Gema debat capres masih
melingkupi ruang kita hari-hari ini. Ada tiga kelompok yang bisa disebut. Yang
pro Prabowo menganggap pasangan PS-HR lebih hebat, dan itu biasa. Sama biasanya
dengan yang pro Jokowi memuji-muji pasangan JW-JK, mereka adalah kelompok
fanatic dan setia. Ada juga kelompok skeptis yang menganggap keduanya sama
saja, serta bersikap pasif. Kelompok ketiga, yang secara objektif mampu
berjarak dan menilai pada substansi kualitas kontestan yang berdebat. Tiga kelompok ini bisa dipadatkan lagi
menjadi dua kelompok, yang tetep keukuh dengan pendapatnya, tanpa hirau pada
apa yang terjadi, dan kelompok yang mau mencermati. Meski kelompok kedua ini,
masih bisa dipecah menjadi dua, atau tiga, dan seterusnya, tergantung sikap
yang mereka mau tentukah. Ikut menjatuhkan pilihan, atau tetap saja wait and
see.
Terlibat dalam dinamika politik berbangsa dan bernegara,
dalam pilpres misalnya, masih merupakan persoalan. Karena generasi ini, tidak
memiliki preferensi memadai, bahwa demokrasi adalah kepentingan kita.
Sebagaimana Bertold Brecht mencoba meyakinkan, mereka yang apolitis, sama saja
bersepakat membiarkan kejahatan politik berlangsung. Kejahatan politik bisa
termanifestasikan dalam perilaku kepolitikan kita dalam berbangsa dan
bernegara. Dan itu artinya, memberi keleluasaan pada elite politik bekerja
tanpa pengawasan.
Padahal, dengan dua capres saja, sebenarnya sangat mudah
untuk menilai dan memilih di antaranya.
Perbedaannya sangat tajam dan jelas. Namun yang hitam-putih itu, dalam
politik kita, masih direcoki dengan ukuran-ukuran yang abstrak dan absurd, yang
tidak mempunyai korelasi atau sebaiknya memang sudah tidak penting lagi menjadi
perdebatan. Karena munculnya capres, tentu melalui KPU tidak seperti membeli
kucing dalam karung. Proses penentuan dan pengesahan capres melalui peraturan
dan pengukuran yang sudah disepakati bersama dan correct.
Namun ketidak siapan dalam berdemokrasi, menyebabkan
munculnya banyak pandangan subyektifisme yang didesakkan, karena agenda-agenda
kepentingan masing-masing pihak di kitarannya. Politik kekuasaan kita, masih
dalam era transaksional dan bukan partisipasi.
Ajakan Jokowi agar pilpres menjadi kegembiraan politik,
masih akan menemui hambatan, karena paradigma kepolitikan kita yang sejak
reformasi 1998 justeru menunjukkan keinginan untuk set-back, kembali ke alam
Orde Baru yang mutlak-mutlakkan.
Para pengamat politik dan ahli public speaking, masih tetap
berpegangan pada teori-teori materialistic, dan tak mampu menangkap aspek
spiritualitas yang selalu menjadi inspirasi perubahan.
Dalam debat capres seri I, semua teori itu rontok nyatanya,
meski masih ada yang memasalahkan bahwa tidak articulatednya seorang capres,
berpengaruh negative. Dan ternyata pendapat itu tidak tepat. Feedback yang
tercatat dari Politicalwave menunjuk hal berbeda. Bahwa content jauh lebih penting
dari cara.
“Sepandai-pandainya
orang belajar pidato di John Robert Power, atau di berbagai kursus presentasi,
kejujuran dan kebohongan akan terbaca,” demikian pendapat Jay Wijayanto, Choir
Master di The Indonesia Choir, lulusan Komunikasi UGM, dan salah satu pelatih
vocal yang paling disegani di Indonesia. Orang jujur tidak perlu belajar bicara
di depan umum. Karena kejujuran dan kewajaran selalu membuat orang jatuh hati.
Dan menurut Guruh Sukarnoputra, jamannya berbeda. Anak bungsu Sukarno itu
mengatakan gaya Sukarno dibutuhkan oleh jamannya. Dan ia merasa kasihan pada
siapapun yang sekarang menirukan gaya Sukarno. Kalau soal pemikiran,
relevansinya ada pada substansi pendekatan masalah, bukan pada packaging, yang
membuat Amien Rais jatuh hati dan mengatakan Prabowo adalah ‘Bung Karno Kecil’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar