Lagi-lagi
kita heboh soal Jokowi melanggar sumpah jabatan. Belum usai menjadi gubernur,
sudah nyapres. Kali ini, jauh-jauh dari Nijmegen (Belanda), Tasniem Fauzia yang tak lain
adalah anak Amien Rais. Siapa pengirimnya, statusnya seperti apa, semua itu akan
menjelaskan konteks isi surat terbukanya.
Kenapa isi
surat yang fokus menyentuh ‘hati nurani’ Jokowi itu ditulis secara terbuka, dan
disebar di dunia maya? Karena yang ingin disentuh bukan nurani Jokowi (karena secara logika hal itu
sudah tidak akan 'ngefek' apapun). Yang diharap, dan ingin digarap Tasniem, adalah
mereduksi tingkat elektabilitas Jokowi, menggoda tingkat keyakinan pemilih
Jokowi (bahwa jagoan mereka tidak jujur, tidak amanah, dan diragukan
kemampuan kepemimpinannya). Tentunya senyampang dengan itu, untuk meneguhkan kebenaran pemilih Prabowo,
sebagaimana Tasniem memuji-muji Prabowo dalam suratnya itu. Syukur-syukur, surat terbukanya itu juga mampu mempengaruhi swing voters yang belum menentukan pilihannya.
Itu
gerak-gerik politik biasa, dan menjadi remeh jika tak pintar memainkannya.
Kenapa
demikian? Karena bunyi surat terbukanya adalah bentuk peraguan pada satu sisi (Jokowi),
tetapi pengaguman pada sisi lainnya (Prabowo). Dan tentu tidak aneh, karena Tasniem
adalah anak Amien Rais yang amat menjagokan Prabowo. Kita semua tahu siapa Amien Rais dalam koalisi
Prabowo-Hatta. Jadi tak ada yang aneh dalam surat terbuka itu, selain soal
ketertutupan wawasan. Jangankan anak Amien Rais, bisa jadi anak Mahfud MD, anak
Said Agiel Siradj, anak-anak para pakar yang pintar dan beragama yang menjadi
timses dan timnang Prabowo-Hatta, akan berbuat serupa juga dengan bapaknya.
Sama seperti agama, dalam politik pun Indonesia masih tak bisa membedakan anak
biologis dengan anak ideologis.
Politik Mistifikasi. Sebenarnya bosan mengulas soal sumpah
gubernur Jokowi, yang selalu dipersoalkan orang. Masalahnya, KPU sebagai lembaga negara yang paling berwenang dalam pilpres, sudah menetapkan Prabowo dan Jokowi sebagai kandidat presiden RI 2014. Jadi apalagi guna menggugat-gugat keabsahan para calon?
Meragukan kemampuan kandidat, dan mengabaikan proses-proses politik (apapun itu) yang telah dilewatinya, dan apalagi memohon untuk digugurkan, dieliminasi, dibatalkan, adalah bentuk kekonyolan karena tidak menghargai silent majority dari 190 juta pemegang hak suara pilpres itu sendiri. Apa hak sebagian orang, sekelompok masyarakat, menilai seseorang pantas dan tidak pantas, mampu tidak mampu, dan bahkan mengindikasikan kehendak agar sang capres mundur atau dimundurkan? Ada upaya-upaya terhadap satu capres dan lainnya untuk menginsinuasi, menggusur atau menggugurkan dengan dasar-dasar yang asumtif dan subyektif. Sementara diabaikan bahwa orang lain di luar drinya, juga mempunyai hak sama untuk berasumsi dan melakukan subyektifikasi, yang tentu bisa sangat berbeda.
Kalau Jokowi melanggar sumpah, kemudian tidak sah sebagai capres, apa tujuannya? Jokowi mundur sebagai capres? Padahal, dengan membacai semua aturan hukum dan
perundangan-undangan berkait dengan pejabat pemerintah, UU Politik, UU Pemilu, UU
Pilpres, maka semuanya akan jelas. Bahwa tak ada aturan hukum yang dilanggar
oleh Jokowi dalam pencapresannya, dan karena itu, oleh KPU ia dinyatakan lulus, serta kemudian
ditetapkan sebagai capres. Sebagaimana Prabowo juga dinyatakan demikian,
sehingga kita akhirnya mempunyai dua capres untuk pilpres 2014.
Mestinya,
logika kita, bagaimana kemudian dua capres ini bekerja meyakinkan calon
pemilihnya. Dengan memakai cara-cara yang dibenarkan oleh aturan permainan dalam pemilu,
yang tidak boleh begini dan begitu. Semuanya jelas.
Namun kenapa, entah itu Tasniem atau yang lainnya, kelompok individu dan kelompok kepentingan, berniat menggugurkan salah satunya, sebelum 190 juta pemegang hak
suara menjatuhkan pilihannya; Mewakili siapa kalian? Sama sekali tidak menghargai
silent-majority, yang mestinya didatangi baik-baik, dan secara elegant,
obyektif. Yakinkan dengan nilai kepantasan seseorang menjadi pemimpin bangsa
dan Negara. Bukan justeru menjatuhkan jagoannya sendiri dengan menebar
desas-desus kampanye hitam.
Tetapi,
dasar kacrut, demokrasi kita adalah demokrasi tahap elementer. Masih melihat
dan memposisikan pemimpin dalam mitologisasi, yang mendudukkan pemimpin adalah segalanya. Maka tak aneh jika yang muncul adalah simbol-simbol kesucian, yang sama
sekali tak terjamah, dan absurd. Pemimpin adalah manusia sempurna, katanya. Padahal,
bagaimana manusia sempurna itu dijabarkan oleh mereka? Amien Rais dan Anis
Matta, dan juga akhirnya Said Agiel Siradj, hanya bisa mengatakan pilihlah pemimpin yang tampan, banyak harta, dan tidak klemar-klemer. Kampanye politik
macam apa itu?
Akhirnya,
dalam tingkatan itu, yang terjadi kemudian adalah kampanye hitam dan kampanye
putih, yang sebetulnya keduanya sama-sama buruk nilainya. Kampanye hitam
bersandar pada fitnah, data tidak penting apalagi bisa diverifikasi. Karena yang mereka pentingkan adalah
efek, impresi, bagaimana hal itu mempengaruhi dan merusak ingatan publik untuk
berfikir rasional. Pada sisi lainnya, kampanye putih menempatkan jagoannya suci
bak malaikat. Seorang yang akan datang dari langit, menolong dunia ini. Hingga
seorang khatib mimbar Jumat di Masjid Meutia Jakarta, menyamakan Prabowo dengan
Rasulullah.
Kesempurnaan
nilai ketokohan seseorang, yang disimbolkan sesuai dengan mimpi bawah sadar
manusia, kemudian menjadi sangat sangat fisik dan tidak proporsional. Seolah
kalau militer dan badannya tegap, itu tegas dan berwibawa, sementara SBY yang dulu memenuhi syarat impian itu, mengecewakan pada pengidolanya (buktinya, perolehan Demokrat dalam pileg 2014 ambruk). Tentu saja, fakta korupsi yang melibatkan elite Demokrat mempengaruhi, namun bukankah itu manifestasi dari hasil kepemimpinan SBY sebagai pemegang tunggal saham Demokrat?
Di situ
orang-orang yang mestinya jadi panutan jadi meragukan, karena merendahkan
dirinya sendiri. Hal itu hanya menunjukkan bagaimana mereka menghamba pada
kepentingan. Menjadi kaum vested interest yang kehilangan obyektifitas. Wajar
saja, karena dia bagian dari tim pemenangan Prabowo-Hatta. Pikirannya menjadi
tidak kredibel karena ada kepentingannya di sana. Mereka pun akhirnya hanya bisa
membawa Prabowo dalam ranah mistifikasi, karena tak mampu membreak-down soal
kualifikasi kepemimpinan pada sosokna. Ada yang nyeletuk, hal itu karena memang tak ada
yang bisa dibreak-down kecuali pemenuhan hal-hal yang fisik dan verbal tadi. Sementara dari sisi visi-misi, kita melihat inkonsistensi karena pragmatisme politiknya yang tampak begitu butuh dukungan dari seluruh penjuru angin. Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit. Dan jadilah koalisi obar-abir yang tercermin pada pandangan politiknya yang reaktif.
Sumpah Jabatan. Kembali pada soal sumpah jabatan Jokowi.
Sebenarnya, pejabat publik yang berhenti sebelum masa jabatannya rampung, sangat
banyak di Indonesia ini, dan bahkan juga di dunia. Kenapa? Karena sistem
rekrutmen dan numerical jabatan dalam bidang pekerjaan apapun, justru menjadikan
hal itu syarat untuk melihat kualitas seseorang. Padahal, semua mereka sebelum
dilantik, disuruh berjanji, bersumpah (dibawah Quran, Injil, Vedha, dan
sebagainya), dan bahkan kalau dalam perusahaan-perusahaan swasta mereka menandatangani
kontrak tertulis. Tetapi dalam siklus kepemimpinan, yang mempunyai potensi dan terbaik akan mendapatkan privilege atas berbagai alasan yang sangat situasional dan strategis.
Dalam
konteks capres-mencapres ini, kita pura-pura tidak mengetahui, bagaimana Gita
Wiryawan mundur sebagai menteri, karena mengikuti konvensi presiden Partai
Demokrat. Sebagaimana dubes Dino Patti Djalal yang (dulu isunya) juga mundur
demi hal yang sama. Sementara, kita juga tahu Hatta Radjasa mundur dari Menko
Perekonomian, karena hendak maju menjadi cawapres Prabowo. Apa kita
memasalahkannya?
Baik, mari
kita lihat lebih jauh. PKS (Partai Keadilan Sejahtera), juga membuat konvensi
internal untuk capres RI (pemilihan raya), yang melahirkan Anis Matta, Ahmad Heryawan, dan
Hidayat Nur Wahid sebagai kandidat capres dari PKS. Namun ketika perolehan suara PKS rendah dalam Pileg, akhirnya mereka berkoalisi dengan Prabowo. Di situ ketiga capres mereka, disodorkan
untuk menjadi cawapres Prabowo. Bahkan, Aher menyatakan ia siap
mundur, sebagai konsekuensi dari jabatannya sebagai Gubernur Jabar, jika terpilih
sebagai cawapres Prabowo. Hal itu menguatkan statemen jauh sebelum
Pileg 9 April, bahwa jika dalam pilihan raya PKS ia diberi amanat oleh
partainya (menjadi capres), ia sudah mengatakan hal itu. Akan mundur dari jabatan
sebagai gubernur, karena mendapat amanah baru dari partainya (hanya beda istilah dengan petugas partai Jokowi).
Kita masih
bisa menambahi kasus-kasus semacam itu pada banyak tokoh. Bahkan pada Amien
Rais sekali pun, ketika maju sebagai Capres 2004 bersama cawapres Siswono Yudhohusodo.
Posisi Amien Rais saat itu adalah Ketua MPR-RI, dan dia harus mundur dari
jabatan publiknya. Sama persis dengan Hidayat Nurwahid, sewaktu nyagub
dalam pilkada DKI Jakarta 2012, ia juga non-aktif dari jabatan publiknya
sebagai anggota MPR. Dan seterusnya dan sebagainya. Apakah kita masih ingat?
Tidak tahu, atau pura-pura sok tahu?
Senyatanya, Jokowi
selama ini tidak mundur dari jabatannya sebagai gubernur DKI. Artinya, Jokowi
tetap adalah gubernur DKI Jakarta. Ini fakta yang sering digelapkan. Ia “hanya”
meminta cuti, dan itu pun sudah mendapat ijin tertulis Presiden RI, sesuai
ketentuan berlaku. Dan kita sama-sama mengetahui kemudian, KPU mengesahkan
Jokowi sebagai capres. Ada yang salah di sana?
Silakan
diudak-udak aturan hukumnya sebagai dasar alasan dan serangan, bukan hanya soal
“tidak amanah karena belum selesai” masa jabatan. Fakta lain, yang juga
diabaikan untuk melihat hal ini. Kenapa masyarakat Solo, yang 90% memilihnya sebagai walikota Solo, tidak protes ketika Jokowi ‘ngacir’ ke
Jakarta, untuk maju jadi Gubernur DKI?
Sebenarnya, untuk mementahkan tudingan 'tidak amanah' dalam konteks ini, sangat mudah. Secara
strategi politik, komitmen membangun Jakarta akan makin dipemudah jika Jokowi
adalah presiden. Karena Jakarta sebagai ibukota Negara, adalah daerah khusus. Diperlakukan secara khusus oleh pemerintah pusat, yang tentu saja ada di Jakarta.
Dalam
pemerintahan Sukarno dan Soeharto, gubernur DKI Jakarta adalah setingkat
menteri, artinya bawahan langsung presiden. Makanya pula, berbeda dengan daerah
lain, empat walikota pembantu Gubernur DKI Jakarta dipilih langsung gubernur,
bukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Kenapa kita tidak protes masalah
ini? Karena bukan kepentingan kita. Dalam beberapa hal, seperti soal kebijakan infrastruktur
DKI Jakarta, berada di pemerintah pusat.
Secara
sosio-ekonomi dan tentunya geografis, Jakarta tidak bisa dilepas sebagai daerah yang
steril dari daerah-daerah penyangga seperti Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi yang berada di dua propinsi Jawa Barat dan Banten). Masalah banjir dan
kemacetan lalu-lintas, membutuhkan penanganan dan kebijakan yang terintegrasi satu sama lain. Tak
bisa dilepaskan dari faktor-faktor daerah itu. Pada kenyataannya, Jokowi sendiri
mengalami jalan buntut, ketika upaya penanganan banjir membutuhkan koordinasi dengan daerah penyangga. Masalah pembebasan
lahan daerah resapan, masalah hulu-hilir 13 sungai yang melintasi Jakarta, penanganan waduk atau bendungan di wilayah lain yang berimplikasi ke
Jakarta, gubernur Jakarta tidak mempunyai kewenangan.
Para kepala
daerah Jabodetabek justeru terjebak pada ego sektoral. Kerjasama
antardaerah tidak operasional, padahal ada Keppres di sana. Hanya presiden yang
mampu mengatasi itu, menyatukan kerjasama antardaerah, yang diam-diam bersaing. Jokowi justru mempunai jawaban, jika dirina jadi presiden, maka masalah banjir dan kemacetan jauh lebih cepat diselesaikan.
Bunyi sumpah
Jokowi waktu dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta, “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi
kewajiban saya sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Memegang teguh UUD Negara RI 1945 dan menjalankan segala UU dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti pada masyarakat, nusa dan
bangsa,…”
Tidak
ada yang secara spesifik menyebut periodesasi, kecuali kita hanya mau debat
kusir. Tapi intinya bukan itu. Janji Jokowi untuk selama 5 tahun memimpin
Jakarta, dalam video kampanyenya yang dulu dipakai sebagai iklan gelap untuk menjatuhkannya,
adalah dalam konteks menjawab kekhawatiran warga Jakarta yang “tak mau” ditinggalkan Jokowi.
Padahal, apakah Jokowi meninggalkan warga Jakarta? Tidak. Ia masih secara sah dan
definitif sebagai Gubernur DKI Jakarta 2012-2017, dan Ahok sebagai wakil gubernur kini adalah Plt, pelaksana tugas. Semuanya dijamin dan diatur undang-undang. Di mana salahnya? Aspek etika, moralitas? Yang seperti apa itu?
Setuju dan Tidak dalam Demokrasi. Dari walikota menjadi gubernur, adalah
wajar dan masih bisa diterima akal sehat. Dari gubernur menjadi presiden,
adalah juga wajar. Saya tidak ingin mencontohkan bagaimana sebagian besar
presiden AS sebelumnya adalah gubernur (dan ketika mereka nyapres, tentunya
masih sebagai gubernur). Namun saya ingin ingatkan, soal proporsionalitas itu,
karena ada gubernur Sumsel yang masih menjabat, tetapi ikut dalam kontestasi
cagub DKI Jakarta (2012). Tentu saja dia cuti, namun bayangkan nilai substansinya
di situ? Ada juga wakil walikota mundur untuk maju menjadi calon gubernur
(Surabaya, dan kalah), ada pula wakil bupati yang maju jadi calon wakil bupati
di daerah lain, padahal masih menjabat. Betapa kacaunya. Begitu juga misalnya dari gubernur maju menjadi walikota. Atau presiden seperti SBY, yang kemudian oleh Anas Urbaningrum diusulkannya maju menjadi cawapres dalam Pilpres 2014 ini.
Tetapi
semuanya itu dimungkinkan oleh undang-undang dan peraturan kita. Karena fakta
politik kita mau tidak mau akan berada dalam situasi itu. Pada sisi yang lain, bagaimana logikanya
kalau semua pejabat “mesti” menyelesaikan tugasnya sesuai waktu periode
jabatan, sementara proses Pemilu atau pergantian kepemimpinan harus dilaksanakan dalam periode pemerintahan yang masih sah berjalan? Maka tidak akan terjadi sirkulasi kepemimpinan secara
berkesinambungan. Karena yang boleh maju hanya calon yang tidak sedang menjabat
dalam jabatan pemerintahan. Yang boleh maju hanya para "pengangguran" dan itu artinya menutup peluang potensi kepemimpinan yang dijamin oleh konstitusi berlaku bagi semua anak bangsa? Logika kita ditantang untuk mendiskusikan ini secara jernih dan matang.
Maka
untuk menghindari penyempitan kesempatan, dan agar adil bagi semua anak bangsa,
siapapun boleh mencapreskan asal memenuhi syarat yang diatur dalam UU
Pilpres. Di sana tidak ada larangan bagi pejabat publik dan pemerintah untuk
ikut serta, karena hak azasinya sebagai warga Negara dijamin konstitusi. Hanya saja tentu
ada aturan khusus, mereka mundur atau cuti dari jabatan. Yang demikian itu, adalah aturan
demokrasi pada hampir semua Negara yang menghargai hak azasi, bahkan juga untuk
Prabowo sekali pun yang diindikasikan ini dan itu.
Jadi
apa yang dilanggar Jokowi soal itu? Memang tidak ada. Lha, kalau kemudian yang
dipersoalkan aspek moralitas, amanah dan sebagainya, kita harus melihatnya
secara berbeda. Yakni dari sisi strategi politik dan strategi pembangunan. Dari
dua hal itu, jika memenuhi syarat, maka dia mempunyai pembenarannya.
Buktinya,
meski Jokowi sebagai gubernur hendak maju capres, perolehan suara PDIP sebagai
pendukung (dan penyebab pencapresan Jokowi), justeru naik di DKI Jakarta.
Sepanjang sejarah pemilu, PDIP baru menang di Jakarta tahun 1999, sementara
dalam 2004 dan 2009 keok. Dalam masa Orba, PDI bahkan sama sekali tak pernah
menang di Jakarta. Apakah ini bukan berarti keputusan PDIP ('mencomot' Jokowi menjadi capres) tidak didukung oleh mayoritas warga DKI Jakarta? Sementara menjadi aneh, jika yang sewot adalah bukan warga DKI Jakarta.
Kemenangan
PDIP dalam pemilu 2014 di DKI Jakarta, adalah bukti bahwa ada pendukung Jokowi untuk maju
capres (karena keputusan Megawati dilakukan sebelum Pileg). Ini fakta politik
yang tak bisa diabaikan. Bahwa dalam politik, ada yang setuju dan tidak setuju
adalah lumrah. Siapa yang jumlahnya lebih besar, itu yang menang. Sekali pun
pihak yang kalah kemudian tak boleh disingkirkan, tetapi yang angkanya lebih
kecil harus ‘mengikut’ keputusan yang banyak. Itu dalil demokrasi yang
paling sederhana.
Anehnya, di Indonesia, kalau
kalah banyak kecenderungan justeru mentang-mentang, dan menganggap
itu bagian dari demokrasi. Seperti surat terbuka Tasniem itu, lepas apakah ia warga DKI Jakarta atau bukan. Namun toh juga pendapatnya mendapat
sanggahan dari sesama mahasiswa yang juga kuliah di luar negeri (Ahmad Room
Fitrianto, anak petani Staf
pengajar Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, yang tengah studi doctor
di Perth, Australia; lihat tulisannya di Kompasiana, 27 Juni 2014) yang mengapresiasi dan mendukung Jokowi. Itu bukti bahwa tidak ada absolutisme
kebenaran dan kesalahan dalam proses demokrasi itu. Semuanya lebih merupakan pertarungan. Pertarungan gagasan siapa yang lebih banyak diterima dan dikritisi, di luar
masalah-masalah track-record yang sangat nyata perbedaannya antara Prabowo dan Jokowi.
Tentu
saja ada yang menolak Jokowi maju jadi capres, dan tetap menginginkannya jadi gubernur, karena
beralasan belum selesai masa tugasnya. Tetapi jangan lupa, ada yang mendukung gubernurnya
jadi capres, dan jumlahnya mungkin lebih banyak. Apakah itu tidak boleh
didengar juga? Masyarakat Betawi banyak yang menolak Jokowi jadi gubernur DKI,
tetapi ada juga masyarakat Betawi yang memilih Jokowi, dan nyatanya Jokowi
menjadi gubernur DKI Jakarta. Karena apa? Karena Jokowi menang dalam proses pilkada itu. Apakah itu salah? Kini ada masyarakat yang menolak Jokowi
jadi presiden, dan ingin tetap Jokowi menjadi gubernur, padahal bisa jadi ini adalah
barisan yang dulu menolak Jokowi jadi gubernur. Bagaimana melihat hal ini?
Itulah politik, utamanya politik kepentingan di Indonesia, yang menanggalkan
rasionalitas dan proporsionalitas. Asal benarnya sendiri.
Mendapatkan Amanah Baru. Karena Tasniem selalu mengatakan soal
hati nurani, ketulusan, dan nilai-nilai keagamaan yang agung, marilah kita juga
ikut-ikutan untuk melihat masalah ini seperti perspektifnya, sebagai anak ahli
agama dan politik.
Merujuk
hadis sahih Bukhari (nomor hadis 6.132), “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Samurah ra, dia berkata: Nabi Saw pernah bersabda kepada saya, “Hai Abdurrahman
bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi jabatan
atas permintaanmu, maka kamu akan memikul beban yang berat, tetapi jika kamu
diberi jabatan tanpa kau minta, maka kamu akan diberi pertolongan. Apabila kamu
mengucapkan sumpah akan melaksanakan sesuatu, kemudian kamu mengetahui sesuatu yang
lain yang lebih baik, maka bayarkan kaffarah untuk menebus pembatalan sumpahmu,
lalu laksanakan sesuatu yang lain yang lebih baik tersebut.”
Jika
kita membaca hadis tersebut, Kanjeng Nabi Muhammad shallahllahu allaihi
wassallam sudah menjelaskannya dulu kala. “Apabila kamu mengucapkan sumpah akan
melaksanakan sesuatu, kemudian kamu mengetahui sesuatu yang lain yang lebih
baik, maka bayarkan kaffarah untuk menebus pembatalan sumpahmu,…” It’s very
simple, sayangku!
Apakah itu kaffarah, ajaklah para ahli agama mendiskusikannya.
Jokowi adalah gubenur yang diajukan oleh PDIP, dan didukung oleh
Gerindra. Tetapi sebagai kader partai PDIP (sejak Jokowi sebagai walikota
Solo), Jokowi tunduk pada aturan partai. Ia menjadi calon gubernur DKI Jakarta
juga karena ditunjuk partai. Ia menjadi capres juga ditunjuk partai. Apakah ia menjadi
boneka partai dan lebih-lebih boneka Megawati? Nyatanya tidak. Track-recordnya
menunjukkan, ia pejabat publik yang patuh, disiplin dan konsisten pada
konstitusi. Dan lebih dari itu, ia tunduk dan bertaniah pada rakyat di mana ia
mengabdi. Kita bisa melihat perjalanan kariernya sebagai walikota dan gubernur. Baginya, pejabat publik adalah pelayan kepentingan masyarakat. Bukan
pada partai, bukan para ketua partai, atau pada para cukong. Kebijakan
publiknya, sudah terasakan untuk itu. Dan ia memiliki prestasi serta reputasi.
Waktu kita mendengar jawaban “ora mikir” berkali-kali,
karena memang Jokowi sama sekali tidak berfikir mengenai pencapresannya, karena
ia adalah gubernur, dan tidak bercita-cita sebagai presiden. Sementara kita
bisa melihat, bagaimana ada orang mendirikan partai politik untuk menggapai
kekuasaan. Ada orang mati-matian menjadi ketua umum partai untuk meraih
cita-cita tertingginya. Semuanya dengan uang. Apakah ini fitnah? Semua bisa
dikonfirmasi. Prabowo mendirikan Gerindra, dan berapa duit sudah dihabiskan
untuk itu. Dengan mata telanjang juga kita tahu, biaya pasang iklan di televisi
dan media cetak, sejak mengikuti konvensi presiden partai Golkar 2004, pastilah tidak kecil. Hashim
Djojohadikusumo, adik Prabowo, bahkan secara terbuka mengakui soal biaya politik
yang sudah dikeluarkannya. Demikian pula bagaimana Aburizal Bakrie berjuang,
agar menjadi ketua umum partai dan kemudian mencapreskan diri, jauh sebelum
yang lain mencapreskan diri. Prabowo dan ARB, adalah dua orang yang sudah
mencapreskan diri jauh sebelumnya, lebih dari dua tahun sebelum pileg 9 April
2014.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri, yang oleh
keputusan kongres partainya mempunyai mandat mutlak untuk menentukan capres,
justeru menunjuk Jokowi, “anak kemaren sore”, anak kost PDIP, belum dikenal
dalam pentas kepolitikan nasional. Padahal, dibandingkan Prabowo dan ARB pun, Megawati yang
sudah berdarah-darah sejak 1996 di PDI, dan adalah juga anak biologis serta
ideologis Sukarno, mempunyai alasan sama sahnya untuk menjadi capres. Kenapa? Megawati sudah mengintrodusir dalam sebuah acara televisi yang dipandu Najwa Shihab, bahwa mata hatinya untuk Indonesia Raya.
Kemenangan
Rakyat Mutlak. Pada Pemilu 2014 ini, rakyat Indonesialah pemenang pemilu yang sejati. Minimnya perolehan suara partai-partai politik peserta pemilu, menunjuk betapa kecilnya tingkat
kepercayaan rakyat pada partai. Dalam survey-survey politik, Jokowi yang
justeru bukan orang atau petinggi partai, malah muncul sebagai pemimpin
alternatif. Dan Megawati sebagai ketua umum partai pemenang pemilu, tak
bisa membendung kemenangan rakyat itu. Jika ia tak mewadahi arus bawah soal
Jokowi, PDIP juga akan celaka karenanya. Jumlah perolehan PDIP dalam pileg hanya 18%, tak mampu mengalahkan suara golput yang mencapai 24%.
Jokowi menjadi simbol kemenangan rakyat dan sekaligus kekalahan partai politik. Partai politik sebagai ruang pembelajaran dan rekruitmen kepemimpinan sipil, belum juga menunjukkan hasilnya yang meyakinkan. Elite politik, justeru menjadikan parpol sebagai kendaraan kepentingan mereka sendiri. Dalam berbagai survey, parlemen merupakan lembaga negara paling korup. Beberapa elite politik yang berada dalam lingkar kekuasaan selalu berada dalam lingkar korupsi. Dan senyampang dengan itu, parpol tak mampu melahirkan tokoh-tokoh internal partainya menjadi pemimpin dari kalangan sipil.
Justeru nama-nama yang mengemuka, datang dari luar partai seperti Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Risma Trimaharini (Walikota Surabaya), ... (Bupati Bantaeng), dan juga Jokowi sendiri (mulai dari walikota Solo). Mereka semua adalah orang-orang dari luar partai yang kemudian direkrut untuk menjadi jagoan partai dalam kontestasi pilkada.
Jokowi sebagai fenomena, mampu menggerakkan semangat rakyat untuk ikut dalam pesta demokrasi ini, tanpa memandang partai politik pilihan mereka (dalam pileg sebelumnya). Jokowi mampu menembus batas dan ruang partai. Ia menjadi tokoh lintas partai, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai survey, mereka yang dalam pileg memilih parpol di luar PDIP adalah juga pemilih Jokowi sebagai presiden. Dan hal itu ditunjukkan, bagaimana Jokowi mampu menghilangkan simbol-simbol partai dalam pertemuan akbarnya sebagaimana dilakukan di Monas, Jakarta (pada 22 Juni 2014). Pada waktu yang sama, saat itu di Gelora Bung Karno Senayan, kubu Prabowo-Hatta juga menyelenggarakan pertemuan akbar, namun ghirahnya tampak berbeda tajam. Dari segi jumlah serta kemeriahan, pertemuan di Monas mampu mengalahkan kampanye akbar yang diselenggarakan kubu Prabowo-Hatta. Dalam pertemuan GBK, simbol-simbol partai begitu semarak dan dipenuhi seragam-seragam kelompok pendukung. Sementara pada pertemuan di Monas, masyarakat warga datang sendiri-sendiri tanpa koordinasi dan mobilisasi, tanpa bendera dan atribut partai. Jokowi menjadi simbol yang direpresentasikan sebagai 'kita', presiden rakyat dan lahir dari rakyat. Kata 'rakyat; di sana menjadi penting, karena ia menjadi simbol perlawanan atas 'elite' yang selama ini diberi amanah rakyat, namun sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi tidak memberi ruang partisipasi pada rakyat. Bahkan, pertumbuhan yang selalu dibanggakan oleh para ekonom pemerintah, tak benar terasakan karena tiadanya pemerataan.
Kenapa Jokowi menjadi alternatif kepemimpinan baru Indonesia?
Wajar saja, karena ia meyakinkan rakyat, bahwa dia seorang pekerja, pelayan
rakyat. Ia berbeda dibanding elite kekuasaan yang selama ini ada. Dari Solo hingga Jakarta, model dan prestasi kepemimpinannya melesat
bak meteor. Ia alternatif baru, karena ke luar dari mainstream dan mindset seorang pemimpin yang elitis.
Dan para elite politik terperangah. Mereka tidak sadar diri,
bahwa itu yang dicari rakyat. Mereka justru mengejek cara-cara Jokowi hanya
mencari popularirtas, pencitraan. Namun nyatanya, dalam pilpres ini,
model-model Jokowi kemudian diikuti, Fadli Zon, pengejek Jokowi paling wahid, mengikuti
blusukan ke pasar-pasar. Demikian juga kemudian Prabowo dan Hatta dalam kampanye politiknya. Tetapi apakah auroranya dapat?
Jokowi menjadi meteor karena ia mempunyai prestasi. Dan
prestasinya itu menjadi sorotan masyarakat dunia yang direpresentasikan lewat media
international. Apakah ini semua rekayasa, bahkan Jokowi membeli media? Karena perlu
meyakinkan isu itu, maka dibangun teori konspirasi. Bahwa Jokowi adalah agen
ini dan itu. Agen dari isme-isme dunia yang satu sama lain bertentangan secara diametral, tapi anehnya bisa sama-sama menjadikan Jokowi sebagai agen. Itu benar-benar fitnah
yang stupid, karena pada sisi yang lain justeru memposisikan Jokowi sebagai superhero yang bisa menyatukan dunia yang tercerai-berai. Bayangkan ia dituding sebagai Agen Amerika tapi sekaligus Agen China, Agen Komunis tapi juga Agen Freemason. Ia dituding Agen Yahudi sekaligus Agen Syiah, Agen Konglomerat serta sekaligus Agen Sukarnois.
Bagi yang paranoid dan berfikir jelek, maka yang ada
hanyalah referensi kejelekan. Karena jika sudah demikian sikap kita, di dunia
ini tidak ada yang bisa kita percaya. Dan tidak ada yang baik karena bukan
saya, bukan kita. Untuk itu, mereka bisa kita benci.
Semua prestasi Jokowi, hanya
akan dilihat sebagai pencitraan, tidak murni. Sementara bagi mereka yang mendukung
Prabowo, tidak bisa menunjukkan secara jelas, di mana prestasi Prabowo?
Faktanya, karir kemiliterannya kandas, karena diberhentikan dengan hormat.
Kenapa diberhentikan dengan hormat? Tentu karena ada tindakannya yang
menyebabkan ia diperlakukan seperti itu. Namun situasi transisi Orde Baru waktu itu yang tak jelas mana kawan dan lawan, menyebabkan pemberhentian dengan hormat ini dirasa tidak tuntas. Amien Rais
yang waktu itu sebagai pahlawan reformasi 1998, berteriak ke mana-mana, untuk
menuntaskan masalah, “Prabowo Harus Dimahmilkan”, karena Prabowo memang sampai kini
belum menjalani sidang militer sebagaimana direkomendasikan Komnas HAM, dengan
melihat surat DKP soal kasus Prabowo. Komnas HAM sudah mengirimkan hasil penelaahan atas kasus itu pada Kejagung (2005), namun sampai kini juga belum ada tindak lanjut. Prabowo dalam kasus ini sebenarnya juga dirugikan, karena digantung nasibnya.
Penutup. Politik
di Indonesia itu, apalagi di tahun 2014 ini, adalah politik kelas rendahan.
Karena orang yang tidak sepaham dan sekepentingan boleh kita hina dan musuhi.
Sebagaimana Amien Rais yang sebelumnya menghina-dina Jokowi, tetapi karena
elektabilitasnya sebagai capres naik terus, ia pun kemudian ngomong bahwa Hatta
Radjasa pantes sebagai cawapres Jokowi. Namun begitu kepentingannya gagal,
kembali Jokowi dihina-dinanya, sebagaimana kemudian hal itu diteruskan oleh
anaknya Tasniem.
Dan itu menyedihkan. Sama menyedihkannya ketika Amien Rais
mengatakan; siapa yang bisa menemukan pernyataannya di media (“Prabowo Harus Dimahmilkan!” seperti headline Republika, Mei 1998),
maka dia akan jalan kaki Yogya-Jakarta PP. Dokumen soal pernyataan itu kini
sudah ditemukan, dan diposting di banyak media. Apakah beliau akan jujur, dan
amanah, menjalani janjinya? Jalan kaki Yogya-Jakarta PP?
Dari sana kita bisa mengerti. Pemahaman seseorang mengenai
apa itu politik, dan apa itu berpolitik, dengan segala macam sikap-sikap
politiknya, bisa membuatnya mulia atau remeh semata. Sekali pun mereka
sebelumnya adalah orang yang pintar dan tawadu. Beberapa nama bisa kita sebut untuk membuktikannya. Tetapi rasanya terlalu penting untuk menyebut nama-nama itu.
Dan karena "tiba-tiba" Jokowi nyapres, maka tampaknya ia menjadi sasaran tembak.
Kalau beda jangan sensi.