Itula...h hebatnya manusia, suka mengklaim, padahal hanya mengetahui bahasa manusia, padahal tidak menguasai bahasa hewan dan tumbuhan, dan bahkan mungkin sangat tidak menguasai bahasa Tuhan.
Ketidakterbatasan dalam keterbatasan itu, adalah salah satu dari sumber kenapa mimpi menjadi ada, mimpi menjadi lebih indah dari kenyataan, mimpi menjadi sumber motivasi dan harapan. Bung Karno dulu senantiasa berkoar-koar, bermimpilah, bermimpilah, bermimpilah!

Rumusnya sederhana, kenyataan memang (bisa datang) dari mimpi. Tapi, mimpi-mimpi tetaplah hanya bisa hadir dari kenyataan, untuk dinyatakan. Puncak tangga adalah puncak tangga semata, tetapi ketika kau injak anak tangga satu-persatu, kau bukan hanya akan memandanginya, melainkan memegangnya, menguasainya, merasainya.
Menyatakan mimpi itu mudah, ketika hanya di angan dan mulut. Tapi menyatakan dalam makna 'menjadikan nyata', harus dibangun dengan langkah-langkah nyata, langkah-langkah yang terorganisasi. Mengerti kemampuan diri (baik menyadari kelemahan, empan-papan, atau berkeras belajar dan menekuni), mengatur langkah dan menentukan tujuan, mengetahui route perjalanan untuk me-nyata-kannya. Semuanya itu membutuhkan 'EO' di dalam diri kita untuk mengaturnya, mengorganisasi agar satu-sama-lain bisa bekerja sama. Jangan seperti para politikus dan pejabat negara kita saat ini, tak punya mimpi dan tak bisa bekerja sama, itu sungguh-sungguh sangat buruk. Atau bisa jadi masing-masing punya mimpi, hingga satu-sama-lain tak bisa bekerja sama. Itu juga jika di dalam diri kita mempunyai begitu banyak mimpi, dan kita tak mampu mengorganisasikannya. Mana dulu nih, mimpi mengakhiri masa jomblo atau mimpi punya bra yang agak gedean dikit? Kalau yang terakhir itu mimpi seorang lelaki, perlu deh check-up ke psikolog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar