Di kampus UGM Yogyakarta, seorang berteman bertemu lelaki asing yang konon katanya mirip Einstein. Setelah sedikit ngobrol, si mirip Einstein bertanya, "Apa itu politik?"
Teman itu menjawab panjang lebar. Tapi si mirip Einstein menanggapinya enteng, "Politik itu adalah ketika kamu melihat seseorang yang telanjang bulat, dan kamu mengatakan kepadanya atau orang lain, bahw...a baju yang sedang dipakainya sangat rapi dan jahitannya indah sekali. That's politics. It is just that simple!"
Sayang teman saya itu tidak menuliskan siapa nama si mirip Einstein dan apa profesinya. Tapi, pendapatnya menarik. Sebagaimana banyak dikatakan para filsuf dan pemikir sejak mula. Groucho Marx pernah mengatakan, "Politik adalah seni mencari masalah, menemukan di mana-mana, mendiagnosis bahwa itu salah, dan menerapkan solusi yang salah."
Makanya Charles de Gaulle, Presiden Perancis pertama, menyimpulkan, "Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya." Itu sangat jelas menggambarkan, betapa ironisnya.
Ironi itu juga dulu sering muncul dalam sebuah joke, bagaimana seorang politikus menjanjikan membangun jembatan, di sebuah wilayah yang tidak ada sungainya. Ketika hal itu dipersoalkan, sang politikus enteng saja menjawab, "Nanti kita bangun sekalian sungainya,..." Padahal, Anda tahu, di Banten yang gubernurnya kaya-raya, banyak anak sekolah main akrobat menyeberangi sungai karena tak adanya jembatan di situ.
Makanya Hitler lebih suka mengaku sebagai pegawai pemerintah, karena; "Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Aku tidak perlu berpikir, karena aku adalah pegawai pemerintah,..."
Meski pun politik benar-benar bisa sangat absurd, dan jauh lebih 'problematik' dibanding lukisan Picasso. Seperti dikatakan seorang pelawak Amerika, Will Rogers, "Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang."
Padahal, jika politik mengaku berumah dalam demokrasi, menurut mantan Perdana Menteri Inggris Clement Attlee, "demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi." Namun tambahnya, "demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut."
Kalau tidak mampu membuat tutup mulut, mungkin karena hanya berani twitteran dan main sms-an, kayak remaja lebay pacaran. Dan hasilnya? Menurut Herbert Hoover, Presiden AS ke-31, "Berbahagialah generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi hutang bangsa."
Sabtu, Oktober 26, 2013
Pesan Pendek yang Panjang Banget namun Pendek Akal
Isi pesan singkat (yang panjang-lebar) melalui SMS dari Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono kepada sejumlah petinggi partai, bocor ke media, Rabu 23 Oktober 2013. Dalam pesan itu, SBY mengungkapkan kemarahannya kepada ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) dan juga tokoh utamanya, Anas Urbaningrum.
SMS ini valid (dan aseli) dari SBY dari penjelasa...n juru bicara presiden. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyayangkan bocornya arahan SBY melalui SMS kepada para kadernya itu. Sebab, menurutnya SMS itu hanya diperuntukan bagi kepentingan internal.
"Saya mengetahui bahwa Presiden memberi arahan kepada kader Partai Demokrat terkait dinamika yang terjadi, tapi itu arahan untuk ke dalam," ujar Julian melalui pesan singkat, Kamis 24 Oktober 2013.
Julian menegaskan pesan yang disampaikan SBY bukan untuk diketahui masyarakat luas. Ia sangat kecewa jika pesan itu sengaja dibocorkan. "Tidak etis kalau bocor atau sengaja dibocorkan," tuturnya. Lha kok bisa?
Berita ini, membuktikan kekonyolan pemerintahan SBY. (1) Cara berkomunikasi politik SBY yang ceroboh, atau menurut istilah Ani Yudhoyono; 'bodoh'. (2) Content messages yang menunjukkan kualitas rendah kepemimpinan SBY, dan kalau mau ditambah (3), urusan apa Julian Aldrin Pasha, juru bicara presiden menjelaskan hal ini? Apakah Julian dibayar negara untuk menjadi juru bicara SBY sebagai ketua umum Partai? Yang terakhir ini tentu menunjukkan di situ kacaunya rangkap jabatan partai dengan negara membuktikan abuse of power (dalam tata kelola birokrasi dan administrasi negara), dan seperti nasehat SBY yang mengutip pendapat Lord Acton; Bahwa "Power tend to corrupt, absolutely power tend absolutely to corrupt."
Persoalannya menjadi jelas, jangankan pada seluruh rakyat Indonesia, pada jajaran partainya sendiri saja, yang mendapat SMS itu, SBY tidak dihargai. Buktinya? Siapa yang membocorkan sms SBY jika bukan si penerima aseli sms itu? Dan gampang tentu untuk mencarinya. Tapi jika tak ada tindakan apa pun atas pembocoran itu, maka kita percaya teori decoy SBY, untuk pengalihan isyu. Entah isyu apalagi yang hendak dialihkan, karena terkesan pemerintahan ini sibuk berperangan dengan berbagai isyu palsu yang dilancarkannya sendiri.
Jadinya, Power ten to 'bohong', absolutely power tend absolutely to 'bohong juga'!
SMS ini valid (dan aseli) dari SBY dari penjelasa...n juru bicara presiden. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyayangkan bocornya arahan SBY melalui SMS kepada para kadernya itu. Sebab, menurutnya SMS itu hanya diperuntukan bagi kepentingan internal.
"Saya mengetahui bahwa Presiden memberi arahan kepada kader Partai Demokrat terkait dinamika yang terjadi, tapi itu arahan untuk ke dalam," ujar Julian melalui pesan singkat, Kamis 24 Oktober 2013.
Julian menegaskan pesan yang disampaikan SBY bukan untuk diketahui masyarakat luas. Ia sangat kecewa jika pesan itu sengaja dibocorkan. "Tidak etis kalau bocor atau sengaja dibocorkan," tuturnya. Lha kok bisa?
Berita ini, membuktikan kekonyolan pemerintahan SBY. (1) Cara berkomunikasi politik SBY yang ceroboh, atau menurut istilah Ani Yudhoyono; 'bodoh'. (2) Content messages yang menunjukkan kualitas rendah kepemimpinan SBY, dan kalau mau ditambah (3), urusan apa Julian Aldrin Pasha, juru bicara presiden menjelaskan hal ini? Apakah Julian dibayar negara untuk menjadi juru bicara SBY sebagai ketua umum Partai? Yang terakhir ini tentu menunjukkan di situ kacaunya rangkap jabatan partai dengan negara membuktikan abuse of power (dalam tata kelola birokrasi dan administrasi negara), dan seperti nasehat SBY yang mengutip pendapat Lord Acton; Bahwa "Power tend to corrupt, absolutely power tend absolutely to corrupt."
Persoalannya menjadi jelas, jangankan pada seluruh rakyat Indonesia, pada jajaran partainya sendiri saja, yang mendapat SMS itu, SBY tidak dihargai. Buktinya? Siapa yang membocorkan sms SBY jika bukan si penerima aseli sms itu? Dan gampang tentu untuk mencarinya. Tapi jika tak ada tindakan apa pun atas pembocoran itu, maka kita percaya teori decoy SBY, untuk pengalihan isyu. Entah isyu apalagi yang hendak dialihkan, karena terkesan pemerintahan ini sibuk berperangan dengan berbagai isyu palsu yang dilancarkannya sendiri.
Jadinya, Power ten to 'bohong', absolutely power tend absolutely to 'bohong juga'!
ISI LENGKAP SMS SBY YANG BOCOR LAGI BOCOR LAGI | Apa sebenarnya isi lengkap dari SMS yang disinyalir berasal dari SBY tersebut? Berikut isi lengkapnya seperti dikutip dari Inilah.Com:
Dari: Ketum/Ketua MT PD
Kepada:
1. Kahar PD
2. Ketua Wanbin PD
3. Ketua Wanhor PD
4. Para Waketum PD
5. Sekjen PD...
6. Ses MT PD
7. Bendum PD
8. DE PD
9. Ketua Fraksi PD DPR
Tembusan: Prof S. Boedisantoso
1. Sore ini, ketika saya baru saja sampai di Jakarta dari Kunker ke Jatim & DIY, saya dikejutkan oleh sebuah berita yang bombastis, provokatif & agitatif. Judul berita yg ada di sejumlah media berbunyi "Rezim SBY menggila". Diberitakan bahwa Prof Boedisantoso (BS) pendiri PD diculik oleh BIN (Badan Intelijen Negara), sehingga tidak bisa menghadiri acara PPI. Pihak Istana, begitu manuver politik itu, diminta utk menjelaskan.
2. Sekitar 2 jam yg lalu saya mendapatkan laporan dari Ka BIN bahwa berita itu tidak benar. Bohong. Tidak ada yg disebut penculikan itu. Saya mendengar bahwa pernyataan diculiknya Pak Boedisantoso itu dari Anas & Pasek. Selanjutnya BIN akan memberikan pernyataan pers pada malam hari ini. Bahkan atas pencemaran nama baik BIN sebagai lembaga negara, BIN mempertimbangkan utk mengadukan pencemaran nama baik itu ke pihak kepolisian. Saya juga marah terhadap fitnah keji itu, dan saya minta diusut secara tuntas. Jelaskan kpd rakyat apa yg sungguh terjadi. Negara kita negara hukum, bukan negara fitnah.
3. Sebagaimana sdr ketahui hubungan kita dgn Pak BS baik. Beliau saya angkat menjadi anggota Wantimpres selama 5 tahun. Pandangan-pandangannya juga jernih. Pak BS sangat peduli pada pluralisme & kerukunan sesama komponen bangsa. Pak BS adalah salah satu anggota Dewan Pembina PD, meskipun sekarang ini berada dlm status "non aktif" karena menjadi Komisaris di salah satu BUMN.
4. Jahat sekali. Luar biasa. Sebenarnya saya tidak ingin melihat ke belakang. Tetapi pihak Anas terus-menerus menyerang & menghantam saya & Partai Demokrat. Setelah hampir 3 tahun saya mengalah & diam, saatnya utk saya hadapi tindakan yang telah melampaui batasnya itu. Partai Demokrat atas kerja keras kita baru saja mulai bangkit. Karena perilaku sejumlah kader, termasuk Anas, partai kita sempat melorot tajam & hancur. Kalau gerakan penghancuran Partai Demokrat & SBY terus mereka lancarkan, para kader seluruh Indonesia akan sangat dirugikan. Sebagai unsur pimpinan Partai kita harus menyelamatkan partai kita, termasuk nasib & masa depan jutaan kader & anggota PD di seluruh Indonesia.
5. Jika terbukti Pasek (yg masih anggota DPR dari FPD) menyebarkan berita bohong yg mencemarkan nama baik BIN, dan secara tidak langsung nama baik Presiden, saya kira Dewan Kehormatan harus mengambil sikap & mulai bekerja secara serius. Yg penting fakta, jangan fitnah. Kalau Pasek ternyata tidak mengeluarkan pernyataan yg bersifat fitnah itu, ya tidak boleh diberikan tindakan.
6. Selama ini saya tidak menanggapi serangan-serangan Anas thdp saya. Mengapa? Saya malu jika harus meladeni. Yg jelek nama saya & PD sendiri. Lawan-lawan politik akan bertepuk tangan. Saya malah berpikir setelah tidak jadi Presiden akan saya hadapi secara serius. Atau biar lewat dulu Pileg 2014. Setelah itu akan saya hadapi benar-benar. Biasanya yg punya kekuasaan yg dzalim, sekarang yg didzalimi malah saya. Biar keadilan & kebenaran tegak. Kalau Anas tidak korupsi mengapa takut? Mengapa tidak berani membantah Nazarudin? Mengapa malah saya yg di-serang? Apa bisa Presiden melarang atau menyuruh KPK? Tak seorangpun yg bisa. Ingat. Anas tidak diberhentikan oleh PD, dia berhenti sendiri. Itupun partai yg kita dirikan dengan penuh perjuangan & pengorbanan ditinggal begitu saja. Tidak ada tanggung jawabnya. Tadinya saya tidak mau bicara seperti ini. Biar saya simpan saja dlm hati saya. Tetapi Anas amat ganas dlm menyerang & menghancurkan saya & partai kita. Bahkan secara terbuka mengatakan jangan harapakan PD akan bangkit & berhasil.
7. Menghadapi Pemilu 2014 kita harus kompak. Harus satu. Jika memang ada yg tidak setia & melawan partai kita, kita persilakan utk meninggalkan partai ini. Bagi saya tidak mengapa, berapapun yg akan meninggalkan Partai Demokrat.
8. Saatnya kita tegas, berani & menegakkan kebenaran & keadilan . Untuk partai kita, untuk kehormatan kita dan untuk bangsa kita.
9. Jika saudara telah menerima SMS ini harap memberitahu ADC Presiden, agar saya tahu bahwa saudara telah membaca & mengindahkan isi SMS ini.
10. Terima kasih. Selamat berjuang. Tuhan beserta kita.
Dari: Ketum/Ketua MT PD
Kepada:
1. Kahar PD
2. Ketua Wanbin PD
3. Ketua Wanhor PD
4. Para Waketum PD
5. Sekjen PD...
6. Ses MT PD
7. Bendum PD
8. DE PD
9. Ketua Fraksi PD DPR
Tembusan: Prof S. Boedisantoso
1. Sore ini, ketika saya baru saja sampai di Jakarta dari Kunker ke Jatim & DIY, saya dikejutkan oleh sebuah berita yang bombastis, provokatif & agitatif. Judul berita yg ada di sejumlah media berbunyi "Rezim SBY menggila". Diberitakan bahwa Prof Boedisantoso (BS) pendiri PD diculik oleh BIN (Badan Intelijen Negara), sehingga tidak bisa menghadiri acara PPI. Pihak Istana, begitu manuver politik itu, diminta utk menjelaskan.
2. Sekitar 2 jam yg lalu saya mendapatkan laporan dari Ka BIN bahwa berita itu tidak benar. Bohong. Tidak ada yg disebut penculikan itu. Saya mendengar bahwa pernyataan diculiknya Pak Boedisantoso itu dari Anas & Pasek. Selanjutnya BIN akan memberikan pernyataan pers pada malam hari ini. Bahkan atas pencemaran nama baik BIN sebagai lembaga negara, BIN mempertimbangkan utk mengadukan pencemaran nama baik itu ke pihak kepolisian. Saya juga marah terhadap fitnah keji itu, dan saya minta diusut secara tuntas. Jelaskan kpd rakyat apa yg sungguh terjadi. Negara kita negara hukum, bukan negara fitnah.
3. Sebagaimana sdr ketahui hubungan kita dgn Pak BS baik. Beliau saya angkat menjadi anggota Wantimpres selama 5 tahun. Pandangan-pandangannya juga jernih. Pak BS sangat peduli pada pluralisme & kerukunan sesama komponen bangsa. Pak BS adalah salah satu anggota Dewan Pembina PD, meskipun sekarang ini berada dlm status "non aktif" karena menjadi Komisaris di salah satu BUMN.
4. Jahat sekali. Luar biasa. Sebenarnya saya tidak ingin melihat ke belakang. Tetapi pihak Anas terus-menerus menyerang & menghantam saya & Partai Demokrat. Setelah hampir 3 tahun saya mengalah & diam, saatnya utk saya hadapi tindakan yang telah melampaui batasnya itu. Partai Demokrat atas kerja keras kita baru saja mulai bangkit. Karena perilaku sejumlah kader, termasuk Anas, partai kita sempat melorot tajam & hancur. Kalau gerakan penghancuran Partai Demokrat & SBY terus mereka lancarkan, para kader seluruh Indonesia akan sangat dirugikan. Sebagai unsur pimpinan Partai kita harus menyelamatkan partai kita, termasuk nasib & masa depan jutaan kader & anggota PD di seluruh Indonesia.
5. Jika terbukti Pasek (yg masih anggota DPR dari FPD) menyebarkan berita bohong yg mencemarkan nama baik BIN, dan secara tidak langsung nama baik Presiden, saya kira Dewan Kehormatan harus mengambil sikap & mulai bekerja secara serius. Yg penting fakta, jangan fitnah. Kalau Pasek ternyata tidak mengeluarkan pernyataan yg bersifat fitnah itu, ya tidak boleh diberikan tindakan.
6. Selama ini saya tidak menanggapi serangan-serangan Anas thdp saya. Mengapa? Saya malu jika harus meladeni. Yg jelek nama saya & PD sendiri. Lawan-lawan politik akan bertepuk tangan. Saya malah berpikir setelah tidak jadi Presiden akan saya hadapi secara serius. Atau biar lewat dulu Pileg 2014. Setelah itu akan saya hadapi benar-benar. Biasanya yg punya kekuasaan yg dzalim, sekarang yg didzalimi malah saya. Biar keadilan & kebenaran tegak. Kalau Anas tidak korupsi mengapa takut? Mengapa tidak berani membantah Nazarudin? Mengapa malah saya yg di-serang? Apa bisa Presiden melarang atau menyuruh KPK? Tak seorangpun yg bisa. Ingat. Anas tidak diberhentikan oleh PD, dia berhenti sendiri. Itupun partai yg kita dirikan dengan penuh perjuangan & pengorbanan ditinggal begitu saja. Tidak ada tanggung jawabnya. Tadinya saya tidak mau bicara seperti ini. Biar saya simpan saja dlm hati saya. Tetapi Anas amat ganas dlm menyerang & menghancurkan saya & partai kita. Bahkan secara terbuka mengatakan jangan harapakan PD akan bangkit & berhasil.
7. Menghadapi Pemilu 2014 kita harus kompak. Harus satu. Jika memang ada yg tidak setia & melawan partai kita, kita persilakan utk meninggalkan partai ini. Bagi saya tidak mengapa, berapapun yg akan meninggalkan Partai Demokrat.
8. Saatnya kita tegas, berani & menegakkan kebenaran & keadilan . Untuk partai kita, untuk kehormatan kita dan untuk bangsa kita.
9. Jika saudara telah menerima SMS ini harap memberitahu ADC Presiden, agar saya tahu bahwa saudara telah membaca & mengindahkan isi SMS ini.
10. Terima kasih. Selamat berjuang. Tuhan beserta kita.
Membaca Sejarah Golkar
Pada pemilu-pemilu era Soeharto, selalu disebut diikuti sekian partai politik dan satu Golongan Karya (hingga yang terakhir, 1997, pemilu diikuti dua parpol, PPP dan PDI, dan satu Golongan Karya, artinya bukan partai politik).
Golongan Karya berubah menjadi partai politik pada tahun 1998, setelah Soeharto longsor. Golongan Karya mesti menyelamatkan diri. Golongan Karya kem...udian berubah menjadi partai politik Golkar, dideklarasikan oleh Akbar Tanjung (sekaligus sebagai Ketua Umum Parpol Golkar 1998-2004).
Jika di iklan-iklan TV muncul klaim Golkar sekarang berusia 49 tahun, maka yang dimaksud tentulah Golongan Karya bentukan Soeharto (1964). Sebab kalau Golkar "Baru" sebagai parpol, umurnya baru 15 tahun, sama dengan umur partai-partai politik baru yang meramaikan pemilu pertama kali pada 1999. Golongan Karya yang dulunya selalu dominan atau menang mutlak (1997 mendapat 70,2% suara), ketika berubah menjadi Parpol Golkar, bisa dikalahkan PDI Perjuangan (1999). Parpol Golkar waktu itu mendapat suara 22%, sedang PDIP mendapat 33,12% suara. Parpol Golkar dan parpol PDIP sama-sama baru mengikuti pemilu pertama kali tahun 1999. Jadi Golkar ARB ini mengaku berumur 49 tahun, karena ingin dianggap partai tua dan berpengalaman, atau pengembang ajaran Soehartoisme? Demikian sekilas info.
Golongan Karya berubah menjadi partai politik pada tahun 1998, setelah Soeharto longsor. Golongan Karya mesti menyelamatkan diri. Golongan Karya kem...udian berubah menjadi partai politik Golkar, dideklarasikan oleh Akbar Tanjung (sekaligus sebagai Ketua Umum Parpol Golkar 1998-2004).
Jika di iklan-iklan TV muncul klaim Golkar sekarang berusia 49 tahun, maka yang dimaksud tentulah Golongan Karya bentukan Soeharto (1964). Sebab kalau Golkar "Baru" sebagai parpol, umurnya baru 15 tahun, sama dengan umur partai-partai politik baru yang meramaikan pemilu pertama kali pada 1999. Golongan Karya yang dulunya selalu dominan atau menang mutlak (1997 mendapat 70,2% suara), ketika berubah menjadi Parpol Golkar, bisa dikalahkan PDI Perjuangan (1999). Parpol Golkar waktu itu mendapat suara 22%, sedang PDIP mendapat 33,12% suara. Parpol Golkar dan parpol PDIP sama-sama baru mengikuti pemilu pertama kali tahun 1999. Jadi Golkar ARB ini mengaku berumur 49 tahun, karena ingin dianggap partai tua dan berpengalaman, atau pengembang ajaran Soehartoisme? Demikian sekilas info.
Mimpi-mimpi yang Tidak Terorganisasi
Semuanya dari kita bisa bermimpi, punya mimpi, bahkan mungkin sebagiannya pemimpi (tanpa n). Dan manusia merasa lebih mulia dibanding makhluk lainnya ciptaan Tuhan. Kita menuding karena hewan atau tumbuhan, tidak punya emosi, perasaan, pikiran, atau otak. Padahal, kapan pernah wawancara langsung dengan mereka? Kapan pernah dikasihtahu langsung oleh Tuhan?
Itula...h hebatnya manusia, suka mengklaim, padahal hanya mengetahui bahasa manusia, padahal tidak menguasai bahasa hewan dan tumbuhan, dan bahkan mungkin sangat tidak menguasai bahasa Tuhan.
Ketidakterbatasan dalam keterbatasan itu, adalah salah satu dari sumber kenapa mimpi menjadi ada, mimpi menjadi lebih indah dari kenyataan, mimpi menjadi sumber motivasi dan harapan. Bung Karno dulu senantiasa berkoar-koar, bermimpilah, bermimpilah, bermimpilah!
Itula...h hebatnya manusia, suka mengklaim, padahal hanya mengetahui bahasa manusia, padahal tidak menguasai bahasa hewan dan tumbuhan, dan bahkan mungkin sangat tidak menguasai bahasa Tuhan.
Ketidakterbatasan dalam keterbatasan itu, adalah salah satu dari sumber kenapa mimpi menjadi ada, mimpi menjadi lebih indah dari kenyataan, mimpi menjadi sumber motivasi dan harapan. Bung Karno dulu senantiasa berkoar-koar, bermimpilah, bermimpilah, bermimpilah!
Para fesbuker se Indonesia Raya yang frustrasi dengan kondisi kepolitikan kita saat ini, mereka bermimpi sambil teriak-teriak, revolusi sekarang juga. Para jendral senior yang jengkel dengan pemerintahan SBY, dikabarkan juga bermimpi menggerakkan kudeta rakyat. Mereka yang gemar mendirikan rumah-rumah perubahan, memimpikan perubahan secepat-cepatnya. Tetangga saya, bermimpi tahun ini harus mengakhiri masa jomblonya, padahal itu ujarnya setiap kali memasuki bulan-bulan yang berakhiran ber-ber. Mimpi kita bisa menyelesaikan buku, naik gaji, pacar baru, nyetak duit sendiri, membunuh presiden, atau melakban mulut politikus busuk. Tapi celakanya, semua menjadi seperti nyanyian marhumah Diana Nasution, mimpi-mimpi tinggal mimpi,...!
Rumusnya sederhana, kenyataan memang (bisa datang) dari mimpi. Tapi, mimpi-mimpi tetaplah hanya bisa hadir dari kenyataan, untuk dinyatakan. Puncak tangga adalah puncak tangga semata, tetapi ketika kau injak anak tangga satu-persatu, kau bukan hanya akan memandanginya, melainkan memegangnya, menguasainya, merasainya.
Menyatakan mimpi itu mudah, ketika hanya di angan dan mulut. Tapi menyatakan dalam makna 'menjadikan nyata', harus dibangun dengan langkah-langkah nyata, langkah-langkah yang terorganisasi. Mengerti kemampuan diri (baik menyadari kelemahan, empan-papan, atau berkeras belajar dan menekuni), mengatur langkah dan menentukan tujuan, mengetahui route perjalanan untuk me-nyata-kannya. Semuanya itu membutuhkan 'EO' di dalam diri kita untuk mengaturnya, mengorganisasi agar satu-sama-lain bisa bekerja sama. Jangan seperti para politikus dan pejabat negara kita saat ini, tak punya mimpi dan tak bisa bekerja sama, itu sungguh-sungguh sangat buruk. Atau bisa jadi masing-masing punya mimpi, hingga satu-sama-lain tak bisa bekerja sama. Itu juga jika di dalam diri kita mempunyai begitu banyak mimpi, dan kita tak mampu mengorganisasikannya. Mana dulu nih, mimpi mengakhiri masa jomblo atau mimpi punya bra yang agak gedean dikit? Kalau yang terakhir itu mimpi seorang lelaki, perlu deh check-up ke psikolog.
Rumusnya sederhana, kenyataan memang (bisa datang) dari mimpi. Tapi, mimpi-mimpi tetaplah hanya bisa hadir dari kenyataan, untuk dinyatakan. Puncak tangga adalah puncak tangga semata, tetapi ketika kau injak anak tangga satu-persatu, kau bukan hanya akan memandanginya, melainkan memegangnya, menguasainya, merasainya.
Menyatakan mimpi itu mudah, ketika hanya di angan dan mulut. Tapi menyatakan dalam makna 'menjadikan nyata', harus dibangun dengan langkah-langkah nyata, langkah-langkah yang terorganisasi. Mengerti kemampuan diri (baik menyadari kelemahan, empan-papan, atau berkeras belajar dan menekuni), mengatur langkah dan menentukan tujuan, mengetahui route perjalanan untuk me-nyata-kannya. Semuanya itu membutuhkan 'EO' di dalam diri kita untuk mengaturnya, mengorganisasi agar satu-sama-lain bisa bekerja sama. Jangan seperti para politikus dan pejabat negara kita saat ini, tak punya mimpi dan tak bisa bekerja sama, itu sungguh-sungguh sangat buruk. Atau bisa jadi masing-masing punya mimpi, hingga satu-sama-lain tak bisa bekerja sama. Itu juga jika di dalam diri kita mempunyai begitu banyak mimpi, dan kita tak mampu mengorganisasikannya. Mana dulu nih, mimpi mengakhiri masa jomblo atau mimpi punya bra yang agak gedean dikit? Kalau yang terakhir itu mimpi seorang lelaki, perlu deh check-up ke psikolog.
Dilarang Mengritik Jokowi dan KPK
Konon menurut Effendi Gazali, ada dua 'lembaga' yang kalau dikritik akan menuai badai bagi pengritiknya. dua 'lembaga' yang dimaksud EG, ialah Jokowi atau KPK (ini mengutip dari status Pepih Nugraha).
Menurut saya, pendapat EG ini harus juga dikritik balik, bukan karena dia menyinggung Jokowi dan KPK, tapi karena nilai pendapatnya. Bisa jadi karena EG terlalu ba...nyak muncul di tivi, dan terlalu banyak muncul lucu-lucuan bersama Sujiwo Tejo serta Arwendo di Metro TV.
Saya kira persoalannya bukan pada siapa yang dikritik, tetapi bagaimana kritik itu. EG yang doktor komunikasi politik tentu tahu hal itu. Bagaimana nilai dan kualitas kritik, itu yang akan menentukan "dirinya", siapapun dan apapun yang dikritiknya.
Jika kita melihat soal Jokowi dan KPK, tak bisa dinisbikan soal posisi mereka dalam situasi kepolitikan kita hari ini. Ada persoalan periferi yang harus kita lihat. Hukum kausalitasnya, Jokowi dan KPK (mungkin juga dulu MK, sebelum kasus tangkap tangan Akil Mochtar), adalah nama-nama yang fenomenal dalam logika publik, yang bersandar pada moralitas publik. Moralitas publik Indonesia Raya adalah rakyat capek dengan janji politikus pembohong, pemimpin yang sok bijak tapi tidak tegas dan ternyata korup, dan berbagai hal yang dinilai negatif. Kepemimpinan di Indonesia, masih dalam taraf elementer, memuja personalitas dan bukan bangunan sistem dan mekanisme kerja. Dari sanalah, harapan publik pada Jokowi-Ahok dan orang-orang KPK sebagai psikologisme yang lumrah.
Masalahnya kemudian, ketika sosok-sosok ini didukung publik, mereka yang di luar itu seolah (dan anehnya) justeru menjadikannya musuh bersama, kompetitor (bukannya didukung bersama, lebih karena alasan pertarungan 2014), lawan yang harus dilibas, tentu dengan berbagai agenda dan kepentingan.
Tapi yang lebih penting, lihatlah semua komentar, pendapat (atau katakanlah kritik) yang semuanya direkam oleh media publik (pers). Baca ulang bagaimana materinya, apa saja yang mereka bicarakan? Dari enam bulan terakhir kepolitikan kita, masih bisa kita baca jelas, apa masalahnya?
Tidak perlu membandingkan dengan diskusi menjelang lahirnya Pancasila di tahun 1945, namun dengan diskusi-diskusi serius di kalangan mahasiswa masa kini saja, kualitas omongan para elite kita memang rendah, low-context kata Tjipta Lesmana. Itu sejak dari para aktivis parpol, Menteri, anggota Parlemen, dan bahkan Ibu Presiden beserta Bapak Presiden sendiri yang suka emosional dan kehilangan wibawa.
Jadi bukan persoalan Jokowi atau KPK yang penting, tetapi kenapa EG tidak mempersoalkan bagaimana cara dan kualitas kita mengritik? Bluffing pendapat EG seperti itu bisa menyesatkan. Jangan takut mengritik Jokowi dan KPK (dan siapapun yang bisa mempengaruhi kehidupan publik). Mengritik Jokowi dan KPK, tentu saja lumrah, sehat-sehat saja, dan sudah seharusnya. Tapi kritik seperti apa? Kritik asal njeplak, tentu saja akan menuai kritik balik, apalagi hanya copy-paste dari blog atau website yang kredibilitasnya rendah karena identitasnya saja disembunyikan. Itu hukum komunikasi biasa.
Ketika saya menyatakan ketidaksetujuan pencapresan Jokowi, dan tetap mengharapkannya jadi gubernur, para fans Jokowi tidak menyerang saya (dalam satu diskusi) ketika saya sampaikan alasan-alasan strategisnya Mereka justru pusing untuk berfikir, bagaimana jalan keluarnya? Kritik produktif, itu yang kita butuhkan. Kritik ngawur, asal njeplak, bukan hanya tidak produktif, melainkan merendahkan derajat yang melakukannya. Itu hukum biasa saja. Don't follow the leader, don't follow 'the orang pinter'.
Menurut saya, pendapat EG ini harus juga dikritik balik, bukan karena dia menyinggung Jokowi dan KPK, tapi karena nilai pendapatnya. Bisa jadi karena EG terlalu ba...nyak muncul di tivi, dan terlalu banyak muncul lucu-lucuan bersama Sujiwo Tejo serta Arwendo di Metro TV.
Saya kira persoalannya bukan pada siapa yang dikritik, tetapi bagaimana kritik itu. EG yang doktor komunikasi politik tentu tahu hal itu. Bagaimana nilai dan kualitas kritik, itu yang akan menentukan "dirinya", siapapun dan apapun yang dikritiknya.
Jika kita melihat soal Jokowi dan KPK, tak bisa dinisbikan soal posisi mereka dalam situasi kepolitikan kita hari ini. Ada persoalan periferi yang harus kita lihat. Hukum kausalitasnya, Jokowi dan KPK (mungkin juga dulu MK, sebelum kasus tangkap tangan Akil Mochtar), adalah nama-nama yang fenomenal dalam logika publik, yang bersandar pada moralitas publik. Moralitas publik Indonesia Raya adalah rakyat capek dengan janji politikus pembohong, pemimpin yang sok bijak tapi tidak tegas dan ternyata korup, dan berbagai hal yang dinilai negatif. Kepemimpinan di Indonesia, masih dalam taraf elementer, memuja personalitas dan bukan bangunan sistem dan mekanisme kerja. Dari sanalah, harapan publik pada Jokowi-Ahok dan orang-orang KPK sebagai psikologisme yang lumrah.
Masalahnya kemudian, ketika sosok-sosok ini didukung publik, mereka yang di luar itu seolah (dan anehnya) justeru menjadikannya musuh bersama, kompetitor (bukannya didukung bersama, lebih karena alasan pertarungan 2014), lawan yang harus dilibas, tentu dengan berbagai agenda dan kepentingan.
Tapi yang lebih penting, lihatlah semua komentar, pendapat (atau katakanlah kritik) yang semuanya direkam oleh media publik (pers). Baca ulang bagaimana materinya, apa saja yang mereka bicarakan? Dari enam bulan terakhir kepolitikan kita, masih bisa kita baca jelas, apa masalahnya?
Tidak perlu membandingkan dengan diskusi menjelang lahirnya Pancasila di tahun 1945, namun dengan diskusi-diskusi serius di kalangan mahasiswa masa kini saja, kualitas omongan para elite kita memang rendah, low-context kata Tjipta Lesmana. Itu sejak dari para aktivis parpol, Menteri, anggota Parlemen, dan bahkan Ibu Presiden beserta Bapak Presiden sendiri yang suka emosional dan kehilangan wibawa.
Jadi bukan persoalan Jokowi atau KPK yang penting, tetapi kenapa EG tidak mempersoalkan bagaimana cara dan kualitas kita mengritik? Bluffing pendapat EG seperti itu bisa menyesatkan. Jangan takut mengritik Jokowi dan KPK (dan siapapun yang bisa mempengaruhi kehidupan publik). Mengritik Jokowi dan KPK, tentu saja lumrah, sehat-sehat saja, dan sudah seharusnya. Tapi kritik seperti apa? Kritik asal njeplak, tentu saja akan menuai kritik balik, apalagi hanya copy-paste dari blog atau website yang kredibilitasnya rendah karena identitasnya saja disembunyikan. Itu hukum komunikasi biasa.
Ketika saya menyatakan ketidaksetujuan pencapresan Jokowi, dan tetap mengharapkannya jadi gubernur, para fans Jokowi tidak menyerang saya (dalam satu diskusi) ketika saya sampaikan alasan-alasan strategisnya Mereka justru pusing untuk berfikir, bagaimana jalan keluarnya? Kritik produktif, itu yang kita butuhkan. Kritik ngawur, asal njeplak, bukan hanya tidak produktif, melainkan merendahkan derajat yang melakukannya. Itu hukum biasa saja. Don't follow the leader, don't follow 'the orang pinter'.
Melawan Logika Publik
Melawan logika publik, apakah publik punya logika? Pasti punya, meski banyak ahli dan fesbuker suka mengejeknya. Selalu dibilangnya, pemimpin yang salah dan bodoh, adalah cerminan pemilihnya. Analisis yang tidak sopan. Paling-paling bacaannya google dan goosip, sambil copast situs sana-sini terus diberi komentar dengan kalimat tak jelas obyek-subyeknya.
Susilo Bambang Yudho...yono, presiden RI yang 2014 harus selesai itu (bentar lagi, horeee), belum lama lalu menanggapi ramai-ramai soal Bunda Putri. Membuat konperensi pers kecil di tempat darurat (Halim Perdanakusuma, supaya berkesan betapa pentingnya), SBY marah-marah, menuding orang lain berbohong 1000 + 2000 persen. SBY minta hal ini dibongkar, ia perintahkan BIN dan internalnya mengusut. Eh, hanya berumur dua hari, SBY batal mengumumkan ke publik, siapa itu Bunda Putri, dengan alasan hanya untuk konsumsi internal. Kalau konsumsi internal kenapa harus konperensi pers? Wacana publik dibuka, tapi closingnya jelek. Dan itu segera menuding balik ke SBY, bahwa ia bohong dan tidak jujur. Ia melawan logika publik, sama denga ketika sejumlah survey mengatakan bahwa kinerja SBY-Boediono dinilai tidak memuaskan, dan kinerja ekonominya paling buruk, eh, SBY bisa-bisanya berkomentar dan mengklaim; Bahwa dia sudah bekerja mensejahterakan rakyat. Hahaha, cemen banget, nih, reaksinya.
Hal yang sama dilakukan oleh Hajah Nurhayati Ali Assegaf, yang setelah berkomentar soal kebakaran di Jakarta (terburuk di jaman Jokowi), lagi-lagi ketua fraksi DPR-RI dari Partai Demokrat ini bersabda: "Jokowi itu aneh, tidak konsisten. Dulu waktu jadi Walikota Solo mendukung mobil Esemka, kok sekarang jadi Gubernur Jakarta menolak mobil murah? Tidak konsisten." Itu sabda yang indah dan gaul, karena betapa logika publik dilecehkan di sana.
Hal yang juga dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) ketika membuat survey tentang calon presiden dengan memunculkan hanya Megawati dan Abirizal Bakrie yang muncul ke permukaan, sementara nama yang selama ini merajai seperti Jokowi dan Prabowo lenyap, karena keduanya dianggap capres wacana, alias belum memproklamirkan. Hahahaha. Siapa juga yang sudah proklamasi, kenapa untuk Jokowi dan Prabowo dibilang capres wacana, tapi tidak untuk Megawati dan Aburizal? Apakah keduanya juga bukan capres wacana? Logika publik kembali dilecehkan.
Anda ingat Farhat Abbas, seorang lawyer, selebritas, cagub, cabup, dan bahkan capres yang gempar sumpah pocong itu? Semua orang bisa dilecehkannya. Komentarnya suka melawan arus dan logika publik. Anda tahu, ketika ia mengikuti Pilkada di Kolaka? Hasilnya, cabup Farhat ini hanya memperoleh angka 3% suara, paling buncit sendiri.
Publik punya logika. Ia bernama moralitas umum. Hal-hal yang sederhana, tetapi sulit diukur oleh mereka yang tidak bisa mengekstraks nilai-nilai keadaban dan kemuliaan publik. Para fesbuker jika mau sohor juga gampang, jadilah berbeda. Kalau semua orang dukung Jokowi, cobalah anti-Jokowi. Jika semua orang dukung KPK, cobalah lecehkan KPK. Dan sejenisnya. Anda pasti akan cepat sohor, minimal dikagumi berpandangan beda. Tapi, apapun, ukuran publik yang sulit diduga, adalah soal niatan dan ketulusan, untuk apa berbeda demi popularitas? Itu melawan logika publik yang kesekian kalinya.
Susilo Bambang Yudho...yono, presiden RI yang 2014 harus selesai itu (bentar lagi, horeee), belum lama lalu menanggapi ramai-ramai soal Bunda Putri. Membuat konperensi pers kecil di tempat darurat (Halim Perdanakusuma, supaya berkesan betapa pentingnya), SBY marah-marah, menuding orang lain berbohong 1000 + 2000 persen. SBY minta hal ini dibongkar, ia perintahkan BIN dan internalnya mengusut. Eh, hanya berumur dua hari, SBY batal mengumumkan ke publik, siapa itu Bunda Putri, dengan alasan hanya untuk konsumsi internal. Kalau konsumsi internal kenapa harus konperensi pers? Wacana publik dibuka, tapi closingnya jelek. Dan itu segera menuding balik ke SBY, bahwa ia bohong dan tidak jujur. Ia melawan logika publik, sama denga ketika sejumlah survey mengatakan bahwa kinerja SBY-Boediono dinilai tidak memuaskan, dan kinerja ekonominya paling buruk, eh, SBY bisa-bisanya berkomentar dan mengklaim; Bahwa dia sudah bekerja mensejahterakan rakyat. Hahaha, cemen banget, nih, reaksinya.
Hal yang sama dilakukan oleh Hajah Nurhayati Ali Assegaf, yang setelah berkomentar soal kebakaran di Jakarta (terburuk di jaman Jokowi), lagi-lagi ketua fraksi DPR-RI dari Partai Demokrat ini bersabda: "Jokowi itu aneh, tidak konsisten. Dulu waktu jadi Walikota Solo mendukung mobil Esemka, kok sekarang jadi Gubernur Jakarta menolak mobil murah? Tidak konsisten." Itu sabda yang indah dan gaul, karena betapa logika publik dilecehkan di sana.
Hal yang juga dilakukan LSI (Lingkaran Survey Indonesia) ketika membuat survey tentang calon presiden dengan memunculkan hanya Megawati dan Abirizal Bakrie yang muncul ke permukaan, sementara nama yang selama ini merajai seperti Jokowi dan Prabowo lenyap, karena keduanya dianggap capres wacana, alias belum memproklamirkan. Hahahaha. Siapa juga yang sudah proklamasi, kenapa untuk Jokowi dan Prabowo dibilang capres wacana, tapi tidak untuk Megawati dan Aburizal? Apakah keduanya juga bukan capres wacana? Logika publik kembali dilecehkan.
Anda ingat Farhat Abbas, seorang lawyer, selebritas, cagub, cabup, dan bahkan capres yang gempar sumpah pocong itu? Semua orang bisa dilecehkannya. Komentarnya suka melawan arus dan logika publik. Anda tahu, ketika ia mengikuti Pilkada di Kolaka? Hasilnya, cabup Farhat ini hanya memperoleh angka 3% suara, paling buncit sendiri.
Publik punya logika. Ia bernama moralitas umum. Hal-hal yang sederhana, tetapi sulit diukur oleh mereka yang tidak bisa mengekstraks nilai-nilai keadaban dan kemuliaan publik. Para fesbuker jika mau sohor juga gampang, jadilah berbeda. Kalau semua orang dukung Jokowi, cobalah anti-Jokowi. Jika semua orang dukung KPK, cobalah lecehkan KPK. Dan sejenisnya. Anda pasti akan cepat sohor, minimal dikagumi berpandangan beda. Tapi, apapun, ukuran publik yang sulit diduga, adalah soal niatan dan ketulusan, untuk apa berbeda demi popularitas? Itu melawan logika publik yang kesekian kalinya.
Para Penonton Gadungan
Di dalam acara televisi Indonesia, ada begitu banyak penonton atau pemeriah acara. Dari sejak pagi, entah itu pemeriah bagi acara Ustaz Maulana, Mama Dedeh, hingga nanti kemudian Inbox, Dahsyat, dan terus sampai malam ke acara Twitteran, Fesbuker, Bukan 4 Mata (tapi Matamu), sampai Yuk's Keep Smile, dan seterusnya.
Format menyertakan penonton 'luar' dalam acara televisi, b...ukan monopoli Indonesia sesungguhnya, sekali pun seperti biasa, programmer acara televisi tentu saja tak ada yang tidak meniru program televisi luar. Hampir semua ada padanannya, dan itu menunjuk kreativitas orang televisi yang memerihkan. Bandingkan acara Tukul dengan acara Oprah Winfrey,di situ kita akan melihat beda eksploitasi dengan eksplorasi.
Dunia televisi kita adalah dunia kultur pop sebagai anak emas kapitalisme. Mantra kapitalisme, yang erat dengan pragmatisme (filsafat yang percaya semua hal dari segi manfaat bagi dirinya), tidak akan melihat apa itu dampak, efek, polusi atau pun limbah.
Karena itu, eksploitasi adalah senjata satu-satunya. Tak ada visi mengeksplorasi, menumbuhkan dan mendewasakan masyarakat penontonnya. Kalau bisa, penonton terus dan makin bodoh, maka eksploitasinya sukses menciptakan ketergantungan. Ketergantungan penonton itulah target goal untuk mendapat keuntungan dirinya.
Karena itu, untuk meyakinkan, mereka rela mengeluarkan uang untuk membayar penonton gadungan, yang tugasnya ketawa-ketawa, bersorak, tepuk-tangan, karena mereka sendiri juga tahu, tak ada yang pantas ditepuktangani secara tulus dan gratisan di sana. Baru kalau acara itu kuat, penonton disuruh antri mendaftar, atau kalau perlu membayar.
Apa yang terjadi dalam dunia hiburan televisi itu, bukanlah satu-satunya. Dalam panggung hiburan politik, itulah pula yang terjadi. Orang dibayar untuk memilihnya. Karena memilihnya cuma lima tahun sekali, membayarnya juga tentu tiap lima tahun sekali. Beda dengan televisi yang bisa 24 jam dalam seharmal.
Sama dengan penonton TV kita, yang dengan hadiah satu sampai lima juta saja, bungahnya bukan main. Padahal jika dibanding dengan perputaran duit dari iklan dan sponsor program, angka bebungah yang diberikan pada masyarakat, tak seberapa. Para politikus juga suka membayar pendukungnya dengan murah. Rata-rata di bawah Rp 100.000 yang nanti oleh calo bisa jadi sampai ke pemilih gadungan tinggal Rp 20.000. Sementara setelah menjadi orang berkuasa, tiba-tiba bisa kaya mendadak, dengan beberapa mobil mewah, beli tanah di sana-sini sebagai invest, atau untuk mencuci uangnya, yang memang benar-benar kotor dan bau.
Dalilnya sama. Penonton gadungan dilahirkan oleh penghibur gadungan. Sementara pemilih gadungan juga lahir dari politikus atau pemimpin gadungan. Tapi keduanya memberikan limbah dan polutan sama, kerusakan sebuah generasi.
Format menyertakan penonton 'luar' dalam acara televisi, b...ukan monopoli Indonesia sesungguhnya, sekali pun seperti biasa, programmer acara televisi tentu saja tak ada yang tidak meniru program televisi luar. Hampir semua ada padanannya, dan itu menunjuk kreativitas orang televisi yang memerihkan. Bandingkan acara Tukul dengan acara Oprah Winfrey,di situ kita akan melihat beda eksploitasi dengan eksplorasi.
Dunia televisi kita adalah dunia kultur pop sebagai anak emas kapitalisme. Mantra kapitalisme, yang erat dengan pragmatisme (filsafat yang percaya semua hal dari segi manfaat bagi dirinya), tidak akan melihat apa itu dampak, efek, polusi atau pun limbah.
Karena itu, eksploitasi adalah senjata satu-satunya. Tak ada visi mengeksplorasi, menumbuhkan dan mendewasakan masyarakat penontonnya. Kalau bisa, penonton terus dan makin bodoh, maka eksploitasinya sukses menciptakan ketergantungan. Ketergantungan penonton itulah target goal untuk mendapat keuntungan dirinya.
Karena itu, untuk meyakinkan, mereka rela mengeluarkan uang untuk membayar penonton gadungan, yang tugasnya ketawa-ketawa, bersorak, tepuk-tangan, karena mereka sendiri juga tahu, tak ada yang pantas ditepuktangani secara tulus dan gratisan di sana. Baru kalau acara itu kuat, penonton disuruh antri mendaftar, atau kalau perlu membayar.
Apa yang terjadi dalam dunia hiburan televisi itu, bukanlah satu-satunya. Dalam panggung hiburan politik, itulah pula yang terjadi. Orang dibayar untuk memilihnya. Karena memilihnya cuma lima tahun sekali, membayarnya juga tentu tiap lima tahun sekali. Beda dengan televisi yang bisa 24 jam dalam seharmal.
Sama dengan penonton TV kita, yang dengan hadiah satu sampai lima juta saja, bungahnya bukan main. Padahal jika dibanding dengan perputaran duit dari iklan dan sponsor program, angka bebungah yang diberikan pada masyarakat, tak seberapa. Para politikus juga suka membayar pendukungnya dengan murah. Rata-rata di bawah Rp 100.000 yang nanti oleh calo bisa jadi sampai ke pemilih gadungan tinggal Rp 20.000. Sementara setelah menjadi orang berkuasa, tiba-tiba bisa kaya mendadak, dengan beberapa mobil mewah, beli tanah di sana-sini sebagai invest, atau untuk mencuci uangnya, yang memang benar-benar kotor dan bau.
Dalilnya sama. Penonton gadungan dilahirkan oleh penghibur gadungan. Sementara pemilih gadungan juga lahir dari politikus atau pemimpin gadungan. Tapi keduanya memberikan limbah dan polutan sama, kerusakan sebuah generasi.
Republic Issues Production
Semakin agak sulit dibantah, gaya kepemimpinan SBY
menunjukkan kelasnya yang parah. Sensitivitas dan sensibilitasnya benar-benar
rendah. Tak jauh beda dengan negara teater Soeharto, namun dari segala sisi;
mulai gesture, mimik, blocking, moving, dan komposisi, SBY tidak memiliki
kemampuan keaktoran yang memadai. Dalam episode akhir-akhir ini saja, hanya
menunjukkan pola kepemimpinan yang lamban, ragu, reaktif, over-sensitif namun
bukan pada masalah-masalah yang substansial. Itu semua menjelaskan
ketidakmampuannya dalam kepemimpinan. Segala syaratnya tidak tercerminkan
disitu, kecuali cuma bisnis akting yang miskin, dalam kerumunan kamera yang
juga sama kelasnya, yakni kamera yang tidak mampu menembus di sebalik gambar.
Pada akhirnya, kita semua diseret dalam tontonan yang
melelahkan. Orang-orang yang konon ahli, dikumpulkan dalam sebuah talkshow dan
perbincangan tak berfokus di televisi. Penuh cengengesan dan hanya debat
semantik atau silat lidah. Semua kita dijebak dalam peristiwa demi peristiwa,
namun tidak pernah diantar sampai masalah dan apalagi akar masalah, untuk
kemudian menentukan agenda, prioritas, sistem, dan kemudian mekanismenya.
Sementara bangsa-bangsa lain, bahkan seperti Vietnam, Thailand, dan beberapa
negara Asean yang dulunya di buritan Indonesia, kini sudah melesat
meninggalkan. Indonesia sampai hari ini tetap tak punya proyeksi, gambaran masa
depan. Presiden terjebak dalam masalah-masalah teknis, sampai-sampai belibet
sendiri dengan soal sms (sementara isterinya dengan instagram). Ini benar-benar
kepemimpinan nasional paling parah sepanjang sejarah. Bangsa yang dibangun
dengan mimpi-mimpi besar oleh generasi Sukarno (dan dari sana lahir semangat,
motivasi, serta inspirasi), menjadi tidak punya pegangan dan pijakan. Bangsa
dan negara ini kini tak punya grand-design, mau ke mana dan 'ngapain' dengan
segala sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang besar?
Ketidakmampuan para elite nasional dalam melihat akar
masalah, serta ketidaktahuan dan ketidakmampuannya memberikan arah, menunjukkan
bahwa ada yang salah dalam bangsa dan negara Indonesia ini, apalagi ketika
banyak di antara mereka justeru terlibat dalam KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Tentu saja, salah satu kesalahannya ialah ketika SBY terpilih menjadi presiden.
Kenapa? Karena pada 2004 inilah pertama kali kita melakukan pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat. Dan rakyat yang masih terpukau dengan personalitas
tokoh, ternyata mereka lupa bahwa ketokohan di jaman digital ini dilahirkan
dari photoshop, retouching, digital printing, broadcasting, hingga bisa
menyulap si wajah setan menjadi malaikat.
Padahal, tidak ada gagasan yang memimpin di sana, dan
karenanya tidak ada kualitas kepemimpinan dimunculkan.
Jika Indonesia masih berdiri hingga kini, lebih karena SDA
dan SDM-nya yang besar. Yang tentu saja, itu semua hanya persoalan waktu, untuk
bertahan. Karena jika kepemimpinan Indonesia "gini-gini" aja, pada
akhirnya negara dan bangsa ini akan amblas tergadaikan, dan kita hanya sebagai
bangsa pekerja atau kuli, di negeri sendiri. Hanya bisa melongo berpuluh-puluh
digit angka berseliweran dari kantong kita ke luar negeri.
Sementara itu, berapa nilai hutang luar negeri kita selama
10 tahun terakhir ini? Berapa jumlah tenaga kerja produktif kita yang tidak
terserap oleh pusaran ekonomi nasional kita? Berapa nilai investasi dari kaum
modal asing di tanah air ini, dan bagaimana perimbangannya dengan kekuatan
dalam negeri? Berapa nilai ekspor dan import kita, lebih gedean mana dan
kenapa?
Dan kita masih ribut soal-soal bagaimana cara memberantas
korupsi, siapa yang lebih berwajib, saling tuding dan menyalahkan, hingga masih
muncul kata-kata; dia tak layak menjadi presiden (tetapi di sisi lain, yang
lebih tak layak tetap boleh menjadi presiden). Ini memang negeri blangsak, yang
kesibukannya hanya mereproduksi isyu untuk bluffing.
Minggu, Oktober 20, 2013
Badut-badut Republik
Kalau para facebooker (juga para blogger) ngomong ngawur, mungkin kita masih bisa maklum. Karena, sejak kapan sih kita belajar bermedia?
Tapi kalau seorang ketua fraksi DPR-RI ngomong ngawur, seorang Ibu Negara membalas komen followernya sebagai bodoh, atau presiden yang marah-marah di depan publik kemudian mengingkari janjinya yang hanya berusia dua hari, kita mau mengataka...n apa?
Kita dipertontonkan dengan aneka ketidakpantasan, tak ada keteladanan. Politik yang mestinya untuk memuliakan marwah bangsa dan negara, hanya sekedar menjadi alat untuk mempertontonkan kedogolan dan kejahatan menyatu. Dan sejak Orde "Soeharto" Baru, bangsa ini memang sama sekali tak diajari (dan diberi contoh) etika dalam segala hal, baik lewat pendidikan maupun agama.
Para politikus kita, lebih-lebih, tidak yang tua tidak yang muda, tidak yang cuma lulusan SMA atau yang lulusan Amerika, menunjukkan kualitas yang lebih parah. Mereka tidak melihat parpol sebagai politik, melainkan sebagai partai. Politik hanyalah alasan, tapi partai lebih mereka dahulukan. Antarpolitikus saling serang dan saling cari celah kelemahan, dengan kualitas bahasa yang menunjukkan rendahnya etika mereka. Dan politik akhirnya tak berfungsi sama sekali, kecuali hanya untuk mereka yang bermain. Betapa beda kualitasnya dengan politisi era sebelum Orba. Ada moralitas, etika, keteladanan, ketulusan, satunya kata dan perbuatan, dan bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara.
Terlalu banyak orang pinter-keminter, dan tiba-tiba Mahkamah Konstitusi yang mestinya memecahkan kemampatan berkonstitusi, justru menjadi sumber persoalan baru. Betapa memalukannya, lembaga negara termuda di dunia, tapi pertama kali dan satu-satunya di dunia, yang terserimpung kasus penyelewengan hukum. Sudah begitu, tak mau diawasi. Coba jika presidennya berintegritas, rakyat pasti mendukung jika ia berani membekukan MK, bukannya malah ditinggal nulis di atas foto Pak Harto di Kemusuk, "Hormat kami rakyat Indonesia kepada Bapak Soeharto, pejuang kemerdekaan dan pemimpin pembangunan. Terima kasih atas jasa Bapak." Menjijikkan.
Todong-menodong dalam lingkaran, tuding-menuding dalam lingkaran, menurut sang traubador Leo Imam Soekarno (Konser Rakyat Leo Kristi), itu komedi badut-badut. Kalau mereka badut-badut yang suka tebar nomor HP di tembok kota dan tiang listrik, tak apa. Mereka bisa membuat ketawa anak-anak kecil. Tapi badut-badut politik dan badut-badut agama? Mereka diam-diam melakukan genoside bagi jutaan anak-anak Indonesia kelak.
Bagaimana kita bisa berbangga, bila untuk penegakan hukum, yang bernama komisioner di Komisi Yudisial bisa berkata; bahwa untuk penegakan hukum di Indonesia, gaji seorang hakim agung idealnya Rp 200 juta perbulan. Ukuran idealnya adalah uang. Dan itu sumber petaka Indonesia, karena bukan hanya kualitas, tapi orientasi para politikus dan pejabat publik kita, hanyalah uang untuk kepentingan mereka sendiri. Bukan soal kualitas kinerja untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kita dididik untuk mendewakan manusia pemimpin, bukan pemimpin manusia yang ditumbuhkan dari sistem dan mekanisme. Don't follow the leader!
Tapi kalau seorang ketua fraksi DPR-RI ngomong ngawur, seorang Ibu Negara membalas komen followernya sebagai bodoh, atau presiden yang marah-marah di depan publik kemudian mengingkari janjinya yang hanya berusia dua hari, kita mau mengataka...n apa?
Kita dipertontonkan dengan aneka ketidakpantasan, tak ada keteladanan. Politik yang mestinya untuk memuliakan marwah bangsa dan negara, hanya sekedar menjadi alat untuk mempertontonkan kedogolan dan kejahatan menyatu. Dan sejak Orde "Soeharto" Baru, bangsa ini memang sama sekali tak diajari (dan diberi contoh) etika dalam segala hal, baik lewat pendidikan maupun agama.
Para politikus kita, lebih-lebih, tidak yang tua tidak yang muda, tidak yang cuma lulusan SMA atau yang lulusan Amerika, menunjukkan kualitas yang lebih parah. Mereka tidak melihat parpol sebagai politik, melainkan sebagai partai. Politik hanyalah alasan, tapi partai lebih mereka dahulukan. Antarpolitikus saling serang dan saling cari celah kelemahan, dengan kualitas bahasa yang menunjukkan rendahnya etika mereka. Dan politik akhirnya tak berfungsi sama sekali, kecuali hanya untuk mereka yang bermain. Betapa beda kualitasnya dengan politisi era sebelum Orba. Ada moralitas, etika, keteladanan, ketulusan, satunya kata dan perbuatan, dan bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara.
Terlalu banyak orang pinter-keminter, dan tiba-tiba Mahkamah Konstitusi yang mestinya memecahkan kemampatan berkonstitusi, justru menjadi sumber persoalan baru. Betapa memalukannya, lembaga negara termuda di dunia, tapi pertama kali dan satu-satunya di dunia, yang terserimpung kasus penyelewengan hukum. Sudah begitu, tak mau diawasi. Coba jika presidennya berintegritas, rakyat pasti mendukung jika ia berani membekukan MK, bukannya malah ditinggal nulis di atas foto Pak Harto di Kemusuk, "Hormat kami rakyat Indonesia kepada Bapak Soeharto, pejuang kemerdekaan dan pemimpin pembangunan. Terima kasih atas jasa Bapak." Menjijikkan.
Todong-menodong dalam lingkaran, tuding-menuding dalam lingkaran, menurut sang traubador Leo Imam Soekarno (Konser Rakyat Leo Kristi), itu komedi badut-badut. Kalau mereka badut-badut yang suka tebar nomor HP di tembok kota dan tiang listrik, tak apa. Mereka bisa membuat ketawa anak-anak kecil. Tapi badut-badut politik dan badut-badut agama? Mereka diam-diam melakukan genoside bagi jutaan anak-anak Indonesia kelak.
Bagaimana kita bisa berbangga, bila untuk penegakan hukum, yang bernama komisioner di Komisi Yudisial bisa berkata; bahwa untuk penegakan hukum di Indonesia, gaji seorang hakim agung idealnya Rp 200 juta perbulan. Ukuran idealnya adalah uang. Dan itu sumber petaka Indonesia, karena bukan hanya kualitas, tapi orientasi para politikus dan pejabat publik kita, hanyalah uang untuk kepentingan mereka sendiri. Bukan soal kualitas kinerja untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kita dididik untuk mendewakan manusia pemimpin, bukan pemimpin manusia yang ditumbuhkan dari sistem dan mekanisme. Don't follow the leader!
Jumat, Oktober 18, 2013
Rizal Mallarangeng, Manusia Biasa Saja, dan Bisa Salah
"Kali ini KPK salah. KPK itu juga
manusia, manusia bisa salah, hanya Tuhan yang tidak bisa salah,"
demikian kutbah Rizal Mallarangeng mengomentari penahanan Andi
Malarangeng, kakaknya, yang terbelit kasus Hambalang.
Jika kita memakai logika Celly (RM) ini, kita akan ikut sesat pikir. Pertama tentu maklumilah kegundahan beliau sebagai adik atau bagian dari marwah keluarga. Tapi mengatakan KPK adalah juga manusia, sama seperti ketika orang bersalah dan dirinya (atau pembelanya) mengatakan "kita manusia biasa, manusia biasa bisa salah, hanya Tuhan yang tidak bisa salah".
KPK tentu saja bukan manusia, semua orang tahu. KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga negara yang dibentuk dan dijalankan oleh suatu sistem, aturan, yang tentu saja dipikirkan dan dijalankan oleh manusia.
Pernyataan Celly me-nonsens-kan sistem yang ada di sana. Jika sistem bekerja dengan baik, dijalankan dengan taat aturan dan diawasi atau diaudit secara ketat, maka dari sanalah kita harus menilai atau mengukurnya. Bukan karena soal manusia atau bukan.
Kenapa menilai "lawan kepentingan" dengan dalil normatif, dan kehilangan keadilan serta daya kritis? Kita mengatakan, itulah manusia. Tapi pada mesin uang bernama ATM, kita percaya saja dan tidak cerewet ketika mengambil uang disana. Baru complain kalau kartu ATM kita ketelen, atau "lho, kok saldonya minus,..." Tapi toh itu semua akan bisa diurus (dengan manusia pegawai bank), jika semua datanya valid? Jika begitu, apa masalahnya? Sistem dan mekanisme yang teratur bukan?
Manusia bukan mesin. Karena itu, Akil Mochtar bisa berkata dia ke Singapura untuk menonton Formula One. Misalnya itu benar, itu pun tentu akan jadi persoalan (etik). Hakim agung, negarawan, nonton balap F1 ke Singapore? Nanti pasti ada yang menjawab; "hakim 'kan juga manusia biasa, butuh hiburan,..." Iyalah, kalau luar biasa, tentu tidak korup!
Bagaimana kalau kenyataannya, seperti pengakuan TCW yang disampaikan pengacaranya, bahwa Akil Mochtar memang bertemu dengan Ratu Atut di Singapura untuk membicarakan kasus sengketa Pilkada? Mana yang manusia dan mana yang bukan manusia?
Kilah manusia ini di sisi lain juga bisa untuk melecehkan fungsi manusia pada sebuah lembaga. Sebut contoh misalnya, ketika "lawan-lawan politik" atau pembenci Jokowi-Ahok. Setahun memimpin Jakarta, ada kritik bahwa keduanya tidak punya ide orisinal. Semua itu warisan Ali Sadikin, Sutiyoso, Foke, dan seterusnya. Tapi di sisi lain, kalau ganti pejabat ganti aturan, kita marah-marah. Hei, apa sih maumu? Adillah dalam berfikir.
Penilaian itu benar banget. Jokowi-Ahok pun terbuka mengatakan itu. Memimpin Jakarta itu mudah, wong semua sudah dipiikirkan bahkan sejak puluhan tahun lampau. Masalahnya, kenapa tidak berjalan dan tidak ada eksekusi? Orang disebut eksekutif karena dia bertugas mengeksekusi. Jika tak ada keputusan apapun, eksekutif macam apa?
Mindset kita tentang pejabat negara, mengidolakan dia bukan manusia tetapi dewa, manusia setengah dewa atau setengah malaikat.
Padahal, mestinya dari presiden, menteri, anggota parlemen, itu memang manusia biasa dalam konteks mereka bekerja sebagai manusia, di dalam sistem yang dipikirkan dan dibuat untuk kemaslahatan bersama. Itu saja. Jokowi-Ahok bisa jadi dicintai dan didukung justeru karena mereka manusia biasa, bekerja secara biasa, sebagai pekerja, sebagai pelayan.
Manusia biasa adalah manusia yang tidak complex. Sementara Celly tampak belibet banget dengan bahasa dan istilah-istilah, yang kesimpulannya sudah final, bahwa pihak lain salah. Itu pikiran kepentingan, sama seperti Amien Rais, dan para pengritik Jokowi-Ahok. Kecenderungannya sama, kehilangan perspektif, dan jadi tidak proporsional. Kelak, jika jaman peradaban ini makin computerized, akan lebih nyaman kita punya presiden berjenis robot?
Jika kita memakai logika Celly (RM) ini, kita akan ikut sesat pikir. Pertama tentu maklumilah kegundahan beliau sebagai adik atau bagian dari marwah keluarga. Tapi mengatakan KPK adalah juga manusia, sama seperti ketika orang bersalah dan dirinya (atau pembelanya) mengatakan "kita manusia biasa, manusia biasa bisa salah, hanya Tuhan yang tidak bisa salah".
KPK tentu saja bukan manusia, semua orang tahu. KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga negara yang dibentuk dan dijalankan oleh suatu sistem, aturan, yang tentu saja dipikirkan dan dijalankan oleh manusia.
Pernyataan Celly me-nonsens-kan sistem yang ada di sana. Jika sistem bekerja dengan baik, dijalankan dengan taat aturan dan diawasi atau diaudit secara ketat, maka dari sanalah kita harus menilai atau mengukurnya. Bukan karena soal manusia atau bukan.
Kenapa menilai "lawan kepentingan" dengan dalil normatif, dan kehilangan keadilan serta daya kritis? Kita mengatakan, itulah manusia. Tapi pada mesin uang bernama ATM, kita percaya saja dan tidak cerewet ketika mengambil uang disana. Baru complain kalau kartu ATM kita ketelen, atau "lho, kok saldonya minus,..." Tapi toh itu semua akan bisa diurus (dengan manusia pegawai bank), jika semua datanya valid? Jika begitu, apa masalahnya? Sistem dan mekanisme yang teratur bukan?
Manusia bukan mesin. Karena itu, Akil Mochtar bisa berkata dia ke Singapura untuk menonton Formula One. Misalnya itu benar, itu pun tentu akan jadi persoalan (etik). Hakim agung, negarawan, nonton balap F1 ke Singapore? Nanti pasti ada yang menjawab; "hakim 'kan juga manusia biasa, butuh hiburan,..." Iyalah, kalau luar biasa, tentu tidak korup!
Bagaimana kalau kenyataannya, seperti pengakuan TCW yang disampaikan pengacaranya, bahwa Akil Mochtar memang bertemu dengan Ratu Atut di Singapura untuk membicarakan kasus sengketa Pilkada? Mana yang manusia dan mana yang bukan manusia?
Kilah manusia ini di sisi lain juga bisa untuk melecehkan fungsi manusia pada sebuah lembaga. Sebut contoh misalnya, ketika "lawan-lawan politik" atau pembenci Jokowi-Ahok. Setahun memimpin Jakarta, ada kritik bahwa keduanya tidak punya ide orisinal. Semua itu warisan Ali Sadikin, Sutiyoso, Foke, dan seterusnya. Tapi di sisi lain, kalau ganti pejabat ganti aturan, kita marah-marah. Hei, apa sih maumu? Adillah dalam berfikir.
Penilaian itu benar banget. Jokowi-Ahok pun terbuka mengatakan itu. Memimpin Jakarta itu mudah, wong semua sudah dipiikirkan bahkan sejak puluhan tahun lampau. Masalahnya, kenapa tidak berjalan dan tidak ada eksekusi? Orang disebut eksekutif karena dia bertugas mengeksekusi. Jika tak ada keputusan apapun, eksekutif macam apa?
Mindset kita tentang pejabat negara, mengidolakan dia bukan manusia tetapi dewa, manusia setengah dewa atau setengah malaikat.
Padahal, mestinya dari presiden, menteri, anggota parlemen, itu memang manusia biasa dalam konteks mereka bekerja sebagai manusia, di dalam sistem yang dipikirkan dan dibuat untuk kemaslahatan bersama. Itu saja. Jokowi-Ahok bisa jadi dicintai dan didukung justeru karena mereka manusia biasa, bekerja secara biasa, sebagai pekerja, sebagai pelayan.
Manusia biasa adalah manusia yang tidak complex. Sementara Celly tampak belibet banget dengan bahasa dan istilah-istilah, yang kesimpulannya sudah final, bahwa pihak lain salah. Itu pikiran kepentingan, sama seperti Amien Rais, dan para pengritik Jokowi-Ahok. Kecenderungannya sama, kehilangan perspektif, dan jadi tidak proporsional. Kelak, jika jaman peradaban ini makin computerized, akan lebih nyaman kita punya presiden berjenis robot?
Iklan Capres Bagaimana Membacanya?
Iklan politik yang banyak diputar di TV One, adalah
iklan Capres ARB tentang ayahnya. Dikatakannya, Achmad Bakrie (1916 –
1988) adalah seorang pengusaha Indonesia, yang hanya anak petani dan
hanya tamatan SR (Sekolah Rakyat, atau setingkat SD). Meski hanya
tamatan SD, Achmad Bakrie bisa menciptakan lapangan kerja untuk puluhan
ribu orang.
Lha, kalau hanya anak petani dan hanya tamatan SD saja bisa sesukses itu, masa iya "kalian" yang lulusan SMK (dan bukan anak petani) tidak bisa melakukan lebih baik? Kalau tidak bisa ('kan logikanya), Achmad Bakrie adalah orang hebat? Orang hebat, (pastilah) akan melahirkan anak yang hebat (yakni ARB), yang pantas sebagai capres. Begitu logika komunikasi yang hendak dibangunnya.
Begitu? Kayaknya tidak!
Achmad Bakrie menurut data sejarah, sekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS). Ini sekolah pada zaman penjajahan Belanda, pertama kali didirikan di Indonesia pada tahun 1914. Sekolah ini ada pada jenjang Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar sekarang, namun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs). Bedakan dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah.
Di luar jalur resmi Pemerintah Hindia Belanda, maka masih ada pihak swasta seperti Taman Siswa, Perguruan Rakyat, Kristen dan Katholik. Pada jalur pendidikan Islam ada pendidikan yang diselenggrakan oleh Muhamadiyah, Pondok Pesantren, dll.
HIS diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli (maka disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda). Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama pendidikan 7 tahun.
Pada sisi ini jelas bukan? Posisi sosial AB, berbeda dengan rakyat jelata yang kemungkinan dan aksesnya lebih kecil. AB mempunyai previlege dalam akses pendidikan karena status sosial orangtua, yang tidak semua anak mendapatkan. Benarkah AB anak petani? Kalau pun benar, bisa dipastikan bukan "petani" sembarangan. Bisa jadi tuan tanah, atau kaum modal.
Bisa bersekolah di HIS, jika dibaca dalam konteks masa itu, tentu posisi yang hebat. Jika membandingkan dengan lulusan SMKN jaman sekarang, jangan dalam pengertian membandingkan lulusan SD (sekarang) dengan lulusan SMKN (sekarang). Jangankan lulusan SMKN, bahkan lulusan Perguruan Tinggi sekarang pun, yang mampu menciptakan lapangan kerja tidak lebih 5% dari total lulusan perguruan tinggi.
Perbandingan yang adil, adalah buah pikiran yang adil. Adillah sejak dari pikiran, dan Anda akan tidak kelihatan bodo banget. Semoga kita cerdas membaca iklan, dan teliti sebelum membeli.
Lha, kalau hanya anak petani dan hanya tamatan SD saja bisa sesukses itu, masa iya "kalian" yang lulusan SMK (dan bukan anak petani) tidak bisa melakukan lebih baik? Kalau tidak bisa ('kan logikanya), Achmad Bakrie adalah orang hebat? Orang hebat, (pastilah) akan melahirkan anak yang hebat (yakni ARB), yang pantas sebagai capres. Begitu logika komunikasi yang hendak dibangunnya.
Begitu? Kayaknya tidak!
Achmad Bakrie menurut data sejarah, sekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS). Ini sekolah pada zaman penjajahan Belanda, pertama kali didirikan di Indonesia pada tahun 1914. Sekolah ini ada pada jenjang Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar sekarang, namun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs). Bedakan dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah.
Di luar jalur resmi Pemerintah Hindia Belanda, maka masih ada pihak swasta seperti Taman Siswa, Perguruan Rakyat, Kristen dan Katholik. Pada jalur pendidikan Islam ada pendidikan yang diselenggrakan oleh Muhamadiyah, Pondok Pesantren, dll.
HIS diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli (maka disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda). Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama pendidikan 7 tahun.
Pada sisi ini jelas bukan? Posisi sosial AB, berbeda dengan rakyat jelata yang kemungkinan dan aksesnya lebih kecil. AB mempunyai previlege dalam akses pendidikan karena status sosial orangtua, yang tidak semua anak mendapatkan. Benarkah AB anak petani? Kalau pun benar, bisa dipastikan bukan "petani" sembarangan. Bisa jadi tuan tanah, atau kaum modal.
Bisa bersekolah di HIS, jika dibaca dalam konteks masa itu, tentu posisi yang hebat. Jika membandingkan dengan lulusan SMKN jaman sekarang, jangan dalam pengertian membandingkan lulusan SD (sekarang) dengan lulusan SMKN (sekarang). Jangankan lulusan SMKN, bahkan lulusan Perguruan Tinggi sekarang pun, yang mampu menciptakan lapangan kerja tidak lebih 5% dari total lulusan perguruan tinggi.
Perbandingan yang adil, adalah buah pikiran yang adil. Adillah sejak dari pikiran, dan Anda akan tidak kelihatan bodo banget. Semoga kita cerdas membaca iklan, dan teliti sebelum membeli.
ARB dan Kualitas Sebagai Capres
Selain mempunyai presiden yang kurang
bermutu, kita agakya juga punya banyak capres tidak bermutu. Salah
satunya berinisial ARB, yang rajin mengiklankan dirinya di televisi.
Salah satu komentarnya yang menunjukkan kualitasnya, ialah ketika ARB
mengatakan; dinasti kekuasaan politik Ratu Atut Choisiyah, tidak
masalah, masih dalam batas kewajaran. Dan, masih menurutnya, semua itu karena dikehendaki rakyat Banten.
Komentarnya itu, menunjukkan ketidakpekaannya dan berlagak (atau memang) tidak tahu, bagaimana sistem kekuasaan (dengan kartel politiknya) berjalan di Indonesia.
Tentu saja, soal Atut Choisiyah belum terbukti kebenarannya. Namun bukankah indikasinya bisa disebutkan di sana? Bukan indikasi berdasar rumors, namun berdasar berbagai penyelisikan dan data. Indonesia Corruption Watch dan Mata Banten, tentu mempertaruhkan kredibilitasnya jika hanya asbun dan fitnah mengatakan praktik KKN, dan bagaimana gurita bisnis Ratu Atut menguasai berbagai proyek pembangunan Banten. Demikian juga politik uang dalam berbagai pilkada, bupati dan walkot, di wilayah Banten yang konon kaya, namun indeks kesejahteraan penduduknya minus.
Dinasti politik horisontal (yang menyebar seperti keluarga Atut) rentan praktik korupsi. Jika ada capres yang menonsenskan hal itu, menjadi sangat meragukan Indonesia bakal bisa menekan angka KKN.
Beberapa data yang dipegang KPK mengenai Atut, tentang beberapa kali pertemuan rahasia Akil Mochtar (selaku Ketua MK) dengan Atut di Singapore, menunjuk bagaimana praktik politik yang monolitik itu rawan penyelewengan. Bagaimana kalau AM, melalui MK, terbukti memenangkan beberapa pilkada di Banten (termasuk di Lebak, di mana klan Atut dikalahkan)? Dan itu semua berlangsung dari 2011-2013.
Setelah SBY yang begitu banyak terjerat kepentingan kompromi, akankah Indonesia rela dipimpin ARB yang tak sensitif, dan sama saja itu?
Komentarnya itu, menunjukkan ketidakpekaannya dan berlagak (atau memang) tidak tahu, bagaimana sistem kekuasaan (dengan kartel politiknya) berjalan di Indonesia.
Tentu saja, soal Atut Choisiyah belum terbukti kebenarannya. Namun bukankah indikasinya bisa disebutkan di sana? Bukan indikasi berdasar rumors, namun berdasar berbagai penyelisikan dan data. Indonesia Corruption Watch dan Mata Banten, tentu mempertaruhkan kredibilitasnya jika hanya asbun dan fitnah mengatakan praktik KKN, dan bagaimana gurita bisnis Ratu Atut menguasai berbagai proyek pembangunan Banten. Demikian juga politik uang dalam berbagai pilkada, bupati dan walkot, di wilayah Banten yang konon kaya, namun indeks kesejahteraan penduduknya minus.
Dinasti politik horisontal (yang menyebar seperti keluarga Atut) rentan praktik korupsi. Jika ada capres yang menonsenskan hal itu, menjadi sangat meragukan Indonesia bakal bisa menekan angka KKN.
Beberapa data yang dipegang KPK mengenai Atut, tentang beberapa kali pertemuan rahasia Akil Mochtar (selaku Ketua MK) dengan Atut di Singapore, menunjuk bagaimana praktik politik yang monolitik itu rawan penyelewengan. Bagaimana kalau AM, melalui MK, terbukti memenangkan beberapa pilkada di Banten (termasuk di Lebak, di mana klan Atut dikalahkan)? Dan itu semua berlangsung dari 2011-2013.
Setelah SBY yang begitu banyak terjerat kepentingan kompromi, akankah Indonesia rela dipimpin ARB yang tak sensitif, dan sama saja itu?
Dialog Dua Ekor Tikus Got
"Beruntunglah kita jadi tikus, Beib. Tidak kayak sapi dan kambing itu. Kasihan mereka besok!"
"Beruntung gimana, Say? Di sini kita jadi simbol koruptor, tapi kita nggak pernah nikmati duit yang mereka korup."
"Itu salah kita, kenapa berumah di rumah orang miskin! Kalau berumah di rumah mereka, pasti kita nikmati hasil korupsi mereka 'kan, Beib?"
"Terus berumah di rumah Akil Mochtar? Rumah Atut Choisiyah? Rumah SBY? Baru nongol kumismu, bisa celaka kita, Say,..."
"Kan rumah mereka pasti bersih, Beib, aman,..."
"Tentu saja, Say. Rumah mereka bukan hanya dijaga Satpol PP, tapi juga Polisi, bahkan di Cikeas, dijaga tentara pilihan!"
"Ada CCTV-nya juga, Beib?"
"Ada 'lah, Say! Kalau langsung ditembak mati ngga papa, tapi kalau di-interograsi mereka itu lho, capek kita njawabnya. Lagian, makanan mereka pasti dimasukin ke kulkas, kulkas tujuh pintu, brrrrr, gimana masuknya?"
"Lha kalau kita jadi simbol koruptor, 'kan kita pasti punya kemampuan lebih dari koruptor, Beib? Kita pasti bisa nembus. Makanan mereka pasti enak-enak. Bosen tikus kok cuma makan tempe ama tahu mulu. Nggak keren!"
"Nggak keren gimana, Say? Di negeri ini, harga kedelai mahal, sementara harga mobil murah. Itu tandanya, makan tempe ama tahu itu lebih keren daripada makan mobil murah! Lihat, AM ama TCW, mereka beli mobil yang mewah, bukan mobil murah."
"Kalau AM 'kan sopirnya yang beli mobil mewah, bukan AM-nya. Kalau sopirnya bisa beli mobil mewah, AM-nya pasti gengsi beli mobil mewah. Lagian dia 'kan hakim yang agung, negarawan, Beib. Pasti soal dunia sudah beyond. Makanya dia kepilih jadi ketua MK. Sopirnya beli mobil mewah dia tenang saja. Enakan ngeganja, enjoy, Beib!"
"Terus kita protes pada siapa, Say?"
"Protes pada kartunis, atau ke Iwan Fals tuh. Mereka yang ngambingitemin kita jadi koruptor, Beib."
"Kita jadi ke Cikeas nggak, Say?"
"Nggak usah. Kita mengerati makanan manusia-manusia miskin saja, Beib. Rumah mereka lebih aman untuk kita,..."
"Lha, koruptor 'kan juga ngomongnya gitu, Say?"
"Tapi 'kan bahasa ama caranya beda. Lagi pula, mereka mesti sekolah dulu, sampai ke luar negeri, jadi doktor, Beib. Kita 'kan tikus got yang sejati, bukan manusia jejadian,...!"
"Beruntung gimana, Say? Di sini kita jadi simbol koruptor, tapi kita nggak pernah nikmati duit yang mereka korup."
"Itu salah kita, kenapa berumah di rumah orang miskin! Kalau berumah di rumah mereka, pasti kita nikmati hasil korupsi mereka 'kan, Beib?"
"Terus berumah di rumah Akil Mochtar? Rumah Atut Choisiyah? Rumah SBY? Baru nongol kumismu, bisa celaka kita, Say,..."
"Kan rumah mereka pasti bersih, Beib, aman,..."
"Tentu saja, Say. Rumah mereka bukan hanya dijaga Satpol PP, tapi juga Polisi, bahkan di Cikeas, dijaga tentara pilihan!"
"Ada CCTV-nya juga, Beib?"
"Ada 'lah, Say! Kalau langsung ditembak mati ngga papa, tapi kalau di-interograsi mereka itu lho, capek kita njawabnya. Lagian, makanan mereka pasti dimasukin ke kulkas, kulkas tujuh pintu, brrrrr, gimana masuknya?"
"Lha kalau kita jadi simbol koruptor, 'kan kita pasti punya kemampuan lebih dari koruptor, Beib? Kita pasti bisa nembus. Makanan mereka pasti enak-enak. Bosen tikus kok cuma makan tempe ama tahu mulu. Nggak keren!"
"Nggak keren gimana, Say? Di negeri ini, harga kedelai mahal, sementara harga mobil murah. Itu tandanya, makan tempe ama tahu itu lebih keren daripada makan mobil murah! Lihat, AM ama TCW, mereka beli mobil yang mewah, bukan mobil murah."
"Kalau AM 'kan sopirnya yang beli mobil mewah, bukan AM-nya. Kalau sopirnya bisa beli mobil mewah, AM-nya pasti gengsi beli mobil mewah. Lagian dia 'kan hakim yang agung, negarawan, Beib. Pasti soal dunia sudah beyond. Makanya dia kepilih jadi ketua MK. Sopirnya beli mobil mewah dia tenang saja. Enakan ngeganja, enjoy, Beib!"
"Terus kita protes pada siapa, Say?"
"Protes pada kartunis, atau ke Iwan Fals tuh. Mereka yang ngambingitemin kita jadi koruptor, Beib."
"Kita jadi ke Cikeas nggak, Say?"
"Nggak usah. Kita mengerati makanan manusia-manusia miskin saja, Beib. Rumah mereka lebih aman untuk kita,..."
"Lha, koruptor 'kan juga ngomongnya gitu, Say?"
"Tapi 'kan bahasa ama caranya beda. Lagi pula, mereka mesti sekolah dulu, sampai ke luar negeri, jadi doktor, Beib. Kita 'kan tikus got yang sejati, bukan manusia jejadian,...!"
Agama Kepentingan Kita Apa?
Kalau seseorang, yang kebetulan menduduki jabatan
tinggi dan terhormat, atau ia seorang yang terkenal, top idolatry,
dipuja-puja banyak orang, kemudian melakukan korupsi, kesalahan,
ketidakpatutan, atau aib; apa yang dikatakan para pemuja atau
pembelanya?
Dia 'kan juga manusia!
Maka sering muncul kata-kata usang, bahwa rocker juga manusia, presiden juga manusia, ketua MK juga manusia, anggota parlemen juga manusia, rektor juga manusia, ketua parpol juga manusia, capres juga manusia, menteri juga manusia, fesbuker juga manusia. Dan seterusnya.
Apakah kita lupa, bahwa maling ayam juga manusia, copet juga manusia, pelacur Dolly juga manusia? Kenapa mereka tidak korupsi, atau maling duit negara?
Ya, tidak mungkin, jawab kita. Mereka 'kan bukan pejabat negara.
Kalau demikian, lantas kalau mereka beda dalam jabatan dan status, tetapi sama-sama manusia, di mana sesungguhnya persoalan kita?
Ikan hidup di air. Singa hidup di hutan raya (tentu manusia sajalah yang membuatnya hidup di kandang). Onta hidup di Arab (hanya kitalah yang mengandakannya di kebun binatang). Semua punya sistem, mekanisme, dan hukum masing-masing.
Namun kepentingan telah mengubahnya begitu rupa. Pemujaan kita pada manusia, apalagi pada pejabat negara atau pejabat publik, kadang tidak rasional dan tidak proporsional. Hanya karena dia telah menolong kita, memberi duit dan jabatan pada kita, atau karena kita seneng dengan dia karena satu ideologi dan sebagainya. Dan jiwa yang korup, pasti akan melemahkan daya kritis kita dengan iming-iming itu.
Kepentingan telah menjadi agama baru kita. Dan orang akan bertarik-urat soal ini, jika tak ada kepentingan, bagaimana kita bisa hidup? Tentu saja. Tapi bukankah artinya semua orang punya kepentingan? Dan kepentingan bisa tidak sama, atau bahkan bertabrakan?
Para nabi, para filsuf, para leluhur atau nenek-moyang kita, telah mengajari kita, bahwa kemutlakan semutlak-mutlaknya bukanlah milik manusia. Lihat saja Soeharto, lihat saja MK Indonesia, lihat saja nanti Atut Choisiyah, lihat saja nanti SBY dengan Pardem, dan seterusnya.
Apa kepentingan kita sebenarnya?
Dia 'kan juga manusia!
Maka sering muncul kata-kata usang, bahwa rocker juga manusia, presiden juga manusia, ketua MK juga manusia, anggota parlemen juga manusia, rektor juga manusia, ketua parpol juga manusia, capres juga manusia, menteri juga manusia, fesbuker juga manusia. Dan seterusnya.
Apakah kita lupa, bahwa maling ayam juga manusia, copet juga manusia, pelacur Dolly juga manusia? Kenapa mereka tidak korupsi, atau maling duit negara?
Ya, tidak mungkin, jawab kita. Mereka 'kan bukan pejabat negara.
Kalau demikian, lantas kalau mereka beda dalam jabatan dan status, tetapi sama-sama manusia, di mana sesungguhnya persoalan kita?
Ikan hidup di air. Singa hidup di hutan raya (tentu manusia sajalah yang membuatnya hidup di kandang). Onta hidup di Arab (hanya kitalah yang mengandakannya di kebun binatang). Semua punya sistem, mekanisme, dan hukum masing-masing.
Namun kepentingan telah mengubahnya begitu rupa. Pemujaan kita pada manusia, apalagi pada pejabat negara atau pejabat publik, kadang tidak rasional dan tidak proporsional. Hanya karena dia telah menolong kita, memberi duit dan jabatan pada kita, atau karena kita seneng dengan dia karena satu ideologi dan sebagainya. Dan jiwa yang korup, pasti akan melemahkan daya kritis kita dengan iming-iming itu.
Kepentingan telah menjadi agama baru kita. Dan orang akan bertarik-urat soal ini, jika tak ada kepentingan, bagaimana kita bisa hidup? Tentu saja. Tapi bukankah artinya semua orang punya kepentingan? Dan kepentingan bisa tidak sama, atau bahkan bertabrakan?
Para nabi, para filsuf, para leluhur atau nenek-moyang kita, telah mengajari kita, bahwa kemutlakan semutlak-mutlaknya bukanlah milik manusia. Lihat saja Soeharto, lihat saja MK Indonesia, lihat saja nanti Atut Choisiyah, lihat saja nanti SBY dengan Pardem, dan seterusnya.
Apa kepentingan kita sebenarnya?
Dunia Maya, Perang Info, dan Mudahnya Kita Ditipu
Indonesia
saat ini, memasuki dunia informasi. Namun senyampang dengan terjadinya
revolusi teknologi informasi, tidak terjadi perubahan sikap karena
memang tak ada akselerasi (percepatan, penyesuaian pertumbuhan) literasi
media pada masyarakat kita.
Tingkat penetrasi media, sampai hari ini yang terendah masih pada buku (artinya tingkat pengaruh karena kredibilitasnya). Sementara jika dulu handphone dan televisi mencapai penetrasi tertinggi, kini hal itu dipegang oleh media internet. Celakanya, tingkat penetrasi media itu, tidak berbanding lurus justeru dengan kualitas akurasinya.
Secara revolusioner, internet telah mengubah alur komunikasi lisan dan tulisan menjadi begitu rupa dan riuh-rendah. Tak ada lagi subyek-obyek, karena semuanya bisa dengan sendirinya menjadi subyek. Tidak ada otoritas, superioritas, dan bahkan kontrol. Siapa saja boleh melakukan apa saja. Munculnya media-media seperti facebook, twitter, blog, website, dan lain-lain bentuk yang mudah diakses serta dioperasikan, melahirkan euforia tersendiri. Dari era Soeharto yang membelenggu ke era internet yang membebaskan. Tak ada situasi transisi.
Lompatan media itu, tanpa disertai daya kritis bermedia (karena kita mengalami progress yang un-linier), informasi menjadi bias karena ia lebih banyak menyampaikan opini daripada data. Kalau pun ada data, maka itu adalah data yang dibangun dari opini, dengan apa yang disebut rekayasa komunikasi.
Kita lihat, media-media internet begitu mudah menjadi tidak obyektif dalam pengertian tidak berimbang. Yang muncul kemudian media kacamata kuda. Semuanya berpusat pada subyek, tanpa pembanding. Kemudahan dalam mengakses, juga membuat siapa saja memakai hiden-name, nama palsu, dan identitas yang disembunyikan. Padahal, menyembunyikan identitas, dalam relasi komunikasi menjelaskan rendahnya tingkat tanggung-jawab, dan memudahkan penghindaran akan resiko (bahasa bodohnya: tidak jantan, atau tidak betina jika perempuan).
Kita ingat, belum lama lalu, terjadi perang kata-kata di twitter antara Jimmly Asshidiqie vs Mahfud MD. Jimmly menuding Mahfud menerima suap, dia punya data. Ketika diserang balik Mahfud, dan hendak dikonfrontir, Jimmly kemudian mengaku data itu tidak akurat, karena didapat dari email yang ditujukan padanya.
Banyaknya media menamakan diri pembawa panji Islam atau Kristen (dan agama lain), tetapi kadang isinya tidak secara amanah mencerminkan etika berkomunikasi, yang pasti sangat dijunjung oleh agama masing-masing. Hal itu menunjukkan validasi dan preferensi tidak berjalan di sana.
Perang informasi saat ini, memunculkan banyak cyber troops (pasukan dunia maya), yang bisa bikin miris, karena dilakukan oleh siapa saja, yang teknis menulisnya pun tidak meyakinkan (padahal memakai media tulis). Sering tulisannya belepotan, datanya tidak terverifikasi (dan penulisnya memakai nama atau identitas palsu).
Dengan penulis tidak terlatih, dan pembaca yang juga tidak terlatih (karena sepanjang Orde Baru kita tidak dilatih dalam media literacy), maka daya kritis untuk mencermati kebenaran informasi menjadi rendah. Orang mudah percaya pada informasi palsu atau hoax, bluffing, diving, dan persis ciri manusia rural (di) urban, lebih menyukai gossip dan bahkan mengimbuhi dengan persepsi masing-masing. Mudahnya copy-paste dan re-broadcast membuat disinformasi membola-salju.
Perang informasi jadi lahan empuk pada masyarakat seperti Indonesia saat ini. Meski rekayasa berita kadang juga bisa tanpa sengaja membocorkan dirinya sendiri. Seperti kasus TV One, ketika memberitakan kasus tangkap tangan AM dan CN oleh KPK (2/10). Dalam acara breaking news yang dilangsungkan live itu, mungkin produser berita atau host lupa kalau mereka on-mic, suara mereka bocor ke publik. Ketahuan di situ, bagaimana TV One melarang reporter dan hostnya menyebut, bahwa AM atau CN itu dari Golkar (partai pemilik TV One, ARB), padahal kedua orang itu memang dari Golkar. Untuk apa?
Perang informasi, dalam masyarakat yang tidak kritis, tentu saja cenderung menjadi perang pencitraan, dan penuh rekayasa. Baik yang beridentitas (seperti TV One dan ARB), maupun yang beridentitas palsu, mempunyai kemungkinan berbohong, tidak obyektif, atau melakukan pembiasan. Dan masyarakat media kita, tak sedikit yang persis seperti Rhoma Irama, dalam kasus Pilkada DKI 2012 dulu. Waktu itu, Rhoma menuding ibu Jokowi beragama Kristen, hanya lantaran membaca internet, dan katanya, "Itu informasi saya baca dari internet. Kalau dari internet 'kan sahih,..."
Seyogyanya hati-hati dalam menyikapi berita di internet, apalagi tulisan yang bersumber dari sebuah blog, facebook, twitter, situsweb yang membolehkan penulis memakai hiden-name. Akurasi data kadang juga harus dilihat dari keberanian penulis menunjukkan identitas. Kita yang membaca dari internet, jika tidak hati-hati bisa diombang-ambingkan perang informasi dunia maya ini. Disamping itu tentu saja, jangan hanya mengandalkan satu sumber semata. Cross check dengan sumber-sumber lain, lihat apa kepentingannya. Jadilah pembaca dunia maya yang cerdas, hingga tidak mudah terjerembab dalam jebakan Batman. | Sunardian Wirodono, menjelang gerakan korban 15 Oktober 2013.
Tingkat penetrasi media, sampai hari ini yang terendah masih pada buku (artinya tingkat pengaruh karena kredibilitasnya). Sementara jika dulu handphone dan televisi mencapai penetrasi tertinggi, kini hal itu dipegang oleh media internet. Celakanya, tingkat penetrasi media itu, tidak berbanding lurus justeru dengan kualitas akurasinya.
Secara revolusioner, internet telah mengubah alur komunikasi lisan dan tulisan menjadi begitu rupa dan riuh-rendah. Tak ada lagi subyek-obyek, karena semuanya bisa dengan sendirinya menjadi subyek. Tidak ada otoritas, superioritas, dan bahkan kontrol. Siapa saja boleh melakukan apa saja. Munculnya media-media seperti facebook, twitter, blog, website, dan lain-lain bentuk yang mudah diakses serta dioperasikan, melahirkan euforia tersendiri. Dari era Soeharto yang membelenggu ke era internet yang membebaskan. Tak ada situasi transisi.
Lompatan media itu, tanpa disertai daya kritis bermedia (karena kita mengalami progress yang un-linier), informasi menjadi bias karena ia lebih banyak menyampaikan opini daripada data. Kalau pun ada data, maka itu adalah data yang dibangun dari opini, dengan apa yang disebut rekayasa komunikasi.
Kita lihat, media-media internet begitu mudah menjadi tidak obyektif dalam pengertian tidak berimbang. Yang muncul kemudian media kacamata kuda. Semuanya berpusat pada subyek, tanpa pembanding. Kemudahan dalam mengakses, juga membuat siapa saja memakai hiden-name, nama palsu, dan identitas yang disembunyikan. Padahal, menyembunyikan identitas, dalam relasi komunikasi menjelaskan rendahnya tingkat tanggung-jawab, dan memudahkan penghindaran akan resiko (bahasa bodohnya: tidak jantan, atau tidak betina jika perempuan).
Kita ingat, belum lama lalu, terjadi perang kata-kata di twitter antara Jimmly Asshidiqie vs Mahfud MD. Jimmly menuding Mahfud menerima suap, dia punya data. Ketika diserang balik Mahfud, dan hendak dikonfrontir, Jimmly kemudian mengaku data itu tidak akurat, karena didapat dari email yang ditujukan padanya.
Banyaknya media menamakan diri pembawa panji Islam atau Kristen (dan agama lain), tetapi kadang isinya tidak secara amanah mencerminkan etika berkomunikasi, yang pasti sangat dijunjung oleh agama masing-masing. Hal itu menunjukkan validasi dan preferensi tidak berjalan di sana.
Perang informasi saat ini, memunculkan banyak cyber troops (pasukan dunia maya), yang bisa bikin miris, karena dilakukan oleh siapa saja, yang teknis menulisnya pun tidak meyakinkan (padahal memakai media tulis). Sering tulisannya belepotan, datanya tidak terverifikasi (dan penulisnya memakai nama atau identitas palsu).
Dengan penulis tidak terlatih, dan pembaca yang juga tidak terlatih (karena sepanjang Orde Baru kita tidak dilatih dalam media literacy), maka daya kritis untuk mencermati kebenaran informasi menjadi rendah. Orang mudah percaya pada informasi palsu atau hoax, bluffing, diving, dan persis ciri manusia rural (di) urban, lebih menyukai gossip dan bahkan mengimbuhi dengan persepsi masing-masing. Mudahnya copy-paste dan re-broadcast membuat disinformasi membola-salju.
Perang informasi jadi lahan empuk pada masyarakat seperti Indonesia saat ini. Meski rekayasa berita kadang juga bisa tanpa sengaja membocorkan dirinya sendiri. Seperti kasus TV One, ketika memberitakan kasus tangkap tangan AM dan CN oleh KPK (2/10). Dalam acara breaking news yang dilangsungkan live itu, mungkin produser berita atau host lupa kalau mereka on-mic, suara mereka bocor ke publik. Ketahuan di situ, bagaimana TV One melarang reporter dan hostnya menyebut, bahwa AM atau CN itu dari Golkar (partai pemilik TV One, ARB), padahal kedua orang itu memang dari Golkar. Untuk apa?
Perang informasi, dalam masyarakat yang tidak kritis, tentu saja cenderung menjadi perang pencitraan, dan penuh rekayasa. Baik yang beridentitas (seperti TV One dan ARB), maupun yang beridentitas palsu, mempunyai kemungkinan berbohong, tidak obyektif, atau melakukan pembiasan. Dan masyarakat media kita, tak sedikit yang persis seperti Rhoma Irama, dalam kasus Pilkada DKI 2012 dulu. Waktu itu, Rhoma menuding ibu Jokowi beragama Kristen, hanya lantaran membaca internet, dan katanya, "Itu informasi saya baca dari internet. Kalau dari internet 'kan sahih,..."
Seyogyanya hati-hati dalam menyikapi berita di internet, apalagi tulisan yang bersumber dari sebuah blog, facebook, twitter, situsweb yang membolehkan penulis memakai hiden-name. Akurasi data kadang juga harus dilihat dari keberanian penulis menunjukkan identitas. Kita yang membaca dari internet, jika tidak hati-hati bisa diombang-ambingkan perang informasi dunia maya ini. Disamping itu tentu saja, jangan hanya mengandalkan satu sumber semata. Cross check dengan sumber-sumber lain, lihat apa kepentingannya. Jadilah pembaca dunia maya yang cerdas, hingga tidak mudah terjerembab dalam jebakan Batman. | Sunardian Wirodono, menjelang gerakan korban 15 Oktober 2013.
Sabtu, Oktober 05, 2013
Akil Mochtar dan Sang Kangguru
Akil Mochtar, dulu selaku juru bicara Mahkamah Konstitusi (Maret 2012), pernah mengatakan ide pemberian hukuman kombinasi, antara pemiskinan dan potong satu jari bagi koruptor. Alasannya, penjara dan bayar denda tak memberi efek jera.
Catatan Yusril Ihza Mahendra (September 2013) dalam kasus sengketa Pilkada Kediri, Akil Mochtar pernah berucap jika ada hakim MK terima suap, akan dia gantung di tiang gedung MK.
Kemudian kita tahu, pada 2 Oktober 2013, Akil Mochtar selaku Ketua MK, dicokok KPK dengan dugaan kasus penyuapan. Sehari kemudian, kita juga tahu AM ini dijenguk oleh isteri kedua. Dan tak lama kemudian, kita juga tahu, di ruang kerjanya ditemukan adanya ganja, ekstasi, dan obat kuat.
Apa yang ada dalam pikiran kita mengenai sosok AM, sebagai orang berposisi RI-9 di negara Republik Indonesia ini?
Karena jika sangkaan pada dia benar terbukti, belum lagi Reffly Harun pernah mengindikasikan kasus itu tiga tahun lampau, dan jika kita mendapatkan fakta lain: Banyak kepala daerah jejadian, yang kalah di pilkada tapi menang melalui rezim MK yang korup, betapa berbahayanya manusia ini. Berapa puluh juta rakyat dijahatinya?
Bagaimana mungkin ada manusia seperti AM di Indonesia yang pancasila? Mungkin saja. Persis dongeng sang Kangguru, yang setelah dibentengi pagar dari 10 hingga 40 kaki, tetap saja masih bisa lepas kandang. Semua bisa terjadi karena sang petugas lupa mengunci pintu kandang.
Kurang apa ketika proses seleksi dan saringan yang diperlakukan? Ternyata memang banyak kurangnya. Seleksi yang tidak fit and proper, pengawasan dan kontrol yang tak ada, serta kewenangan yang otoritatif dan tak bisa diganggu-gugat. Sudah demikian, pintu kandang juga tidak dikunci.
Dan celakanya, AM bukan kangguru. Dia manusia.
Jadi? Jangan mudah terpesona pada manusia, apalagi yang berlagak suci. Apalagi kemudian kita hanya tenganga dan ngedumel; "Kok bisa ya, 'kan dia doktor, 'kan dia rajin menyebut-nyebut Tuhan, 'kan dia,..."
Nilailah manusia dari tindakannya. Bukan latar belakang, apalagi status dan aksesorisnya. Apalagi cuma dari status di fesbuk, atau blognya. Siapa tahu, kita tak jauh beda.
Catatan Yusril Ihza Mahendra (September 2013) dalam kasus sengketa Pilkada Kediri, Akil Mochtar pernah berucap jika ada hakim MK terima suap, akan dia gantung di tiang gedung MK.
Kemudian kita tahu, pada 2 Oktober 2013, Akil Mochtar selaku Ketua MK, dicokok KPK dengan dugaan kasus penyuapan. Sehari kemudian, kita juga tahu AM ini dijenguk oleh isteri kedua. Dan tak lama kemudian, kita juga tahu, di ruang kerjanya ditemukan adanya ganja, ekstasi, dan obat kuat.
Apa yang ada dalam pikiran kita mengenai sosok AM, sebagai orang berposisi RI-9 di negara Republik Indonesia ini?
Karena jika sangkaan pada dia benar terbukti, belum lagi Reffly Harun pernah mengindikasikan kasus itu tiga tahun lampau, dan jika kita mendapatkan fakta lain: Banyak kepala daerah jejadian, yang kalah di pilkada tapi menang melalui rezim MK yang korup, betapa berbahayanya manusia ini. Berapa puluh juta rakyat dijahatinya?
Bagaimana mungkin ada manusia seperti AM di Indonesia yang pancasila? Mungkin saja. Persis dongeng sang Kangguru, yang setelah dibentengi pagar dari 10 hingga 40 kaki, tetap saja masih bisa lepas kandang. Semua bisa terjadi karena sang petugas lupa mengunci pintu kandang.
Kurang apa ketika proses seleksi dan saringan yang diperlakukan? Ternyata memang banyak kurangnya. Seleksi yang tidak fit and proper, pengawasan dan kontrol yang tak ada, serta kewenangan yang otoritatif dan tak bisa diganggu-gugat. Sudah demikian, pintu kandang juga tidak dikunci.
Dan celakanya, AM bukan kangguru. Dia manusia.
Jadi? Jangan mudah terpesona pada manusia, apalagi yang berlagak suci. Apalagi kemudian kita hanya tenganga dan ngedumel; "Kok bisa ya, 'kan dia doktor, 'kan dia rajin menyebut-nyebut Tuhan, 'kan dia,..."
Nilailah manusia dari tindakannya. Bukan latar belakang, apalagi status dan aksesorisnya. Apalagi cuma dari status di fesbuk, atau blognya. Siapa tahu, kita tak jauh beda.
Jumat, Oktober 04, 2013
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Agung dari Hong Kong?
Kita sudah mendengar, bantahan Akil Mochtar,
Ketua Mahkamah Konstitusi yang dicokok KPK dalam dugaan kasus suap
(2/10). Bahwa dirinya tidak menerima suap, dan tidak mengenal dua orang
yang menemui di rumah dinasnya pada malam pencokokan itu. Nanti kita
bisa melihat, jika KPK bisa membuktikan tuduhannya dan memperdengarkan
rekaman percakapan AM dengan relasi suapnya itu. Dan dari sana, kita akan tahu, manusia seperti apakah AM ini.
Dalam sebuah wawancara, seorang hakim konstitusi menjawab; Apa yang dialami oleh AM adalah cobaan Allah yang maha pengatur. Manusia harus tunduk pada takdir itu. Jawaban tersebut, sangat religius tentu saja, tapi sekaligus sangat menyebalkan. Kalau hakim saja mengkambing-hitamkan Tuhan, terus mau apalagi? Manusia diberi akal dan budi dibanding makhluk ciptaan yang lain, untuk memuliakan kehidupan dan peradabannya. Tapi, justeru karena itu manusia sering mengakali penciptanya.
Kewenangan yang tinggi dan tak terawasi di MK, adalah peluang terjadinya penyelewengan. Tak ada sistem dan mekanisme yang bisa menolongnya. Sistem rekrutmen hakim konstitusi ke MK, pada jaman SBY justeru makin membuat MK rentan dengan penyelewengan. Diangkatnya AM, kemudian Hamdan Zoelva, dan apalagi Patrialis Akbar (semuanya dari usulan pemerintah alias Presiden), membuat wibawa MK makin merosot. Berbeda dengan ketika dipimpin oleh Jimly Ashidiqie dan Mahfud MD.
MK merosot ketika kemasukan orang partai politik (AM, HZ, PA). Padahal banyak ahli hukum konstitusi yang lebih kredibel dan independen dibanding mereka. Lihat pidato Patrialis, mewakili MK, ketika KPK mengadakan konpers. Pernyataan Patrialis mencerminkan seorang yang partisan, sama sekali tak ada aura hakim agung yang semestinya berkelas negarawan, non-partisan. Kelasnya tetap saja kelas orang parpol yang pretensius dan tendensius, tapi tidak prestisius.
Abuse of power terbuka ketika MK juga (atas desakan DPR) menangani kemelut Pilkada. Maka triangle permainan, dengan kewenangan mutlak MK, jadi tak terkontrol antara DPR (biasanya sebagai perantara, mesenger, atau berkait dengan kepentingan partainya), pihak yang berkasus (entah peserta Pilkada yang menang maupun yang kalah, keduanya punya kepentingan), dan MK yang putusannya final, mutlak, dan tak bisa diganggu-gugat.
Apa yang terjadi pada AM, adalah fakta. Ia berasal dari daerah yang sama (dengan si pekasus), Kalimantan Tengah. Mesengernya sama dari Golkar (tempat AM dulunya berasal). Mengapa kasus Gunungmas persidangannya dipimpin AM? Bukan oleh hakim konstitusi yang lain? Itu sistem dan mekanisme yang mengundang. Manusia disuruh berfikir untuk menciptakan sistem yang baik dan menghindari kejahatan. Tapi manusia sendiri yang menolak.
Kewenangan hakim konstitusi yang bersifat mutlak, karena menganggap sebagai wakil Tuhan, tapi tanpa menciptakan sistem pengawasan dan pengawalan, adalah omong kosong. Bukan hanya karena tak ada manusia sempurna itu, tapi juga karena tak adanya suatu sistem dan mekanisme, dari sejak rekrutmen hingga bagaimana lembaga itu mempunyai peranan mutlak. Justeru pada sisi itulah, karena tak ada manusia yang sempurna, maka sistem, mekanisme, manajemen kontrol atau pengawasan dan pembatasan yang harus diperketat. Tanpa itu, tentu saja kita tak bisa menemukan logika penguatnya.
Sama persis waktu Megawati mengomentari ketika hendak meresmikan lembaga MK pada jaman pemerintahannya, "Bukankah mereka pada akhirnya juga mewakili individu-individu yang tidak bisa terlepas dari kepentingan personal? Kepada siapa mereka harus bertanggung jawab, apabila tugas yang sangat penting untuk mengawal konstitusi itu kemudian dirusak oleh orang per orang?" Dan kita tahu, di MK tak ada Dewan Kehormatan dan Pengawas. Usulan KY sebagai pengawas ditolak karena independensi. Sementara by design, partai politik menelikung (lewat berbagai amandemen dan perubahan UU) dengan memasukkan orang-orangnya, termasuk dalam menggembosi peran KPK dalam beberapa wewenangnya.
Hakim Agung sebagai wakil Tuhan? Dari Hong Kong? Ni ho mai?
Dalam sebuah wawancara, seorang hakim konstitusi menjawab; Apa yang dialami oleh AM adalah cobaan Allah yang maha pengatur. Manusia harus tunduk pada takdir itu. Jawaban tersebut, sangat religius tentu saja, tapi sekaligus sangat menyebalkan. Kalau hakim saja mengkambing-hitamkan Tuhan, terus mau apalagi? Manusia diberi akal dan budi dibanding makhluk ciptaan yang lain, untuk memuliakan kehidupan dan peradabannya. Tapi, justeru karena itu manusia sering mengakali penciptanya.
Kewenangan yang tinggi dan tak terawasi di MK, adalah peluang terjadinya penyelewengan. Tak ada sistem dan mekanisme yang bisa menolongnya. Sistem rekrutmen hakim konstitusi ke MK, pada jaman SBY justeru makin membuat MK rentan dengan penyelewengan. Diangkatnya AM, kemudian Hamdan Zoelva, dan apalagi Patrialis Akbar (semuanya dari usulan pemerintah alias Presiden), membuat wibawa MK makin merosot. Berbeda dengan ketika dipimpin oleh Jimly Ashidiqie dan Mahfud MD.
MK merosot ketika kemasukan orang partai politik (AM, HZ, PA). Padahal banyak ahli hukum konstitusi yang lebih kredibel dan independen dibanding mereka. Lihat pidato Patrialis, mewakili MK, ketika KPK mengadakan konpers. Pernyataan Patrialis mencerminkan seorang yang partisan, sama sekali tak ada aura hakim agung yang semestinya berkelas negarawan, non-partisan. Kelasnya tetap saja kelas orang parpol yang pretensius dan tendensius, tapi tidak prestisius.
Abuse of power terbuka ketika MK juga (atas desakan DPR) menangani kemelut Pilkada. Maka triangle permainan, dengan kewenangan mutlak MK, jadi tak terkontrol antara DPR (biasanya sebagai perantara, mesenger, atau berkait dengan kepentingan partainya), pihak yang berkasus (entah peserta Pilkada yang menang maupun yang kalah, keduanya punya kepentingan), dan MK yang putusannya final, mutlak, dan tak bisa diganggu-gugat.
Apa yang terjadi pada AM, adalah fakta. Ia berasal dari daerah yang sama (dengan si pekasus), Kalimantan Tengah. Mesengernya sama dari Golkar (tempat AM dulunya berasal). Mengapa kasus Gunungmas persidangannya dipimpin AM? Bukan oleh hakim konstitusi yang lain? Itu sistem dan mekanisme yang mengundang. Manusia disuruh berfikir untuk menciptakan sistem yang baik dan menghindari kejahatan. Tapi manusia sendiri yang menolak.
Kewenangan hakim konstitusi yang bersifat mutlak, karena menganggap sebagai wakil Tuhan, tapi tanpa menciptakan sistem pengawasan dan pengawalan, adalah omong kosong. Bukan hanya karena tak ada manusia sempurna itu, tapi juga karena tak adanya suatu sistem dan mekanisme, dari sejak rekrutmen hingga bagaimana lembaga itu mempunyai peranan mutlak. Justeru pada sisi itulah, karena tak ada manusia yang sempurna, maka sistem, mekanisme, manajemen kontrol atau pengawasan dan pembatasan yang harus diperketat. Tanpa itu, tentu saja kita tak bisa menemukan logika penguatnya.
Sama persis waktu Megawati mengomentari ketika hendak meresmikan lembaga MK pada jaman pemerintahannya, "Bukankah mereka pada akhirnya juga mewakili individu-individu yang tidak bisa terlepas dari kepentingan personal? Kepada siapa mereka harus bertanggung jawab, apabila tugas yang sangat penting untuk mengawal konstitusi itu kemudian dirusak oleh orang per orang?" Dan kita tahu, di MK tak ada Dewan Kehormatan dan Pengawas. Usulan KY sebagai pengawas ditolak karena independensi. Sementara by design, partai politik menelikung (lewat berbagai amandemen dan perubahan UU) dengan memasukkan orang-orangnya, termasuk dalam menggembosi peran KPK dalam beberapa wewenangnya.
Hakim Agung sebagai wakil Tuhan? Dari Hong Kong? Ni ho mai?
Selasa, Oktober 01, 2013
Pemilu 2014 Dan Sadap-menyadap Suara
ARB boleh yakin, bahwa rakyat mendukungnya.
Demikian pula Hashim Djojokusumo boleh mengucurkan Rp 100 trilyun untuk
upaya pemenangan kakaknya. Begitu juga para fans Jokowi boleh yakin,
jika Jokowi nyapres di 2014, bakal jadi pemenangnya. Survey teranyar,
dari lembaga konsultan Bill Clinton, Amerika Serikat, bahwa Jokowi
mendapatkan angka 61%, sementara banyak pesaingnya tentu berbagi sisa suara. Maka muncul gagasan, daripada ngabisin duit, tak usah Pemilu, langsung saja tunjuk Jokowi.
Tapi, ini Indonesia, Bung. Perjuangan belum selesai. Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, dinilai kontroversial, hingga terpaksa dipenjarakannya (dengan dalih kasus pembunuhan) Antasari Azhar (Ketua KPK waktu itu) yang hendak membongkar kasus IT dalam Pemilu 2009. Kini, KPU bekerjasama dengan Lemsaneg (Lembaga Sandi Negara). KPU mengatakan belum memutuskan bentuk kerjasama kedua lembaga. KPU belum menetapkan data pemilu di wilayah dan di tingkat mana saja yang akan diamankan Lemsaneg. "Nah, itu perlu dibahas lagi (wilayah mana saja yang datanya akan diamankan Lemsaneg)," ujar Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, di Jakarta, Selasa (1/10/2013).
Diamankan oleh Lemsaneg? "Jadi, nanti semua perolehan hasil pemungutan suara dari TPS (tempat pemungutan suara) itu kami kirim melalui jalur yang paling aman. Tidak akan disadap, diretas, dimanipulasi, dan diubah-ubah," ujar Kepala Lemsaneg Mayjen TNI Djoko Setiadi usai penandatangan nota kesepahaman dengan KPU, Selasa (24/9/2013) di Gedung KPU, Jakarta.
Itu masalahnya. Lembaga ini, lembaga negara semi-militer, dikepalai oleh militer aktif dan bertanggungjawab langsung pada Presiden. Sementara, kuli bangunan tetangga kampung saya juga tahu, Presiden saat ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono, yang adalah juga Ketua Umum Partai Demokrat, salah satu peserta Pemilu 2014.
Jadi? Mari kita cermati, apakah Pemilu 2014 lebih baik dari 2004 dan 2009, atau malah lebih buruk lagi.
Tapi, ini Indonesia, Bung. Perjuangan belum selesai. Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, dinilai kontroversial, hingga terpaksa dipenjarakannya (dengan dalih kasus pembunuhan) Antasari Azhar (Ketua KPK waktu itu) yang hendak membongkar kasus IT dalam Pemilu 2009. Kini, KPU bekerjasama dengan Lemsaneg (Lembaga Sandi Negara). KPU mengatakan belum memutuskan bentuk kerjasama kedua lembaga. KPU belum menetapkan data pemilu di wilayah dan di tingkat mana saja yang akan diamankan Lemsaneg. "Nah, itu perlu dibahas lagi (wilayah mana saja yang datanya akan diamankan Lemsaneg)," ujar Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, di Jakarta, Selasa (1/10/2013).
Diamankan oleh Lemsaneg? "Jadi, nanti semua perolehan hasil pemungutan suara dari TPS (tempat pemungutan suara) itu kami kirim melalui jalur yang paling aman. Tidak akan disadap, diretas, dimanipulasi, dan diubah-ubah," ujar Kepala Lemsaneg Mayjen TNI Djoko Setiadi usai penandatangan nota kesepahaman dengan KPU, Selasa (24/9/2013) di Gedung KPU, Jakarta.
Itu masalahnya. Lembaga ini, lembaga negara semi-militer, dikepalai oleh militer aktif dan bertanggungjawab langsung pada Presiden. Sementara, kuli bangunan tetangga kampung saya juga tahu, Presiden saat ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono, yang adalah juga Ketua Umum Partai Demokrat, salah satu peserta Pemilu 2014.
Jadi? Mari kita cermati, apakah Pemilu 2014 lebih baik dari 2004 dan 2009, atau malah lebih buruk lagi.
Indonesia, Negeri Permainan Kata-kata
Hidup sering tak terpermanai. Teringat membaca
koran beberapa waktu lalu, tentang sebuah survey di Australia, betapa
politikus, wartawan, lawyer, masuk dalam lima besar yang terendah
mendapatkan kepercayaan publik, tentu saja publik di Australia. Teringat
sebuah survey di Indonesia, kepercayaan rakyat pada wakil rakyat di
Parlemen kurang dari 50%. Ini survey bayaran? Rakyat membayar surveyor, atau sebaliknya?
Bukan lantaran nasionalisme yang tipis, duhai Amin Rais, atau sinisme yang terlalu tebal, tetapi rasa-rasanya tiada perbedaan. Dan mungkin bukan hanya negeri ini, melainkan di banyak negeri. Entah itu nun di Timbuktu tempat kakek-moyang Donald Bebek, atau di antah-berantah lainnya lagi.
Ketika kenaikan harga ini-itu hanya menjadi komoditas politik, terasa bagaimana berjaraknya angka-angka itu dengan nilai-nilai yang dipahami oleh rakyat miskin Indonesia, karena para ahli ekonomi hanya sibuk mengotak-atik angka statistik.
Ini sebuah fase kepemimpinan yang parah, meski dengan iming-iming angka pertumbuhan 6 persen (mulu), meski subsidi anggaran naik dari 200-an trilyun menjadi 300-an trilyun rupiah. Angka yang mengiurkan mengingat konon untuk biaya kampanye politik nasional pada 2014, sekitar 5 trilyun rupiah pun terasa sudah sangat mewah, dan Hashim Djojokusumo menyiapkan Rp 100 trilyun untuk mengantar sang kakak ke Istana Negara. Ini kisah negeri tongkat kayu dan batu jadi tanaman, namun betapa harga kedelai begitu mahal, sementara absurditas kita disodori harga mobil murah. Dan menteri perdagangan siap mengundurkan diri, bukan karena tanggungjawab atas kegagalan, namun karena kehendak mencapreskan diri.
Negeri permainan kata-kata.
Tapi, kita mesti melewati hari-hari yang buruk ini. Dengan sisa kesabaran yang menipis. Bahwa akan ada masanya, semuanya lewat, menemu fajar pagi tiba. "Di mana-mana aku selalu dengar, yang benar juga akhirnya yang menang," demikian gumam Pram dalam sunyi yang bergemuruh di dada, "Itu benar; Benar sekali. Tetapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar,..."
Ya, sebagaimana ujar sang maestro Sukarno; barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun ke laut yang dalam!
Bukan lantaran nasionalisme yang tipis, duhai Amin Rais, atau sinisme yang terlalu tebal, tetapi rasa-rasanya tiada perbedaan. Dan mungkin bukan hanya negeri ini, melainkan di banyak negeri. Entah itu nun di Timbuktu tempat kakek-moyang Donald Bebek, atau di antah-berantah lainnya lagi.
Ketika kenaikan harga ini-itu hanya menjadi komoditas politik, terasa bagaimana berjaraknya angka-angka itu dengan nilai-nilai yang dipahami oleh rakyat miskin Indonesia, karena para ahli ekonomi hanya sibuk mengotak-atik angka statistik.
Ini sebuah fase kepemimpinan yang parah, meski dengan iming-iming angka pertumbuhan 6 persen (mulu), meski subsidi anggaran naik dari 200-an trilyun menjadi 300-an trilyun rupiah. Angka yang mengiurkan mengingat konon untuk biaya kampanye politik nasional pada 2014, sekitar 5 trilyun rupiah pun terasa sudah sangat mewah, dan Hashim Djojokusumo menyiapkan Rp 100 trilyun untuk mengantar sang kakak ke Istana Negara. Ini kisah negeri tongkat kayu dan batu jadi tanaman, namun betapa harga kedelai begitu mahal, sementara absurditas kita disodori harga mobil murah. Dan menteri perdagangan siap mengundurkan diri, bukan karena tanggungjawab atas kegagalan, namun karena kehendak mencapreskan diri.
Negeri permainan kata-kata.
Tapi, kita mesti melewati hari-hari yang buruk ini. Dengan sisa kesabaran yang menipis. Bahwa akan ada masanya, semuanya lewat, menemu fajar pagi tiba. "Di mana-mana aku selalu dengar, yang benar juga akhirnya yang menang," demikian gumam Pram dalam sunyi yang bergemuruh di dada, "Itu benar; Benar sekali. Tetapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar,..."
Ya, sebagaimana ujar sang maestro Sukarno; barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun ke laut yang dalam!
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...