Dalam berbagai talkshow TV-One, jika kita cermati berkait
Pilpres 2014, secara terencana mereka sedang menginisiasi karakter capres. Prabowo
berkelas pemimpin, dan Jokowi adalah manajer. Mana yang dibutuhkan Indonesia
saat ini? Impresi yang disodorkan tentu Prabowo adalah jawabannya.
Maka dari sejak pemilihan narasumber dan topik
pembicaraan, tak ada lain selain soal ‘karakterisasi’, ‘kosakata’, dan
‘gesture’ pemimpin yang menjadi target-goal untuk inisiasi itu. Pada sisi ini,
Jokowi tak ada bagusnya, bahkan sampai pada kualitas wajah serta kekuatan fisik
naik gunung. Sampai-sampai, seorang ahli gesture menyimpulkan; bahwa Prabowo adalah
leader, pemimpin, berkelas nasional, spektrumnya lebih luas, sementara Jokowi
terlalu mikro dan hanya berkapasitas manajer. Pemimpin dan manajer itu beda ya?
Lol!
Dalam talkshow politik, Metro-TV relatif lebih berimbang,
karena perdebatan masih terjadi secara lebih setara karena dari mereka yang
terlibat (bukan pura-puranya akademisi tetapi partisan), dan ruang perbedaan
itu masih disediakan. Sementara TV-One (juga ANTV) milik Aburizal Bakrie, memang
sudah diijabkan untuk memenangkan Prabowo dengan segala cara, termasuk jika
kita sudi melihat MNC Group (RCTI, MNC-TV, Global TV) milik Hari Tanoe yang
mendukung Prabowo.
Kita semua tahu, pemimpin dan manajer, secara semantik
adalah sama. Tetapi baiklah, kita ikuti inisiasi media pemenangan PS-HR ini.
Karena bisa diduga, pemimpin menurut mereka adalah hanya dalam konteks politik.
Kepemimpinan nasional menyangkut masa depan harkat dan martabat bangsa dan
Negara. Sedangkan manajer, memang masih dalam kategori pemimpin, tetapi menurut
mereka bukan level Negara. Kesimpulan mereka, Prabowo lebih baik dibanding
Jokowi.
Pandangan itu bisa dimengerti, karena frame atau ukuran,
point of view, yang dipakai adalah pandangan mainstream modernisme konvensional,
walaupun sesungguhnya mulai ditinggalkan dalam teori politik pembangunan masa
kini.
Kepemimpinan masa kini dan masa depan, bertumpu pada
kebersamaan, membersama, tumbuh bersama-sama dan partisipatif. Yang dibutuhkan
adalah kepemimpinan yang mampu menata, mengatur, lalu lintas segala potensi
yang ada itu. Kepemimpinan horizontal yang bottom-up, menjadi jauh lebih
relevan dibanding kepemimpinan vertikal yang bersifat top-down. Pada era
sebelum 1945, sosok Sukarno tentu sangat relevan. Tetapi pada abad 21 ini,
tentu saja spirit Sukarno harus disikapi berbeda. Garis besar pandangan
politiknya, masih relevan. Namun bagaimana mengartikulasikan, sudah semestinya
berbeda.
Setidaknya, pada praksisnya, kepemimpinan yang elitis
sebagaimana dimunculkan dalam perilaku elite politik kita, hanya melahirkan
manipulasi. Dan kepemimpinan yang meyakini bahwa “seribu kambing dipimpin
seekor harimau akan melahirkan seribu auman”, hanyalah konsep ideologi yang
mendudukkan rakyat hanya sebagai obyek, dan tetap saja menjadi kambing congek.
Dengan melihat peristiwa Monas dan GBK Senayan 22 Juni
2014 kemarin, kembali kita dipertontonkan dua hal berbeda. Sebuah penajaman
pada perbedaan yang dipertontonkan dalam debat dan kampanye-kampanye keduanya.
GBK Senayan lebih dipenuhi oleh mesin politik parpol,
sementara di Monas, Jokowi yang cungkring menjadi personifikasi sebuah semangat
perlawanan. Kini saatnya rakyat kembali merebut perannya sendiri, yang selama
ini diwakilkan, diamanahkan, namun selalu diselewengkan kaum elite dan
politikus busuk.
Beberapa ahli marketing, para professional media dan
disain kreatif, pada awalnya pusing melihat Jokowi ini. Apa yang terjadi,
berada di luar teori-teori yang mereka pelajari dari luar negeri. Jokowi it’s
rock ‘n roll, dan itu sesuatu bingits.
Kampanye politik Jokowi, lebih banyak diinisiasi
masing-masing pribadi. Iklan-iklan Jokowi dirancang dan dibuat secara sukarela.
Tanpa bayaran, namun dikerjakan secara kreatif, kolektif, dan professional.
Jokowi menjadi ikon bahwa rakyat adalah pahlawan. Jokowi, sebagaimana dalam
teori film-film Hollywod, semua orang bisa
menjadi pahlawan, dengan caranya sendiri. Lantaran hal itu, tokoh dalam film
bukan pahlawan super. Proses menjadi pahlawan bisa ditiru dan dilakukan dalam
kehidupan nyata oleh siapa saja. Itulah yang kini sedang berlangsung, sehingga
ghirah itu menjadi spiritualitas ideologi mereka. Hingga yang tak peduli
menjadi peduli, hingga yang golput sebagaimana Kill “Juki” the DJ (usai
kemenangan menarik dukungan), dalam gerakan turun tangan, mendukung orang baik.
Yang muncul kemudian
adalah konsep-konsep anti hero, anti marketing, anti teori, karena teori-teori
modern macet, diselewengkan oleh mereka yang mengaku pintar dan educated. Dan
Tuhan bercanda menurunkan seri pahlawan yang baru, yang un-predictable, karena
teori ilmu baru ini belum disusun oleh para professor (mereka masih sibuk
kampanye untuk capres idolanya).
Sekarang saatnya,
Indonesia dikelola seorang manajer, yang pretensi politiknya adalah Indonesia
Raya, dengan segala simbol-simbol dan manifestasinya yang bernama konstitusi,
penegakkan hukum, pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, dan keberpihakan pada
kaum tertindas. Di sana semua orang bisa berperan serta dalam kreatifitas
masing-masing. Tanpa jargon-jargon politik yang bullshit, dan selalu bersandar
pada mitos-mitos ajaib, yang kita tak boleh menginterpretasi apalagi mengontrolnya.
Mistifikasi superhero yang dibungkus ideologi politik atau ideologisasi agama,
bahwa dia bayi ajaib turunan dewa-dewa, mirip rasulullah, satria piningit,
gagah, tampan, kaya,… stop stupided! Sudah selesai.
Apa yang terjadi di
Monas kemarin, menunjukkan semangat itu. Dan itu yang tetap belum saja bisa
dibaca oleh kaum elite, yang memposisikan dirinya berbeda dengan kaum jelata.
Bahkan seorang pengamat politik yang konon terhormat, merasa heran dengan
hubungan emosionalitas yang demikian. Seorang ahli komunikasi politik, tetap
saja mempercayai siapa yang menguasai media dan kata-kata yang akan diuntungkan
pertarungan ini.
Mereka lupa, bahwa
kemenangan Jokowi telah dirancang oleh mereka-mereka yang tidak siap untuk
berubah. Karena mereka bagian dari ketakutan-ketakutan yang tak mau berubah itu.
Indonesia adalah
negeri yang kaya raya, kaya potensi, memiliki SDM yang potensial dan kreatifitasnya
ditakuti dunia. Tapi selama ini, pemimpin yang kita tunjuk bukanlah
manajer-manajer yang baik. Jika dibilang Jokowi cocoknya adalah manajer, memang
itulah yang dicari mayoritas rakyat Indonesia masa kini dan mendatang. Pemimpin
yang bertaniah kepada kepentingan rakyat semata, bukan pada tipikal elite
partai maupun korporasi dunia, hanya karena ekonomi rente.
Pada sisi lain yang
tak juga bisa dinafikan, sama seperti ketika muncul perlawanan pada demagog
bernama Soeharto dengan Orde Baru-nya, dan memuncak pada 1996-1997-1998-1999,
mereka mendapatkan Megawati sebagai simbol perlawanan. Kini, ketika sisa-sisa
bahaya latent Orde Baru itu hendak dimunculkan kembali, mayoritas masyarakat
yang menghendaki perubahan memilih Jokowi sebagai simbol perlawanan. “Cara
mengalahkan Prabowo, adalah dengan memenangkan Jokowi”, demikian keywords
mereka.
Kegeraman dan
frustrasi rakyat, itulah yang tidak disadari para elite modernis kita. Dan
mereka masih membayangkan kita hidup di jaman perjuangan 1945 dulu.
Saat ini, rakyat
sebenarnya sudah punya senjata masing-masing dalam peperangan global ini. Dengan
keahlian bidang masing-masing di level masing-masing. Namun selama ini, yang
namanya pemimpin masih saja berfikir global dan besar, hingga sering sulit
dibedakan dengan besar omong. Padahal yang penting, adalah menggerakkan
kerja-kerja kecil itu. Sebagai pekerjaan besar kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar