Ijinkan menulis soal perkenthiran mengenai Pemilu 2014 di
Republik Indonesia ini, sebagai upaya untuk berfikir dengan logika merdeka, dan
menolak tidak merdeka, apalagi kenthir.
Dalam nahimunkar.com (17/6) ditulis; “Forum Ulama
Akhirnya Keluarkan Fatwa: Haram Hukumnya Memilih Jokowi-JK”, dan tulisan itu
mudah ditemui di seantero laman internet. Ketua Forum
Ulama Umat Indonesia(FUUI), KH Athian Ali Lc, MA. menegaskan haram memilih
Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019, dan ia menyatakan
secara tegas dan bertanggung jawab di hadapan Allah. Allahuma amin!
Adalah hak saya pribadi menolak ajakan itu, karena FUUI
tidak menyatakan bahwa secara terbuka dan eksplisit bahwa memilih Prabowo-Hatta
Radjasa adalah halal. Dengan logika sederhana saya, tapi merdeka, tidak adanya
pernyataan yang saya harap itu, FUUI tidak amanah. Kalau tidak amanah, gimana
saya mempercayai? Kalau menyatakan kebenaran tapi malu-malu kucing, sungguh
kasihan kucingnya.
Eh, tiba-tiba ada politisi pendukung Jokowi-JK menulis di
FB bahwa “Prabowo Jelmaan Iblis atau Dajjal yang Menyamar Jadi Manusia” (itu
menurut nahimunkar.com., 19/6). Waduh, segitunya, sampai-sampai ada postingan
sang Wimar Witular yang mengatakan bla-bla-bla. Atau postingan gambar cover
Koran Berita Buana tentang “Letjen Prabowo Dipecat dari ABRI” dari Neta S. Pane
di laman facebooknya (13/6) melalui BlackBerry
Smartphones App (hihihi sponsor) dan tulisnya: “OBOR RAKYAT NEWS:
Siapa bilang Prabowo tidak dipecat dari ABRI? Ini buktinya, Berita Buana edisi
Agustus 1998 saat aku jadi Redaktur Pelaksana di koran itu. Lalu, apakah
Jenderal yg sdh dipecat masih pantas jadi presiden? Hati nurani Rakyatlah yg
menetukan 9 Juli besok. OBOR RAKYAT NEWS hanya menunjukkan fakta2 saja dan
bukan memfitnah. Oke Bos....... wakakakkakk”.
Sementara di Tempo.Co (20/6) ditulis berita: “
Khatib Jumat Bandingkan
Prabowo dengan Rasulullah”. Lukmanul Hakim, sang khatib salat Jumat di Masjid
Cut Meutia, Jakarta Pusat, membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan calon
presiden Prabowo Subianto. Dalam khotbahnya di depan ratusan jemaah masjid itu,
khatib mengimbau masyarakat mencari pemimpin yang taat pada Tuhan dan mencintai
rakyat. "Bayangkan Nabi Muhammad, begitu dihargai dan dicintai
rakyatnya," ujar Lukmanul. "Mari doakan agar Pak Prabowo terpilih dan
menjadi presiden," kata Lukmanul dalam khotbahnya, Jumat, 20 Juni 2014.
Khatib yang tinggal di Kampung Melayu, Jakarta Timur, itu pun memuji Prabowo
sebagai figur amanah, layaknya Rasulullah.
Sementara sebagai ketua Tim Pemenangan, Prof. Moh. Mahfud
MD, setelah mendengar pernyataan Wiranto soal pemecatan Prabowo dari militer
dan dugaan pelanggaran HAM, mengatakan,"Sebelum G-30 S
PKI terjadi, ada juga pelanggaran HAM. Umat Islam banyak yang dibantai,
jenderal-jenderal banyak yang dibantai, itu yang bertanggung jawab adalah Bung
Karno sebagai Presiden," kata Mahfud dalam pidatonya. Dan itu membuat
berang Rachmawati Soekarnoputri, yang menjadi salah satu timses Prabowo-Hatta.
Wkwkwkwk, kenthir. Mahfud yang konon dekat dengan NU itu lupa, lewat musyawarah dan bahtsul
masa'il, ulama-ulama NU memberi gelar "waliyul amri dhoruri
bisyaukah" kepada Presiden Sukarno (1953).
Bagaimana
melihat hal ini? Mahfud dalam sebuah pidatonya yang bagus banget, mengatakan
soal siyasah dan agama, yang intinya agama boleh dibawa, jika untuk berjuang.
Problemnya, berjuang untuk memenangkan capresnya dengan segala cara, Prof?
Jangan sembunyikan ayat lainnya yang bisa membantah logika sampeyan.
Soal
politik dan agama, dari sejak jaman dulu memang menjadi persekongkolan kenthir
dan terlalu menghina-dinakan “logika” Allah yang “menciptakan” agama-agama itu.
Yang dipraktikkan di Indonesia, lebih banyak kekenthiran dan mudharatnya,
daripada manfaatnya. Jika kita hanya bersandar pada logika kepentingan, orang
kenthir mungkin lebih mulia, karena dia tak punya kepentingan.
Coba
saja ingat, duluuuuu bagaimana Fadli Zon (detikNews, 20/6) memberikan pernyatan
tertulis (sekali lagi tertulis, Beib) pada 21 September 2012, yang
isinya memuji Jokowi seperti Umar bin Khattab. Tulis Fadli Zon, Umar bin Khattab yang mengunjungi
rakyat di pasar dan rumah-rumah mereka secara langsung, bukan diwakili, begitu
juga Jokowi. Saat mengunjungi rakyat, Umar bin Khattab tidak membawa orang
untuk mengawalnya karena alasan keamanan disebabkan rasa takut. Begitu juga
dengan Jokowi, karena dengan keadilannya memimpin, rakyat mencintai bukan
membenci,…” Qiqiqiqiqi, tentu saja, ceritanya waktu itu Fadli Zon mendorong
Jokowi sebagai cagub DKI Jakarta.
Ditulisnya lebih lanjut, “Umar bin Khattab biasa memakan
makanan/menu yang dimakan oleh rakyat miskin, Jokowi biasa makan di warteg apa
adanya.”
Oh, betapa mulianya para penyanyi ndangdhut yang memamerkan
susu dan udelnya, “Cintaku buta, oh, cintaku pada uang,…”
Siapa tidak ‘kan kenthir melihat penyanyi ndhangdut itu
memuter-muter pantat sambil menjulurkan lidahnya? Tapi saya tetap tidak kenthir
kok. Kalau horny, mungkin.
Pada sisi lain, lembaga Survei Vox Populi: merilis hasil
surveynya “Jokowi Hanya Unggul pada Pemilih Tidak Tamat SD” (Tempo.Co., 20/6), kalah
dari pasangan capres-cawapres, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, di hampir
berbagai tingkatan kelompok pemilih yang disurvei. Jokowi-JK hanya unggul pada
kelompok pemilih yang tidak tamat SD. "Pada tingkatan pemilih tidak tamat
SD, mereka menginginkan pemimpin yang sederhana, pemimpin yang suka blusukan,"
ujar Direktur Eksekutif Vox Populi Survei, Basynursyah, saat memaparkan hasil
survei di Whiz Hotel Cikini, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Jumat
(20/6/2014).
Kita tidak tahu, yang kenthir media yang memuat rilis
survey itu atau lembaga surveynya.
Sementara itu, Burhanuddin Muchtadi dari Indikator mengatakan
di media (emang mau di mana lagi kalau bukan di media? Di kamar mandi? Siapa
yang meliput!), “kelas menengah kita emosional dan mengandalkan persepsi.”
Konteks kalimatnya, ia menyayangkan fanatisme pada Jokowi. Pernyataan yang aneh,
karena Burhanuddin pun juga memakai persepsi. Semua orang yang bekerja di
lembaga survey, tentu saja memakai persepsi. Mereka mempersepsikan sample 1000
orang namun dapat mewakili populasi misalnya. Atau, cobalah Burhanuddin membaca
novel kisah pedang samurai Miyamoto Musashi deh. Persepsi adalah melihat
dengan pikiran. Bukan sekadar pengamatan yang melihat dengan mata. Tetapi pikiran
yang muncul dari kedalaman hati, bukan ukuran emosionalitas semata. Pikiran
yang orisinial atau otentik bisa muncul dalam relasi seperti itu, termasuk pada
yang berada di luar perspektif pikiran mainstream kita. "Ini yang
mengherankan. Kok bisa orang dengan pendidikan tinggi lebih ke Prabowo,"
kata Burhanuddin insinuatif. Bisa kenthir mendiskusikan ini. Indikator apa
coba?
Senyampang dengan itu, “Puluhan Orang Demo KPU Minta
Debat Capres Berbahasa Inggris” (detikNews, 19/6). Massa yang berjumlah sekitar
30 orang itu mendatangi kantor KPU. Mereka membawa spanduk berwarna merah putih
dengan tulisan 'Presiden Indonesia Harus Cerdas Bisa Bahasa Internasional'. Mereka
menilai presiden perlu kemampuan bahasa Inggris yang matang. "Masa mau
pakai bahasa Jawa? Jadi buruh saja harus paham bahasa Inggris, karena bahasa
Inggris itu bahasa internasional," imbuh sang coordinator demo.
"Indonesia harus dipimpin oleh pribadi yang mempunyai wawasan internasional sehinggga kita tidak malu bila presiden kita disejajarkan dengan pemimpin negara lain," tegasnya bersama 29 temannya. 30 orang cing, dengan pemikiran kenthir itu bisa nongol di televise dan media cetak serta online.
"Indonesia harus dipimpin oleh pribadi yang mempunyai wawasan internasional sehinggga kita tidak malu bila presiden kita disejajarkan dengan pemimpin negara lain," tegasnya bersama 29 temannya. 30 orang cing, dengan pemikiran kenthir itu bisa nongol di televise dan media cetak serta online.
Siapa yang kenthir, yang melakukan aksi itu atau media
yang memuatnya? Oh, ini demokrasi Mas, semua mendapat tempat semua boleh ikut
serta dengan percuma, tut, tut, tut, siapa hendak turut!
Hingga betapa mengharukannya, ketika Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono tampak berdiri diam saat keluar dari Gedung Sasana Manggala,
Bandara Halim Perdanakusuma, di Jakarta, Jumat (20/6/2014) sore, setelah
melakukan perjalanan ke Republik Fiji. Sejumlah menteri memutuskan untuk lebih
dulu pulang, padahal dulu sebelumnya baru berani pulang kalau mobil RI 1 sudah
meninggal bandara terlebih dahulu. Politik bisa membuat kita kenthir. “Massa yang besar
lebih menerima daya tarik retorika daripada hal-hal lain,” sabda Hitler sang
fasis, yang agaknya lebih diturut para mulia itu.
Ini sudah semakin menyebalkan.
Kita buktikan, 190 juta pemegang suara dalam Pilpres
nanti, berapa yang ikut kenthir dan yang normal-normal saja. Segeralah 9 Juli
2014, sehingga kita segera memasuki proses kenthir berikutnya, yang bisa jadi
lebih kenthir sekenthir-kenthirnya.
Izin share pak... sangat menarik utk dibaca
BalasHapusSilakan.
Hapus