Debat Capres
Ke-dua, head to head antara Prabowo-Jokowi (15/6) semakin menjelaskan perbedaan
keduanya. Dan ini perdebatan terunik di dunia, bagaimana perbedaan itu
disatukan dalam framing atau konsep perdebatan yang elitis. Sementara moderator
gagal untuk mengeksplorasi sisi keduanya secara maksimal. Baik karena ruang
waktu yang tidak ideal, dan rumusan pertanyaan normatif yang harus disepakati
terlebih dahulu. Kemampuan seorang professor ekonomi kerakyatan sang moderator,
tidak dimungkinkan.
Kegagalan
moderator kita singgung di awal, karena pendekatan normatifnya, khas para
akademisi menguji para mahasiswanya. Tentu saja bisa dimengerti, karena
moderator sudah diikat oleh tatakrama atau protokoler debat yang one-way-traffic.
Meski pun anehnya, untuk debat sekelas pencarian RI-Idol, tapi diselenggarakan
di sebuah hotel (komersial), dan dalam format tv-program dengan pembagian
segmen-segmen (termasuk segmen untuk commercial breaks, di mana pembicaraan
mengenai visi-misi perekonomian bercampur dengan iklan sabun cuci atau pun
renyahnya makanan ringan). Pagi-pagi sembari mencari siapa bakal pemimpin
nasional kita, kita telah menyerahkan diri pada kuasa pasar modal. KPU sebagai
komisi Negara semestinya bisa membebaskan diri dari segala bentuk intervensi.
Dalam format
debat seperti di atas, kesan yang didapat tentu Jokowi menjadi kurang
artikulatif, sementara Prabowo terasa lebih menguasai panggung. Sementara jika
materi debat itu kita print-out dan breakdown, akan segera tampak, bagaimana keduanya
memang bumi dan langit. Baik dalam cara memahami masalah dan mengatasi serta
mencari jalan keluar bagi masalah itu.
Dari debat
capres pertama hingga pada debat capres kedua kali ini, Prabowo konsisten dengan pandangannya yang elitis. Apalagi dalam persiapan debat ini, Prabowo didampingi beberapa profesor ekonomi daeri beberapa perguruan tinggi. Ia
memakai teori-teori besar, dengan buku-buku besar, dan pada akhirnya tentu
dengan gagasan-gagasan besar, untuk tidak mengatakannya normatif. Hingga, entah tulus atau tidak, Prabowo perlu menyampaikan kesepakatannya pada 'gagasan kecil' Jokowi mengenai pengembangan ekonomi kreatif. Sementara justeru dalam 'masalah besar' seperti TPID (Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah), Prabowo terjebak pada istilah 'daerah' dan menyerahkan pengendalian inflasi pada gubernur atau bupati, padahal persoalan inflasi daerah adalah tugas kewajiban Pemerintah Pusat dalam konsep negara besar seperti Republik Indonesia ini. Terjebak pada teori besar, namun tak menguasai mekanisme lapangan adalah juga sebuah persoalan.
Jokowi melakukan bluffing-quetions dengan 'pertanyaan bodoh', yang jika jawabannya salah bisa terlihat lebih bodoh dari pertanyaan jebakan itu. Karena TPID, yang didirikan pada 2008, melibatkan Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian (yang di dalamnya waktu itu juga termasuk Hatta Radjasa pada periode 2009-2014), dan Kemendagri untuk mensinergikan kerja pemerintah pusat dan daerah dalam memantau dan mengendalikan inflasi daerah. Sebagai walikota Solo, Jokowi pernah mendapat penghargaan sebagai pemimpin daerah yang dinilai sebagai pengendali inflasi terbaik 2012 (saat itu Jokowi sedang hendak maju sebagai cagub DKI Jakarta). Upacara penghargaan waktu itu dilakukan oleh Menkoperek Hatta Radjasa.
Jawaban Prabowo itu pada akhirnya tak mengejutkan, karena ternyata paska debat, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dan Waketum Gerindra Fadli Zon, pun juga mengatakan hal yang sama. Bahwa TPID adalah istilah Pemda, terlalu kecil barangkali jika hal itu dipikirkan seorang presiden. Di situ jelas, Prabowo dan tim-nya, memang hanya tertarik pada ide-ide besar, namun tidak siap (dan mengetahui) bagaimana membangun sistem dan mekanismenya. Presiden adalah berfikir besar, mungkin demikian jargonnya.
Sehingga lagi-lagi Prabowo terjebak blunder lainnya, ketika bersemangat memberikan pernyataan tentang kebocoran anggaran negara. Lepas dari berapapun besarannya, dan valid tidaknya data itu (apakah Rp 7.200 trilyun atau Rp 1.000 trilyun), maka secara tidak langsung tentu nama Hatta Radjasa sebagai Menko Perekonomian harus menjelaskannya. Sebagaimana komentar Mensesneg Sudi Silalahi, "tidak benar itu, tanyakan saja pada Pak Chairul Tanjung atau Hatta Radjasa,..."
Pada sisi inilah, jika sudah menyangkut bangunan sistem dan mekanisme, maka Prabowo akan kukuh pada pandangan normatifnya. Dalam pandangan itu, maka kemudian dari semua jawabannya adalah, segala sesuatu akan baik, jika manusianya baik dan sejahtera. Semua manusia akan bekerja on-the-track jika gaji mereka cukup. Semua berfungsi jika sejahtera. Prabowo tampak menghafal angka korupsi dan kebocoran, namun bagaimana cara menyelesaikan, jawabannya kembali pada jawaban normatif. Semuanya itu bisa ditekan jika gaji dinaikkan. Untuk itu, Prabowo, seperti ditegaskan semalam, berfikir besar dengan kerja besar, dan hasil besar, sebagai modal untuk memperbaiki itu semua. Hingga bahkan untuk memberdayakan masyarakat, ia akan membagi Rp 1 milyar pada masing-masing desa (sementara UU Pemerintahan Desa yang disahkan 2014 menyebut desa mendapat kucuran dana dari pemerintah pusat di atas dari angka yang disebut Prabowo, dengan varian tingkat kemiskinan desa).
Jokowi melakukan bluffing-quetions dengan 'pertanyaan bodoh', yang jika jawabannya salah bisa terlihat lebih bodoh dari pertanyaan jebakan itu. Karena TPID, yang didirikan pada 2008, melibatkan Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian (yang di dalamnya waktu itu juga termasuk Hatta Radjasa pada periode 2009-2014), dan Kemendagri untuk mensinergikan kerja pemerintah pusat dan daerah dalam memantau dan mengendalikan inflasi daerah. Sebagai walikota Solo, Jokowi pernah mendapat penghargaan sebagai pemimpin daerah yang dinilai sebagai pengendali inflasi terbaik 2012 (saat itu Jokowi sedang hendak maju sebagai cagub DKI Jakarta). Upacara penghargaan waktu itu dilakukan oleh Menkoperek Hatta Radjasa.
Jawaban Prabowo itu pada akhirnya tak mengejutkan, karena ternyata paska debat, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dan Waketum Gerindra Fadli Zon, pun juga mengatakan hal yang sama. Bahwa TPID adalah istilah Pemda, terlalu kecil barangkali jika hal itu dipikirkan seorang presiden. Di situ jelas, Prabowo dan tim-nya, memang hanya tertarik pada ide-ide besar, namun tidak siap (dan mengetahui) bagaimana membangun sistem dan mekanismenya. Presiden adalah berfikir besar, mungkin demikian jargonnya.
Sehingga lagi-lagi Prabowo terjebak blunder lainnya, ketika bersemangat memberikan pernyataan tentang kebocoran anggaran negara. Lepas dari berapapun besarannya, dan valid tidaknya data itu (apakah Rp 7.200 trilyun atau Rp 1.000 trilyun), maka secara tidak langsung tentu nama Hatta Radjasa sebagai Menko Perekonomian harus menjelaskannya. Sebagaimana komentar Mensesneg Sudi Silalahi, "tidak benar itu, tanyakan saja pada Pak Chairul Tanjung atau Hatta Radjasa,..."
Pada sisi inilah, jika sudah menyangkut bangunan sistem dan mekanisme, maka Prabowo akan kukuh pada pandangan normatifnya. Dalam pandangan itu, maka kemudian dari semua jawabannya adalah, segala sesuatu akan baik, jika manusianya baik dan sejahtera. Semua manusia akan bekerja on-the-track jika gaji mereka cukup. Semua berfungsi jika sejahtera. Prabowo tampak menghafal angka korupsi dan kebocoran, namun bagaimana cara menyelesaikan, jawabannya kembali pada jawaban normatif. Semuanya itu bisa ditekan jika gaji dinaikkan. Untuk itu, Prabowo, seperti ditegaskan semalam, berfikir besar dengan kerja besar, dan hasil besar, sebagai modal untuk memperbaiki itu semua. Hingga bahkan untuk memberdayakan masyarakat, ia akan membagi Rp 1 milyar pada masing-masing desa (sementara UU Pemerintahan Desa yang disahkan 2014 menyebut desa mendapat kucuran dana dari pemerintah pusat di atas dari angka yang disebut Prabowo, dengan varian tingkat kemiskinan desa).
Pada pemaparan visi-misi, dengan gaya berpidatonya, Prabowo nampak agung. Namun
senyampang dengan itu, bagaimana caranya?
Prabowo tak pernah menjelaskan sistem dan mekanismenya. Pokoknya;
pemimpin harus baik, amanah, bermoral, beragama, berakhlak, maka semuanya akan
selesai. Ada duit ada kualitas, maka politik anggaran selalu menjadi prioritasnya. Prabowo menafikan bagaimana korupsi dilakukan orang pintar, kaya, dan
beragama. Bahkan presiden PKS, partai yang mengaku amanah, ketua umum PPP yang sekaligus
Menteri Agama, Anas Urbaningrum yang santun, Andi Mallarangeng yang pintar, bisa
terlibat dan/atau melakukan korupsi.
Pidato
Prabowo, dengan gayanya, tentu saja bisa memukau bagi yang berada dalam
framing modernisme tentang nilai idealitas. Tetapi sejak jaman 1945 hingga 2014
ini, teori pendekatan modern itu tidak berjalan mulus. Dalam Orde Baru,
perlahan rakyat hanya sebagai obyek, sementara matinya teori-teori modernisme
melahirkan pandangan post-modernisme yang mulai mengenal kata pertumbuhan dan
pemerataan, sebagai sesuatu yang mesti sejalan dengan apa yang dinamakan
partisipasi; di mana rakyat adalah subyek atau pelaku dari pembangunan itu
sendiri. Pada sisi ini, pandangan Prabowo sudah out-of-date.
Pada sisi
lain, dalam gayanya yang tidak artikulatif, Jokowi datang dengan pandangan masa
kini, bagaimana dari semua hal ideal itu ditumbuhkan bersama-sama, bahkan dari
sektor yang kelihatannya kecil, remeh-temeh, namun di sanalah kuncinya. Rakyat
yang harus dibangunkan, entah itu dengan revolusi mental, pendidikan, dan
menyertakan mereka untuk bergerak. Maka untuk itu, semuanya menjadi ‘memang’
sederhana. Yang diperlukan pada abad ini, adalah kemampuan manajerial untuk
menggerakkan suatu system dan mekanisme yang tunduk pada aturan kebersamaan. Entah
itu bernama UU, dan berbagai aturan formal yang dipakai bersama, oleh seluruh
stake holder.
Jika kita
membandingkan dengan RRC (SBY menyebutnya Tiongkok), dengan jumlah penduduknya
yang besar, kemampuan manajerial menjadikan hal itu sebagai nilai tambah, yang
bahkan mampu mengancam perekonomian AS. Beban itu diubah menjadi kekuatan. Rakyat
digerakkan dan bergerak bahkan pada sektor yang sama sekali tidak dijabarkan
oleh Aristoteles atau Habbermas.
Anggap
sajalah kita setuju pada visi-misi ekonomi kerakyatan keduanya. Tetapi
bagaimana pemahaman mereka? Dua gaya pendekatan Prabowo dan Jokowi adalah soal
pilihan kita dalam membaca tanda-tanda jaman. Prabowo lebih dibimbing
teori top-down, yaitu teori yang mengajukan gagasan bahwa proses
pengenalan diawali oleh dugaan mengenai suatu objek, yang diikuti oleh pengenalan
terhadap bagian-bagian objek tersebut, berdasarkan asumsi yang sebelumnya telah
dibuat. Tak jauh beda dengan bagaimana Mafia Berkeley (termasuk kemudian Sumitro
Djojohadikusumo) mendisain Indonesia, ketika mereka menggusur Sukarno yang
disebut sebagai Orde Lama. Namun teori pertumbuhan yang korup dan tak
terkontrol, menjadikan Negara ini sampai hari ini, sejak 68 tahun lalu, tidak
segera menuju ke Negara besar sebagaimana dicanangkan. Yang terjadi hanya pertumbuhan
namun tanpa pemerataan. Ekonomi dikuasai sekelompok elite, yang jumlahnya tak
lebih dari 3% jumlah penduduk Indonesia.
Jokowi lebih
mempercayai teori bottom-up, yaitu teori yang mengajukan gagasan
bahwa proses pengenalan diawali oleh identifikasi terhadap bagian-bagian yang
spesifik dari suatu objek, yang menjadi landasan bagi pengenalan objek secara
keseluruhan. Tentu saja, hal itu membutuhkan perjuangan berat dan mendasar,
karena involusi kebudayaan telah menjadikan sebagian dari kita sering tidak
rasional dan proporsional dalam segala hal. Termasuk dalam kekakuan-kekakuan
menerjemahkan teori-teori pembangunan yang sering terlalu akademik.
Padahal, pada sisi transisional, beberapa ahli teori
berpendapat, dalam sebagian besar keadaan atau situasi, penerapan terhadap
bagian dan keseluruhan objek terjadi secara top-down dan bottom-up,
berlangsung secara besamaan. Jika kita mengandaikan Bung Karno berperan sebagai
solidarity maker dalam kesadaran membentuk nation, Soeharto telah gagal dalam
membangun citizens network (membangun jaringan masyarakat warga). Hingga daya
saing Indonesia, sekarang ini makin keteteran menghadapi Negara-negara seperti
Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. Orde Baru yang elitis, hanya
memandang masyarakat warga sebagai obyek pembangunan dengan Bapak Soeharto
sebagai pahlawan pembangunan. Hingga fase perubahan politik 1998 pun lepas
dari genggaman.
Dalam situasi itu, ekonomi bottom line yang selalu dikatakan
oleh Jokowi, tentu sebuah lompatan besar. Tidak
perlu menunggu adanya kebijakan elite. Semua pihak, masyarakat warga bisa
memulai dengan membangun kantung-kantung perubahan, dan menyusun siasat dalam langkah-langkah
konkret. Pemerintah hanya perlu memberikan ruang itu dengan segala regulasinya.
Mungkin
terlalu naïf menyamakan pemikiran Jokowi dengan Hugo Chavez atau komunike-komunike
Zapatista melawan neo-liberalisme. Tetapi masyarakat memang mesti dibangunkan
jiwa dan raganya, dari tidur panjang sebagai obyek semata. Masa lalu adalah
masa lalu, ia hanya bisa dikenang, tetapi tidak untuk menjawab
persoalan-persoalan hari ini dan mendatang. Rakyat yang berdaya, jauh lebih
penting daripada “pemimpin nasional” dengan segala mistifikasinya, yang selama
ini dibangun dalam dunia maya dan semu. Panggung-panggung politik illusionis,
semestinya memang segera diubah menjadi panggung kerja-kerja nyata. ‘Revolusi
Mental’, seperti disampaikan dr. Karlina Supeli, bukanlah urusan membikin
panggung di mana para selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi
sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan.
Tetapi
tentu semua tergantung rakyat pemilihnya. Menjadi persoalan menarik, apakah tantangan
untuk berani berubah dari Jokowi, mendapatkan sambutan dari rakyat Indonesia.
Sebagaimana di Negara-negara maju, di mana yang dibutuhkan kemudian adalah
seorang manajer dengan semangat hard-worker, yang di Indonesia juga mesti
ditambahkan sebagai seorang die-hard, yang berani memutuskan sesuatu dan
mengambil resikonya, meski harus berhadapan dengan kelompok-kelompok
kepentingan, primordialisme, yang selalu mengatasnamakan kepentingan bersama.
Negeri ini sudah dipenuhi dengan para penyamun, dengan berbagai pakaian dan dalihnya. Rakyat selama ini hanya menonton para elite memainkan teater besar bernama Republik Indonesia. Prabowo vs Jokowi bukanlah mewakili Goliath vs David, melainkan tentang dua pandangan yang satu sama lain memang bertolakan.
Pada
sisi itu, barulah kita akan melihat, ending pertarungan dua kubu berbeda ini.
Pada 9 Juli kelak.
menyimak.. semakin mantap dengan pilihan, mksh.
BalasHapus