orang mantan presiden, Sukarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini, terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya, kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang sangat kharismatik dan macho ini, dan banyak digilai perempuan seantero jagad, tak ubahnya sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Gigi gingsulnya membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa, dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar, menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulung dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah, dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega mengembang berkaca-kaca. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga bapaknya, “Pak, Pak, ini Ega,…”
Tak ada jawaban. Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Sukarno yang telah pecah-pecah, bergerak-gerak kecil. Gemetar. Seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu.
Sukarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka mata. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu, untuk puteri sulungnya. Tapi tubuhnya terlampau lemah, untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Sukarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan. Megawati menjauh dan limbung. Ia segera dipapah keluar.
Jarum jam terus berdetak. Satu-satu. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga. Lengkap dengan senjata.
Malam harinya, ketahanan tubuh Sukarno jebol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Mohammad Hatta, diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya, menghampiri pembaringan Sukarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Sukarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi. Sukarno berkata lemah, “Hatta,... kau di sini?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihan. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui, jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Sukarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur, “Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakan di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Sukarno. Panas menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya itu.
Bibir Sukarno bergetar. Tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan, ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal, “Hoe gaat het met jou,…?”
Sukarno menanyakan bagaimana keadaan Hatta. Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Sukarno.
Sukarno kemudian terisak. Bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis, di depan kawan seperjuangannya. Bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaan. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu, saling berpegangan tangan. Seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini, tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan yang dialami sahabatnya itu. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No,…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Hatta. Ia tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru, yang sampai hati menyiksa bapak bangsa itu. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Sukarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persahabatannya (dengan Sukarno), yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Sukarno, ketika kawannya ini kembali memejamkan mata.
Jarum jam terus berdetak-detuk. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Sukarno semakin menipis. Mendesak ke jantungnya yang kian lemah.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Sukarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Sukarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyama.
Malamnya, Dewi Soekarno dan Karina, puterinya yang masih berusia tiga tahun, datang di rumah sakit. Sukarno belum pernah sekali pun melihat anaknya itu.
Minggu pagi, atau Ahad Kliwon, 21 Juni 1970. Dokter Mahar Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan, seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, dr Mahar Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini.
Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu, waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Sukarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Sukarno menggerakkan tangan kanannya. Memegang lengan dokternya.
Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi, dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek. Tak bergerak lagi. Untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau, tiada terdengar. Kehampaan. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, banyak pula yang membenci. Namun semua sepakat, Sukarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Manusia besar, juga dengan musuh-musuh besar. Dan itu belum tentu dilahirkan kembali, dalam waktu satu abad.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Sukarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno, dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya, Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan, oleh rezim penguasa yang baru.
Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini, dan telah menghabiskan 25 tahun usia hidupnya, mendekam dalam penjara kolonial Belanda, demi kemerdekaan negerinya.
Sukarno, dan gedung ini kemudian menjadi Museum Angkatan Darat, di jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat). Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.
Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut, di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan (dengan obat).
Bung Karno memang dibiarkan sakit, dan mungkin dengan begitu diharapkan, oleh penguasa baru Soeharto, agar bisa mempercepat kematian. Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun, dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekedar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita (www.andists.info).
Ini saya kutipkan tulisan seorang Sukarnois mengenai tanggal 21 Juni 1970; “Pak Karno seda,…” demikian seorang lelaki sedang menangis sesenggukan. Ia mengabarkan pada isterinya, Sukarno, Bung Karno, meninggal. Ia adalah seorang yang mengetahui kondisi dan fisik Bung Karno di Wisma Yaso.
Mereka pun kemudian dengan menumpang kendaraan militer, bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain, kecuali tiga truk berisi prajurit Marinir (dulu KKO). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO, sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono, pernah berkata, “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO!”
Banyak prediksi memperkirakan, andai saja Bung Karno menolak untuk turun tahta, dia dengan mudah akan melibas mahasiswa dan pasukan Jendral Soeharto. Karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya, dan terutama Siliwangi dengan panglima Mayjen Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negerinya. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah, bagi sebuah bangsa yang telah dipersatukannya dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Sukarno harus meninggalkan istana, pindah ke istana Bogor. Begitu turun tahta, tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya, Mayjend Amir Mahmud, disampaikan jam 8 pagi pada waktu Maret 1966, yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang.
Buru-buru Ibu Hartini, istri Bung Karno, mengumpulkan pakaian dan barang-barang yang dibutuhkan, serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang-barang lain semuanya ditinggalkan.
“Het is niet meer mijn huis,… “ sudahlah, ini bukan rumah saya lagi, demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Sukarno pindah ke Istana Batu Tulis , Bogor, sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam karantina di Wisma Yaso. Beberapa panglima dan loyalis, dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan, menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono, secara misterius, mati terbunuh di rumahnya.
Menurut penuturan saksi mata di Wisma Yaso; Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno. Mereka tak tahu, Bung Karno masih di RSPAD sebelumnya, atau dibawa ke Wisma Yaso.
Jenasah Bung Karno, berada di ruangan kamar yang suram di Wisma Yaso. Terbujur mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin, Gubernur Jakarta waktu itu, yang juga berasal dari KKO Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah, serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak-bengkak, dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin ber-AC ,dan penuh dengan alat-alat medis di sebelah tempat tidurnya. Tak ada. Jauh dari itu semua. Yang ada hanya termos, dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam, dipenuhi jentik-jentik seperti nyamuk.
Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tanpa gorden. Dari dalam bisa terlihat, halaman belakang ditumbuhi rumput alang-alang setinggi dada manusia!
Jasad Bung Karno kemudian dipindahkan ke atas karpet, di lantai ruang tengah. Beberapa orang disana, sungkem (membungkuk hormat) kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah Orde Baru juga kebingungan, kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator? Walau Bung Karno berkeinginan agar dimakamkan di Istana Batu Tulis, pihak militer beralasan tetap tak mau mengambil resiko, apabila makam seorang Sukarno berdekatan dengan ibukota.
Maka dipilih Blitar, yang konon kota kelahirannya, sebagai peristirahatan terakhir. Dan tentu saja, Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini. Belakangan diketahui, bahwa tidak benar Sukarno lahir di Blitar, melainkan Surabaya.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, “Bung Karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara-cara yang amat kasar, dengan memukul-mukul meja, dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah, karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan,“ (Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966).
Dokter Kartono Mohamad, yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 Februari 1969 sampai 9 Juni 1970, serta mewancarai dokter Bung Karno; berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan, hanya vitamin B, B12, dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya adalah gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah, tidak diberikan (Kartono Mohamad, Kompas, 11 Mei 2006).
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan, “Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batu Tulis. Salah satu perawatnya, juga bukan perawat, tetapi dari Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat),” (Rachmawati, Kompas 13 Januari 2008).
Apa yang terjadi pada Sukarno, sangat berbeda dengan Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter-dokter dan peralatan canggih, untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Tapi, toh nyawa Soeharto juga tak bisa dipanjang-panjangkan, sebagaimana keharuman namanya hanyalah pendek, sekali pun pemeriksaan dari kehakiman jadwalnya disesuaikan dengan jadwal tidur Jendral Besar itu.
Sukarno, lahir di Surabaya 6 Juni 1901, dan wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970. He is Bung Karno, the Great Man! | Sebagian sumber informasi dari Iman Brotoseno, Andi St., dan beberapa nama.
gi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali, sesederhana semua makam di sekelilingnya.
Sejak subuh, sudah ada sekitar seratusan manusia hidup, berada di situ. Dan semua hanya berada di situ, seolah membatu, tanpa mengetahui sedang “ngapain” mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri, agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.
Kami semua di kota Malang, mendengar tentang Bung Karno yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari, dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan pada sebuah tempat di pinggir kali, di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang, di rumah Bung Karno di Batu Tulis, Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula kuasa rezim Soeharto, yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar, dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya, di daerah Paras Besar. Bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orangtuanya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di sebuah sekolah di Mojokerto, yang kemudian tugasnya (memang) dipindah ke Blitar.
Sore. Matahari tinggal sepenggalan, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Beberapa orang yang berkerumun menunggu, didorong paksa oleh barisan tentara Angkatan Darat, agar menjauh dari tempat pemakaman.
Komandan upacara, Jenderal Maraden Panggabean memulai upacara. Saya (Cak Doel Arnowo, sw), berdiri berdesak-desakan di samping Kapolri Hoegeng Iman Santosa. Kami berbicara saling berbisik, “Ujung paling belakang rombongan ini berada di mana, Pak?” Beliau menjawab singkat, di kota Wlingi. Hah? Panjang iring-iringan rombongan yang mengantar jenasah Bung Karno ini, sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, utara kota Malang, sampai ke Blitar, tiada putus.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung, meski sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!”
Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans yang mengangkut Bung Karno, terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir, seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, mereka ada yang mengaku dari Madiun, Banyuwangi, bahkan dari Bali.
Saya berjalan ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah
Bung Karno, tempat kakak kandung beliau, Ibu Wardojo, tinggal. Hari sudah gelap
dan perut terasa lapar, karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau
minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan
minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan.
Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman, beberapa waktu kemudian, semua makam pahlawan di Taman Pahlawan Sentul dipindah ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan lokasi pemakaman sudah penuh. Tetapi pada kenyataannya, atas perintah Soeharto, kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman, beberapa waktu kemudian, semua makam pahlawan di Taman Pahlawan Sentul dipindah ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan lokasi pemakaman sudah penuh. Tetapi pada kenyataannya, atas perintah Soeharto, kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Kuburannya pun Tidak Boleh Dijenguk | Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum, dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam, harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?
Saya bersama ibu saya, dan beberapa saudara, datang secara mendadak pergi ke Blitar, dengan tujuan utama ziarah ke makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan, dan akhirnya sampai ke pimpinan yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin, dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara.
Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu galak, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu, merasa bertambah gagahnya di hadapan rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres, dan kami mendapat sepucuk surat. Namun apa yang terjadi?
Sesampai di makam, kami turun dari kendaraan dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukkan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya menoleh ke belakang, terkejut saya. Selain rombongan kami sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, rupanya telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol.
Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, menempel secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, tetapi saya ingat, kami memasuki pagar luar, dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang, dan hanya bisa memandang makamnya dari jarak yang mungkin hanya sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami, dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali, dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang mencium tangan kami, membuat saya merasa risih.
Salah seorang dari mereka ini mengatakan, sudah dua hari bermalam di sekitar makam, di udara terbuka, menunggu sebuah kesempatan seperti yang baru saja telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat. Rakyat Marhaen, kata Bung Karno!
Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi pemimpin mereka. Bapak mereka. Apa pun yang disebarluaskan media Soeharto, dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka, itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara. Semua dari lubuk hati. | (Dikutipkan dari pengakuan: Cak Doel Arnowo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar