Salah satu kelemahan Jokowi,
ialah tidak meyakinkan. Bukan hanya secara fisik, tubuh dan tampang, tapi juga
ketidakpandaiannya dalam berpidato. Dan ini menjadi bahan ledekan padanya
selama ini, dan keyakinan orang untuk memilih Prabowo Subianto.
Seorang professor pengajar kebijakan public dan public
speaking, menyarankan agar Jokowi belajar public-speaking. Sementara pakar
komunikasi politik Efendi Ghazalie, secara teoritis-akademis menilai point
minus Jokowi dalam hal kepandaian berkomunikasi, bisa mecelakakannya.
Apakah kita sedang meng-casting seorang pemimpin dari segi
tampang dan kepandaian berpidato? Jika iya, kenapa tidak diadakan audisi
pencarian bakat, atau lomba pidato saja, dengan juri Anang, Ahmad Dhani, atau
para pakar ketampanan dan kecantikan?
Pertanyaannya, jika hanya dengan dua pertimbangan itu;
Kenapa Anis Matta, Surya Paloh, Harry Tanoe, Wiranto, Gita Wiryawan, Anies
Baswedan, Amien Rais, Rizal Ramlie, Hatta Radjasa, Yusril Ihsa Mahendra, atau
siapa sajalah yang kita anggap ganteng, orator ulung, dan bahkan sebagiannya
kaya-raya, tingkat elektabilitasnya rendah (lihat hasil pileg 2014)? Kenapa
Prabowo mesti susah-payah menjalin koalisi dengan sebanyak-banyak partai untuk
maju sebagai capres?
Soeharto telah sukses mengajari kita dalam mazhab pragmatisme,
dengan praktek kebudayaan Orde Baru, hingga kita begitu suka terpesona dengan
yang bernama persona. Maka selama satu generasi kita dididik dengan teater
politik yang tampak atau kasat mata. Namun tak terasa, kita dikibuli
bertahun-tahun. Pada puncaknya, Golkar mampu meraih kemenangan lebih dari 70%
suara dalam Pemilu 1997. Namun, hanya
dalam waktu setahun, kekuasaannya rontok, dan dalam Pemilu 1999, suara Golkar
pun rontok, hanya 24%, dikalahkan oleh PDI Perjuangan yang mencapai 34% suara.
Apa maknanya? Pertumbuhan yang semu, tak mempunyai akar
dalam gelombang perubahan. Ketika dicoba diangkat Aburizal Bakrie dalam seri
kampanye Golkar dalam Pemilu 2014, untuk mengembalikan kejayaan Orde Baru Soeharto,
dengan mengatakan “piye isih enak jamanku to?”, suara Golkar lebih merosot
lagi, 14%. Soeharto hanya merupakan cerminan inferiority mereka yang tak mampu
menangkap angin perubahan ke masa depan. Tak mampu menjadi vote-getter, kecuali
di bak-bak truk dimana senyuman Soeharto menjadi terasa pahit.
Pesona pada persona Prabowo, yang coba dibangun secara fisik
dan verbal, juga sama sekali tak mampu mengangkat dirinya. Bahkan, dan apalagi,
ketika sama persis dengan ARB, janji Prabowo jika jadi presiden akan mengangkat
Soeharto sebagai pahlawan nasional (sesuatu yang pernah dicoba PKS dalam Pemilu
2009, tapi justeru menjadi blunder dan kontra-produktif).
Hal itu, justeru semakin menguatkan posisi Jokowi sebagai simbol
perubahan. Dan hal ini yang tidak dilihat oleh para teoritikus politik semacam
Efendi Ghazali dan para pengajar public-speaking. Menyamakannya dengan persona
Barrack Obama, adalah salah besar, karena latar belakang dan spiritualitasnya
berbeda.
Di mana kesalahannya? Pada persoalan bangsa dan Negara ini,
yang sudah stag, mentok, mandeg, involutif, karena kegagalan teori-teori modernisme dalam menjawab
persoalan. Apalagi ketika kepercayaan pada persona tidak berbanding lurus
dengan harapan rakyat, karena sistem yang lemah hingga korupsi yang dilakukan
oleh siapapun yang berada dalam lingkar kekuasaan. Tak peduli pada mereka yang
miskin, yang tampan-cantik, yang beragama, yang berpendidikan tinggi. Teori
tidak penting lagi. Sekarang adalah eranya kerja, kerja, kerja.
Konsistensi sikap Jokowi pada track sistem dan manajemen,
tidak banyak dilihat sebagai point penting yang tak terlawankan, oleh siapapun
kompetitornya. Padahal, hanya mereka yang konsisten pada sikap yang
mengedepankan sistem, adalah mereka yang pemberani, tegas. Tegas itu berani
memutuskan dan berani mengambil resiko, itu adalah visi kepemimpinan masa
depan, yang agendanya bukan pada diri dan kelompoknya, apalagi pada masa lalu.
Dua tahun kepemimpinan Jokowi di Jakarta, membongkar kebekuan manajemen
kepemimpinan yang stag selama hampir 20 tahun di Jakarta.
Pada sisi ini, rasa frustrasi, kesumpegan, ketidakberdayaan
silent majority, mendapatkan jawabannya. Dan itu hanya dimiliki oleh sebuah
persona yang bebas dari kepentingan diri, kelompok, serta masa lalu, atau
bahasa lain dari politik transaksional.
Perlawanan atau pesan rakyat, sesungguhnya sudah harus bisa
dibaca dari hasil Pileg 9 April lalu. Di mana tak ada satu pun partai mendapat
kepercayaan dengan angka yang penting. Semuanya di bawah 20%, dan bahkan dengan
hitungan murni dari total 186 juta pemegang hak suara, PDIP real hanya mendapat
angka 12%, dan partai lain tak ada yang mendapatkan dua digit (coba bagi perolehan suara mereka dengan jumlah angka pemilih, 186 juta, dan bukan dengan angka suara sah, itulah angka persentase perolehan murni).
Sayangnya, fakta itu digelapkan, disingkirkan, dimanipulasi,
tidak dianggap. Bahkan ketika “oleh sejarah”, Megawati dengan kekuasaan mutlak,
pemegang mandat konggres dari partai pemenang Pemilu, memilih Jokowi sebagai
kandidat presiden, pun hal itu tidak pernah dibaca; sebagai isyarat kemenangan
rakyat. Padahal, siapa sih Jokowi yang cungkring, tak bisa pidato, tampangnya
ndesit itu? Sementara, banyak orang berlomba entah itu untuk jadi anggota
parlemen, calon menteri, atau calon presiden, dengan mendirikan partai politik,
aktif di dalamnya, dan membiayainya dengan bermilyar dan bertrilyun rupiah, seperti menguap
begitu saja.
Apakah Jokowi sosok presiden boneka dan bodo? Pidatonya yang
khas dan pendek saja dalam deklarasi damai para capres kemarin, menjelaskan
karakternya yang lugas, tanpa tedeng aling-aling. Pemilu adalah kegembiraan
politik, kalah-menang adalah kehendak rakyat. Dan ketika dengan sengaja ia
tidak menyebut nama kompetitornya (yang disayangkan Effendi Ghazali), adalah
sikap terbaiknya dalam menjawab siapa dirinya. Ia ingin menjawab ledekan Prabowo (juga Fadli Zon, dkk), yang jauh sebelumnya selalu menghinda-dinanya. Jika Yasraf Amir Piliang, pakar meta-komunikasi itu menilai Jokowi tegang, Yasraf adalah penganut mashab yang tampak, bukan yang tersirat.
Penilaian Jokowi, atau siapa sajalah, jika jadi presiden akan jadi pemimpin boneka, hal itu sama sekali menghina kita sebagai rakyat. Karena dengan parlemen yang akan sangat galak, media yang terbuka, dan hadirnya media social, kita akan dengan mudah membaca presiden yang kita hadapi itu boneka atau bukan, dan gampang saja kita mengkritik atau menjatuhkannya. Kita tidak hidup di jaman otoritarianisme Soeharto.Sekarang ini, siapapun boleh ngomong, sekali pun ngawur.
Penilaian Jokowi, atau siapa sajalah, jika jadi presiden akan jadi pemimpin boneka, hal itu sama sekali menghina kita sebagai rakyat. Karena dengan parlemen yang akan sangat galak, media yang terbuka, dan hadirnya media social, kita akan dengan mudah membaca presiden yang kita hadapi itu boneka atau bukan, dan gampang saja kita mengkritik atau menjatuhkannya. Kita tidak hidup di jaman otoritarianisme Soeharto.Sekarang ini, siapapun boleh ngomong, sekali pun ngawur.
Sebagai walikota Solo, dan kemudian gubernur Jakarta, dengan
berbagai cerita dan kinerjanya, obyektif sulit membantah fenomena sosok Jokowi. Di Solo ia berani menolak permintaan protokoler dari kedutaan AS, ketika dubes mereka hendak ke Solo. Di Jakarta ia berani menolak bantuan Bank Dunia, karena dinilainya ribet dan tidak menguntungkan rakyat. Itu semua fakta. Dan tak ada kaitannya dengan fisiknya yang lemah. Pilihan pada pemimpin, itu bukan pada apa yang akan dilakukan, apalagi yang hanya
mendaku-daku memiliki kapasitas itu. Pilihan pada pemimpin adalah pada apa yang sudah dilakukan,
dalam semua levelnya. Itulah yang bernama kinerja.
Dalam konsep kepemimpinan Kanjeng Nabi Muhammad, dari
kelembutan itu bisa muncul ketegasan. Ialah kemampuan mendengar, menyimpulkan,
dan memutuskan sesuatu (yang benar) dengan segala resiko yang terukur. Jadi
ketegasan dan kewibawaan, tak berkorelasi dengan cashing, tampilan, packaging, apalagi yang hanya meniru-niru gesture dan gaya oratorik tokoh lain. Coba
saja bergaul dengan para cowo macho di gym atau fitness centre. Betapa gagah,
sexy, dan wanginya mereka. Kenapa bukan mereka kita calonkan sebagai presiden?
Bukankah 2004-2014 kita juga bisa membandingkan kinerja kepemimpinan SBY yang
jenderal tampan bersosok tinggi besar?
Jokowi adalah pertaruhan situasi transisi itu. Perubahan
besar 1997-1998-1999 yang gagal, karena ditelikung para elitenya yang mengaku
reformis (terbukti dan terlihat dari tokoh-tokoh pada 2014 ini), akankah
kembali berulang dengan bergabungnya koalisi besar pada Prabowo, yang akan mengangkat
Soeharto sebagai pahlawan nasional? Kita akan saksikan, pertarungannya menjadi head-to-head, kiri-kanan, hitam-putih. Antara mereka yang inginkan perubahan dan mempertahankan ‘isme
kekuasaan’. Dari berbagai pernyataan Prabowo, yang pragmatis, tidak konsisten,
pada akhirnya hanya sampai pada kesimpulan bagaimana kekuasaan diraih, apapun
jalannya. Suatu ketika mengritik Golkar, lain hari bersama. Suatu kali
mengritik habis SBY, akhirnya menyatakan hendak melanjutkan konsep pembangunan
SBY. Dan seterusnya.
Sementara itu, di sisi lain, Jokowi adalah arus lain, dan itu bukan
sesuatu yang mudah untuk difahami atau pun dijabarkan. Munculnya arus baru anti-teori, anti-tesis, anti-hero karena rasa frustrasi rakyat. Pemimpin
transformasional pada saat itu akan muncul karena mereka mampu menyerap
kebutuhan paling dasar manusia, seperti kebutuhan untuk rasa identitas,
kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk merasa baik tentang upaya kita,
kebutuhan untuk merasa bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang istimewa,
kebutuhan untuk percaya bahwa masa depan kita adalah perpanjangan harapan masa
lalu kita, dan kebutuhan untuk merasa bahwa kita mencapai sesuatu worthwhile
dengan kehidupan kita. Singkatnya, kepemimpinan transformasional bekerja karena
kebanyakan dari kita sebagai pengikutnya sangat ingin bekerja, dan bukan merasa
nyaman dalam comfortable zone yang semu (The Science of Leadership, "Why Transformational
Leadership Works”, Joseph H. Boyett, Ph.D., dari Boyett & Associates,
2009).
Secara umum, keterikatan kita pada pemimpin didasarkan pada rasa ke-putusasa-an kita, untuk merebut kembali bahwa "kami kehilangan surga masa kecil kami”. Dengan adanya pemimpin kharismatik, 'kami' kembali menjadi lengkap dan berharga. Pemimpin sebagai jawaban untuk ruang kosong dalam jiwa kita. Tidak ada rasa komunitas, tradisi, dan berbagi makna yang memberi generasi sebelumnya rasa penguasaan, keyakinan pribadi dan harga diri. Namun, secara spesifik dan unik, semuanya akan dituntun oleh proses kimiawi, sesuatu yang genuine, yang hanya akan muncul dari apa yang bernama ketulusan dan kejujuran. Kalau sudah sampai pada masalah ini, menjadi tidak mudah. Dan itulah kenapa pakar komunikasi politik dari kampus kita, kebanyakan tidak peka dalam soal ini. Karena analisa mereka hanya pada komparasi teks demi teks.
Secara umum, keterikatan kita pada pemimpin didasarkan pada rasa ke-putusasa-an kita, untuk merebut kembali bahwa "kami kehilangan surga masa kecil kami”. Dengan adanya pemimpin kharismatik, 'kami' kembali menjadi lengkap dan berharga. Pemimpin sebagai jawaban untuk ruang kosong dalam jiwa kita. Tidak ada rasa komunitas, tradisi, dan berbagi makna yang memberi generasi sebelumnya rasa penguasaan, keyakinan pribadi dan harga diri. Namun, secara spesifik dan unik, semuanya akan dituntun oleh proses kimiawi, sesuatu yang genuine, yang hanya akan muncul dari apa yang bernama ketulusan dan kejujuran. Kalau sudah sampai pada masalah ini, menjadi tidak mudah. Dan itulah kenapa pakar komunikasi politik dari kampus kita, kebanyakan tidak peka dalam soal ini. Karena analisa mereka hanya pada komparasi teks demi teks.
Padahal, ketika ilmu-ilmu yang baik dan benar itu tak
juga membuktikan kemanfaatannya, yang akan selalu muncul adalah konsep-konsep
anti-hero. Ini sesuatu yang tidak pernah dipelajari oleh para pengajar
public-speaking, karena teori-teori komunikasi mereka berada dalam teori
mainstream, yang mengandalkan masyarakat ideal karena lahir dari situasi ideal.
Memang tidak mudah, karena musuh Jokowi juga bisa
bertambah banyak, utamanya mereka yang selama ini diuntungkan oleh tidak
berjalannya sistem dan manajemen kontrol. Banyak orang khawatir digeser,
kehilangan pekerjaan, dipindahtugaskan, dipecat karena kualitas kinerja. Mereka
akan mempertahankan status-quo, comfortable zone. Dan bisa jadi, mereka akan
lakukan segala cara, asal diri dan kelompoknya aman, di berbagai sektor dan
lembaga.
Tetapi, jangan dilupakan, yang dirugikan oleh status-quo jauh
lebih banyak. Anak-anak muda yang pintar dan tidak tertampung, jumlahnya juga
jauh lebih banyak. Ini pertarungan aliran kepercayaan yang head to head berbeda
tajam.
Tahun ini, kemungkinan perubahan itu ada. Jika bukan
sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi? Persoalannya, siapa ‘kita’
itu? Kalau dalam sebuah slogan kampanye, ‘Jokowi-JK adalah kita’.
Kita buktikan ‘kita’ pada 9 Juli 2014 kelak.
bro ini adiknya adian napitupulu ya :)
BalasHapuspaten lanjutkan tulisan pencerahannya.
Hahaha, bukan bro. Cuma yang dia nggak sukai beberapa sama,...
BalasHapusnyuwun sewu.. ijin share ya pak :)
BalasHapussilakan
BalasHapus