Di dalam acara televisi Indonesia, ada begitu banyak penonton atau pemeriah acara. Dari sejak pagi, entah itu pemeriah bagi acara Ustaz Maulana, Mama Dedeh, hingga nanti kemudian Inbox, Dahsyat, dan terus sampai malam ke acara Twitteran, Fesbuker, Bukan 4 Mata (tapi Matamu), sampai Yuk's Keep Smile, dan seterusnya.
Format menyertakan penonton 'luar' dalam acara televisi, b...ukan monopoli Indonesia sesungguhnya, sekali pun seperti biasa, programmer acara televisi tentu saja tak ada yang tidak meniru program televisi luar. Hampir semua ada padanannya, dan itu menunjuk kreativitas orang televisi yang memerihkan. Bandingkan acara Tukul dengan acara Oprah Winfrey,di situ kita akan melihat beda eksploitasi dengan eksplorasi.
Dunia televisi kita adalah dunia kultur pop sebagai anak emas kapitalisme. Mantra kapitalisme, yang erat dengan pragmatisme (filsafat yang percaya semua hal dari segi manfaat bagi dirinya), tidak akan melihat apa itu dampak, efek, polusi atau pun limbah.
Karena itu, eksploitasi adalah senjata satu-satunya. Tak ada visi mengeksplorasi, menumbuhkan dan mendewasakan masyarakat penontonnya. Kalau bisa, penonton terus dan makin bodoh, maka eksploitasinya sukses menciptakan ketergantungan. Ketergantungan penonton itulah target goal untuk mendapat keuntungan dirinya.
Karena itu, untuk meyakinkan, mereka rela mengeluarkan uang untuk membayar penonton gadungan, yang tugasnya ketawa-ketawa, bersorak, tepuk-tangan, karena mereka sendiri juga tahu, tak ada yang pantas ditepuktangani secara tulus dan gratisan di sana. Baru kalau acara itu kuat, penonton disuruh antri mendaftar, atau kalau perlu membayar.
Apa yang terjadi dalam dunia hiburan televisi itu, bukanlah satu-satunya. Dalam panggung hiburan politik, itulah pula yang terjadi. Orang dibayar untuk memilihnya. Karena memilihnya cuma lima tahun sekali, membayarnya juga tentu tiap lima tahun sekali. Beda dengan televisi yang bisa 24 jam dalam seharmal.
Sama dengan penonton TV kita, yang dengan hadiah satu sampai lima juta saja, bungahnya bukan main. Padahal jika dibanding dengan perputaran duit dari iklan dan sponsor program, angka bebungah yang diberikan pada masyarakat, tak seberapa. Para politikus juga suka membayar pendukungnya dengan murah. Rata-rata di bawah Rp 100.000 yang nanti oleh calo bisa jadi sampai ke pemilih gadungan tinggal Rp 20.000. Sementara setelah menjadi orang berkuasa, tiba-tiba bisa kaya mendadak, dengan beberapa mobil mewah, beli tanah di sana-sini sebagai invest, atau untuk mencuci uangnya, yang memang benar-benar kotor dan bau.
Dalilnya sama. Penonton gadungan dilahirkan oleh penghibur gadungan. Sementara pemilih gadungan juga lahir dari politikus atau pemimpin gadungan. Tapi keduanya memberikan limbah dan polutan sama, kerusakan sebuah generasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar