Fadli Zon menuding, Tempo
tidak netral dan berpihak (ke Jokowi). Ia merasa keberatan (tentu saja, coba
kalau berpihak ke Prabowo). Sementara Tempo menjawab bahwa mereka independen
dan profesional.
Topik kita kali ini: Jangankan
awam, para awak media pun suka kebingungan memaknai kata-kata netral,
independen, tidak berpihak.
Dalam “Element Jornalism”,
Bill Kovach dan Tom Rosentiel (terutama dalam ‘Elemen 9’) menuliskan, bahwa
jurnalis diperkenankan mengikuti hati-nurani personalnya. Disitulah
persoalannya, mengikuti hati nurani. Dalil pers harus membedakan antara berita
dan opini, menjadi sumir di sini.
Namun karena ia hendak
memproduksi (sekarang muncul pula istilah mem-broadcast) pilihan content,
informasi, atau berita ke publik, maka ia mesti memenuhi ukuran atau kriteria
keadaban publik, diikat aturan, kode etik, dan berbagai code of conduct yang
melingkupinya.
Pada media seperti koran,
majalah, buku yang dijual ke masyarakat umum, keberpihakan media dimungkinkan
dan dibolehkan. Membeli atau tidak, adalah pilihan. Berbeda dengan televisi di
Indonesia, yang bisa diakses gratis.
Namun untuk sampai pada
tujuannya “menjual berita”, standar kriterianya tetap. Yakni pada kualitas
berita itu sendiri.
Di situ awak media bekerja meyakinkan
publik, dengan segala reasoningnya, logikanya, kemampuan memaparkan dan menganalisis
akan data dan fakta, dan tentu kemampuan teknis untuk menyampaikan.
Kemenangan Obama dalam
pilpres Amerika, adalah juga karena dukungan media, keberpihakan media. Pilihan
berita dan editorial mereka, adalah gambaran sikap mereka. Apakah ini salah?
Tidak. Karena media juga adalah manifestasi manusia-manusia di belakangnya
sebagai bagian dari masyarakat umum dengan segala kepentingannya.
Para netizen journalist,
yang lebih personal, relatif lebih bebas lagi, karena disamping mereka
non-komersial, tapi juga dikelola individu yang bebas. Di situ tak ada kaitan standar
validitas dan kapasitas. Pola interaksinya berbeda dengan media massa
mainstream.
Media televisi (juga
radio), berbeda dengan media cetak, karena mereka memakai ruang public tanpa
kendala. Maka diaturlah dengan berbagai regulasi. Tapi mengapa televisi yang
harus netral justru paling tidak netral? Karena dia tidak independen.
Aturan untuk lembaga
penyiaran di Indonesia masih sangat lemah. Hanya di Indonesia ketua umum partai
politik bisa memiliki media penyiaran yang bebas. Di Negara yang maju, lembaga
penyiaran publik diatur sangat ketat. Tak bakal mungkin di sana muncul orang
seperti ARB, HT, SP, yang memakai ruang publik seenak kepentingan politik
mereka. Beda misalnya jika mereka mendirikan televisi kabel atau TV berbayar.
Apapun posisinya,
sebetulnya tumpuannya pada kualitas proses dan hasil kerja jurnalistik itu
sendiri. Apakah memenuhi azas-azas jurnalistik yang fairness, seimbang, dan disampaikan
dengan pertimbangan pemuliaan publik. Sesuatu yang sangat relatif dan
subyektif, tetapi justeru karena itulah harus memakai ukuran standar
kualifikasi tertentu.
Jika Tempo atau Kompas,
atau berbagai media lainnya, lebih pro-Jokowi, sepanjang mereka
bertanggungjawab dan meyakinkan atas pilihannya, maka tergantung masyarakat
bersepakat dengan hal itu atau tidak. Tetapi kalau ada jurnalis yang bekerja
dibawah tekanan owner yang berbeda pilihan politiknya, bagaimana? Ingat kasus
teman-teman di Vivanews milik ARB. Di situ ada kosekuensi pilihan dengan segala
resiko-resikonya. Hanya orang aneh saja yang mau tak mau bekerja dengan
ambiguitasnya. Kecuali, dengan sadar ia memilih sebagai orang bayaran,
sebagaimana ditempuh oleh teman-teman yang sekarang bekerja secara terbuka di
media-media online, atau media-media yang secara sadar adalah media propaganda.
Tapi lepas dari baik buruk,
tetap saja penilaian masyarakat akan pada kualitas produksinya. Nanik S. Deyang
tentu berbeda dengan Mega Simarmata. Sama-sama pro-Prabowo, tetapi orang tetap
bisa menilai mana yang lebih baik di antara keduanya. Demikian pula teman-teman
yang berpihak ke Jokowi. Dan seterusnya.
Mau dalam bentuk dan posisi
manapun, penilaiannya tetap, bagaimana semuanya itu dijalani. Di facebook,
sepanjang kita fairness, obyektif, akal sehat, tidak mata gelap, keberpihakan itu
lebih bernilai dibanding ketidaknetralan stasiun televisi dalam mendistorsi
kebenaran.
Netral atau tidak,
independen atau tidak, berpihak atau tidak, persoalannya adalah bagaimana
menyampaikannya. Sebagai orang yang mengaku berpengetahuan, kalau Anda melihat
ada seorang yang menurut data obyektif buruk, dan bisa berdampak buruk pada
masyarakat, apakah akan mendiamkan, bersikap netral, tidak punya opini? Lantas
buat apa bekerja atau membuat media? Hanya saja ketika kita hendak memproduksi
opini dan mendistribusikannya, bagaimana cara menyampaikan, itu soalnya. Toh
hukum pasarnya tetap, kredibiitas dan tanggungjawab sosial.
Senyatanya, walau disebar
gratis, Obor Rakyat pada akhirnya menjadi musuh rakyat. Kalau dia bermutu,
kenapa harus didistribusi diam-diam dan gratisan? Karena kalau dijual, apalagi
secara terbuka, pasti orang juga tidak mau membeli dan menerima produk kualitas
rendah.
Persoalan kita adalah soal
konsistensi penegakan aturan dan hukum. Dalam pemilu ada aturan dan ada
Bawaslu. Dalam jurnalistik ada aturan, kode etik, dan Dewan Pers (untuk radio
dan televisi ada KPI). Dalam masyarakat umum ada aturan dan hukum dan ada
Polisi sebagai penegak hukum. Masalahnya jika ada pelanggaran di sana, apakah
hukum ditegakkan, dan para penegaknya bertindak adil? Itu saja soal sebenarnya.
Bisakah kita netral, dalam
segala hal? Tidak bisa. Karena Netral pun sekarang tidak netral. Coba saja
bagaimana perasaan kita ketika menyanyikan lagu ‘garuda di dadaku’ karya band
bernama Netral itu. Bagaimana melihat idola dalam Indonesian Idol menyanyi ‘we
will rock you’ untuk Prabowo?
Mengapa seseorang berpihak
ke Jokowi atau Prabowo? Karena masing-masing punya argumentasi yang
normal-normal saja untuk itu. Apakah dengan memihak salah satunya maka
seseorang tidak netral? Memang. Tetapi sebagai individu independen,
masing-masing bebas menyatakan pendapat, tidak dalam tekanan siapapun, dalam
bentuk ikatan atau pun bayaran. Dan semua bebas berpihak pada yang diyakininya.
Kalau beda jangan sensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar