Sebetulnya ini berita lama, tapi
gara-gara Jokowi, teman-teman yang bekerja di dunia kreatif
audio-visual, terutama para animator, menjadi bersemangat. Berkeliling
ke Bandung, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar,
saya bertemu dengan para kreatif yang bekerja dalam keberisikan yang
sunyi. Mangsud saya, mereka bekerja dalam canda-tawa yang murah meriah
namun luput dari liputan media.
Bayangkan saja, pada Januari 2014, teman-teman animator Yogyakarta, yang tergabung dalam MSV Pictures (mereka adalah para mahasiswa STIMIK Amikom, Yogyakarta, itu tempat kuliah orang berdasi, hehehe), meraih penghargaan di ajang International Movie Trailer Festival (IMTF) 2013 untuk kategori People's Choice Award, menyisihkan 246 trailer film dari dua puluh negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Prancis, dan Australia. IMTF diikuti 246 trailer film dari berbagai negara. "Battle of Surabaya" dipilih 6.580 penggemar anime. Film tersebut unggul 1.869 suara dari saingan terdekatnya "The Two Pamelas" yang diproduksi AS.
Film "Battle of Surabaya" merupakan film adaptasi yang berlatar belakang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Bercerita tentang perjalanan seorang anak yang berprofesi sebagai penyemir sepatu bernama Musa. Anak ini kemudian menjadi kurir surat penghubung antara pejuang dan militan. Battle of Surabaya menceritakan perjalanan ego Musa yang menjadi seorang pahlawan dalam pertempuran pada awal Indonesia merdeka.
Menurut Suyanto (direktur AMIKOM, produser plus penulis cerita BOS), film ini ingin mengangkat cerita bahwa semua orang bisa menjadi pahlawan dengan caranya sendiri. Lantaran hal itu, tokoh dalam film bukan pahlawan super. Tokoh dalam BOS diceritakan mengalami proses menjadi pahlawan yang bisa ditiru dalam kehidupan nyata.
Tema dasar inilah yang dalam spiritualitas kreatif merasa mendapatkan muaranya pada keyakinan Jokowi untuk mengajak anak-anak muda membanjiri dunia dengan kreativitasnya. Peluang untuk memanggil anak-anak muda kreatif yang banyak berkarya di Holliwood, juga dimungkinkan karena selama ini iklimindustri kreatif mendapatkan tantangan dari pebisnis konvensional, yang menutup peluang mereka. Dunia televisi kita saja, lebih suka jalan pintas dan cari untung semata, sehingga kita terkaget-kaget dengan munculnya “Upin-Ipin”, padahal di sini juga ada beberapa anak Indonesia yang terlibat.
Bayangkan saja, pada Januari 2014, teman-teman animator Yogyakarta, yang tergabung dalam MSV Pictures (mereka adalah para mahasiswa STIMIK Amikom, Yogyakarta, itu tempat kuliah orang berdasi, hehehe), meraih penghargaan di ajang International Movie Trailer Festival (IMTF) 2013 untuk kategori People's Choice Award, menyisihkan 246 trailer film dari dua puluh negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Prancis, dan Australia. IMTF diikuti 246 trailer film dari berbagai negara. "Battle of Surabaya" dipilih 6.580 penggemar anime. Film tersebut unggul 1.869 suara dari saingan terdekatnya "The Two Pamelas" yang diproduksi AS.
Film "Battle of Surabaya" merupakan film adaptasi yang berlatar belakang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Bercerita tentang perjalanan seorang anak yang berprofesi sebagai penyemir sepatu bernama Musa. Anak ini kemudian menjadi kurir surat penghubung antara pejuang dan militan. Battle of Surabaya menceritakan perjalanan ego Musa yang menjadi seorang pahlawan dalam pertempuran pada awal Indonesia merdeka.
Menurut Suyanto (direktur AMIKOM, produser plus penulis cerita BOS), film ini ingin mengangkat cerita bahwa semua orang bisa menjadi pahlawan dengan caranya sendiri. Lantaran hal itu, tokoh dalam film bukan pahlawan super. Tokoh dalam BOS diceritakan mengalami proses menjadi pahlawan yang bisa ditiru dalam kehidupan nyata.
Tema dasar inilah yang dalam spiritualitas kreatif merasa mendapatkan muaranya pada keyakinan Jokowi untuk mengajak anak-anak muda membanjiri dunia dengan kreativitasnya. Peluang untuk memanggil anak-anak muda kreatif yang banyak berkarya di Holliwood, juga dimungkinkan karena selama ini iklimindustri kreatif mendapatkan tantangan dari pebisnis konvensional, yang menutup peluang mereka. Dunia televisi kita saja, lebih suka jalan pintas dan cari untung semata, sehingga kita terkaget-kaget dengan munculnya “Upin-Ipin”, padahal di sini juga ada beberapa anak Indonesia yang terlibat.
Jika kita mencermati cerita film BOS, yang skenario dan
penyutradaraan dikerjakan oleh Eryanto Yuniawan, memakai plot yang
diadaptasi dari film-film Hollywood. Film yang diproses hingga dua tahun
ini, melibatkan 70 animator, menarik untuk dipelajari dari
proses-proses yang terjadi di belakangnya.
Bos memberi pelajaran
menarik, karena ia disiapkan dengan sadar sebagai ‘industri kreatif’,
bukan semata “karya kesenian” yang hanya memuja “keindahan”. Film-film
Hollywood menjadi orientasi dari BOS ini. Hingga Suyanto perlu
memelototi buku ‘The Oscar Winners And Box Office: The Secret Of
Screenplay’. Rumusnya: Dimulai dari ordinary world, kemudian call to
adventure, refusal of the call, meeting with mentor, crossing the first
threshold, test ally or enemy, approach, or deal, reward, refusal of
return, road back, resurrection climax, dan return with elixir.
Itulah kenapa dalam kaitan produksi BOS, memakai Bahasa Inggris. “Film live action di dunia itu ada 683, kalau film saya jelek, nomer 684. Sementara film animasi 2D ada 5, sejelek-jeleknya film saya, nomer 6,” kata Muhammad Suyanto, yang berharap film BOS didistribusikan oleh Disney.
Persoalan pokoknya, mana perusahaan film Indonesia yang sudah membuat film worldwide animasi? Belum ada. Kebanyakan hanya membuat pesanan televisi, dan itu pun dengan harga rendah dan kreativitas dikunci. Sebenarnya, Menparekraft Marie E. Pangestu telah mencoba menjelajah dunia industry kreatif, namun Jokowi lebih mempunyai roadmap untuk menjadikan the center of world class animation movie. Dan itu penting untuk dijaga dan ditagih, jika Jokowi menjadi presiden 2014-2019.
Pasar film animasi tahun 2013, mencapai 400 triliun. AS dan Canada mendapat 31%, sementara Indonesia hanya setengah persennya. Jika kita hanya memasarkan film berbahasa Indonesia, kita cuma mendapatkan setengah persen. 99,5% ada di luar Indonesia. Indonesia mempunya kesempatan besar, jika saja kita mempunyai pemerintahan yang mengerti, bagaimana menggerakkan yang kecil-kecil itu untuk menjadi sebuah gerakkan. Itulah makanya, kita tidak membutuhkan leader, pemimpin, tetapi kita membutuhkan manajer yang mampu mengelola kekayaan Indonesia. Di situ, Jokowi menjadi lebih sesuai kebutuhan, dibandingkan type solidarity maker seolah kita masih di jaman perjuangan 1945. Kita punya kekayaan dan kemampuan, tapi tidak bisa mengelolanya, karena politik kita berorientasi pada elitisme.
Kita bisa membangun industry film dengan model culture ideation. Desain bisa Ghibli, tapi semua dasarnya budaya Indonesia yang sangat beragam dan itu investasi luar biasa. Tetapi dibandingkan China, Thailand, Taiwan (pernah juga Malaysia dengan sineas mudanya menggebrak Eropa, tapi kini pudar kembali), Indonesia tidak dipercaya dalam percaturan itu, meski secara individual orang kreatif Indonesia lebih dibanggakan oleh Hollywood. Itu pertanda apa? Pertanda trust pada pemerintah, untuk membangun relationship tidak berjalan. Pendekatan pasar ini, tentu membutuhkan kesadaran baru dari generasi baru, karena para sineas lama tampaknya masih susah mengerti mengenai perubahan ini.
Battle of Surabaya, selain memperoleh penghargaan Winner People’s Choice Award International Movie Trailer Festival 2013, California, Amerika Serikat, sebelumnya juga dinobatkan sebagai Winner INAICTA 2012 kategori Film Animasi oleh Kementerian Kominfo RI. 1st Winner INDIGO FELLOWSHIP 2012 oleh Telkom Indonesia. Dan Nominasi Terunggul kategori Film Animasi ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
yah kalo terus2 an bilang kemampuan indonesia sudah setara dengan hollywood ya nggak bakal bisa maju. dibanding negara2 sekitar...sebenernya indonesia paling ketinggalan. nggak cuman dari pemerintah aja. individu2 nya jg ketinggalan jauh. masa negara yg punya 200 juta orang..yg masuk hollywood cuman hitungan puluhan ?
BalasHapusDan makin ketinggalan kalau yang muncul adalah pesimisme dan sinisme. Tentu saja dari 200 juta tak mungkin 50%nya adalah animator. Puluhan itu sudah sebuah prestasi bagi negeri yang tak punya arah atas grand design pendidikan dan kebudayaan bangsa. Sayangnya untuk sekedar mengatakan Indonesia paling ketinggalan pun Anda memakai identitas "Anonim",....
Hapusbentar lagi indonesia maju neh, kapan neh battle of surabaya di layar lebar, gak sabar menonton kreasi bangsa indonesia
BalasHapus