Plato pernah berujar ‘cinta adalah
penyakit mental yang serius’. Kita tidak
tahu, adakah Plato yang filsuf itu pernah jatuh cinta dan ditolak cintanya.
Tapi, mungkin kita semua lebih filsuf dibanding Plato ketika berkait dengan hal
itu, termasuk dalam cinta buta, cinta melek, dan bahkan benci buta atau pun
benci melek.
Yang pasti,
sikap bodoh akan melahirkan tindakan bodoh, dan perlahan akan ketahuan
kebodohannya itu. Darmawan Sepriyosa sudah mengaku di depan media dan public,
bahwa dia terlibat dalam penerbitan tabloid ‘Obor Rakyat’, sebagaimana demikian
pula Setiyardi, assisten staf khusus kepresidenan biro Pembangunan dan Otonomi
Daerah.
Kenapa
Setiyardi membuat Obor Rakyat? Kita semua sudah membaca pengakuan dia di depan publik.
Di forum diskusi Warung Daun Cikini (14/6), dengan memakai baju kotak-kotak
khas Jokowi dia berkata; "Saya pakai kotak-kotak karena saya warga Jakarta
yang dulu pilih Jokowi waktu jadi Gubernur. Saya juga merasa berhak pakai baju
kotak-kotak seperti ini,…"
Wah sadar
teater banget. Padahal, jika catatan dirinya belum dihapuskan, Setyardi merupakan bagian
dari anggota Tim Sukses Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli di Pilkada DKI 2012.
Sebagai
salah satu ungkapan kecewa maka Setiyardi berinisiatif mencetak tabloid Obor
Rakyat bersama seorang rekannya (Darmawan Sepriyosa). Dia pun menegaskan bahwa
nama asli dia cantumkan di tabloid itu. Sementara Darmawan mengaku memakai nama
samaran karena secara etik jurnalistik dia terikat karena bekerja di media lain,
inilah.com (yang ternyata juga pimrednya adalah Setiyardi, hahaha, makin aneh
logika keduanya).
Setiyardi
menyatakan bahwa Obor Rakyat adalah murni karya jurnalistik. Meski pun dia tak
tuliskan alamat kantor redaksi di tabloid. "Itu karena waktu itu saya
bingung mencari kantor redaksi. Karena masih merintis jadinya saya pikir tak
apa-apa kalau tidak cantumkan alamat. Sebenarnya kami sudah cantumkan alamat di
website, tapi website kami di-hack," kilah Setiyardi, yang hebatnya ngaku minta cuti dari dinas untuk bisa mengelola tabloid 'Obor Rakyat'.
Percaya,
atau mau tertawa? Begitu simple dan naifnya. Sementara keduanya juga membuat
media online dengan nama lain, juga tanpa alamat, yang isinya hanya menghantam
Jokowi.
Pemimpin Redaksi "Obor Rakyat" ini juga mengatakan uang yang digunakan untuk mengerjakan dan menerbitkan tabloid "Obor Rakyat" diambil dari kantongnya pribadi. Dia membantah ada pihak-pihak tertentu yang membiayainya. "Biayanya itu rahasia perusahaan. Itu dari saya sendiri. Ada yang menyumbang ke rekening Jokowi, itu ekspresi rakyat bergembira, sumbangan bisa beragam, ada yang sumbang spanduk, stiker, dan lain-lain. Saya sebagai warga negara menyumbang tabloid," kata Setiyardi (DetikNews, 14/6). Rasanya, ini lelucon paling kocak.
Pemimpin Redaksi "Obor Rakyat" ini juga mengatakan uang yang digunakan untuk mengerjakan dan menerbitkan tabloid "Obor Rakyat" diambil dari kantongnya pribadi. Dia membantah ada pihak-pihak tertentu yang membiayainya. "Biayanya itu rahasia perusahaan. Itu dari saya sendiri. Ada yang menyumbang ke rekening Jokowi, itu ekspresi rakyat bergembira, sumbangan bisa beragam, ada yang sumbang spanduk, stiker, dan lain-lain. Saya sebagai warga negara menyumbang tabloid," kata Setiyardi (DetikNews, 14/6). Rasanya, ini lelucon paling kocak.
Dia
mengatakan staf redaksi yang mengerjakan tabloid ini hanya berdua, dia dan
Darmawan Sepriyossa. Dia mengatakan dia dan Darmawan sendiri yang mewawancarai
beberapa narasumber. Hal itu menurut dia, mudah karena wawancara bisa dilakukan
melalui telepon.
"Saya
maunya tidak hanya ke pesantren. Saya ingin ke semua rakyat Indonesia dan ke
Pak Jokowi juga tetapi kemampuan saya terbatas. Saya berharap ada yang sumbang
saya baik dari tim Jokowi atau Prabowo, supaya saya melanjutkan apa yang sudah
saya rintis," kata Setiyardi (Pikiran Rakyat, 14/6).
Itu karena
sudah ketahuan. Kalau tidak ketahuan? Tentu saja akan diam saja dan terus
mencetak dan menyebarkan Obor Rakyat. Bagaimana bisa ketahuan? Sikap bodoh,
tindakan bodoh, akan segera ketahuan secara sederhana saja.
Terbongkarnya nama Darmawan terjadi karena blunder. Pada
akhir April 2014, Darmawan sempat menghubungi Gun Gun Heryanto, Dosen
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah untuk menulis tentang PDIP buat
tabloid Obor Rakyat.
Gun Gun menyanggupi dan mengirimkan tulisannya karena tak
menyangka bahwa karyanya itu akan dimuat di sebuah tabloid propaganda anti
Jokowi. Begitu Obor Rakyat terbit, dengan segera Gun Gun pun dipersoalkan oleh
kenalan-kenalannya yang menganggap dia sudah menjadi tim sukses Prabowo.
Tak terima dituduh begitu, Gun Gun pun bercerita pada publik tentang sejarah
kelahiran artikelnya.
Dan dengan
mekanismenya sendiri, publik dan media telah sampai pada pengakuan Darmawan dan
Setiyardi. Sementara Bawaslu, Polisi, dan BIN, malah sibuk membuat alibi khas
Orde Baru. Mana yang ini mana yang itu, melakukan buying time.
Setiyardi
Boediono adalah loyalis SBY, teman sekelas Andi Arief yang staf khusus
kepresidenan biro Bencana Alam. Di biro kepresidenan SBY, SB menjadi assisten
Velix Wanggai, staff khusus kepresidenan biro Pembangunan dan Otonomi Daerah.
Setiyardi
pernah mengenyam pendidikan di STT Telkom Bandung, tapi tidak tamat karena
lebih menekuni profesi wartawan. Meski mengaku ‘membenci’ Jokowi namun tidak
memihak Prabowo, Setiyardi sebagai komisaris salah satu BUMN ini, pernah
mengatakan tujuannya mendukung Prabowo-Hatta adalah adalah untuk menjaga kehormatan SBY, dan
tidak mau dianggap berkhianat pada SBY serta jangan sampai PDIP dan Jokowi berkuasa
memenangkan Pilpres.
Namun setelah kasus Obor
Rakyat ini terbongkar, ucapannya berubah lagi.
Bahkan, ke depan, dia
masih berencana terus menerbitkan tabloid "Obor Rakyat". Tidak
menutup kemungkinan dia juga ingin mengkritik Prabowo. Namun, hal itu
menurutnya akan sangat bergantung pada kemampuan finansialnya. Sebelumnya
"Obor Rakyat" diterbitkan 100 ribu eksemplar dan dikirim ke banyak
tempat.
Kenapa
tidak sejak pertama menerbitkan Obor Rakyat tidak sekalian Jokowi-Prabowo
sebagai obyek tulisannya? Alasannya tak kalah simple, waktu itu, baru Jokowi
yang dicalonkan sebagai presiden (menjelang Pileg 9 April). Dan ia pura-pura
tidak tahu, bagaimana Prabowo sudah setahunan lebih mengiklankan diri sebagai
calon presiden di Pemlu 2014. Bahkan, Mahfud MD sendiri terang-terangan pada
pers mengatakan, Prabowo sudah dua tahun menginginkan diri menjadi presiden. Kura-kura
dalam perahu?
Baiklah
dan biarlah. Namanya juga alasan, setidakmutu apapun. Sekelas assisten staf
khusus kepresidenan dan komisaris BUMN bersikap seperti itu, adalah sah. Kita
tinggal menilai pantas atau tidaknya. Mungkin kalau soal kepantasan, agak
sedikit lebih baik yang dilakukan oleh anak Rhoma Irama, yang mengancam akan
pindah propinsi kalau Jokowi nyapres (entah sudah dilakukan belum), atau akan
pindah ke luar negeri kalau Jokowi jadi presiden. Dan sepertinya melanggaran
aturan umum adalah wajar, berbekal kekecewaan pribadi. Kalau seorang Jendral
kecewa karena jagoannya kalah terus nembaki orang sepasar bagaimana, karena dia
tidak bisa bikin tabloid?
Bayangkanlah
tindakan orang di ruang publik bisa se-simple itu. SB mencintai Jokowi (jadi
gubernur DKI) kemudian membenci Jokowi (karena merasa dikhianati, ditinggalkan
nyapres), terus kemudian membuat tabloid, menurut LP3Y, Dewan Pers dan LIPI,
berisi pencemaran nama baik dan bukan karya jurnalistik, menyebarkannya ke desa
dan pesantren, dan kini tetap akan terus (hendak) menerbitkan Obor Rakyat. Bagaimana
itu semua bisa terjadi di negeri Pancasila yang penuh dengan aturan hukum dan
perundang-undangan ini? Itu namanya benci buta karena cinta buta. Atau di sini
Bawaslu, Polri, BIN, dan sebagainya lembaga terhormat itu, juga terlibat dalam
cinta buta dan benci buta?
Maka
meleklah dalam bercinta dan membenci, agar tidak tersesat makin jauh. Soal
pemilu, pileg, pilpres, mestinya masih bisa didekati dengan akal sehat, kecuali
kalau kita tidak punya. Dalam demokrasi, suka dan tidak suka, dukung dan tidak
dukung, setuju tidak setuju, itu biasa, dan tinggal dihitung dalam angka.
Jokowi dibilang mengkhianati Jakarta, tetapi dalam pileg 9 April lalu, PDIP
menang di Jakarta, ini fakta bahwa langkah Jokowi dijadikan capres didukung
dalam perolehan suara rakyat di DKI dengan memenangkan PDIP (setelah dua kali
kalah di DKI).
Ketika
KPU sudah menetapkan Jokowi dan Prabowo resmi jadi capres, tinggal kita lihat
bagaimana keduanya membujuk kita dengan akal sehat. Soal ajakan Anis Matta dan
Amien Rais untuk ‘pilihlah presiden yang tampan dan kaya harta’, anggap saja
itu kampanye hitam yang kehabisan kata-kata. Tetap fokus pada akal sehat,
mencermati performance para capres dan gerak-geriknya, baru kemudian tentukan.
Tak ada kaitannya dengan Perang Badar atau Perang Bharatayudha.
Di
Indonesia banyak orang pinter, tetapi kata Gus Mus, belum tentu yang pinter itu
terdidik, karena soal moralitas itu soal lain lagi.
Karena
cinta dan benci buta bisa membuat kita kehilangan akal. Contoh, misalnya, tim
Prabowo-Hatta akan memolisikan penyebar surat rahasia DKP, soal pemberhentian
Prabowo dari dinas militer. Eh, ternyata diakui oleh Prof. Mahfud MD, dialah
yang memerintahkan menyebarkannya, karena dia tahu bahwa Prabowo diberhentikan
dengan hormat, bukan dipecat. Jadi, siapa yang mau dipolisikan oleh tim hukum
Prabowo-Hatta? Mahfud MD?
Juga
ketika Mahfud Siddiq mengritik rekening untuk Jokowi-JK dari rakyat sebagai
sesuatu yang tak pantas, karena dianggapnya mengemis, kini bagaimana
pendapatnya ketika akhirnya Prabowo-Hatta juga melakukan hal serupa, dengan
yang dinamainya Dana Aspirasi? Cinta buta bisa membuat kita tidak proporsional
dalam bersikap. Jadi? Tenang sajalah, 9 Juli 2014 tetap hak mutlak rakyat untuk
menentukan pendapatnya. Dan mereka jauh lebih banyak dari jumlah elite yang
mengaku mempunyai jutaan pengikut.
Kalau
nanti Jokowi jadi presiden, apakah yang anti mau bikin Negara sendiri dengan
mengangkat Prabowo jadi presiden? Kalau Prabowo jadi presiden, apakah yang
mendukung Jokowi harus dimusnahkan? Itu terlalu lebay binti alay dalam
demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar