Kita sudah mendengar, bantahan Akil Mochtar,
Ketua Mahkamah Konstitusi yang dicokok KPK dalam dugaan kasus suap
(2/10). Bahwa dirinya tidak menerima suap, dan tidak mengenal dua orang
yang menemui di rumah dinasnya pada malam pencokokan itu. Nanti kita
bisa melihat, jika KPK bisa membuktikan tuduhannya dan memperdengarkan
rekaman percakapan AM dengan relasi suapnya itu. Dan dari sana, kita akan tahu, manusia seperti apakah AM ini.
Dalam sebuah wawancara, seorang hakim konstitusi menjawab; Apa yang
dialami oleh AM adalah cobaan Allah yang maha pengatur. Manusia harus
tunduk pada takdir itu. Jawaban tersebut, sangat religius tentu saja,
tapi sekaligus sangat menyebalkan. Kalau hakim saja mengkambing-hitamkan
Tuhan, terus mau apalagi? Manusia diberi akal dan budi dibanding
makhluk ciptaan yang lain, untuk memuliakan kehidupan dan peradabannya.
Tapi, justeru karena itu manusia sering mengakali penciptanya.
Kewenangan yang tinggi dan tak terawasi di MK, adalah peluang terjadinya
penyelewengan. Tak ada sistem dan mekanisme yang bisa menolongnya.
Sistem rekrutmen hakim konstitusi ke MK, pada jaman SBY justeru makin
membuat MK rentan dengan penyelewengan. Diangkatnya AM, kemudian Hamdan
Zoelva, dan apalagi Patrialis Akbar (semuanya dari usulan pemerintah
alias Presiden), membuat wibawa MK makin merosot. Berbeda dengan ketika
dipimpin oleh Jimly Ashidiqie dan Mahfud MD.
MK merosot ketika
kemasukan orang partai politik (AM, HZ, PA). Padahal banyak ahli hukum
konstitusi yang lebih kredibel dan independen dibanding mereka. Lihat
pidato Patrialis, mewakili MK, ketika KPK mengadakan konpers. Pernyataan
Patrialis mencerminkan seorang yang partisan, sama sekali tak ada aura
hakim agung yang semestinya berkelas negarawan, non-partisan. Kelasnya
tetap saja kelas orang parpol yang pretensius dan tendensius, tapi tidak
prestisius.
Abuse of power terbuka ketika MK juga (atas desakan
DPR) menangani kemelut Pilkada. Maka triangle permainan, dengan
kewenangan mutlak MK, jadi tak terkontrol antara DPR (biasanya sebagai
perantara, mesenger, atau berkait dengan kepentingan partainya), pihak
yang berkasus (entah peserta Pilkada yang menang maupun yang kalah,
keduanya punya kepentingan), dan MK yang putusannya final, mutlak, dan
tak bisa diganggu-gugat.
Apa yang terjadi pada AM, adalah fakta. Ia
berasal dari daerah yang sama (dengan si pekasus), Kalimantan Tengah.
Mesengernya sama dari Golkar (tempat AM dulunya berasal). Mengapa kasus
Gunungmas persidangannya dipimpin AM? Bukan oleh hakim konstitusi yang
lain? Itu sistem dan mekanisme yang mengundang. Manusia disuruh berfikir
untuk menciptakan sistem yang baik dan menghindari kejahatan. Tapi
manusia sendiri yang menolak.
Kewenangan hakim konstitusi yang
bersifat mutlak, karena menganggap sebagai wakil Tuhan, tapi tanpa
menciptakan sistem pengawasan dan pengawalan, adalah omong kosong. Bukan hanya karena tak ada manusia sempurna itu, tapi juga karena tak adanya suatu sistem dan mekanisme, dari sejak rekrutmen hingga bagaimana lembaga itu mempunyai peranan mutlak. Justeru pada sisi itulah, karena tak ada manusia yang sempurna, maka sistem, mekanisme, manajemen kontrol atau pengawasan dan pembatasan yang harus diperketat. Tanpa itu, tentu saja kita tak bisa menemukan logika penguatnya.
Sama persis waktu Megawati mengomentari ketika hendak meresmikan
lembaga MK pada jaman pemerintahannya, "Bukankah mereka pada akhirnya
juga mewakili individu-individu yang tidak bisa terlepas dari
kepentingan personal? Kepada siapa mereka harus bertanggung jawab,
apabila tugas yang sangat penting untuk mengawal konstitusi itu kemudian
dirusak oleh orang per orang?" Dan kita tahu, di MK tak ada Dewan
Kehormatan dan Pengawas. Usulan KY sebagai pengawas ditolak karena
independensi. Sementara by design, partai politik menelikung (lewat
berbagai amandemen dan perubahan UU) dengan memasukkan orang-orangnya,
termasuk dalam menggembosi peran KPK dalam beberapa wewenangnya.
Hakim Agung sebagai wakil Tuhan? Dari Hong Kong? Ni ho mai?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar