy, bahwa kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya, dan perubahan mempunyai banyak musuh.
Saya kutipkan penutup dari Erich Fromm: "Sejarah manusia merupakan tanah pemakaman dari kebudayaan-kebudayaan yang tinggi, yang rontok karena mereka tidak mampu melakukan reaksi sukarela yang terencana dan rasional untuk menghadapi tantangan."
Selalu banyak penumpang gelap, dalam kepolitikan yang gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar