Indonesia
saat ini, memasuki dunia informasi. Namun senyampang dengan terjadinya
revolusi teknologi informasi, tidak terjadi perubahan sikap karena
memang tak ada akselerasi (percepatan, penyesuaian pertumbuhan) literasi
media pada masyarakat kita.
Tingkat penetrasi media, sampai hari ini yang terendah masih pada buku (artinya tingkat pengaruh karena kredibilitasnya). Sementara jika dulu handphone dan televisi mencapai penetrasi tertinggi, kini hal itu dipegang oleh media internet. Celakanya, tingkat penetrasi media itu, tidak berbanding lurus justeru dengan kualitas akurasinya.
Secara revolusioner, internet telah mengubah alur komunikasi lisan dan tulisan menjadi begitu rupa dan riuh-rendah. Tak ada lagi subyek-obyek, karena semuanya bisa dengan sendirinya menjadi subyek. Tidak ada otoritas, superioritas, dan bahkan kontrol. Siapa saja boleh melakukan apa saja. Munculnya media-media seperti facebook, twitter, blog, website, dan lain-lain bentuk yang mudah diakses serta dioperasikan, melahirkan euforia tersendiri. Dari era Soeharto yang membelenggu ke era internet yang membebaskan. Tak ada situasi transisi.
Lompatan media itu, tanpa disertai daya kritis bermedia (karena kita mengalami progress yang un-linier), informasi menjadi bias karena ia lebih banyak menyampaikan opini daripada data. Kalau pun ada data, maka itu adalah data yang dibangun dari opini, dengan apa yang disebut rekayasa komunikasi.
Kita lihat, media-media internet begitu mudah menjadi tidak obyektif dalam pengertian tidak berimbang. Yang muncul kemudian media kacamata kuda. Semuanya berpusat pada subyek, tanpa pembanding. Kemudahan dalam mengakses, juga membuat siapa saja memakai hiden-name, nama palsu, dan identitas yang disembunyikan. Padahal, menyembunyikan identitas, dalam relasi komunikasi menjelaskan rendahnya tingkat tanggung-jawab, dan memudahkan penghindaran akan resiko (bahasa bodohnya: tidak jantan, atau tidak betina jika perempuan).
Kita ingat, belum lama lalu, terjadi perang kata-kata di twitter antara Jimmly Asshidiqie vs Mahfud MD. Jimmly menuding Mahfud menerima suap, dia punya data. Ketika diserang balik Mahfud, dan hendak dikonfrontir, Jimmly kemudian mengaku data itu tidak akurat, karena didapat dari email yang ditujukan padanya.
Banyaknya media menamakan diri pembawa panji Islam atau Kristen (dan agama lain), tetapi kadang isinya tidak secara amanah mencerminkan etika berkomunikasi, yang pasti sangat dijunjung oleh agama masing-masing. Hal itu menunjukkan validasi dan preferensi tidak berjalan di sana.
Perang informasi saat ini, memunculkan banyak cyber troops (pasukan dunia maya), yang bisa bikin miris, karena dilakukan oleh siapa saja, yang teknis menulisnya pun tidak meyakinkan (padahal memakai media tulis). Sering tulisannya belepotan, datanya tidak terverifikasi (dan penulisnya memakai nama atau identitas palsu).
Dengan penulis tidak terlatih, dan pembaca yang juga tidak terlatih (karena sepanjang Orde Baru kita tidak dilatih dalam media literacy), maka daya kritis untuk mencermati kebenaran informasi menjadi rendah. Orang mudah percaya pada informasi palsu atau hoax, bluffing, diving, dan persis ciri manusia rural (di) urban, lebih menyukai gossip dan bahkan mengimbuhi dengan persepsi masing-masing. Mudahnya copy-paste dan re-broadcast membuat disinformasi membola-salju.
Perang informasi jadi lahan empuk pada masyarakat seperti Indonesia saat ini. Meski rekayasa berita kadang juga bisa tanpa sengaja membocorkan dirinya sendiri. Seperti kasus TV One, ketika memberitakan kasus tangkap tangan AM dan CN oleh KPK (2/10). Dalam acara breaking news yang dilangsungkan live itu, mungkin produser berita atau host lupa kalau mereka on-mic, suara mereka bocor ke publik. Ketahuan di situ, bagaimana TV One melarang reporter dan hostnya menyebut, bahwa AM atau CN itu dari Golkar (partai pemilik TV One, ARB), padahal kedua orang itu memang dari Golkar. Untuk apa?
Perang informasi, dalam masyarakat yang tidak kritis, tentu saja cenderung menjadi perang pencitraan, dan penuh rekayasa. Baik yang beridentitas (seperti TV One dan ARB), maupun yang beridentitas palsu, mempunyai kemungkinan berbohong, tidak obyektif, atau melakukan pembiasan. Dan masyarakat media kita, tak sedikit yang persis seperti Rhoma Irama, dalam kasus Pilkada DKI 2012 dulu. Waktu itu, Rhoma menuding ibu Jokowi beragama Kristen, hanya lantaran membaca internet, dan katanya, "Itu informasi saya baca dari internet. Kalau dari internet 'kan sahih,..."
Seyogyanya hati-hati dalam menyikapi berita di internet, apalagi tulisan yang bersumber dari sebuah blog, facebook, twitter, situsweb yang membolehkan penulis memakai hiden-name. Akurasi data kadang juga harus dilihat dari keberanian penulis menunjukkan identitas. Kita yang membaca dari internet, jika tidak hati-hati bisa diombang-ambingkan perang informasi dunia maya ini. Disamping itu tentu saja, jangan hanya mengandalkan satu sumber semata. Cross check dengan sumber-sumber lain, lihat apa kepentingannya. Jadilah pembaca dunia maya yang cerdas, hingga tidak mudah terjerembab dalam jebakan Batman. | Sunardian Wirodono, menjelang gerakan korban 15 Oktober 2013.
Tingkat penetrasi media, sampai hari ini yang terendah masih pada buku (artinya tingkat pengaruh karena kredibilitasnya). Sementara jika dulu handphone dan televisi mencapai penetrasi tertinggi, kini hal itu dipegang oleh media internet. Celakanya, tingkat penetrasi media itu, tidak berbanding lurus justeru dengan kualitas akurasinya.
Secara revolusioner, internet telah mengubah alur komunikasi lisan dan tulisan menjadi begitu rupa dan riuh-rendah. Tak ada lagi subyek-obyek, karena semuanya bisa dengan sendirinya menjadi subyek. Tidak ada otoritas, superioritas, dan bahkan kontrol. Siapa saja boleh melakukan apa saja. Munculnya media-media seperti facebook, twitter, blog, website, dan lain-lain bentuk yang mudah diakses serta dioperasikan, melahirkan euforia tersendiri. Dari era Soeharto yang membelenggu ke era internet yang membebaskan. Tak ada situasi transisi.
Lompatan media itu, tanpa disertai daya kritis bermedia (karena kita mengalami progress yang un-linier), informasi menjadi bias karena ia lebih banyak menyampaikan opini daripada data. Kalau pun ada data, maka itu adalah data yang dibangun dari opini, dengan apa yang disebut rekayasa komunikasi.
Kita lihat, media-media internet begitu mudah menjadi tidak obyektif dalam pengertian tidak berimbang. Yang muncul kemudian media kacamata kuda. Semuanya berpusat pada subyek, tanpa pembanding. Kemudahan dalam mengakses, juga membuat siapa saja memakai hiden-name, nama palsu, dan identitas yang disembunyikan. Padahal, menyembunyikan identitas, dalam relasi komunikasi menjelaskan rendahnya tingkat tanggung-jawab, dan memudahkan penghindaran akan resiko (bahasa bodohnya: tidak jantan, atau tidak betina jika perempuan).
Kita ingat, belum lama lalu, terjadi perang kata-kata di twitter antara Jimmly Asshidiqie vs Mahfud MD. Jimmly menuding Mahfud menerima suap, dia punya data. Ketika diserang balik Mahfud, dan hendak dikonfrontir, Jimmly kemudian mengaku data itu tidak akurat, karena didapat dari email yang ditujukan padanya.
Banyaknya media menamakan diri pembawa panji Islam atau Kristen (dan agama lain), tetapi kadang isinya tidak secara amanah mencerminkan etika berkomunikasi, yang pasti sangat dijunjung oleh agama masing-masing. Hal itu menunjukkan validasi dan preferensi tidak berjalan di sana.
Perang informasi saat ini, memunculkan banyak cyber troops (pasukan dunia maya), yang bisa bikin miris, karena dilakukan oleh siapa saja, yang teknis menulisnya pun tidak meyakinkan (padahal memakai media tulis). Sering tulisannya belepotan, datanya tidak terverifikasi (dan penulisnya memakai nama atau identitas palsu).
Dengan penulis tidak terlatih, dan pembaca yang juga tidak terlatih (karena sepanjang Orde Baru kita tidak dilatih dalam media literacy), maka daya kritis untuk mencermati kebenaran informasi menjadi rendah. Orang mudah percaya pada informasi palsu atau hoax, bluffing, diving, dan persis ciri manusia rural (di) urban, lebih menyukai gossip dan bahkan mengimbuhi dengan persepsi masing-masing. Mudahnya copy-paste dan re-broadcast membuat disinformasi membola-salju.
Perang informasi jadi lahan empuk pada masyarakat seperti Indonesia saat ini. Meski rekayasa berita kadang juga bisa tanpa sengaja membocorkan dirinya sendiri. Seperti kasus TV One, ketika memberitakan kasus tangkap tangan AM dan CN oleh KPK (2/10). Dalam acara breaking news yang dilangsungkan live itu, mungkin produser berita atau host lupa kalau mereka on-mic, suara mereka bocor ke publik. Ketahuan di situ, bagaimana TV One melarang reporter dan hostnya menyebut, bahwa AM atau CN itu dari Golkar (partai pemilik TV One, ARB), padahal kedua orang itu memang dari Golkar. Untuk apa?
Perang informasi, dalam masyarakat yang tidak kritis, tentu saja cenderung menjadi perang pencitraan, dan penuh rekayasa. Baik yang beridentitas (seperti TV One dan ARB), maupun yang beridentitas palsu, mempunyai kemungkinan berbohong, tidak obyektif, atau melakukan pembiasan. Dan masyarakat media kita, tak sedikit yang persis seperti Rhoma Irama, dalam kasus Pilkada DKI 2012 dulu. Waktu itu, Rhoma menuding ibu Jokowi beragama Kristen, hanya lantaran membaca internet, dan katanya, "Itu informasi saya baca dari internet. Kalau dari internet 'kan sahih,..."
Seyogyanya hati-hati dalam menyikapi berita di internet, apalagi tulisan yang bersumber dari sebuah blog, facebook, twitter, situsweb yang membolehkan penulis memakai hiden-name. Akurasi data kadang juga harus dilihat dari keberanian penulis menunjukkan identitas. Kita yang membaca dari internet, jika tidak hati-hati bisa diombang-ambingkan perang informasi dunia maya ini. Disamping itu tentu saja, jangan hanya mengandalkan satu sumber semata. Cross check dengan sumber-sumber lain, lihat apa kepentingannya. Jadilah pembaca dunia maya yang cerdas, hingga tidak mudah terjerembab dalam jebakan Batman. | Sunardian Wirodono, menjelang gerakan korban 15 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar