Konon menurut Effendi Gazali, ada dua 'lembaga' yang kalau dikritik akan menuai badai bagi pengritiknya. dua 'lembaga' yang dimaksud EG, ialah Jokowi atau KPK (ini mengutip dari status Pepih Nugraha).
Menurut saya, pendapat EG ini harus juga dikritik balik, bukan karena dia menyinggung Jokowi dan KPK, tapi karena nilai pendapatnya. Bisa jadi karena EG terlalu ba...nyak muncul di tivi, dan terlalu banyak muncul lucu-lucuan bersama Sujiwo Tejo serta Arwendo di Metro TV.
Saya kira persoalannya bukan pada siapa yang dikritik, tetapi bagaimana kritik itu. EG yang doktor komunikasi politik tentu tahu hal itu. Bagaimana nilai dan kualitas kritik, itu yang akan menentukan "dirinya", siapapun dan apapun yang dikritiknya.
Jika kita melihat soal Jokowi dan KPK, tak bisa dinisbikan soal posisi mereka dalam situasi kepolitikan kita hari ini. Ada persoalan periferi yang harus kita lihat. Hukum kausalitasnya, Jokowi dan KPK (mungkin juga dulu MK, sebelum kasus tangkap tangan Akil Mochtar), adalah nama-nama yang fenomenal dalam logika publik, yang bersandar pada moralitas publik. Moralitas publik Indonesia Raya adalah rakyat capek dengan janji politikus pembohong, pemimpin yang sok bijak tapi tidak tegas dan ternyata korup, dan berbagai hal yang dinilai negatif. Kepemimpinan di Indonesia, masih dalam taraf elementer, memuja personalitas dan bukan bangunan sistem dan mekanisme kerja. Dari sanalah, harapan publik pada Jokowi-Ahok dan orang-orang KPK sebagai psikologisme yang lumrah.
Masalahnya kemudian, ketika sosok-sosok ini didukung publik, mereka yang di luar itu seolah (dan anehnya) justeru menjadikannya musuh bersama, kompetitor (bukannya didukung bersama, lebih karena alasan pertarungan 2014), lawan yang harus dilibas, tentu dengan berbagai agenda dan kepentingan.
Tapi yang lebih penting, lihatlah semua komentar, pendapat (atau katakanlah kritik) yang semuanya direkam oleh media publik (pers). Baca ulang bagaimana materinya, apa saja yang mereka bicarakan? Dari enam bulan terakhir kepolitikan kita, masih bisa kita baca jelas, apa masalahnya?
Tidak perlu membandingkan dengan diskusi menjelang lahirnya Pancasila di tahun 1945, namun dengan diskusi-diskusi serius di kalangan mahasiswa masa kini saja, kualitas omongan para elite kita memang rendah, low-context kata Tjipta Lesmana. Itu sejak dari para aktivis parpol, Menteri, anggota Parlemen, dan bahkan Ibu Presiden beserta Bapak Presiden sendiri yang suka emosional dan kehilangan wibawa.
Jadi bukan persoalan Jokowi atau KPK yang penting, tetapi kenapa EG tidak mempersoalkan bagaimana cara dan kualitas kita mengritik? Bluffing pendapat EG seperti itu bisa menyesatkan. Jangan takut mengritik Jokowi dan KPK (dan siapapun yang bisa mempengaruhi kehidupan publik). Mengritik Jokowi dan KPK, tentu saja lumrah, sehat-sehat saja, dan sudah seharusnya. Tapi kritik seperti apa? Kritik asal njeplak, tentu saja akan menuai kritik balik, apalagi hanya copy-paste dari blog atau website yang kredibilitasnya rendah karena identitasnya saja disembunyikan. Itu hukum komunikasi biasa.
Ketika saya menyatakan ketidaksetujuan pencapresan Jokowi, dan tetap mengharapkannya jadi gubernur, para fans Jokowi tidak menyerang saya (dalam satu diskusi) ketika saya sampaikan alasan-alasan strategisnya Mereka justru pusing untuk berfikir, bagaimana jalan keluarnya? Kritik produktif, itu yang kita butuhkan. Kritik ngawur, asal njeplak, bukan hanya tidak produktif, melainkan merendahkan derajat yang melakukannya. Itu hukum biasa saja. Don't follow the leader, don't follow 'the orang pinter'.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar