Kamis, Juni 26, 2014

Pilpres dan Rasionalitas Media


Fadli Zon menuding, Tempo tidak netral dan berpihak (ke Jokowi). Ia merasa keberatan (tentu saja, coba kalau berpihak ke Prabowo). Sementara Tempo menjawab bahwa mereka independen dan profesional.
Topik kita kali ini: Jangankan awam, para awak media pun suka kebingungan memaknai kata-kata netral, independen, tidak berpihak.
Dalam “Element Jornalism”, Bill Kovach dan Tom Rosentiel (terutama dalam ‘Elemen 9’) menuliskan, bahwa jurnalis diperkenankan mengikuti hati-nurani personalnya. Disitulah persoalannya, mengikuti hati nurani. Dalil pers harus membedakan antara berita dan opini, menjadi sumir di sini.
Namun karena ia hendak memproduksi (sekarang muncul pula istilah mem-broadcast) pilihan content, informasi, atau berita ke publik, maka ia mesti memenuhi ukuran atau kriteria keadaban publik, diikat aturan, kode etik, dan berbagai code of conduct yang melingkupinya.
Pada media seperti koran, majalah, buku yang dijual ke masyarakat umum, keberpihakan media dimungkinkan dan dibolehkan. Membeli atau tidak, adalah pilihan. Berbeda dengan televisi di Indonesia, yang bisa diakses gratis.
Namun untuk sampai pada tujuannya “menjual berita”, standar kriterianya tetap. Yakni pada kualitas berita itu sendiri.
Di situ awak media bekerja meyakinkan publik, dengan segala reasoningnya, logikanya, kemampuan memaparkan dan menganalisis akan data dan fakta, dan tentu kemampuan teknis untuk menyampaikan.
Kemenangan Obama dalam pilpres Amerika, adalah juga karena dukungan media, keberpihakan media. Pilihan berita dan editorial mereka, adalah gambaran sikap mereka. Apakah ini salah? Tidak. Karena media juga adalah manifestasi manusia-manusia di belakangnya sebagai bagian dari masyarakat umum dengan segala kepentingannya.
Para netizen journalist, yang lebih personal, relatif lebih bebas lagi, karena disamping mereka non-komersial, tapi juga dikelola individu yang bebas. Di situ tak ada kaitan standar validitas dan kapasitas. Pola interaksinya berbeda dengan media massa mainstream.
Media televisi (juga radio), berbeda dengan media cetak, karena mereka memakai ruang public tanpa kendala. Maka diaturlah dengan berbagai regulasi. Tapi mengapa televisi yang harus netral justru paling tidak netral? Karena dia tidak independen.
Aturan untuk lembaga penyiaran di Indonesia masih sangat lemah. Hanya di Indonesia ketua umum partai politik bisa memiliki media penyiaran yang bebas. Di Negara yang maju, lembaga penyiaran publik diatur sangat ketat. Tak bakal mungkin di sana muncul orang seperti ARB, HT, SP, yang memakai ruang publik seenak kepentingan politik mereka. Beda misalnya jika mereka mendirikan televisi kabel atau TV berbayar.
Apapun posisinya, sebetulnya tumpuannya pada kualitas proses dan hasil kerja jurnalistik itu sendiri. Apakah memenuhi azas-azas jurnalistik yang fairness, seimbang, dan disampaikan dengan pertimbangan pemuliaan publik. Sesuatu yang sangat relatif dan subyektif, tetapi justeru karena itulah harus memakai ukuran standar kualifikasi tertentu.
Jika Tempo atau Kompas, atau berbagai media lainnya, lebih pro-Jokowi, sepanjang mereka bertanggungjawab dan meyakinkan atas pilihannya, maka tergantung masyarakat bersepakat dengan hal itu atau tidak. Tetapi kalau ada jurnalis yang bekerja dibawah tekanan owner yang berbeda pilihan politiknya, bagaimana? Ingat kasus teman-teman di Vivanews milik ARB. Di situ ada kosekuensi pilihan dengan segala resiko-resikonya. Hanya orang aneh saja yang mau tak mau bekerja dengan ambiguitasnya. Kecuali, dengan sadar ia memilih sebagai orang bayaran, sebagaimana ditempuh oleh teman-teman yang sekarang bekerja secara terbuka di media-media online, atau media-media yang secara sadar adalah media propaganda.
Tapi lepas dari baik buruk, tetap saja penilaian masyarakat akan pada kualitas produksinya. Nanik S. Deyang tentu berbeda dengan Mega Simarmata. Sama-sama pro-Prabowo, tetapi orang tetap bisa menilai mana yang lebih baik di antara keduanya. Demikian pula teman-teman yang berpihak ke Jokowi. Dan seterusnya.
Mau dalam bentuk dan posisi manapun, penilaiannya tetap, bagaimana semuanya itu dijalani. Di facebook, sepanjang kita fairness, obyektif, akal sehat, tidak mata gelap, keberpihakan itu lebih bernilai dibanding ketidaknetralan stasiun televisi dalam mendistorsi kebenaran.
Netral atau tidak, independen atau tidak, berpihak atau tidak, persoalannya adalah bagaimana menyampaikannya. Sebagai orang yang mengaku berpengetahuan, kalau Anda melihat ada seorang yang menurut data obyektif buruk, dan bisa berdampak buruk pada masyarakat, apakah akan mendiamkan, bersikap netral, tidak punya opini? Lantas buat apa bekerja atau membuat media? Hanya saja ketika kita hendak memproduksi opini dan mendistribusikannya, bagaimana cara menyampaikan, itu soalnya. Toh hukum pasarnya tetap, kredibiitas dan tanggungjawab sosial.
Senyatanya, walau disebar gratis, Obor Rakyat pada akhirnya menjadi musuh rakyat. Kalau dia bermutu, kenapa harus didistribusi diam-diam dan gratisan? Karena kalau dijual, apalagi secara terbuka, pasti orang juga tidak mau membeli dan menerima produk kualitas rendah.
Persoalan kita adalah soal konsistensi penegakan aturan dan hukum. Dalam pemilu ada aturan dan ada Bawaslu. Dalam jurnalistik ada aturan, kode etik, dan Dewan Pers (untuk radio dan televisi ada KPI). Dalam masyarakat umum ada aturan dan hukum dan ada Polisi sebagai penegak hukum. Masalahnya jika ada pelanggaran di sana, apakah hukum ditegakkan, dan para penegaknya bertindak adil? Itu saja soal sebenarnya.
Bisakah kita netral, dalam segala hal? Tidak bisa. Karena Netral pun sekarang tidak netral. Coba saja bagaimana perasaan kita ketika menyanyikan lagu ‘garuda di dadaku’ karya band bernama Netral itu. Bagaimana melihat idola dalam Indonesian Idol menyanyi ‘we will rock you’ untuk Prabowo?
Mengapa seseorang berpihak ke Jokowi atau Prabowo? Karena masing-masing punya argumentasi yang normal-normal saja untuk itu. Apakah dengan memihak salah satunya maka seseorang tidak netral? Memang. Tetapi sebagai individu independen, masing-masing bebas menyatakan pendapat, tidak dalam tekanan siapapun, dalam bentuk ikatan atau pun bayaran. Dan semua bebas berpihak pada yang diyakininya. Kalau beda jangan sensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...