Semakin agak sulit dibantah, gaya kepemimpinan SBY
menunjukkan kelasnya yang parah. Sensitivitas dan sensibilitasnya benar-benar
rendah. Tak jauh beda dengan negara teater Soeharto, namun dari segala sisi;
mulai gesture, mimik, blocking, moving, dan komposisi, SBY tidak memiliki
kemampuan keaktoran yang memadai. Dalam episode akhir-akhir ini saja, hanya
menunjukkan pola kepemimpinan yang lamban, ragu, reaktif, over-sensitif namun
bukan pada masalah-masalah yang substansial. Itu semua menjelaskan
ketidakmampuannya dalam kepemimpinan. Segala syaratnya tidak tercerminkan
disitu, kecuali cuma bisnis akting yang miskin, dalam kerumunan kamera yang
juga sama kelasnya, yakni kamera yang tidak mampu menembus di sebalik gambar.
Pada akhirnya, kita semua diseret dalam tontonan yang
melelahkan. Orang-orang yang konon ahli, dikumpulkan dalam sebuah talkshow dan
perbincangan tak berfokus di televisi. Penuh cengengesan dan hanya debat
semantik atau silat lidah. Semua kita dijebak dalam peristiwa demi peristiwa,
namun tidak pernah diantar sampai masalah dan apalagi akar masalah, untuk
kemudian menentukan agenda, prioritas, sistem, dan kemudian mekanismenya.
Sementara bangsa-bangsa lain, bahkan seperti Vietnam, Thailand, dan beberapa
negara Asean yang dulunya di buritan Indonesia, kini sudah melesat
meninggalkan. Indonesia sampai hari ini tetap tak punya proyeksi, gambaran masa
depan. Presiden terjebak dalam masalah-masalah teknis, sampai-sampai belibet
sendiri dengan soal sms (sementara isterinya dengan instagram). Ini benar-benar
kepemimpinan nasional paling parah sepanjang sejarah. Bangsa yang dibangun
dengan mimpi-mimpi besar oleh generasi Sukarno (dan dari sana lahir semangat,
motivasi, serta inspirasi), menjadi tidak punya pegangan dan pijakan. Bangsa
dan negara ini kini tak punya grand-design, mau ke mana dan 'ngapain' dengan
segala sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang besar?
Ketidakmampuan para elite nasional dalam melihat akar
masalah, serta ketidaktahuan dan ketidakmampuannya memberikan arah, menunjukkan
bahwa ada yang salah dalam bangsa dan negara Indonesia ini, apalagi ketika
banyak di antara mereka justeru terlibat dalam KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Tentu saja, salah satu kesalahannya ialah ketika SBY terpilih menjadi presiden.
Kenapa? Karena pada 2004 inilah pertama kali kita melakukan pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat. Dan rakyat yang masih terpukau dengan personalitas
tokoh, ternyata mereka lupa bahwa ketokohan di jaman digital ini dilahirkan
dari photoshop, retouching, digital printing, broadcasting, hingga bisa
menyulap si wajah setan menjadi malaikat.
Padahal, tidak ada gagasan yang memimpin di sana, dan
karenanya tidak ada kualitas kepemimpinan dimunculkan.
Jika Indonesia masih berdiri hingga kini, lebih karena SDA
dan SDM-nya yang besar. Yang tentu saja, itu semua hanya persoalan waktu, untuk
bertahan. Karena jika kepemimpinan Indonesia "gini-gini" aja, pada
akhirnya negara dan bangsa ini akan amblas tergadaikan, dan kita hanya sebagai
bangsa pekerja atau kuli, di negeri sendiri. Hanya bisa melongo berpuluh-puluh
digit angka berseliweran dari kantong kita ke luar negeri.
Sementara itu, berapa nilai hutang luar negeri kita selama
10 tahun terakhir ini? Berapa jumlah tenaga kerja produktif kita yang tidak
terserap oleh pusaran ekonomi nasional kita? Berapa nilai investasi dari kaum
modal asing di tanah air ini, dan bagaimana perimbangannya dengan kekuatan
dalam negeri? Berapa nilai ekspor dan import kita, lebih gedean mana dan
kenapa?
Dan kita masih ribut soal-soal bagaimana cara memberantas
korupsi, siapa yang lebih berwajib, saling tuding dan menyalahkan, hingga masih
muncul kata-kata; dia tak layak menjadi presiden (tetapi di sisi lain, yang
lebih tak layak tetap boleh menjadi presiden). Ini memang negeri blangsak, yang
kesibukannya hanya mereproduksi isyu untuk bluffing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar