Lebih-lebih mereka selalu memakai referensi dan preferensi Orde Baru dengan logika out of date Soeharto. Bahwa Jokowi tidak pantas sebagai presiden. Titik.
Pandangan itu, bukan hanya ada pada ‘lawan politik’ Jokowi,
melainkan juga di kalangan PDI Perjuangan dan partai koalisinya. Hanya pada
kalangan ini tak bisa menafikan fakta tak terbantah, bahwa elektabilitas Jokowi lebih tinggi dibanding Prabowo, dan tentu jauh lebih tinggi dibanding
yang lain-lainnya seperti tim-sukses, tim-pemenangan, dan apalagi relawan.
Siapa Jokowi ini? Orang pusing menelisik sejarah dan latar
belakangnya. Ia benar-benar berada di luar preferensi manusia Indonesia. Ia
seolah mengocok otak kita untuk mendapatkan pertautan, di mana nyambungnya? Bahkan
mereka yang tak siap menerimanya, segera membullynya, bahwa Jokowi adalah
China, anak orang Singapore, Kristen berbaptis Herbertus, boneka Megawati,
antek Yahudi-AS-China. Bahkan sampai perlu diiklan sudah meninggal di koran
Kompas, dan berbagai fitnah di media televisi, online, maupun on-paper.
Setelah era SBY, yang dulu menang karena melodrama dan
berwajah ganteng, santun, pintar pidato; kini mestinya presiden itu adalah
lelaki Metro-sexual, yang macho tetapi tetap harum-mewangi. Hingga meski postur
kurang memadai, dan pipi temben, Prabowo toh (dan apalagi dari militer) mampu
menjadi pujaan baru, apalagi dengan army-look dan peci mirip Bung Karno. Belum gaya
pidato dan suaranya, duuuuhh,… Dan setahunan Prabowo nangkring di berbagai
survey sebagai capres dengan suara tertinggi.
Tapi ketika muncul nama capres bernama Jokowi, bagaimana
mungkin nama Prabowo bisa tergeser? Bagaimana akhirnya konfigurasi capres-cawapres
dari partai koalisi menjadi kacau-balau? Hingga kemudian hanya tersisa
Prabowo-Hatta Radjasa dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dengan menyisakan berita
ketersia-siaan Partai Demokrat, yang mengaku netral tapi ngebet berkoalisi?
Siapa Jokowi ini sebenarnya, hah?
Jokowi Sang
Phenomenon. Para pakar politik model Effendi Ghazali, Yasraf Amir Pilliang
(sejak kapan jadi pakar politik), bahkan
Kwik Kian Gie dan Rizal Ramlie, pusing pula dengan fenomena Jokowi. Seperti
dikocok-kocok saraf mereka, karena tak ada dalam teori politik ideal mereka.
Bagaimana memformulasi Jokowi dalam teori-teori modern; dalam ilmu politik,
ekonomi, dan bahkan ilmu menyemir sepatu hingga bisa mengkilap?
Tak bisa disangkal, Jokowi adalah ‘phenomenon’. Ia sebuah
fenomena. Dari sejak menjadi Walikota
Solo, hingga kemudian melangkah ke Jakarta. Ia menjungkir-balikkan berbagai
lembaga survey, dan tentunya juga Fauzi ‘Foke’ Wibowo, hingga kemudian akhirnya mampu
merontokkan elektabilitas Prabowo.
Dari sejak pencanangan capres, Jokowi menjadi sorotan. Dan
ia memakai panggung itu dengan biasa saja, sesuai penampilan kesehariannya. Ia
tetap bekerja, berfikir normal, dan tetap orang yang mandiri, bebas, meski
mulai banyak manusia berbagai kepentingan mengelilingi.
Yang menarik diperhatikan, dari semua yang ‘membenci’ Jokowi
dan kemudian berpihak sebagai pendukung Prabowo, selalu berlatar belakang
kekecewaan pribadi. Sampai orang seperti Setiyardi dan Sepriyosa menerbitkan
tabloid sendiri, berisi aneka fitnahan dan kabar bohong tentang Jokowi, dan
mengedarkan ke seluruh Indonesia, dengan ongkos sendiri, hanya karena konon
dikecewakan Jokowi. Itu luar biasa tak
masuk akal. Bahkan sampai hal itu menular pada Amien Rais, Mahmud MD, sekali
pun hal itu biasa bagi Fadli Zon, Marzuki Alie, Fahri Hamzah, Ramadhan Pohan, Eggy Sudjana, Nurul Arifin, dan
sejenisnya.
Jokowi tak memperdulikannya. Ia melenggang sendiri (tentu
dengan beberapa orang segagasan dan pendukungnya), untuk merespons tantangan
yang dibuka oleh Megawati, anak ideologis Sukarno, ketua umum dan pemegang
mandat mutlak dari partai pemenang pemilu 2014 itu.
Tak ada orang yang melihat an mempertimbangkan hal itu, kecuali lebih suka
melihatnya dengan sikap paranoid, bahwa Megawati hanya akan menumpang
popularitas Jokowi, dan menjadikan Jokowi sebagai presiden boneka. Padahal, siapa ketua parpol yang tak ingin jadi presiden? Buat apa Prabowo mendirikan Gerindra dan dua tahun terakhir dirinya berkampanye tentang Garuda Indonesia terbang melayang? Buat apa Harry Tanoe membuang-buang uang ke Nasdem kemudian Hanura dan terakhir ke Gerindra? Buat apa juga ARB menghabiskan duit dari mencapreskan diri hingga kemudian tak mendapatkan apa-apa, meski dijanjikan sebagai Menteri Utama oleh Prabowo?
Masyarakat tidak pernah melihat, bahwa langkah Megawati
menunjuk Jokowi sebagai capres, adalah sebuah langkah brillian, langkah besar
sejarah perubahan atas mandegnya demokratisasi Indonesia sejak Reformasi 1998.
Stagnasi politik yang terjadi, didedah dengan keberanian Megawati, menunjuk
orang di luar partai, karena bagaimana pun Jokowi bukan politikus murni. Ia disebut sebagai anak kost dalam PDIP. Dan keputusan Megawati menunjuk Jokowi sebagai capres, bukan tanpa penolakan dari dalam. Sementara, Megawati adalah anak biologis dan ideologis dari nama besar Sukarno, dan sudah mendapat amanat kongres partai, tidak akan ada yang keberatan sekiranya ia menunjuk dirinya sendiri sebagai capres, atau puterinya Puan Maharani, atau Prananda.
Penghukuman Rakyat
atas Parpol. Tapi Megawati tak melakukan kewenangan mutlaknya untuk menunjuk dirinya sendiri sebagai capres. Politikus senior sekelas Megawati, akhirnya mampu melihat,
bahwa kecilnya suara dukungan rakyat pada partai politik dalam Pemilu 2014,
terjawab dengan munculnya Jokowi. Bagaimana pun, partai-partai peserta Pemilu
2014 hanya mendapat perolehan suara kecil. Jika hitungan KPU menempatkan PDIP
mendapat 18%, Golkar 14, Gerindra 12%, dan PD 10%, sesungguhnya jika bilangan
pembaginya menyertakan jumlah kartu suara terpakai (dengan memperhitungkan
angka Golput mencapai 24%), maka angka-angka itu bisa lebih kecil lagi. Hanya PDIP yang memperoleh 12% suara, sementara partai lainnya hanya satu digit.
Jokowi effect sangat berpengaruh dalam perolehan suara PDIP.
Karena jika saja Jokowi tidak dicapreskan sebelum Pileg 9 April, bisa jadi
perolehan PDIP akan sama dengan partai-partai lainnya. Karena senyampang dengan
hal itu, tak ada tokoh nasional, kandidat presiden, yang mampu melampaui
popularitas Jokowi. Antara tingkat elekabilitas Jokowi dan perolehan suara PDIP, tak terpaut jauh, meski elite PDIP yakin waktu itu partainya akan mendapat suara minimal 27%. Sementara nama-nama di luar Jokowi, baik itu Megawati sendiri, ARB, Prabowo, SBY, Yusril Ihza
Mahendra, Rizal Ramli, Puan Maharani, Rhoma Irama, Mahfud MD, Gita Wiryawan,
Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Ani Yudhoyono, Sri Mulyani, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar,
dan lain sebagainya, berada jauh di bawah.
Ketika Jokowi mengenalkan konsep ‘revolusi mental’ kita
kemudian bisa melihat grand-design dari arah pemikiran politik nasionalnya. Dalam
pemikiran Jokowi, Indonesia menghadapi dua masalah serius. Kualitas SDM dan
system atau management pemerintahan atau birokrasi. Kualitas managemen berkait
mentalitas, kualitas dari skill dan pendidikan, serta tentunya attitude dan
etos kerja. Pada sisi lain, amburadulnya mentalitas, juga bisa menghancurkan
system, atau menciptakan system yang hancur. Dalam praktik perilaku korup,
disiplin hukum yang rendah, dan akhirnya penegakan peraturan dan
perundang-undangan yang tak konsisten, memperlemah semuanya.
Dua pemikiran pokok itu, nyaris tak terjamah oleh siapapun,
karena Jokowi sendiri cenderung juga tidak articulated terhadap hal ini. Ia mungkin
saja mengandalkan dan percaya, bahwa semua seperti dirinya, entah sama baik
atau nanti demikianlah yang akan berproses. Jokowi tampaknya lebih percaya soal besar seperti grand-design itu akan bisa ditangani oleh para ahlinya nanti, jika kursi kepresidenan diraihnya.
Tapi tidak berjalannya sosialiasi Jokowimic ini, juga berakibat panjang. Bisa jadi
tidak adanya koordinasi, mesin politik yang lemah, atau memang semuanya tidak
mengerti apa yang dimaui dan dipikirkan Jokowi. Sinergi antara relawan yang
bertebaran dengan mesin partai, agaknya tidak terjadi.
Dan itulah agaknya pula, Jokowi terpaksa menjelaskan
sendiri, karena pada dasarnya juga sebagian besar rakyat, hanya percaya pada
mulut Jokowi langsung. Bukan mulut para elite politik yang memang sama sekali
tidak dipercaya lagi.
Pada sisi ini, kita melihat Jokowi adalah representasi kepentingan rakyat, hasil pengejawantahan atau manifestasi rakyat. Maka kini pertarungannya juga menjadi jelas. Pemilu 2014 ini adalah situasi transisi. Momentum untuk tetap diam di tempat, bersama para Orbais (yang masuk dalam koalisi Gerindra mengusung Prabowo, termasuk Amien Rais, Rhoma Irama, PKS, Demokrat, FPI, FUUI), di mana mereka akan mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional; atau memilih berada dalam arus kesadaran baru, untuk menolak kembalinya barisan Orba itu.
Pada sisi ini, kita melihat Jokowi adalah representasi kepentingan rakyat, hasil pengejawantahan atau manifestasi rakyat. Maka kini pertarungannya juga menjadi jelas. Pemilu 2014 ini adalah situasi transisi. Momentum untuk tetap diam di tempat, bersama para Orbais (yang masuk dalam koalisi Gerindra mengusung Prabowo, termasuk Amien Rais, Rhoma Irama, PKS, Demokrat, FPI, FUUI), di mana mereka akan mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional; atau memilih berada dalam arus kesadaran baru, untuk menolak kembalinya barisan Orba itu.
Bekerja dan Berfikir
Out of The Box. Langkah-langkah Jokowi memunculkan warna baru. Bukan hanya
soal blusukan, melainkan cara-cara pendekatannya yang out of the box,
memberikan perspektif baru, meski pada sisi lain juga kebingungan. Mulai dari
melantik pejabat pemerintahan di tengah kampung, bahkan di atas bekas
pembuangan sampah, hingga pemilihan Lurah Susan melalui lelang terbuka berdasar
kompetensi.
Jokowi mengenal detail yang tak banyak dikuasai para
pemimpin politik yang biasa berbicara abstrak. Ia bahkan lebih asyik membuka wacana untuk pedagang kakilima, penjaja asongan, pengrajin cindera mata, sopir taksi, petani, kusir andong, animator, pengamen jalanan, dan lain sebagainya. Dan kita kemudian mengatakan Jokowi hanya berlevelkan pemimpin daerah, walikota atau bupati. Tidak level presiden yang harus makro-ekonomi.
Tetapi Jokowi pernah mempesona beberapa menteri ketika mengenalkan system distribusi silang untuk produk-produk hasil bumi masing-masing propinsi, membangun tol laut, hingga e-government yang dalam debat capres dikatakan dua minggu selesai untuk mendisain jaringan internet secara nasional, ia menjalin kerjasama dengan propinsi lain dan menutup peluang impor produk dan barang dari luar seperti beras, gula, bahkan daging sapi.
Tetapi Jokowi pernah mempesona beberapa menteri ketika mengenalkan system distribusi silang untuk produk-produk hasil bumi masing-masing propinsi, membangun tol laut, hingga e-government yang dalam debat capres dikatakan dua minggu selesai untuk mendisain jaringan internet secara nasional, ia menjalin kerjasama dengan propinsi lain dan menutup peluang impor produk dan barang dari luar seperti beras, gula, bahkan daging sapi.
Pasti sulit jika semua itu dilakukan di jaman Soeharto. Dan
memandang rencana Jokowi dengan kacamata jaman Soeharto, tentu saja sama mustahil
hasilnya, di samping terlihat bodoh tentu. Sama seperti bagaimana kalau nanti Jokowi blusukan ke seluruh tanah
air? Bagaimana biayanya, karena pasti akan irit-iritan protokolernya? Apa tidak
akan merepotkan? Belum juga kita tahu bagaimana gaya protokoler presiden Jokowi, tapi kita sudah menghakimi dengan mengandaikan Jokowi bergaya protokoler presiden sebelumnya.
Semua ide dan style Jokowi akan dikritisi dan dicibir sampai sekecil-kecilnya. Dan banyak contoh bagaimana semua cara kerja Jokowi akan dipertanyakan, termasuk membangun tol laut. Bagaimana mungkin? Jakarta saja masih kebanjiran, atau memang itu maksudnya tol laut, air meruap memenuhi jalan-jalan di Jakarta? Banyak orang tak mengerti, atau pura-pura tidak tahu, dan memilih menghina-dina tentang semua kemungkinan. Termasuk bagaimana Jokowi akan mengajak anak-anak muda Indonesia mengguncang industri kreatif. Jangan lupa, tak sedikit anak-anak muda Indonesia kreatif yang bekerja di luar negeri, enggan pulang karena mereka melihat tak ada peluang dan dukungan.
Padahal, dalam pandangan Jokowi, semuanya memang sederhana saja. Semuanya sudah tersedia. Yang tiak tersedia adalah manusia baik yang mengerjakan itu semuanya. Manusia-manusia Indonesia yang menjadi pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat publik, pelayan masyarakat, profesional, anggota parlemen, bupati, camat, ketua RT, gubernur, dan lain sebagainya, semuanya telah terjerat oleh satu siatuasi yang tak terelakkan. Situasional dari birokrasi yang korup, yang membuat mereka tidak mudah untuk menghindarkannya karena seolah suatu siklus.
Sementara Jokowi relatif bisa lebih mudah mengatasi, karena ia tidak terlibat dan terjebak dalam kontrak-kontrak atau transaksi politik, kecuali sebagaimana yang dikatakan; hanya tunduk pada konstitusi dan rakyat Indonesia. Tidak mudah tunduk pada konstitusi, karena lebih banyak yang tunduk pada cukong atau uang.
Semua ide dan style Jokowi akan dikritisi dan dicibir sampai sekecil-kecilnya. Dan banyak contoh bagaimana semua cara kerja Jokowi akan dipertanyakan, termasuk membangun tol laut. Bagaimana mungkin? Jakarta saja masih kebanjiran, atau memang itu maksudnya tol laut, air meruap memenuhi jalan-jalan di Jakarta? Banyak orang tak mengerti, atau pura-pura tidak tahu, dan memilih menghina-dina tentang semua kemungkinan. Termasuk bagaimana Jokowi akan mengajak anak-anak muda Indonesia mengguncang industri kreatif. Jangan lupa, tak sedikit anak-anak muda Indonesia kreatif yang bekerja di luar negeri, enggan pulang karena mereka melihat tak ada peluang dan dukungan.
Padahal, dalam pandangan Jokowi, semuanya memang sederhana saja. Semuanya sudah tersedia. Yang tiak tersedia adalah manusia baik yang mengerjakan itu semuanya. Manusia-manusia Indonesia yang menjadi pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat publik, pelayan masyarakat, profesional, anggota parlemen, bupati, camat, ketua RT, gubernur, dan lain sebagainya, semuanya telah terjerat oleh satu siatuasi yang tak terelakkan. Situasional dari birokrasi yang korup, yang membuat mereka tidak mudah untuk menghindarkannya karena seolah suatu siklus.
Sementara Jokowi relatif bisa lebih mudah mengatasi, karena ia tidak terlibat dan terjebak dalam kontrak-kontrak atau transaksi politik, kecuali sebagaimana yang dikatakan; hanya tunduk pada konstitusi dan rakyat Indonesia. Tidak mudah tunduk pada konstitusi, karena lebih banyak yang tunduk pada cukong atau uang.
Pada sisi ini, kita melihat dua capres ini datang dengan
ghirah yang berlawanan arah. Yang satu hendak meraup dan mempertahankan
kekuatan-kekuatan dan tradisi-tradisi lama, secara topdown dan memposisikan
elite adalah bagian terpenting. Sementara satunya datang dengan membongkar
kebiasaan lama, menyorongkan cara pandang dan sikap baru, untuk mengubah
semuanya itu secara bottom up.
Pertarungan Jokowi versus Prabowo, mungkin semakin perlu untuk diverbalkan. Yakni antara semangat pembaruan dengan pertahana gaya lama, yang sudah ketinggalan jaman. Prabowo didukung hampir semua perwakilan kekuatan lama seperti Golkar, Komunitas Piye Kabare (Soehartois), disamping kelompok-kelompok eksklusif dengan agendanya sendiri-sendiri seperti PKS, FPI, FBR, FUUI, PBB, disamping partai-partai yang aman-amin seperti PAN, PPP, dan Partai Demokrat. Bahkan partai politik milik SBY ini, makin terseok saja setelah dihajar rakyat, dan akhirnya tak mampu membangun koalisi serta menyodorkan capresnya sendiri. PD kini larut, atau malu-malu, mendukung Prabowo-Hatta meski pun SBY selalu bilang netral.
Pertarungan Jokowi versus Prabowo, mungkin semakin perlu untuk diverbalkan. Yakni antara semangat pembaruan dengan pertahana gaya lama, yang sudah ketinggalan jaman. Prabowo didukung hampir semua perwakilan kekuatan lama seperti Golkar, Komunitas Piye Kabare (Soehartois), disamping kelompok-kelompok eksklusif dengan agendanya sendiri-sendiri seperti PKS, FPI, FBR, FUUI, PBB, disamping partai-partai yang aman-amin seperti PAN, PPP, dan Partai Demokrat. Bahkan partai politik milik SBY ini, makin terseok saja setelah dihajar rakyat, dan akhirnya tak mampu membangun koalisi serta menyodorkan capresnya sendiri. PD kini larut, atau malu-malu, mendukung Prabowo-Hatta meski pun SBY selalu bilang netral.
Namun senyampang dengan itu, isyu yang beredar di
daerah-daerah pelosok, desa, gunung dan pantai; jika Jokowi menang, maka
anggaran daerah diperketat, raskin dihilangkan, PNS bakal banyak kehilangan
pekerjaan, desa tak bakal dapat duit sebesar Rp 1 milyar, dan seterusnya.
Sesuatu yang tetap efektif, dan kita tak melihat kubu Jokowi mampu
mengantisipasi itu, padahal mereka mengaku punya banyak relawan.
Hanya Tunduk Pada
Konstitusi. Jokowi adalah anak bajang, anak yang tak jelas siapa orangtuanya dalam sejarah kepolitikan Indonesia. Ia justeru representasi dari kebuntuan
partai, ketika Megawati lewat PDIP menang dalam 1999 tapi digeser Amien Rais dengan
memakai Gus Dur. Dan ketika kelompok (yang sama) ini tahu, Megawati memberi
mandat pada Jokowi sebagai capres 2014, kembali mereka berupaya membendungnya.
Tidak peduli yang mereka dukung adalah yang mereka musuhi waktu itu. Jadilah
koalisi obar-abir yang secara kamuflatif dinamakan Poros Indonesia Raya, yang dalam disain Amien Rais dinamakan
Poros Tengah jilid II.
Pada sisi ini, koalisi Gerindra lebih mirip seperti
komposisi koalisi KIB-II, yang hanya berganti dipimpin Gerindra tapi minus PKB.
Pada sisi oposisi waktu itu, PDIP kehilangan Gerindra namun digantikan PKB,
dengan penambahan Nasdem disamping Hanura dan PKPI.
Melibatkan partai-partai lain, PDIP tentu tak bisa menguasai
Jokowi sendirian. Kemungkinan intervensi Megawati atas Jokowi, sesuatu yang
mudah ditepis dan terlalu konyol dilakukan politikus sekelas Megawati. Isu Jokowi capres boneka, hanyalah cara untuk menggembosi. Anak
proklamator Indonesia yang kharismatik itu, yang telah secara agung menyerahkan
mahkota kepresidenan pada Jokowi, tentu tidak akan menciptakan blunder jika dilihat dari konsisten berpolitiknya. Jokowi yang bukan siapa-siapanya, dan bukan apa-apanya
itu, ketika ditunjuknya menjadi capres, tentu juga sudah dengan berbagai pertimbangan.
Sementara itu Jokowi mengatakan bahwa ia (yang bukan sebagai
politikus murni) hanya menerima tugas kepartaian itu, dan memang semula 'ora mikir'. Ini berbeda dengan Prabowo yang sudah dua tahun sebelumnya 'mikir' agar 2014 bisa mencapreskan dirinya.
Adakah Jokowi seorang ‘lone ranger’? Pejuang sendirian dan
kesepian? Karena sistem dan mekanisme dalam sebuah management tentu
membutuhkan sebuah tim yang kokoh dan solid.
Jika dulu rakyat di luar ring kekuasaan gagal mendapatkan
mimpinya lewat Megawati (1999 usai longsornya Soeharto 1998, Golkar dalam Pemilu 1997 mendapat 72% tapi dalam Pemilu 1999 cuma 24%), mungkin kini
Jokowi bisa lebih diharapkan. Kita tidak membutuhkan lagi satria piningit dan
thethek-mbengek mistik itu. Kita butuhkan manajer dan hardworker (syukur dia
juga die-hard, yang berani melawan tekanan kelompok salah paham).
Jaman berubah. Kita tak memerlukan pemimpin yang se-flamboyan
Bung Karno pidatonya. Kini jaman internet yang multi-way traffic mengajari
effisiensi dan efektivitas. Ini jaman sebagaimana rakyat Inggris bisa duduk
nyaman di trem-trem kota, sementara Perdana Menteri mereka berdiri di pojokan
gerbong sambil baca koran, karena kehabisan tempat duduk. David Cameron tanpa
pengawalan, tanpa protokoler, pulang dan pergi ke kantor, bekerja sebagai
Perdana Menteri Inggris yang digaji oleh rakyatnya, untuk mengatur lalu-lintas poleksosbud
dan mengurusi kesejahteraan rakyat Inggris. Semuanya adalah segala sesuatu yang
biasa-biasa saja. Sebagaimana demikian pula kita jumpai di negeri-negeri yang
peradaban dan kebudayaannya memuliakan rakyat.
Mitos-mitos kepemimpinan Indonesia, tidak lagi bisa bertumpu
pada sejarah-sejarah kemuliaan raja-raja atau mitologisasi dewa-dewa. Kita
berada dalam sebuah abad yang berlari, di mana kebanyakan dari kita masih
lumpuh. Bukan saja karena kaki-kaki mereka diserimpung kekuasaan yang korup,
melainkan juga karena mereka dipasung dalam kerangkeng-kerangkeng ketakutan politis-psikologis.
Demokrasi semestinya adalah kegembiraan rakyat, kegembiraan
rakyat adalah jika mereka diajak serta berpartisipasi, menjadi subyek-subyek
pelaku pembangunan itu. Rakyat bukan hanya sekedar obyek pembangunan, yang akan
membiarkan para elite tampak tulus mengabdi, tapi tanpa mekanisme pengawasan,
orang baik bisa jatuh menjadi koruptor.
Orde Baru Jilid Dua.
Memenangkan Jokowi, menjadi penting bagi mereka yang tidak ingin Orde Baru
jilid II dan Poros Tengah jilid II bersatu-padu menguasai Indonesia. Negara
Kesatuan Republik Indonesia terlalu penting untuk dijadikan eksperimen, yang
keberangkatannya dari iseng-iseng berhadiah. Karena nafsu mengalahkan Jokowi,
dipakai cara-cara yang keji. Hingga yang tak sepaham perlu dituding sebagai
China, Kristen, agen Yahudi-AS-China, dan segala macam keburukan lain, seolah
tak pantas hidup sebagai makhluk Tuhan. Padahal apakah PKS akan bisa sejalan
dengan PAN, PPP, PBB, atau Gerindra, Golkar, Demokrat? Koalisi pragmatis yang
berdasar perkawinan terpaksa ini, tentu juga berbahaya dalam membangun
pemerintahan stabil di masa depan. Dan rakyat yang akan kembali menjadi
penonton.
Ada ruang bagi rakyat untuk mendapatkan presiden yang
memberi ruang partisipasi itu. Sekali pun peran-peran kecil, tetapi rakyat yang berdaya jauh lebih penting. Mereka yang jualan pecel, jualan baksor, sopir taksi, tukang becak, animator, pemandu wisata, pedagang barang bekas, jika bersama-sama mempunyai ruang untuk bergerak dan menggulirkan ekonomi mikro, akan menjadi kekuatan yang besar dan real karena kita adalah bangsa dengan penduduk yang besar. Negeri-negeri dengan penduduknya yang besar, seperti India dan China, pada akhirnya menjadi negeri yang perekonomiannya tumbuh karena kemampuan manajerial pemimpinnya.
Meski bukan perkara mudah tentu saja, karena hal itu harus dikerjakan bersama-sama. Kita tak bisa membiarkan Jokowi sebagai The Lone Ranger, seorang yang sendirian. Kita mesti bersama-sama mengubah situasi stagnan itu menjadi pergerakan bersama, bergerak bersama, dalam gerakan kebersamaan.
Meski bukan perkara mudah tentu saja, karena hal itu harus dikerjakan bersama-sama. Kita tak bisa membiarkan Jokowi sebagai The Lone Ranger, seorang yang sendirian. Kita mesti bersama-sama mengubah situasi stagnan itu menjadi pergerakan bersama, bergerak bersama, dalam gerakan kebersamaan.
Dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, maka
tentu kita membutuhkan akselerasi revolusi mental itu. Mengubah atitude, etos kerja, sikap, dan cara berfikir. Karena tanpa perubahan paradigma, dan stigma, ujung-ujungnya kita hanya puas
untuk mengatakan bahwa orang lain tak sebaik diri kita, orang lain tak sepantas
diri kita, dan orang lain harus dibasmi (apalagi kalau tidak mengikuti kita). Kita kembali ke pola Orde Baru yang penuh stigma dan sekedar main klaim.
Dan orang-orang seperti ini, pasti ketakutan jika mendapatkan
presiden yang mengabdi pada kepentingan rakyat. Mereka lebih nyaman berada
dalam comfortable zone bernama kekuasaan yang tak terkontrol, dan hanya sibuk
dengan pencitraan.
Siapa presiden pencitraan dan siapa presien yang pelayan?
Tentu saja rakyat tinggal mencermati konsistensi omongan masing-masing calon presiden.
Apakah sesuatunya bisa kita mengerti dan setujui? Atau itu hanya sekadar
omongan besar, yang bukan hanya kita yang tak tahu, melainkan mereka sendiri
pun sesungguhnya tidak mengetahui apa yang dikatakannya!
Indonesia terlalu lama dalam orchestrasi music dengan
dirigen yang mahakuasa. Ini jaman sebuah orchestrasi dengan aransemen rock ‘n
roll.
Jokowi, let’s rock ‘n roll!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar