Hidup sering tak terpermanai. Teringat membaca
koran beberapa waktu lalu, tentang sebuah survey di Australia, betapa
politikus, wartawan, lawyer, masuk dalam lima besar yang terendah
mendapatkan kepercayaan publik, tentu saja publik di Australia. Teringat
sebuah survey di Indonesia, kepercayaan rakyat pada wakil rakyat di
Parlemen kurang dari 50%. Ini survey bayaran? Rakyat membayar surveyor, atau sebaliknya?
Bukan lantaran nasionalisme yang tipis, duhai Amin Rais, atau sinisme
yang terlalu tebal, tetapi rasa-rasanya tiada perbedaan. Dan mungkin
bukan hanya negeri ini, melainkan di banyak negeri. Entah itu nun di
Timbuktu tempat kakek-moyang Donald Bebek, atau di antah-berantah
lainnya lagi.
Ketika kenaikan harga ini-itu hanya menjadi komoditas
politik, terasa bagaimana berjaraknya angka-angka itu dengan nilai-nilai
yang dipahami oleh rakyat miskin Indonesia, karena para ahli ekonomi
hanya sibuk mengotak-atik angka statistik.
Ini sebuah fase
kepemimpinan yang parah, meski dengan iming-iming angka pertumbuhan 6
persen (mulu), meski subsidi anggaran naik dari 200-an trilyun menjadi
300-an trilyun rupiah. Angka yang mengiurkan mengingat konon untuk biaya
kampanye politik nasional pada 2014, sekitar 5 trilyun rupiah pun
terasa sudah sangat mewah, dan Hashim Djojokusumo menyiapkan Rp 100
trilyun untuk mengantar sang kakak ke Istana Negara. Ini kisah negeri
tongkat kayu dan batu jadi tanaman, namun betapa harga kedelai begitu
mahal, sementara absurditas kita disodori harga mobil murah. Dan menteri
perdagangan siap mengundurkan diri, bukan karena tanggungjawab atas
kegagalan, namun karena kehendak mencapreskan diri.
Negeri permainan kata-kata.
Tapi, kita mesti melewati hari-hari yang buruk ini. Dengan sisa
kesabaran yang menipis. Bahwa akan ada masanya, semuanya lewat, menemu
fajar pagi tiba. "Di mana-mana aku selalu dengar, yang benar juga
akhirnya yang menang," demikian gumam Pram dalam sunyi yang bergemuruh
di dada, "Itu benar; Benar sekali. Tetapi kapan? Kebenaran tidak datang
dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar,..."
Ya, sebagaimana ujar sang maestro Sukarno; barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun ke laut yang dalam!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar