
Bukan lantaran nasionalisme yang tipis, duhai Amin Rais, atau sinisme yang terlalu tebal, tetapi rasa-rasanya tiada perbedaan. Dan mungkin bukan hanya negeri ini, melainkan di banyak negeri. Entah itu nun di Timbuktu tempat kakek-moyang Donald Bebek, atau di antah-berantah lainnya lagi.
Ketika kenaikan harga ini-itu hanya menjadi komoditas politik, terasa bagaimana berjaraknya angka-angka itu dengan nilai-nilai yang dipahami oleh rakyat miskin Indonesia, karena para ahli ekonomi hanya sibuk mengotak-atik angka statistik.
Ini sebuah fase kepemimpinan yang parah, meski dengan iming-iming angka pertumbuhan 6 persen (mulu), meski subsidi anggaran naik dari 200-an trilyun menjadi 300-an trilyun rupiah. Angka yang mengiurkan mengingat konon untuk biaya kampanye politik nasional pada 2014, sekitar 5 trilyun rupiah pun terasa sudah sangat mewah, dan Hashim Djojokusumo menyiapkan Rp 100 trilyun untuk mengantar sang kakak ke Istana Negara. Ini kisah negeri tongkat kayu dan batu jadi tanaman, namun betapa harga kedelai begitu mahal, sementara absurditas kita disodori harga mobil murah. Dan menteri perdagangan siap mengundurkan diri, bukan karena tanggungjawab atas kegagalan, namun karena kehendak mencapreskan diri.
Negeri permainan kata-kata.
Tapi, kita mesti melewati hari-hari yang buruk ini. Dengan sisa kesabaran yang menipis. Bahwa akan ada masanya, semuanya lewat, menemu fajar pagi tiba. "Di mana-mana aku selalu dengar, yang benar juga akhirnya yang menang," demikian gumam Pram dalam sunyi yang bergemuruh di dada, "Itu benar; Benar sekali. Tetapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar,..."
Ya, sebagaimana ujar sang maestro Sukarno; barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun ke laut yang dalam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar