"Kali ini KPK salah. KPK itu juga
manusia, manusia bisa salah, hanya Tuhan yang tidak bisa salah,"
demikian kutbah Rizal Mallarangeng mengomentari penahanan Andi
Malarangeng, kakaknya, yang terbelit kasus Hambalang.
Jika kita
memakai logika Celly (RM) ini, kita akan ikut sesat pikir. Pertama tentu
maklumilah kegundahan beliau sebagai adik atau bagian dari marwah
keluarga. Tapi mengatakan KPK adalah juga manusia, sama seperti ketika
orang bersalah dan dirinya (atau pembelanya) mengatakan "kita manusia
biasa, manusia biasa bisa salah, hanya Tuhan yang tidak bisa salah".
KPK tentu saja bukan manusia, semua orang tahu. KPK adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi, lembaga negara yang dibentuk dan dijalankan oleh
suatu sistem, aturan, yang tentu saja dipikirkan dan dijalankan oleh
manusia.
Pernyataan Celly me-nonsens-kan sistem yang ada di sana.
Jika sistem bekerja dengan baik, dijalankan dengan taat aturan dan
diawasi atau diaudit secara ketat, maka dari sanalah kita harus menilai
atau mengukurnya. Bukan karena soal manusia atau bukan.
Kenapa
menilai "lawan kepentingan" dengan dalil normatif, dan kehilangan
keadilan serta daya kritis? Kita mengatakan, itulah manusia. Tapi pada
mesin uang bernama ATM, kita percaya saja dan tidak cerewet ketika
mengambil uang disana. Baru complain kalau kartu ATM kita ketelen, atau
"lho, kok saldonya minus,..." Tapi toh itu semua akan bisa diurus
(dengan manusia pegawai bank), jika semua datanya valid? Jika begitu,
apa masalahnya? Sistem dan mekanisme yang teratur bukan?
Manusia
bukan mesin. Karena itu, Akil Mochtar bisa berkata dia ke Singapura
untuk menonton Formula One. Misalnya itu benar, itu pun tentu akan jadi
persoalan (etik). Hakim agung, negarawan, nonton balap F1 ke Singapore?
Nanti pasti ada yang menjawab; "hakim 'kan juga manusia biasa, butuh
hiburan,..." Iyalah, kalau luar biasa, tentu tidak korup!
Bagaimana
kalau kenyataannya, seperti pengakuan TCW yang disampaikan pengacaranya,
bahwa Akil Mochtar memang bertemu dengan Ratu Atut di Singapura untuk
membicarakan kasus sengketa Pilkada? Mana yang manusia dan mana yang
bukan manusia?
Kilah manusia ini di sisi lain juga bisa untuk
melecehkan fungsi manusia pada sebuah lembaga. Sebut contoh misalnya,
ketika "lawan-lawan politik" atau pembenci Jokowi-Ahok. Setahun memimpin
Jakarta, ada kritik bahwa keduanya tidak punya ide orisinal. Semua itu
warisan Ali Sadikin, Sutiyoso, Foke, dan seterusnya. Tapi di sisi lain,
kalau ganti pejabat ganti aturan, kita marah-marah. Hei, apa sih maumu?
Adillah dalam berfikir.
Penilaian itu benar banget. Jokowi-Ahok pun
terbuka mengatakan itu. Memimpin Jakarta itu mudah, wong semua sudah
dipiikirkan bahkan sejak puluhan tahun lampau. Masalahnya, kenapa tidak
berjalan dan tidak ada eksekusi? Orang disebut eksekutif karena dia
bertugas mengeksekusi. Jika tak ada keputusan apapun, eksekutif macam
apa?
Mindset kita tentang pejabat negara, mengidolakan dia bukan manusia tetapi dewa, manusia setengah dewa atau setengah malaikat.
Padahal, mestinya dari presiden, menteri, anggota parlemen, itu memang
manusia biasa dalam konteks mereka bekerja sebagai manusia, di dalam
sistem yang dipikirkan dan dibuat untuk kemaslahatan bersama. Itu saja.
Jokowi-Ahok bisa jadi dicintai dan didukung justeru karena mereka
manusia biasa, bekerja secara biasa, sebagai pekerja, sebagai pelayan.
Manusia biasa adalah manusia yang tidak complex. Sementara Celly tampak
belibet banget dengan bahasa dan istilah-istilah, yang kesimpulannya
sudah final, bahwa pihak lain salah. Itu pikiran kepentingan, sama
seperti Amien Rais, dan para pengritik Jokowi-Ahok. Kecenderungannya
sama, kehilangan perspektif, dan jadi tidak proporsional. Kelak, jika
jaman peradaban ini makin computerized, akan lebih nyaman kita punya
presiden berjenis robot?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar