Oleh Sunardian Wirodono
PEMANDANGAN UMUM. Pada dasarnya, facebook adalah penemuan Mark Zuckerbergh yang menarik pada abad teknologi informasi ini. Dan sebagaimana ditekadkan oleh si anak muda terkaya di dunia itu, ini adalah jejaring sosial yang akan menemani perjalanan anak bangsa di seluruh dunia, sekali pun ada banyak ketidakkonsistenan dalam perkembangan aturan-aturannya yang aneh dan tidak boleh diganggu-gugat.
Dulu pertama kali, fb memakai slogan menganjurkan dengan media ini kita bisa memperbanyak hubungan antar individu dengan siapa saja dan sebanyak-banyaknya manusia, pada perkembangannya kemudian membatasi kita hanya boleh meng-add yang sudah kita kenal. Masalahnya, kita kenal di mana dan kenal siapa? Lagi pula, jika itu bahasa teknis, "ngapain" kalau sudah kenal (terkoneksi di fb) kita masih pula meng-add-nya? Apakah mesin program bisa menguraikan dan mengidentifikasi kita "sudah" dan "belum" kenal? Sementara itu pula, di fb yang kemudian bisa diakses dengan handphone, pada akhirnya "turun derajad" bukan lagi sebagai media sosial, melainkan lebih merupakan "media komunitas" dalam bentuk yang lebih eksklusif.
Senyampang dengan itu, fb juga memberi keleluasaan untuk munculnya identitas "palsu", apalagi dengan kemudahan mendaftarnya yang bisa dengan sembarang (atau semudah) membuat email baru, membuat facebook tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, menyeleksi atau memverifikasi, sehingga nilai bias media ini menjadi sangat tinggi. Sebagai media sosial, kredibilitas fb masuk dalam kategori rendah, setingkat lebih tinggi dari nomor hape (di Indonesia), karena tingkat akuntabilitas dan kredibilitasnya sangat sulit diverifikasi (dan mungkin juga dikonfirmasikan), apalagi dengan nama-nama "tak beridentitas". Yang muncul kemudian pernyataan-pernyataan pribadi, persoalan-persoalan privat yang dipublikasikan tanpa filter, sesuai karakter masing-masing yang beragam. Di dalam masyarakat lisan (tutur), yang menyatakan pendapat pribadi pun belumlah merupakan kebiasaan, maka berkomunikasi "tulis" melalui fb, semakin mempertinggi terjadinya kekacauan berkomunikasi. Ia hanya "memperbaiki" teknis berkomunikasi dalam bentuk "cara" mendelivery atau mendistribusi, tetapi bukan pada content.
Ia menjadi tak lebih sebagaimana orang berkirim "sms" atau "mms" melalui handphone, hanya dengan kelebihan bisa serentak kepada banyak pihak yang terkoneksi dan hanya sekali klik (tidak perlu memforward satu-persatu). Demikian pula, dengan tidak terjadinya akselerasi sosial pada para facebooker, maka akhirnya terjadi "seleksi alamiah". Tersedianya ruang interaktif, yang serentak dan terbuka itu, membuat beberapa facebooker pada akhirnya membatasi diri, dengan jalan menyeleksi, meremove atau mendelete "sahabat" menjadi "bukan lagi sahabat", dan seterusnya.
Hal itu bisa jadi bersebab karena karakter medianya. Sebagai media yang interaktif, namun bersifat indirect, dengan keragaman facebooker, juga bisa menimbulkan bias, friksi, dan berbagai gesekan yang menimbulkan akibat-akibat berbeda. Itu akan sangat tergantung pada sensitivitas dan sensibilitas para pelakunya. Betapa mudah orang "menjalin" persahabatan namun juga begitu gampang kita "melenyapkan" persahabatan dengan satu kali click. Apalagi jika fb dipakai sebagai medan pertempuran pribadi, area maki-maki namun tidak dalam tempat yang adil. Ada begitu banyak salah paham dan sakit hati, yang tidak terselesaikan secara proporsional, baik dari soal politik, agama, dan persoalan cinta-mencinta.
Atau bisa jadi itu semua karena sekali pun bersahabat di dunia maya, yang mudah itu, ternyata tidak atau belum tentu diimbangi dengan proses persahabatan yang memadai, sebagaimana proses persahabatan di dunia nyata. Di dunia maya, persahabatan tidak difasilitasi dan tidak akseleratif dengan kemampuan teknologi komunikasi yang progresif dan bebas nilai. Yang tumbuh pada fb kemudian adalah suburnya grup-grup kepentingan atau komunitas minat (terbuka, tertutup, maupun rahasia) yang jauh lebih berkembang. Pada sisi inilah, media jejaring sosial menemukan formatnya yang lebih pas. Sementara akun-akun pribadi, yang pada awalnya seolah berlomba mendapat teman sebanyak-banyak, hingga batas maksimalnya mencapai 5000 nama, pada akhirnya juga tidak lagi menjadi daya tarik, karena toh sebenar-benarnya dari capaian 5000 nama itu, toh interaksi yang terjadi bisa jadi tak lebih dari 50%, bahkan mungkin hanya 25%, atau bahkan sesungguh-sungguhnya tak pernah lebih dari 1% belaka.
Empat tahun sudah saya bermain-main facebook, dengan lima akun (dua akun dengan nama pribadi, kini terkoneksi dengan 8.000-an nama), dan tiga akun berdasar minat dan kepentingan, menghimpun 7.000-an nama), membuat saya mempunyai kesimpulan, bahwa media sosial seperti fb ini, mengajarkan saya pada soal sensitivitas dan sensibilitas. Dari sana saya bisa memahami dengan nyata, bagaimana keberagaman manusia Indonesia (setidaknya yang terkoneksi dengan saya tentu).
Namun secara umum, saya meyakini, bahwa sebagian besar manusia Indonesia, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan, sekali pun kadang itu pengetahuan normatif, yang tak jarang cara mengekspresikannya bisa berlawanan dengan nilai materi yang diekspresikan. Misalnya menuding pihak lain sebagai buruk, namun dengan cara yang jauh lebih buruk. Maunya mengajarkan cinta kasih dan kebenaran, namun tidak dengan cara yang mencerminkan sikap itu. Dan sejenisnya. Itu lebih karena tidak atau belum terjadinya proses internalisasi antara yang meresap masuk dalam pikirannya, untuk kemudian ditransformasikan dalam media tulis. Dan itu persoalan benar.
KESIMPULAN. Media komunikasi tertulis, seperti fb, twitter, dan lain sejenisnya, tumbuh subur. Sayangnya tidak diimbangi dengan akselerasi modernisasi dalam bentuk tingkatan kesadaran untuk belajar, tentu saja dengan media membaca. Kita tanpa proses, langsung berkomunikasi dengan bahasa tulisan. Sementara, bacaan masyarakat kita hari-hari ini adalah bacaan yang sudah tereduksi oleh karakter medianya, seperti membaca monitor hp, membaca monitor ipad, notebook dengan google atau video bokep, televisi, yang semuanya medium (= mediocre), eksploitatif, dan bukannya eksploratif sebagaimana karakter media seperti buku (yang tingkat penetrasinya paling bontot, 5% atas kesadaran komunikasi dan informasi manusia). Dan itulah potret yang bisa dilihat dari mayoritas wall pada akun-akun fb kita.
PERNYATAAN. Dengan pemandangan seperti itu, rasanya cukup alasan bagi saya untuk menutup ruang interaksi saya di fb, karena berkomunikasi tertulis (tepatnya lagi ngobrol dengan tulisan), tentu membutuhkan energi bagi saya yang berprofesi sebagai penulis. Adalah dua hal berbeda secara prinsip, dari apa yang dimaksud "ngobrol melalui tulisan" pada persepsi dan perspektif kita. Tentu, saya tidak akan menutup akun fb saya, dan semoga saya tetap memproduksi kata untuk mengisi wall saya, tetapi saya menon-aktifkan reaksi atau respons para sahabat untuk ber-like this atau berkomen. Dengan sepenuh mohon maaf atas hal itu. Terima kasih atas pertemanan selama ini, juga berbagai bentuk partisipasinya. Semoga kita semua senantiasa sudi berjuang untuk menjadi lebih baik dari yang sudah. Selamat tahun baru 2012, selamat menempuh hidup baru. | Sunardian Wirodono, Penulis. Yogyakarta, 31 Desember 2011
Sabtu, Desember 31, 2011
Pasukan Allahu Akbar Gaya Asmuni
Oleh Sunardian Wirodono
Pada suatu siang, serombongan orang Jombang yang lagi pertemuan di Jakarta, mampir di warung Rujak Cingur Asmuni di Slipi. Bertemu dengan Asmuni (mantan pelawak Srimulat), akhirnya jadilah reriungan itu semacam reunian dan muncullah cerita-cerita nostalgia, sampai ke cerita jaman perang. Kebetulan, Asmuni waktu di Jombang adalah juga anggota tentara rakyat, yang turut serta dalam perjuangan perang kemerdekaan.
Dalam cerita itu, muncul rasa kejengkelan mereka dengan pasukan Hisbul Wathon. Pasukan ini, sangat lekat dengan kyai. Sebelum maju perang, tradisi mereka menyorongkan bambu runcing untuk diberi isim, doa, oleh kyai mereka. Demikian juga mereka diberi mantra agar sakti, tak tembus peluru.
Lho kenapa Asmuni cs., tak menyukai pasukan yang religius ini? Konon kabarnya, setiap operasi militer yang bersifat rahasia, lebih sering gagal jika diikuti oleh pasukan HW itu. Kenapa? Karena yang mestinya operasi berjalan diam-diam, eh, begitu hendak tiba ke sasaran, anggota pasukan HW itu biasanya lantas teriak-teriak, bertakbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbaaaarrrr,..."
Tentu saja, pihak musuh (yakni tentara Belanda) memberikan serangan balik, memberondong para pasukan HW dengan peluru timah panas. Dan gagallah operasi rahasia itu.
Eh, setelah mendapat isim dari sang kyai dan mantra kesaktian itu, apakah mereka benar sakti, tidak tembus peluru dan menang perang dengan bambu runcingnya?
"Ya, tidak, tetap saja mereka moik (mati)," sungut Asmuni, "dan kocar-kacirlah kami dikejar Belanda,...."
Pada suatu siang, serombongan orang Jombang yang lagi pertemuan di Jakarta, mampir di warung Rujak Cingur Asmuni di Slipi. Bertemu dengan Asmuni (mantan pelawak Srimulat), akhirnya jadilah reriungan itu semacam reunian dan muncullah cerita-cerita nostalgia, sampai ke cerita jaman perang. Kebetulan, Asmuni waktu di Jombang adalah juga anggota tentara rakyat, yang turut serta dalam perjuangan perang kemerdekaan.
Dalam cerita itu, muncul rasa kejengkelan mereka dengan pasukan Hisbul Wathon. Pasukan ini, sangat lekat dengan kyai. Sebelum maju perang, tradisi mereka menyorongkan bambu runcing untuk diberi isim, doa, oleh kyai mereka. Demikian juga mereka diberi mantra agar sakti, tak tembus peluru.
Lho kenapa Asmuni cs., tak menyukai pasukan yang religius ini? Konon kabarnya, setiap operasi militer yang bersifat rahasia, lebih sering gagal jika diikuti oleh pasukan HW itu. Kenapa? Karena yang mestinya operasi berjalan diam-diam, eh, begitu hendak tiba ke sasaran, anggota pasukan HW itu biasanya lantas teriak-teriak, bertakbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbaaaarrrr,..."
Tentu saja, pihak musuh (yakni tentara Belanda) memberikan serangan balik, memberondong para pasukan HW dengan peluru timah panas. Dan gagallah operasi rahasia itu.
Eh, setelah mendapat isim dari sang kyai dan mantra kesaktian itu, apakah mereka benar sakti, tidak tembus peluru dan menang perang dengan bambu runcingnya?
"Ya, tidak, tetap saja mereka moik (mati)," sungut Asmuni, "dan kocar-kacirlah kami dikejar Belanda,...."
Asmuni Mampu Kalahkan Gus Dur
Oleh : Sunardian Wirodono
Ini cerita Asmuni (almarhum, pelawak Srimulat) pada saya, sewaktu saya tinggal di Slipi (Jakarta). Rumah kami berdampingan, di jalan Anggrek Cendrawasih.
Suatu ketika, dalam kaitan dengan PKB, Gus Dur (belum menjadi Presiden) ke Jombang. Alun-alun Jombang, yang hendak dipakai deklarasi partai, tumplek-bleg manusia. Mobil yang membawa Gus Dur sudah sampai di tepi alun-alun, pintu mobil dibuka, tapi Gus Dur tak mau turun. Dia bilang, dia hanya mau turun jika dijemput Asmuni (tokoh ini, meski belum punya KTA PKB, dia ternyata adalah Ketua Departemen Seni Budaya DPP PKB).
Panitia pun ribut, mencari Asmuni, yang kebetulan waktu itu sudah lebih banyak tinggal di Mojokerto.
Mereka kalang-kabut menjemput Asmuni terlebih dulu. Panas menyengat tak mengusir antusiasme massa yang menyemut menunggu Gus Dur. Hingga akhirnya Asmuni pun datang.
Setelah meyakini bahwa Asmuni sudah dipanggil dan berada di dekatnya, Gus Dur pun turun. Massa merangsek ingin mendekat Gus Dur. Para Banser NU pun kerepotan hendak mengantar Gus Dur ke panggung.
"Gus, sampeyan di belakang saya,..." tiba-tiba Asmuni berinisiatif.
Gus Dur pun segera berdiri di belakang Asmuni, dan meletakkan dua tangan di bahu Asmuni.
Massa yang merubung, disibak oleh Banser NU, bak Nabi Musa mengacungkan tongkatnya di Lautan Merah, hingga membentuk lorong manusia menuju ke panggung. Orang-orang yang berdiri di pinggiran lorong, mencoba menggapai Gus Dur, tentu saja agar bisa salaman. Mereka saling dorong berdesakan maju. Tapi, Gus Dur tetap saja meletakkan dua tangannya di pundak Asmuni. Penglihatan Gus Dur waktu itu memang sudah bermasalah, hingga jika berjalan harus dituntun. Akibatnya, Asmuni justeru yang jadi sibuk menyalami kiri-kanan ribuan tangan ummat yang menggapai-gapai Gus Dur,...
Di panggung, Asmuni berbisik pada Gus Dur, "Gus, hari ini sampeyan kalah sama saya, ribuan tangan nyalami saya,...!"
Gus Dur membalas, "Tapi 'kan nggak ada amplopnya,...!"
Asmuni dan beberapa yang ada di dekatnya ngakak. Dalam tradisi NU, dapat berjabat tangan dengan kyai yang dihormati, itu berkah. Sementara bagi panitia yang mengundang kyai, untuk menjaga kehormatan, cara memberikan honor pada kyai adalah ketika bersalaman pada akhir acara. Dari situlah akan terjadi adegan berpindahnya amplop (berisi uang tentu) dari tangan panitia ke tangan kyai. Salam tempel istilah Polisi Indonesia. Jadi, maksud lelucon Gus Dur, meski salaman dengan ribuan orang, tapi nihil.
Beberapa waktu kemudian, Asmuni mengaku pada saya, dia merasa dikibuli Gus Dur. Karena Gus Dur waktu itu sangat capek dari bersafari PKB. Dan satu-satunya yang bisa meredam massa, karena tak bisa salaman dengan Gus Dur, hanyalah popularitas Asmuni. Emha Ainun Nadjib pernah menyebut, Tujuh Keajaiban Jombang antara lain adalah Asmuni (disamping Gus Dur, Nurcholish Madjid, Gombloh, dan tiga lagi entah saya lupa). Setidaknya Gus Dur punya alasan, tak bisa salaman karena dua tangannya harus bertumpu di pundak Asmuni,... | Ditulis oleh Sunardian Wirodono
Ini cerita Asmuni (almarhum, pelawak Srimulat) pada saya, sewaktu saya tinggal di Slipi (Jakarta). Rumah kami berdampingan, di jalan Anggrek Cendrawasih.
Suatu ketika, dalam kaitan dengan PKB, Gus Dur (belum menjadi Presiden) ke Jombang. Alun-alun Jombang, yang hendak dipakai deklarasi partai, tumplek-bleg manusia. Mobil yang membawa Gus Dur sudah sampai di tepi alun-alun, pintu mobil dibuka, tapi Gus Dur tak mau turun. Dia bilang, dia hanya mau turun jika dijemput Asmuni (tokoh ini, meski belum punya KTA PKB, dia ternyata adalah Ketua Departemen Seni Budaya DPP PKB).
Panitia pun ribut, mencari Asmuni, yang kebetulan waktu itu sudah lebih banyak tinggal di Mojokerto.
Mereka kalang-kabut menjemput Asmuni terlebih dulu. Panas menyengat tak mengusir antusiasme massa yang menyemut menunggu Gus Dur. Hingga akhirnya Asmuni pun datang.
Setelah meyakini bahwa Asmuni sudah dipanggil dan berada di dekatnya, Gus Dur pun turun. Massa merangsek ingin mendekat Gus Dur. Para Banser NU pun kerepotan hendak mengantar Gus Dur ke panggung.
"Gus, sampeyan di belakang saya,..." tiba-tiba Asmuni berinisiatif.
Gus Dur pun segera berdiri di belakang Asmuni, dan meletakkan dua tangan di bahu Asmuni.
Massa yang merubung, disibak oleh Banser NU, bak Nabi Musa mengacungkan tongkatnya di Lautan Merah, hingga membentuk lorong manusia menuju ke panggung. Orang-orang yang berdiri di pinggiran lorong, mencoba menggapai Gus Dur, tentu saja agar bisa salaman. Mereka saling dorong berdesakan maju. Tapi, Gus Dur tetap saja meletakkan dua tangannya di pundak Asmuni. Penglihatan Gus Dur waktu itu memang sudah bermasalah, hingga jika berjalan harus dituntun. Akibatnya, Asmuni justeru yang jadi sibuk menyalami kiri-kanan ribuan tangan ummat yang menggapai-gapai Gus Dur,...
Di panggung, Asmuni berbisik pada Gus Dur, "Gus, hari ini sampeyan kalah sama saya, ribuan tangan nyalami saya,...!"
Gus Dur membalas, "Tapi 'kan nggak ada amplopnya,...!"
Asmuni dan beberapa yang ada di dekatnya ngakak. Dalam tradisi NU, dapat berjabat tangan dengan kyai yang dihormati, itu berkah. Sementara bagi panitia yang mengundang kyai, untuk menjaga kehormatan, cara memberikan honor pada kyai adalah ketika bersalaman pada akhir acara. Dari situlah akan terjadi adegan berpindahnya amplop (berisi uang tentu) dari tangan panitia ke tangan kyai. Salam tempel istilah Polisi Indonesia. Jadi, maksud lelucon Gus Dur, meski salaman dengan ribuan orang, tapi nihil.
Beberapa waktu kemudian, Asmuni mengaku pada saya, dia merasa dikibuli Gus Dur. Karena Gus Dur waktu itu sangat capek dari bersafari PKB. Dan satu-satunya yang bisa meredam massa, karena tak bisa salaman dengan Gus Dur, hanyalah popularitas Asmuni. Emha Ainun Nadjib pernah menyebut, Tujuh Keajaiban Jombang antara lain adalah Asmuni (disamping Gus Dur, Nurcholish Madjid, Gombloh, dan tiga lagi entah saya lupa). Setidaknya Gus Dur punya alasan, tak bisa salaman karena dua tangannya harus bertumpu di pundak Asmuni,... | Ditulis oleh Sunardian Wirodono
Selamat Datang 2012, 2013, 2014, dan Seterusnya,...
Oleh : Sunardian Wirodono
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
Ketika awal tahun lalu kita menjalani resolusi baru, rasanya berat, bisakah tahun ini kulalui, dengan capaian target tertentu? Betapa sangat beratnya. Tapi;
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
Dan ketika kita memandang 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, kita hanya ingat pada capaian-capaian besar, namun melupakan detail. Sehingga ketika capaian besar itu luput, kita sakit setengah mampus.
Dalam Hindu, seperti termaktub dalam Mahabharata, kita mengenal kalla sebagai kekuatan paradoks yang misterius. Menurut Giddens, tradisi terkait dengan kontrol atas waktu yang berorientasi ke masa lalu dan dibuat memiliki pengaruh besar ke masa sekarang dan masa depan. Sementara masyarakat modern memperlakukan waktu secara linear. Dalam Islam, seperti kisah Ibrahim a.s., waktu menyimpan pesan dan gagasan.
Jika tradisi pesta tahun baru dipahami sebagai waktu sakral masyarakat modern perkotaan, kita tidak tahu, pesan dan gagasan apakah yang tersimpan di dalam detik-detik menjelang pergantian tahun itu.
Sementara kita tahu, sesungguhnya waktu tak bisa dikonsepsikan. Waktu yang hanya bisa dimaknai dari persepsi atas pengalaman sehingga ia hadir dalam berbagai penanda ukuran. Itu semua erat hubungannya dengan kefisikan manusia, seperti ketika Aristoteles merumuskan waktu dari gerak dan perubahan. Kalau saja kita tidak bertubuh dalam dunia ini, maka waktu itu tidak akan pernah ada
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
So, apakah rahasia hidup ini? Apakah rahasia Allah itu? Hanyalah terletak pada penghayatan kita, bahwa;
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita, sering abaikan bahwa kita mengetahuinya. Karena satu tahun tidaklah mungkin jika tak 8.760 jam. Dan satu jam tidaklah mungkin jika tidak dari 60 menit. Dan kita juga tahu, tidaklah mungkin satu menit jika bukan dari 60 detik.
Selamat membuat resolusi baru 2012, 2013, 2014. Namun Anda tahu, akhir tahun 2011 esok, ialah perjalanan dari detik ke detik, hingga detik ke 31.536.000 ketika nanti malam kita mulai menapakinya. Selalu ingatlah pesan Engkoh dan Mbah Titiek Puspa; Cintailah floduk-floduk dalam dirimu, tiap detiknya!
Tahukah Anda soal misteri waktu? Ada sesuatu yang selalu disangka datang, dan memang selalu datang. Tapi, begitu ia datang, ia sudah bukan dirinya lagi. Ia bernama "besok". Ketika Anda sangka besok tanggal 1 Januari 2012, maka pada pada saat tanggal 1 Januari 2012 itu, ia menjadi "hari ini", karena besok sudah berpindah ke 2 Januari 2012. Sampek modir, "besok" itu tak pernah mengujud. Dan seterusnya!
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita barangkali pura-pura tak tahu akan hal itu. | Ditulis oleh Sunardian Wirodono
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
Ketika awal tahun lalu kita menjalani resolusi baru, rasanya berat, bisakah tahun ini kulalui, dengan capaian target tertentu? Betapa sangat beratnya. Tapi;
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
Dan ketika kita memandang 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, kita hanya ingat pada capaian-capaian besar, namun melupakan detail. Sehingga ketika capaian besar itu luput, kita sakit setengah mampus.
Dalam Hindu, seperti termaktub dalam Mahabharata, kita mengenal kalla sebagai kekuatan paradoks yang misterius. Menurut Giddens, tradisi terkait dengan kontrol atas waktu yang berorientasi ke masa lalu dan dibuat memiliki pengaruh besar ke masa sekarang dan masa depan. Sementara masyarakat modern memperlakukan waktu secara linear. Dalam Islam, seperti kisah Ibrahim a.s., waktu menyimpan pesan dan gagasan.
Jika tradisi pesta tahun baru dipahami sebagai waktu sakral masyarakat modern perkotaan, kita tidak tahu, pesan dan gagasan apakah yang tersimpan di dalam detik-detik menjelang pergantian tahun itu.
Sementara kita tahu, sesungguhnya waktu tak bisa dikonsepsikan. Waktu yang hanya bisa dimaknai dari persepsi atas pengalaman sehingga ia hadir dalam berbagai penanda ukuran. Itu semua erat hubungannya dengan kefisikan manusia, seperti ketika Aristoteles merumuskan waktu dari gerak dan perubahan. Kalau saja kita tidak bertubuh dalam dunia ini, maka waktu itu tidak akan pernah ada
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
So, apakah rahasia hidup ini? Apakah rahasia Allah itu? Hanyalah terletak pada penghayatan kita, bahwa;
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita, sering abaikan bahwa kita mengetahuinya. Karena satu tahun tidaklah mungkin jika tak 8.760 jam. Dan satu jam tidaklah mungkin jika tidak dari 60 menit. Dan kita juga tahu, tidaklah mungkin satu menit jika bukan dari 60 detik.
Selamat membuat resolusi baru 2012, 2013, 2014. Namun Anda tahu, akhir tahun 2011 esok, ialah perjalanan dari detik ke detik, hingga detik ke 31.536.000 ketika nanti malam kita mulai menapakinya. Selalu ingatlah pesan Engkoh dan Mbah Titiek Puspa; Cintailah floduk-floduk dalam dirimu, tiap detiknya!
Tahukah Anda soal misteri waktu? Ada sesuatu yang selalu disangka datang, dan memang selalu datang. Tapi, begitu ia datang, ia sudah bukan dirinya lagi. Ia bernama "besok". Ketika Anda sangka besok tanggal 1 Januari 2012, maka pada pada saat tanggal 1 Januari 2012 itu, ia menjadi "hari ini", karena besok sudah berpindah ke 2 Januari 2012. Sampek modir, "besok" itu tak pernah mengujud. Dan seterusnya!
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita barangkali pura-pura tak tahu akan hal itu. | Ditulis oleh Sunardian Wirodono
Kamis, Desember 29, 2011
Indonesia dan Kenihilan Kepemimpinan
DALAM kepemimpinan Jawa (kenapa Jawa? Ya, agar kita bisa dapatkan juga dari nilai kebijaksanaan lokal lainnya), negara yang gemah ripah loh-jinawi, mensyaratkan pada tiga hal. Adanya pemimpin yang berani menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, alim-ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan, dan rakyat yang mau mendengar, sabar, dan bekerja keras.
Tentu, konsep yang tidak senjlimet Montesquieu tentang trias politika, dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski pun kenyataannya, yang bernama legislatif dan yudikatif, pada akhirnya adalah juga eksekutif juga. Dan celakanya, teori Montesquieu ternyata juga tak mampu memecahkan soal "pengawasan" dan memberi jawaban memuaskan atas yang bernama "keadilan" itu. Orang Jawa, meringkes ketiganya berada dalam satu tempat, yakni integrated pada satu manusia yang disebut pemimpin itu. Artinya, dalam elaborasi konteks kekinian, dalam pribadi pemimpin harus terpenuhi syarat mutlak ia sebagai "manusia pilihan".
Pemimpin yang menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, ialah dia menjaga segala sesuatu dalam keseimbangan. Dalam teori modern ia memoderasi antara kepentingan capital (modal, pengusaha, pasar) dan civil society (rakyat). Namun jika ia berkelindan, dan berselingkuh, dengan pemodal atau pengusaha semata, maka ia telah berlaku tidak adil, apalagi sampai tidak bisa bersikap, dan berdalih tidak mau intervensi pada kepolisian yang merupakan instrumen kekuasaannya, atau membiarkan munculnya Pam-Swakarsa).
Pemimpin yang seperti itu, jika pun tahu mengenai teori keadilan, semuanya hanyalah omong kosong. Sementara kita tahu, seorang pemimpin dinilai dari omong isi-nya, bukan omong kosong-nya. Pemimpin memang harus ngomong, tetapi jika yang diomongkan kosong belaka, ia juga nihil, alias tidak bernilai. Apapun kata mantan menlu AS, Condoleeza Rice (yang dikagumi Moammar Kadafy itu) tentang kepemimpinan yang kuat.
Alim ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan. Yang dimaksudkan di sini, alim-ulama tentulah bukan hanya para petinggi dan elite Islam (aneh, Islam kok mengenal konsep "elite"), melainkan mereka yang bekerja di ranah rohani. Para pendeta, pastor, bedande, para budayawan, yang merenungi nilai-nilai kehidupan. Banyak yang menyatakan kebenaran, namun kebenaran tanpa keadilan adalah kebenaran formal, kebenaran teks, yang ia bisa jadi tidak bernilai ketika kehilangan konteksnya.
Berdasar keadilan itu artinya kebenarannya bukan demi kekuasaan, bukan pada kelompok tertentu, bahkan bukan kebenaran demi kebenaran akademis, karena ia bisa jadi kegenitan yang elitis belaka. Namun kebenaran yang dimaksud, mampu menumbuhkan peradaban, nilai-nilai kehidupan, demi citra budi Tuhan, bukan citra budi penguasa, dan apalagi kelompok mayoritas. Karena justeru pada kaum minoritaslah, Kanjeng Nabi Muhammad sendiri perlu memasukkannya dalam Piagam Madinah, sebagai konsep kekuasaan yang Islami (bukan negara Islam).
Barangkali, faktor terpenting, ialah pada rakyat. Dan kita tahu, ada yang mengatakan rakyat yang kuat melahirkan pemimpin kuat, rakyat bodoh melahirkan pemimpin bodoh. Jika pemimpin beraport merah, siapa dulu gurunya,... Biarkan saja istilah itu, sebagai bagian dari kegenitan akademis, untuk mendapatkan cum-laude. Kita seyogyanya tidak lagi berdebat soal mana lebih dulu antara telor dan ayam, kecuali hanya sekedar untuk mendapatkan selembar honorarium alias amplop, dalam sebuah talk-show televisi.
Bisa jadi, rakyat kita bodoh, tak sabaran, suka amuk massa, tidak mau mendengar, pemalas, konsumtif, dan sebagainya dan seterusnya. Namun, jika dua unsur di luarnya (pemimpin dan alim-ulama) terpenuhi, rakyat akan menjadi pondasi terkuat bagi tegaknya kedaulatan negara.
Secara teoritis tampaknya mudah. Memang mudah. Tapi karena keserakahan akan kekuasaan (baik pada para pemimpin, alim-ulama, budayawan, dan cerdik-pandai) itu, semuanya menjadi sulit. Dan bangsa Indonesia yang konon ramah-tamah, mempunyai konsep gotong-royong, sesungguhnya sama sekali pandangan yang tidak meyakinkan. Ialah ketika politik modern hanya bersandar pada angka-angka, citra dan polling, namun bukan nilai-nilai.
Angka-angka yang disodorkan pada kita itu, tidak bernilai sama sekali. Hanya teks, bukan konteks. Tidak mampu menyodorkan kepemimpinan dan keteladanan, karena tidak mempunyai roh dan kekuatan untuk menginspirasi, apalagi memotivasi bagi berdirinya negara yang gemah-ripah repeh rapih, negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghofur!
Tentu, konsep yang tidak senjlimet Montesquieu tentang trias politika, dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski pun kenyataannya, yang bernama legislatif dan yudikatif, pada akhirnya adalah juga eksekutif juga. Dan celakanya, teori Montesquieu ternyata juga tak mampu memecahkan soal "pengawasan" dan memberi jawaban memuaskan atas yang bernama "keadilan" itu. Orang Jawa, meringkes ketiganya berada dalam satu tempat, yakni integrated pada satu manusia yang disebut pemimpin itu. Artinya, dalam elaborasi konteks kekinian, dalam pribadi pemimpin harus terpenuhi syarat mutlak ia sebagai "manusia pilihan".
Pemimpin yang menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, ialah dia menjaga segala sesuatu dalam keseimbangan. Dalam teori modern ia memoderasi antara kepentingan capital (modal, pengusaha, pasar) dan civil society (rakyat). Namun jika ia berkelindan, dan berselingkuh, dengan pemodal atau pengusaha semata, maka ia telah berlaku tidak adil, apalagi sampai tidak bisa bersikap, dan berdalih tidak mau intervensi pada kepolisian yang merupakan instrumen kekuasaannya, atau membiarkan munculnya Pam-Swakarsa).
Pemimpin yang seperti itu, jika pun tahu mengenai teori keadilan, semuanya hanyalah omong kosong. Sementara kita tahu, seorang pemimpin dinilai dari omong isi-nya, bukan omong kosong-nya. Pemimpin memang harus ngomong, tetapi jika yang diomongkan kosong belaka, ia juga nihil, alias tidak bernilai. Apapun kata mantan menlu AS, Condoleeza Rice (yang dikagumi Moammar Kadafy itu) tentang kepemimpinan yang kuat.
Alim ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan. Yang dimaksudkan di sini, alim-ulama tentulah bukan hanya para petinggi dan elite Islam (aneh, Islam kok mengenal konsep "elite"), melainkan mereka yang bekerja di ranah rohani. Para pendeta, pastor, bedande, para budayawan, yang merenungi nilai-nilai kehidupan. Banyak yang menyatakan kebenaran, namun kebenaran tanpa keadilan adalah kebenaran formal, kebenaran teks, yang ia bisa jadi tidak bernilai ketika kehilangan konteksnya.
Berdasar keadilan itu artinya kebenarannya bukan demi kekuasaan, bukan pada kelompok tertentu, bahkan bukan kebenaran demi kebenaran akademis, karena ia bisa jadi kegenitan yang elitis belaka. Namun kebenaran yang dimaksud, mampu menumbuhkan peradaban, nilai-nilai kehidupan, demi citra budi Tuhan, bukan citra budi penguasa, dan apalagi kelompok mayoritas. Karena justeru pada kaum minoritaslah, Kanjeng Nabi Muhammad sendiri perlu memasukkannya dalam Piagam Madinah, sebagai konsep kekuasaan yang Islami (bukan negara Islam).
Barangkali, faktor terpenting, ialah pada rakyat. Dan kita tahu, ada yang mengatakan rakyat yang kuat melahirkan pemimpin kuat, rakyat bodoh melahirkan pemimpin bodoh. Jika pemimpin beraport merah, siapa dulu gurunya,... Biarkan saja istilah itu, sebagai bagian dari kegenitan akademis, untuk mendapatkan cum-laude. Kita seyogyanya tidak lagi berdebat soal mana lebih dulu antara telor dan ayam, kecuali hanya sekedar untuk mendapatkan selembar honorarium alias amplop, dalam sebuah talk-show televisi.
Bisa jadi, rakyat kita bodoh, tak sabaran, suka amuk massa, tidak mau mendengar, pemalas, konsumtif, dan sebagainya dan seterusnya. Namun, jika dua unsur di luarnya (pemimpin dan alim-ulama) terpenuhi, rakyat akan menjadi pondasi terkuat bagi tegaknya kedaulatan negara.
Secara teoritis tampaknya mudah. Memang mudah. Tapi karena keserakahan akan kekuasaan (baik pada para pemimpin, alim-ulama, budayawan, dan cerdik-pandai) itu, semuanya menjadi sulit. Dan bangsa Indonesia yang konon ramah-tamah, mempunyai konsep gotong-royong, sesungguhnya sama sekali pandangan yang tidak meyakinkan. Ialah ketika politik modern hanya bersandar pada angka-angka, citra dan polling, namun bukan nilai-nilai.
Angka-angka yang disodorkan pada kita itu, tidak bernilai sama sekali. Hanya teks, bukan konteks. Tidak mampu menyodorkan kepemimpinan dan keteladanan, karena tidak mempunyai roh dan kekuatan untuk menginspirasi, apalagi memotivasi bagi berdirinya negara yang gemah-ripah repeh rapih, negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghofur!
Dongeng Pagi pada Suatu Bokis
Oleh Sunardian Wirodono
Pada suatu pagi yang entah dan bokis, Einstein, Santayana, George Bernard Shaw, Socrates, Plato, Thomas A. Edison, Voltaire, Gandhi, Khalil Gibran, Sukarno, dan entah siapa lagi, pokoknya begitu banyak nama-nama yang sering beredar pada status facebook, berkumpul. Ada juga motivator, kolumnis, perakit kata, jurnalis yang tak pernah nulis jurnal. Mereka mengadakan Musyawarah Besar Sekali (disingkat Mubesek).
"Coba, kalau kita hidup di jaman Ring Back Tone kayak Ahmad Dhani,..." Einstein membuka percakapan.
"Siapa Ahmad Dhani?" Sukarno bertanya.
"Hloh, lha itu 'kan bangsamu, Su!" Plato menukas cepat, "Itu lho, suami Mulan Jameela,..."
"Mulan Jameela? Nama yang cantik, apakah secantik wajahnya?" Sukarno mulai antusias.
"Halah si Bung ini, kalau sudah soal perempuan,..." Socrates memprotes, "Kembali ke Thukul, eh, fokus!"
"Kalau kita hidup di jaman RBT, maka kita akan kaya, karena banyak manusia mengutip renungan-renungan kita. Bayangkan, dalam satu detik ada ratusan status fb ditulis, dan banyak di antaranya hanya berisi kutipan kata-kata kita itu!" Einstein mencoba menjelaskan kegelisahannya, "dan semuanya itu gratisan! Coba hitung, berapa royalti yang bakal kita terima, andai kita berada di jaman itu,..."
"Halah," Plato menukas, "tidak semua yang bisa dihitung itu bisa dihitung,...!"
"Hei, hei, hei, kamu nyontek pendapatku ya?" Einstein sewot, "Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung,... jangan dicomot seenaknya!"
"Uh, logikamu ribet!" Socrates menyela, "kembali ke fokus. Masalahnya bukan soal kita dapat royalti tidak, tapi ada gunanya nggak sih kutipan kita itu? Apa segala macam wise-word itu bisa mengubah hidup manusia? Menyelamatkan dunia ini? Nyatanya, perang masih ada, pertengkaran masih subur. Bahkan, di negaranya Sukarno itu, yang pakai Pancasila, kini berkembang perang suku, perang tarkam (antar kampung, antar kampus), antarmahasiswa,... peradaban makin ruksak! Rusak mah biasa, ruksak itu biangnya rusak!"
"Outside of a dog, a book is man's best friend. Inside of a dog it's too dark to read," tiba-tiba nongol Groucho Marx, komedian dan film star Amerika.
"Maksudnya?" George Santayana bertanya.
"Kata-kata motivasi berguna sekali dalam perjalanan hidup. Sekiranya mereka sering mengucapkan kata-kata motivasi ke orang-orang, itu bisa menjadi penambah motivasi,..."
"Ah, kamu terlalu textbook thinking!" Thomas A. Edison memotong, "hidup itu kumpulan pengalaman. Mau ini mau itu, pengalaman merekalah yang penting, dengan atau tidak dengan kata-kata bijak!"
"Hmmm,... Kata-kata itu sebenarnya tidak mempunyai makna untuk menjelaskan perasaan," tiba-tiba berujar seseorang, entah siapa tak jelas, karena hari sudah malam, dan listrik giliran padam, "Manusia boleh membentuk seribu kata-kata, seribu bahasa. Tapi kata-kata bukan bukti unggulnya perasaan. Sebelum memberi nasihat kepada manusia dengan ucapanmu, berilah mereka nasihat dengan perbuatanmu. Memang, bukti ilmu seseorang pada ucapannya, tapi bukti akal fikiran seseorang ialah perbuatannya,..."
Dan seterusnya. Obrolan itu panjang tiada habisnya. Hasilnya? Belum dirumuskan. Tapi, menurut laporan wartawan, para filsuf dan para cendekia-aulia itu lagi pada manyun, menunggu esok pagi tiba, atau tepatnya menunggu bakul bubur ayam nyelonong dalam area Mubesek.
Pada suatu pagi yang entah dan bokis, Einstein, Santayana, George Bernard Shaw, Socrates, Plato, Thomas A. Edison, Voltaire, Gandhi, Khalil Gibran, Sukarno, dan entah siapa lagi, pokoknya begitu banyak nama-nama yang sering beredar pada status facebook, berkumpul. Ada juga motivator, kolumnis, perakit kata, jurnalis yang tak pernah nulis jurnal. Mereka mengadakan Musyawarah Besar Sekali (disingkat Mubesek).
"Coba, kalau kita hidup di jaman Ring Back Tone kayak Ahmad Dhani,..." Einstein membuka percakapan.
"Siapa Ahmad Dhani?" Sukarno bertanya.
"Hloh, lha itu 'kan bangsamu, Su!" Plato menukas cepat, "Itu lho, suami Mulan Jameela,..."
"Mulan Jameela? Nama yang cantik, apakah secantik wajahnya?" Sukarno mulai antusias.
"Halah si Bung ini, kalau sudah soal perempuan,..." Socrates memprotes, "Kembali ke Thukul, eh, fokus!"
"Kalau kita hidup di jaman RBT, maka kita akan kaya, karena banyak manusia mengutip renungan-renungan kita. Bayangkan, dalam satu detik ada ratusan status fb ditulis, dan banyak di antaranya hanya berisi kutipan kata-kata kita itu!" Einstein mencoba menjelaskan kegelisahannya, "dan semuanya itu gratisan! Coba hitung, berapa royalti yang bakal kita terima, andai kita berada di jaman itu,..."
"Halah," Plato menukas, "tidak semua yang bisa dihitung itu bisa dihitung,...!"
"Hei, hei, hei, kamu nyontek pendapatku ya?" Einstein sewot, "Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung,... jangan dicomot seenaknya!"
"Uh, logikamu ribet!" Socrates menyela, "kembali ke fokus. Masalahnya bukan soal kita dapat royalti tidak, tapi ada gunanya nggak sih kutipan kita itu? Apa segala macam wise-word itu bisa mengubah hidup manusia? Menyelamatkan dunia ini? Nyatanya, perang masih ada, pertengkaran masih subur. Bahkan, di negaranya Sukarno itu, yang pakai Pancasila, kini berkembang perang suku, perang tarkam (antar kampung, antar kampus), antarmahasiswa,... peradaban makin ruksak! Rusak mah biasa, ruksak itu biangnya rusak!"
"Outside of a dog, a book is man's best friend. Inside of a dog it's too dark to read," tiba-tiba nongol Groucho Marx, komedian dan film star Amerika.
"Maksudnya?" George Santayana bertanya.
"Kata-kata motivasi berguna sekali dalam perjalanan hidup. Sekiranya mereka sering mengucapkan kata-kata motivasi ke orang-orang, itu bisa menjadi penambah motivasi,..."
"Ah, kamu terlalu textbook thinking!" Thomas A. Edison memotong, "hidup itu kumpulan pengalaman. Mau ini mau itu, pengalaman merekalah yang penting, dengan atau tidak dengan kata-kata bijak!"
"Hmmm,... Kata-kata itu sebenarnya tidak mempunyai makna untuk menjelaskan perasaan," tiba-tiba berujar seseorang, entah siapa tak jelas, karena hari sudah malam, dan listrik giliran padam, "Manusia boleh membentuk seribu kata-kata, seribu bahasa. Tapi kata-kata bukan bukti unggulnya perasaan. Sebelum memberi nasihat kepada manusia dengan ucapanmu, berilah mereka nasihat dengan perbuatanmu. Memang, bukti ilmu seseorang pada ucapannya, tapi bukti akal fikiran seseorang ialah perbuatannya,..."
Dan seterusnya. Obrolan itu panjang tiada habisnya. Hasilnya? Belum dirumuskan. Tapi, menurut laporan wartawan, para filsuf dan para cendekia-aulia itu lagi pada manyun, menunggu esok pagi tiba, atau tepatnya menunggu bakul bubur ayam nyelonong dalam area Mubesek.
Jumat, Desember 16, 2011
"Belajar dari Seratus Puisi dari Seratus Penyair"
Oleh Sunardian Wirodono
Selama ini, buku mengenai puisi Indonesia, lebih merupakan buku yang penuh teori dan kajian akademik mengenai sastra. Ia lebih banyak dinikmati oleh kritikus sastra dan penulis puisi itu sendiri. Terlalu eksklusif.
Padahal, puisi tentu tidak ditulis melulu untuk penyair. Karena di dalamnya, ia sebagaimana karya kesenian lainnya, mampu memberi makna pada kehidupan keseharian kita.
Membacai dan menelusuri makna 100 penyair Indonesia (dari RA Kartini, dari Pujangga Baru, Angkatan '45, '66, hingga dekade terakhir dan generasi fesbuk masa kini), bukan sebuah buku teori tentang sastra, melainkan membumikan teks sastra dalam memaknai kehidupan sehari-hari.
Ukuran buku 11x18 cm, tebal 320 halaman, kertas hvs 70 gram. Ditulis oleh Sunardian Wirodono, harga Rp 50.000 sudah termasuk ongkos kirim untuk seluruh Indonesia. Buku ini dedikasikan untuk pendirian (pada tanggal 30 Desember 2011) sebuah lembaga nirlaba Pelita Jaya Anggada Foundation, yang bergerak di bidang pendampingan anak-anak down-syndrome. Buku ini akan beredar tanggal 26 Desember. Pemesanan dilayani mulai sekarang dengan cara menulis nama dan alamat di inbox akun ini.
"Belajar dari Seratus Puisi Seratus Penyair", membacai puisi-puisi: Abdul Hadi WM, Abidah El-Khaliqie, Acep Zamzam Noer, Adri Darmadji Woko, Afrizal Malna, Ahmad Fatoni, Ahmadun Y. Herfanda, Ajip Rosidi, Alex R. Nainggolan, Amir Hamzah, A. Mustofa Bisri, Arifin C. Noer, Ari Pahala Hutabarat, Beni Setia, Chairil Anwar, Cok Sawitri, Cunong Nunuk Suraja, Darmanto Jatman, Dhenok Kristianti, Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, Dina Oktaviani, Dorothea Rosa Herliany, D. Zawawi Imron, Eka Budianta.
Eko Tunas, Emha Ainun Nadjib, Esha Tegar Putra, Evi Idawati, Fitrah Anugerah, F. Rahardi, Goenawan Mohammad, Gunawan Maryanto, Gunoto Saparie, Hamid Jabbar, Hartoyo Andangjaya, Hasan Aspahani, Hendro Siswanggono, Hendry Ch Bangun, Heru Emka, Ilham Q Moehiddin, Inggit Putria Marga, I Nyoman Wiratha, Isbedy Stiawan Zs, Jamal D. Rahman, JE Tatengkeng, Joko Pinurbo, Kirdjomuljo, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie.
Landung Simatupang, Leon Agusta, Linus Suryadi AG, Lupita Lukman, Mardi Luhung, Marhalim Zaini, Medy Loekito, M. Fajroel Rachman, Mustofa W. Hasyim, Nana Ernawati, Nanang Anna Noor, Nanang Riskhi Susanti, Nenden Lilis A, Nia Samsihono, Ni Made Purnamasari, Nirwan Dewanto, Noorca M. Massardi, Oka Rusmini, Ook Nugroho, Radhar Panca Dahana, RA Kartini, Ramadhan KH, Raudal Tanjung Banua, Remy Sylado, Rendra.
Rini Intama, Roni Zarman, Sapardi Djoko Damono, Shinta Miranda, Sihar Ramses Simatupang, Sindu Putra, Sitok Srengenge, Sitor Situmorang, Slamet Riyadi Sabrawi, Sobron Aidit, Soe Hok Gie, Soni Farid Maulana, Subagio Sastrowardojo, Susy Ayu, Sutardji Calzoum Bachrie, Taufiq Ismail, Timur Sinar Suprabana, Toeti Heraty, Toto Sudarto Bachtiar, Ulfatin Ch., Umbu Landu Paranggi, Wahyu Wibowo, Wiji Thukul, Yudhistira ANM Massardi, Yvone de Fretes.
Buku ini tidak dijual di toko buku umum, agar didapat harga yang murah. Syarat Pembelian Buku "Belajar dari Seratus Puisi dari Seratus Penyair":
1. Tulis nama dan alamat lengkap yang bisa dijangkau oleh paket pos, ke email sunardianwirodono@yahoo.com, sertakan no. hp untuk konfirmasi.
2. Kirim uang pembelian via transfer bank ke nomor yang akan kami kirimkan ke email Anda atau sms ke no hp Anda.
3. Harga buku Rp 50.000 per-eks (termasuk ongkos kirim, untuk seluruh Indonesia, agar terjadi subsidi silang).
4. Sekedar tambahan, sebesar 10% dari harga buku ini, akan didonasikan kepada Pelita Jaya Anggada Foundation, sebuah lembaga nirlaba untuk anak-anak penyandang down syndrome di Indonesia.
Keterangan Tambahan:
1. Data buku, ukuran 11x18 cm., tebal 320 halaman, kertas hvs 70 gram, harga Rp 50.000 (termasuk ongkir).
2. Ditulis oleh: Sunardian Wirodono. Penerbit: Chitchat Publisher Yogyakarta, d.a Jl. KRT Pringgodiningrat 40, Pangukan, Tridadi, Sleman, Yogyakarta 55511.
3. Untuk wilayah Yogyakarta (dan sebagian daerah kabupaten Sleman dan Bantul yang berdekatan dengan Kodya Yogyakarta, bisa dengan cara delivery order, pemesanan melalui sms/phone dengan menyebut nama dan lokasi sejelasnya. Culdit culrang (buku akan diantar dan pembayaran cash di tempat). Hubungi no hp: 0878.38125757, 0857.2624.0385, 0811278426
4. Masih tersedia buku kumpulan humor Sunardian Wirodono; "Dialog Dogol Susilo & Mbambang", dengan harga yang sama.
Selama ini, buku mengenai puisi Indonesia, lebih merupakan buku yang penuh teori dan kajian akademik mengenai sastra. Ia lebih banyak dinikmati oleh kritikus sastra dan penulis puisi itu sendiri. Terlalu eksklusif.
Padahal, puisi tentu tidak ditulis melulu untuk penyair. Karena di dalamnya, ia sebagaimana karya kesenian lainnya, mampu memberi makna pada kehidupan keseharian kita.
Membacai dan menelusuri makna 100 penyair Indonesia (dari RA Kartini, dari Pujangga Baru, Angkatan '45, '66, hingga dekade terakhir dan generasi fesbuk masa kini), bukan sebuah buku teori tentang sastra, melainkan membumikan teks sastra dalam memaknai kehidupan sehari-hari.
Ukuran buku 11x18 cm, tebal 320 halaman, kertas hvs 70 gram. Ditulis oleh Sunardian Wirodono, harga Rp 50.000 sudah termasuk ongkos kirim untuk seluruh Indonesia. Buku ini dedikasikan untuk pendirian (pada tanggal 30 Desember 2011) sebuah lembaga nirlaba Pelita Jaya Anggada Foundation, yang bergerak di bidang pendampingan anak-anak down-syndrome. Buku ini akan beredar tanggal 26 Desember. Pemesanan dilayani mulai sekarang dengan cara menulis nama dan alamat di inbox akun ini.
"Belajar dari Seratus Puisi Seratus Penyair", membacai puisi-puisi: Abdul Hadi WM, Abidah El-Khaliqie, Acep Zamzam Noer, Adri Darmadji Woko, Afrizal Malna, Ahmad Fatoni, Ahmadun Y. Herfanda, Ajip Rosidi, Alex R. Nainggolan, Amir Hamzah, A. Mustofa Bisri, Arifin C. Noer, Ari Pahala Hutabarat, Beni Setia, Chairil Anwar, Cok Sawitri, Cunong Nunuk Suraja, Darmanto Jatman, Dhenok Kristianti, Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, Dina Oktaviani, Dorothea Rosa Herliany, D. Zawawi Imron, Eka Budianta.
Eko Tunas, Emha Ainun Nadjib, Esha Tegar Putra, Evi Idawati, Fitrah Anugerah, F. Rahardi, Goenawan Mohammad, Gunawan Maryanto, Gunoto Saparie, Hamid Jabbar, Hartoyo Andangjaya, Hasan Aspahani, Hendro Siswanggono, Hendry Ch Bangun, Heru Emka, Ilham Q Moehiddin, Inggit Putria Marga, I Nyoman Wiratha, Isbedy Stiawan Zs, Jamal D. Rahman, JE Tatengkeng, Joko Pinurbo, Kirdjomuljo, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie.
Landung Simatupang, Leon Agusta, Linus Suryadi AG, Lupita Lukman, Mardi Luhung, Marhalim Zaini, Medy Loekito, M. Fajroel Rachman, Mustofa W. Hasyim, Nana Ernawati, Nanang Anna Noor, Nanang Riskhi Susanti, Nenden Lilis A, Nia Samsihono, Ni Made Purnamasari, Nirwan Dewanto, Noorca M. Massardi, Oka Rusmini, Ook Nugroho, Radhar Panca Dahana, RA Kartini, Ramadhan KH, Raudal Tanjung Banua, Remy Sylado, Rendra.
Rini Intama, Roni Zarman, Sapardi Djoko Damono, Shinta Miranda, Sihar Ramses Simatupang, Sindu Putra, Sitok Srengenge, Sitor Situmorang, Slamet Riyadi Sabrawi, Sobron Aidit, Soe Hok Gie, Soni Farid Maulana, Subagio Sastrowardojo, Susy Ayu, Sutardji Calzoum Bachrie, Taufiq Ismail, Timur Sinar Suprabana, Toeti Heraty, Toto Sudarto Bachtiar, Ulfatin Ch., Umbu Landu Paranggi, Wahyu Wibowo, Wiji Thukul, Yudhistira ANM Massardi, Yvone de Fretes.
Buku ini tidak dijual di toko buku umum, agar didapat harga yang murah. Syarat Pembelian Buku "Belajar dari Seratus Puisi dari Seratus Penyair":
1. Tulis nama dan alamat lengkap yang bisa dijangkau oleh paket pos, ke email sunardianwirodono@yahoo.com, sertakan no. hp untuk konfirmasi.
2. Kirim uang pembelian via transfer bank ke nomor yang akan kami kirimkan ke email Anda atau sms ke no hp Anda.
3. Harga buku Rp 50.000 per-eks (termasuk ongkos kirim, untuk seluruh Indonesia, agar terjadi subsidi silang).
4. Sekedar tambahan, sebesar 10% dari harga buku ini, akan didonasikan kepada Pelita Jaya Anggada Foundation, sebuah lembaga nirlaba untuk anak-anak penyandang down syndrome di Indonesia.
Keterangan Tambahan:
1. Data buku, ukuran 11x18 cm., tebal 320 halaman, kertas hvs 70 gram, harga Rp 50.000 (termasuk ongkir).
2. Ditulis oleh: Sunardian Wirodono. Penerbit: Chitchat Publisher Yogyakarta, d.a Jl. KRT Pringgodiningrat 40, Pangukan, Tridadi, Sleman, Yogyakarta 55511.
3. Untuk wilayah Yogyakarta (dan sebagian daerah kabupaten Sleman dan Bantul yang berdekatan dengan Kodya Yogyakarta, bisa dengan cara delivery order, pemesanan melalui sms/phone dengan menyebut nama dan lokasi sejelasnya. Culdit culrang (buku akan diantar dan pembayaran cash di tempat). Hubungi no hp: 0878.38125757, 0857.2624.0385, 0811278426
4. Masih tersedia buku kumpulan humor Sunardian Wirodono; "Dialog Dogol Susilo & Mbambang", dengan harga yang sama.
Kamis, Desember 08, 2011
KPK Bersama Samad Menggali Kuburnya Sendiri
Sumber Tempo yang dekat dengan Komisi Hukum DPR mengatakan Kamis malam (1/12) pekan lalu telah digelar dua pertemuan rahasia yang dihadiri perwakilan enam fraksi di Komisi Hukum. Mereka berasal dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PPP, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Mereka ini pemilik 33 suara di Komisi Hukum.
Pertemuan khusus ini berlangsung di sebuah restoran di kawasan Sudirman Business District Center (SCBD) Jakarta Pusat dan Tee Box Kafe Kemang, Jakarta Selatan. Menurut sumber tadi, dalam pertemuan ini Abraham Samad, satu-satunya capim KPK yang hadir dan mendengarkan langsung komitmen enam fraksi, untuk mengantarkan dia jadi Ketua KPK. ”Jadi, sehari sebelum pemilihan sudah diketahui siapa yang akan terpilih jadi ketua,” katanya.
Di Makassar, Abraham dikenal sebagai pengacara sekaligus aktivis antikorupsi. Tapi jejaknya juga tercium di belantara politik. Tim investigasi panitia seleksi pernah menduga Abraham berafiliasi dengan partai politik. Namun dia membantah. Lelaki 45 tahun itu juga dekat dengan kelompok Islam garis keras, seperti Laskar Jundullah, Abu Bakar Ba'asyir, Hisbut Tahrir Indonesia, dan Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan. Untuk yang satu ini, Abraham mengakui (Tempo.Interaktif, 3 Desember 2011).
Berdasar pada pandangan Abraham dalam fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat. Abraham memiliki pandangan bahwa penyadapan dan larangan SP3 di UU KPK perlu direvisi. Padahal dua hal itu adalah 'senjata' KPK yang tidak dimiliki polisi dan jaksa. Itu beda prinsipal antara AS dengan Bambang Widjojanto dan Busyro Muqodas.
Janji setahun tak bisa membereskan korupsi besar, bagi Samad, adalah blunder KPK yang pertama (blunder = kesalahan yang bodoh). Kenapa? Megakorupsi, tentu kompleksitasnya juga mega, karena persoalannya bukan melulu hukum, melainkan belibet dengan persoalan politik. Dan kita tahu, ketika dua hal itu berselingkuh, KPK sendiri di bawah Samad, telah menyediakan diri untuk berada "di bawah" DPR. Apalagi, jika kasus-kasus korupsi "kecil" menjadi urusan Polisi dan Kejaksaan, maka koruptor recehan macam politikus Senayan, tentu akan lebih diuntungkan lagi (karena itu, DPR ngotot memasukkan "unsur" kepolisian dan kejaksaan dalam KPK).
KPK akan kuat di bawah AS? Itu lebih merupakan omong kosong dan kamuflase yang ingin diciptakan para koruptor itu sendiri. Slogan pastinya, "koruptor bersatu, tak bisa dikalahkan" Jika kita memakai teori sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, kalau mereka ngomong ke kanan (KPK di bawah Samad lebih menjanjikan), lihatlah kemungkinan sebaliknya (yakni, lebih menjanjikan untuk disetir DPR), dan itulah maksud sebenarnya,...!
Pertemuan khusus ini berlangsung di sebuah restoran di kawasan Sudirman Business District Center (SCBD) Jakarta Pusat dan Tee Box Kafe Kemang, Jakarta Selatan. Menurut sumber tadi, dalam pertemuan ini Abraham Samad, satu-satunya capim KPK yang hadir dan mendengarkan langsung komitmen enam fraksi, untuk mengantarkan dia jadi Ketua KPK. ”Jadi, sehari sebelum pemilihan sudah diketahui siapa yang akan terpilih jadi ketua,” katanya.
Di Makassar, Abraham dikenal sebagai pengacara sekaligus aktivis antikorupsi. Tapi jejaknya juga tercium di belantara politik. Tim investigasi panitia seleksi pernah menduga Abraham berafiliasi dengan partai politik. Namun dia membantah. Lelaki 45 tahun itu juga dekat dengan kelompok Islam garis keras, seperti Laskar Jundullah, Abu Bakar Ba'asyir, Hisbut Tahrir Indonesia, dan Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan. Untuk yang satu ini, Abraham mengakui (Tempo.Interaktif, 3 Desember 2011).
Berdasar pada pandangan Abraham dalam fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat. Abraham memiliki pandangan bahwa penyadapan dan larangan SP3 di UU KPK perlu direvisi. Padahal dua hal itu adalah 'senjata' KPK yang tidak dimiliki polisi dan jaksa. Itu beda prinsipal antara AS dengan Bambang Widjojanto dan Busyro Muqodas.
Janji setahun tak bisa membereskan korupsi besar, bagi Samad, adalah blunder KPK yang pertama (blunder = kesalahan yang bodoh). Kenapa? Megakorupsi, tentu kompleksitasnya juga mega, karena persoalannya bukan melulu hukum, melainkan belibet dengan persoalan politik. Dan kita tahu, ketika dua hal itu berselingkuh, KPK sendiri di bawah Samad, telah menyediakan diri untuk berada "di bawah" DPR. Apalagi, jika kasus-kasus korupsi "kecil" menjadi urusan Polisi dan Kejaksaan, maka koruptor recehan macam politikus Senayan, tentu akan lebih diuntungkan lagi (karena itu, DPR ngotot memasukkan "unsur" kepolisian dan kejaksaan dalam KPK).
KPK akan kuat di bawah AS? Itu lebih merupakan omong kosong dan kamuflase yang ingin diciptakan para koruptor itu sendiri. Slogan pastinya, "koruptor bersatu, tak bisa dikalahkan" Jika kita memakai teori sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, kalau mereka ngomong ke kanan (KPK di bawah Samad lebih menjanjikan), lihatlah kemungkinan sebaliknya (yakni, lebih menjanjikan untuk disetir DPR), dan itulah maksud sebenarnya,...!
Selasa, Desember 06, 2011
Melalui Abraham Samad, Barisan Koruptor Menyandera KPK
Selama ini, pemberitaan media masih juga menyodorkan pandangannya yang a-politis, mereka tak mengerti dan terkejut dengan tepilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK 2011-2015.
Pandangan itu bukan hanya a-politis, melainkan bentuk dari kemalasan (atau ketidakpekaan) dalam membaca arah politik. Padahal, semua orang juga tahu, entitas DPR adalah lembaga politik. Tidak pernah terbukti lembaga ini sebagai perwujudan dari kepentingan rakyat, karena oligarki parpol hanya memakai rakyat sebagai atas nama.
Dari sejak penolakan DPR soal pemeringkatan Pansel Capim KPK, disitu DPR telah bermain politik, hingga mereka mempersoalkan kesalahan (yang memang kecerobohan fatal) soal administratif yang kebetulan menimpa Abraham Samad.
Dukungan pada Bambang Widjojanto, untuk masuk empat besar versi DPR, hanyalah sebuah taktik, dari strategi besar mereka dalam menjatuhkan tokoh ini dengan selisik telak 43 suara untuk AS dan 4 untuk BW dalam pemilihan Ketua KPK. Mayoritas anggota Komisi III DPR hanya ingin mengirimkan sinyal, bahwa BW bukanlah nama yang dipilih, namun DPR juga tak ingin dituding mendepak BW secara terang-terangan. Sebagaimana DPR juga tak ingin dituding mendepak Busyro Muqodas, ketika secara tendensius mereka meminta ketegasan BM, apakah masih bersedia menjadi pimpinan KPK (padahal, semua orang juga mengetahui, bahwa keputusan MK mengenai posisi BM jelas, ia adalah orang yang terpilih untuk menggantikan Ketua KPK Antasari Azhar, dan itu berlaku hingga 2014), artinya, semestinya yang dicari adalah unsur pimpinan KPK lainnya yang memang sudah harus berakhir jabatannya Desember 2011. Namun, jangankan Pansel Capim KPK, MK pun bukan lembaga yang ditakuti oleh DPR, karena mereka mengatakan tak ada kewajiban mengikuti keputusan MK, sebagaimana dikuatkan Ketua DPR Marzuki Ali, kewenangan MK itu melampaui Tuhan!
Hasil Pansel Capim KPK, yang diketuai Patrialis Akbar, S.H., M.H. (Menkunham waktu itu), dengan wakil ketua; 1. Irjen Pol (Purn) Drs. M.H. Ritonga; 2. Dr. H. Soeharto, S.H., M.H.; sekretaris (merangkap anggota) : Dr. H. Ahmad Ubbe, S.H., M.H., APU; dengan anggota: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D; Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA; Prof. Dr. Tb. Ronny R. Nitibaskara; Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.; Erry Riyana Hardjapamekas; Akhiar Salmi, S.H., M.H.; Amir Hasan Ketaren, S.H.; Dr. Imam Prasodjo, MA; Deliana Sajuti Ismudjoko, S.H., sama sekali tidak ada harganya, karena dari pemeringkatan itu, justru DPR memilih tiga orang yang menempati rangking di luar empat besar (kecuali dengan taktik DPR tetap memakai Bambang Widjojanto yang menempati peringkat pertama dari Pansel, tapi kemudian "dijatuhkan" dalam pemilihan ketua oleh DPR). Semestinya, pemilihan KPK ke depan, tidak dilakukan oleh DPR, melainkan jika mau membuat terobosan, dilakukan oleh MPR, atau lembaga independen sehingga bisa dilepaskan dari kepentingan politik.
Orang banyak juga berpendapat, tampaknya KPK akan dijadikan alat mayoritas anggota DPR, untuk menggulingkan SBY-Boediono lewat desakan kasus Bank Century. Apalagi, dengan inosennya, Samad menyatakan akan mundur jika dalam satu tahun tak ada kasus yang bisa diselesaikan. Kasus besar itu, antara lain tentu, kasus Century.
Benarkah demikian? Penuntasan kasus Bank Century, tidaklah semudah keyakinan Misbakhun dan para pengincar SBY melalui kasus ini. Justeru karena itulah, sekali lagi sebagai entitas politik, mayoritas DPR sebagai pewakilan parpol, akan memakai kasus Century sebagai sandera politik bagi SBY. Tujuannya, lebih pada keuntungan masing-masing parpol (khususnya Golkar) dalam skenario penyuksesan pemenangan mereka dalam Pemilu 2014.
KPK sendiri, tetap tak akan bisa berbuat banyak, karena di sektor internal mereka, konfigurasi kepemimpinan collective & collegial mereka, sudah diadudomba sedemikian rupa oleh kepentingan politik DPR. BW dan BM, tidak akan mempunyai arti apa-apa dalam kondisi psikologis seperti itu.
Dari hasil pemeringkatan Pansel Capim KPK semula kita berharap (Busyro tetap sebagai Ketua, didampingi BW, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudrajat), akan mendapatkan KPK yang independen. Namun dengan hasil godogan DPR ini, KPK akan menjadi lebih buruk.
Mahkamah Konstitusi, Senin 20 Juni 2011, memutuskan bahwa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Konipsi (KPK) berlaku selama empat tahun. "Menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata ketua majelis hakim konstitusi, Moh Mahfud MD, saat membacakan amar putusan di Jakarta.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 34 Undang Undang KPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pemimpin KPK, baik pemimpin yang diangkat secara bersamaan maupun pemimpin pengganti yang diangkat untuk menggantikan pemimpin yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama empat tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Menurut Mahfud yang didampingi delapan haldm konstitusi, permohonan uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dimohonkan oleh ICW dan beberapa aktivis terkait jabatan Busyro memiliki kedudukari hukum (legal standing).
Namun seperti ditengarai sebelumnya, Peneliti Divisi Korupsi ICW Abdullah Dahlan mengimbau DPR taat terhadap putusan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) soal masa jabatan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Sesuai keputusan MK, masa jabatan Busyro ditetapkan empat tahun.
Sehingga jumlah calon pimpinan (capim) yang diserahkan pemerintah sebanyak delapan orang untuk mengisi empat jabatan pimpinan KPK. "Ini DPR memaksakan pembelajaran etika buruk kepada publik, untuk tidak konsisten mematuhi putusan MK," kata Abdullah di Rumah Perubahan, Jakarta, Selasa (11/10/11).
BM mungkin saja dianggap lemah dan lamban. Tapi BM memiliki integritas yang terukur, tegas dan berani. Hanya ia bukanlah pemimpin yang flamboyan, sebagaimana tampaknya justeru itulah yang akan muncul dari Samad. Samad yang mengritik pimpinan KPK jangan seperti artis sinetron, tapi ia tidak konsisten, dengan tidak memberlakukan hal itu untuk dirinya. Kemunculannya di media selama ini, tidak substansial, dan ia ternyata menikmati euforia media itu. Ia tidak menolaknya.
Berbagai pernyataannya, justeru menciptakan blunder dalam internal KPK itu sendiri. Lagi pula, sekali pun ia Ketua, bukan berarti KPK adalah miliknya. Itu yang membuat di bawah BM, KPK lebih kelihatan tangguh, meski tentu Samad juga harus ditunggu untuk membuktikan kata-katanya. Meski pun itu meragukan. Karena bisa diduga, Samad tidak akan mundur, meski ia sama sekali tak bisa membuktikan ucapannya. Samad diperlukan, agar justeru barisan koruptor leluasa menyandera KPK.
Dan itu artinya, DPR akan lebih diuntungkan, karena rakyat mempunyai sasaran tembak yang lain. Hingga bola reborn untuk melakukan korupsi, bisa dilakukan dengan tenang oleh Senayan, sembari juga menyodorkan kasbon politik 2014 pada SBY!
Pandangan itu bukan hanya a-politis, melainkan bentuk dari kemalasan (atau ketidakpekaan) dalam membaca arah politik. Padahal, semua orang juga tahu, entitas DPR adalah lembaga politik. Tidak pernah terbukti lembaga ini sebagai perwujudan dari kepentingan rakyat, karena oligarki parpol hanya memakai rakyat sebagai atas nama.
Dari sejak penolakan DPR soal pemeringkatan Pansel Capim KPK, disitu DPR telah bermain politik, hingga mereka mempersoalkan kesalahan (yang memang kecerobohan fatal) soal administratif yang kebetulan menimpa Abraham Samad.
Dukungan pada Bambang Widjojanto, untuk masuk empat besar versi DPR, hanyalah sebuah taktik, dari strategi besar mereka dalam menjatuhkan tokoh ini dengan selisik telak 43 suara untuk AS dan 4 untuk BW dalam pemilihan Ketua KPK. Mayoritas anggota Komisi III DPR hanya ingin mengirimkan sinyal, bahwa BW bukanlah nama yang dipilih, namun DPR juga tak ingin dituding mendepak BW secara terang-terangan. Sebagaimana DPR juga tak ingin dituding mendepak Busyro Muqodas, ketika secara tendensius mereka meminta ketegasan BM, apakah masih bersedia menjadi pimpinan KPK (padahal, semua orang juga mengetahui, bahwa keputusan MK mengenai posisi BM jelas, ia adalah orang yang terpilih untuk menggantikan Ketua KPK Antasari Azhar, dan itu berlaku hingga 2014), artinya, semestinya yang dicari adalah unsur pimpinan KPK lainnya yang memang sudah harus berakhir jabatannya Desember 2011. Namun, jangankan Pansel Capim KPK, MK pun bukan lembaga yang ditakuti oleh DPR, karena mereka mengatakan tak ada kewajiban mengikuti keputusan MK, sebagaimana dikuatkan Ketua DPR Marzuki Ali, kewenangan MK itu melampaui Tuhan!
Hasil Pansel Capim KPK, yang diketuai Patrialis Akbar, S.H., M.H. (Menkunham waktu itu), dengan wakil ketua; 1. Irjen Pol (Purn) Drs. M.H. Ritonga; 2. Dr. H. Soeharto, S.H., M.H.; sekretaris (merangkap anggota) : Dr. H. Ahmad Ubbe, S.H., M.H., APU; dengan anggota: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D; Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA; Prof. Dr. Tb. Ronny R. Nitibaskara; Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.; Erry Riyana Hardjapamekas; Akhiar Salmi, S.H., M.H.; Amir Hasan Ketaren, S.H.; Dr. Imam Prasodjo, MA; Deliana Sajuti Ismudjoko, S.H., sama sekali tidak ada harganya, karena dari pemeringkatan itu, justru DPR memilih tiga orang yang menempati rangking di luar empat besar (kecuali dengan taktik DPR tetap memakai Bambang Widjojanto yang menempati peringkat pertama dari Pansel, tapi kemudian "dijatuhkan" dalam pemilihan ketua oleh DPR). Semestinya, pemilihan KPK ke depan, tidak dilakukan oleh DPR, melainkan jika mau membuat terobosan, dilakukan oleh MPR, atau lembaga independen sehingga bisa dilepaskan dari kepentingan politik.
Orang banyak juga berpendapat, tampaknya KPK akan dijadikan alat mayoritas anggota DPR, untuk menggulingkan SBY-Boediono lewat desakan kasus Bank Century. Apalagi, dengan inosennya, Samad menyatakan akan mundur jika dalam satu tahun tak ada kasus yang bisa diselesaikan. Kasus besar itu, antara lain tentu, kasus Century.
Benarkah demikian? Penuntasan kasus Bank Century, tidaklah semudah keyakinan Misbakhun dan para pengincar SBY melalui kasus ini. Justeru karena itulah, sekali lagi sebagai entitas politik, mayoritas DPR sebagai pewakilan parpol, akan memakai kasus Century sebagai sandera politik bagi SBY. Tujuannya, lebih pada keuntungan masing-masing parpol (khususnya Golkar) dalam skenario penyuksesan pemenangan mereka dalam Pemilu 2014.
KPK sendiri, tetap tak akan bisa berbuat banyak, karena di sektor internal mereka, konfigurasi kepemimpinan collective & collegial mereka, sudah diadudomba sedemikian rupa oleh kepentingan politik DPR. BW dan BM, tidak akan mempunyai arti apa-apa dalam kondisi psikologis seperti itu.
Dari hasil pemeringkatan Pansel Capim KPK semula kita berharap (Busyro tetap sebagai Ketua, didampingi BW, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudrajat), akan mendapatkan KPK yang independen. Namun dengan hasil godogan DPR ini, KPK akan menjadi lebih buruk.
Mahkamah Konstitusi, Senin 20 Juni 2011, memutuskan bahwa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Konipsi (KPK) berlaku selama empat tahun. "Menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata ketua majelis hakim konstitusi, Moh Mahfud MD, saat membacakan amar putusan di Jakarta.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 34 Undang Undang KPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pemimpin KPK, baik pemimpin yang diangkat secara bersamaan maupun pemimpin pengganti yang diangkat untuk menggantikan pemimpin yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama empat tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Menurut Mahfud yang didampingi delapan haldm konstitusi, permohonan uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dimohonkan oleh ICW dan beberapa aktivis terkait jabatan Busyro memiliki kedudukari hukum (legal standing).
Namun seperti ditengarai sebelumnya, Peneliti Divisi Korupsi ICW Abdullah Dahlan mengimbau DPR taat terhadap putusan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) soal masa jabatan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Sesuai keputusan MK, masa jabatan Busyro ditetapkan empat tahun.
Sehingga jumlah calon pimpinan (capim) yang diserahkan pemerintah sebanyak delapan orang untuk mengisi empat jabatan pimpinan KPK. "Ini DPR memaksakan pembelajaran etika buruk kepada publik, untuk tidak konsisten mematuhi putusan MK," kata Abdullah di Rumah Perubahan, Jakarta, Selasa (11/10/11).
BM mungkin saja dianggap lemah dan lamban. Tapi BM memiliki integritas yang terukur, tegas dan berani. Hanya ia bukanlah pemimpin yang flamboyan, sebagaimana tampaknya justeru itulah yang akan muncul dari Samad. Samad yang mengritik pimpinan KPK jangan seperti artis sinetron, tapi ia tidak konsisten, dengan tidak memberlakukan hal itu untuk dirinya. Kemunculannya di media selama ini, tidak substansial, dan ia ternyata menikmati euforia media itu. Ia tidak menolaknya.
Berbagai pernyataannya, justeru menciptakan blunder dalam internal KPK itu sendiri. Lagi pula, sekali pun ia Ketua, bukan berarti KPK adalah miliknya. Itu yang membuat di bawah BM, KPK lebih kelihatan tangguh, meski tentu Samad juga harus ditunggu untuk membuktikan kata-katanya. Meski pun itu meragukan. Karena bisa diduga, Samad tidak akan mundur, meski ia sama sekali tak bisa membuktikan ucapannya. Samad diperlukan, agar justeru barisan koruptor leluasa menyandera KPK.
Dan itu artinya, DPR akan lebih diuntungkan, karena rakyat mempunyai sasaran tembak yang lain. Hingga bola reborn untuk melakukan korupsi, bisa dilakukan dengan tenang oleh Senayan, sembari juga menyodorkan kasbon politik 2014 pada SBY!
Sabtu, November 05, 2011
Presidensial dan Presiden yang Menyedihkan
Oleh Sunardian Wirodono
Susilo Bambang Yudhoyono, pernah memunculkan euforia rakyatnya. Presiden ini, pertama kali dipilih langsung oleh rakyatnya. Konon, ia terpilih sampai 60% suara, meski angka ini jelas penyesatan logika, karena hanya dihitung dari yang menggunakan hak pilih (sebagai 100%). Padahal jika dihitung real, dengan memasukkan pemilik hak pilih yang golput (baik yang tidak ikut nyoblos maupun yang nyoblos tapi disengaja surat suaranya hangus atau benar-benar karena kesalahan, belum lagi yang golput karena hak suaranya ditilep setan gundul), maka angka 60% tentu terlalu mewah. Jika Golput waktu itu, totally mencapai 35%, maka tinggal pemilih 65%, yang jika suara untuk Megawati dan Prabowo mencapai 20%, maka SBY-Boediono sebenarnya hanya mendapat 45%.
Tapi, biarlah untuk sementara, toh soal manipulasi suara, dari sejak DPS hingga pemberian undangan, sampai pada penghitungan suara, kita melihat KPU sendiri tak pernah bisa meyakinkan, apalagi jika dipersoalkan perihal pembelian mesin-mesin komputer penghitung yang raib entah karena korupsi atau ketidakjelasan lainnya, hingga tervonisnya Antasari Azhar, dan selamatnya Anas Urbaingrum serta Andi Nurpati di Partai Demokrat. Toh, terutama, Pemilu 2009 telah menunjukkan hasilnya. Ialah amburadulnya kebijakan karena pemerintahan yang berjalan tidak efektif, karena selalu terjadi tawar-menawar politik, yang ujungnya adalah soal money politik dan pembagian profit atau sharing investmen.
Kita ingat, bagaimana UKP4, lembaga yang dibentuk Presiden, dipimpin oleh Kuntoro Mangkoesubroto, memberi penilaian bahwa kinerja kabinet hampir semuanya berapot merah. Presiden sendiri mengaku, banyak perintahnya (kepada menteri) yang tidak dijalankan. Bahkan yang terakhir, Presiden menyetujui dan memerintahkan Dirjen Otda untuk membuka Kongres Papua III, namun hasilnya? Pelanggaran HAM (sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM) aparat Polisi dan TNI pada rakyat Papua. Boro-boro meminta maaf, Mantan Menteri ESDM, Poernomo Yusgiantoro, yang kemudian jadi Menteri Perhananan, justeru mengatakan Pemerintah tidak mentolerir gerakan Papua Merdeka. Sipil satu itu, sudah berbau militer.
Berbagai bentuk kekacauan jalannya pemerintahan ini, bahkan sampai ketika resuffle KIB-II, terus saja berlanjut, karena toh kita yang memakai sistem ketatanegaraan Presidential, tetap saja sering limbung karena kaitan dengan koalisi politik Presiden dengan beberapa kompanyonnya. Sistem presidensial ini, yang mestinya memberikan keleluasaan, justru menjadi sebab kesialan karena presiden sial alias lemah-lunglai.
Itu semuanya, hanyalah sebuah bukti dari lemahnya kepemimpinan nasional, yang tentu hal itu bisa terjadi karena ketidaktulusannya dalam berpihak kepada rakyat. Presiden tersandera berbagai agenda tersembunyinya, berkait dengan berbagai kompromi yang sering dijalankan dengan berbagai kontrak politiknya pula. Kepemimpinan kompromi, tidak berkait dengan kebijaksanaan atau kehati-hatian, melainkan lebih dekat pada ketidak-beranian dalam kalkulasi politik.
Kini, belum usai ribut soal kontroversi New7Wonder, agar Indonesia bisa memasukkan komodo sebagai 7 keajaiban dunia, sudah muncul delapan keajaiban dunia dari Indonesia. Keajaiban itu, ialah, dari berbagai krisis dan masalah yang ada, presiden justeru menelorkan album musik ke-empat yang berjudul Harmoni. Peneloran album musik di tengah pergantian pancaroba, banjir dan gempa di beberapa tempat (bukan hanya Jakarta), makin menyiratkan sensibilitas dan sensitifitas seorang pemimpin yang menyedihkan. Apakah ini perbutan "all the president's men"? Itu tidak akan menjadi buruk, jika presidennya memang kuat dan baik.
Sekali lagi, ini semua menyedihkan, sekali pun Remy Sylado ikut berkomentar dan memuji album musik SBY ini, namun karena Remy bukan nabi musik Indonesia, kita boleh menyangkalnya. Sebagaimana Iwan Fals boleh menyebut album musik Presiden ini bisa dikategorikan sebagai "delapan keajaiban dunia".
Susilo Bambang Yudhoyono, pernah memunculkan euforia rakyatnya. Presiden ini, pertama kali dipilih langsung oleh rakyatnya. Konon, ia terpilih sampai 60% suara, meski angka ini jelas penyesatan logika, karena hanya dihitung dari yang menggunakan hak pilih (sebagai 100%). Padahal jika dihitung real, dengan memasukkan pemilik hak pilih yang golput (baik yang tidak ikut nyoblos maupun yang nyoblos tapi disengaja surat suaranya hangus atau benar-benar karena kesalahan, belum lagi yang golput karena hak suaranya ditilep setan gundul), maka angka 60% tentu terlalu mewah. Jika Golput waktu itu, totally mencapai 35%, maka tinggal pemilih 65%, yang jika suara untuk Megawati dan Prabowo mencapai 20%, maka SBY-Boediono sebenarnya hanya mendapat 45%.
Tapi, biarlah untuk sementara, toh soal manipulasi suara, dari sejak DPS hingga pemberian undangan, sampai pada penghitungan suara, kita melihat KPU sendiri tak pernah bisa meyakinkan, apalagi jika dipersoalkan perihal pembelian mesin-mesin komputer penghitung yang raib entah karena korupsi atau ketidakjelasan lainnya, hingga tervonisnya Antasari Azhar, dan selamatnya Anas Urbaingrum serta Andi Nurpati di Partai Demokrat. Toh, terutama, Pemilu 2009 telah menunjukkan hasilnya. Ialah amburadulnya kebijakan karena pemerintahan yang berjalan tidak efektif, karena selalu terjadi tawar-menawar politik, yang ujungnya adalah soal money politik dan pembagian profit atau sharing investmen.
Kita ingat, bagaimana UKP4, lembaga yang dibentuk Presiden, dipimpin oleh Kuntoro Mangkoesubroto, memberi penilaian bahwa kinerja kabinet hampir semuanya berapot merah. Presiden sendiri mengaku, banyak perintahnya (kepada menteri) yang tidak dijalankan. Bahkan yang terakhir, Presiden menyetujui dan memerintahkan Dirjen Otda untuk membuka Kongres Papua III, namun hasilnya? Pelanggaran HAM (sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM) aparat Polisi dan TNI pada rakyat Papua. Boro-boro meminta maaf, Mantan Menteri ESDM, Poernomo Yusgiantoro, yang kemudian jadi Menteri Perhananan, justeru mengatakan Pemerintah tidak mentolerir gerakan Papua Merdeka. Sipil satu itu, sudah berbau militer.
Berbagai bentuk kekacauan jalannya pemerintahan ini, bahkan sampai ketika resuffle KIB-II, terus saja berlanjut, karena toh kita yang memakai sistem ketatanegaraan Presidential, tetap saja sering limbung karena kaitan dengan koalisi politik Presiden dengan beberapa kompanyonnya. Sistem presidensial ini, yang mestinya memberikan keleluasaan, justru menjadi sebab kesialan karena presiden sial alias lemah-lunglai.
Itu semuanya, hanyalah sebuah bukti dari lemahnya kepemimpinan nasional, yang tentu hal itu bisa terjadi karena ketidaktulusannya dalam berpihak kepada rakyat. Presiden tersandera berbagai agenda tersembunyinya, berkait dengan berbagai kompromi yang sering dijalankan dengan berbagai kontrak politiknya pula. Kepemimpinan kompromi, tidak berkait dengan kebijaksanaan atau kehati-hatian, melainkan lebih dekat pada ketidak-beranian dalam kalkulasi politik.
Kini, belum usai ribut soal kontroversi New7Wonder, agar Indonesia bisa memasukkan komodo sebagai 7 keajaiban dunia, sudah muncul delapan keajaiban dunia dari Indonesia. Keajaiban itu, ialah, dari berbagai krisis dan masalah yang ada, presiden justeru menelorkan album musik ke-empat yang berjudul Harmoni. Peneloran album musik di tengah pergantian pancaroba, banjir dan gempa di beberapa tempat (bukan hanya Jakarta), makin menyiratkan sensibilitas dan sensitifitas seorang pemimpin yang menyedihkan. Apakah ini perbutan "all the president's men"? Itu tidak akan menjadi buruk, jika presidennya memang kuat dan baik.
Sekali lagi, ini semua menyedihkan, sekali pun Remy Sylado ikut berkomentar dan memuji album musik SBY ini, namun karena Remy bukan nabi musik Indonesia, kita boleh menyangkalnya. Sebagaimana Iwan Fals boleh menyebut album musik Presiden ini bisa dikategorikan sebagai "delapan keajaiban dunia".
Jumat, Oktober 28, 2011
Antara Pemuda dan yang Bernama Revolusi
Hampir semua pemimpin dunia, selalu mengatakan yang bernama perubahan, senantiasa dipelopori oleh pemuda. Sukarno mengatakan, dengan satu pemuda saja, ia mampu membuat revolusi.
Ada dua hal mesti dicurigai dalam pernyataan itu. Pertama, ia sedang hendak mengatakan, bahwa dulu ia pernah muda, dan berjasa melakukan perubahan. Dua, ia sendiri sedang membujuk para pemuda, agar lalai dan tidak menuntut posisi pemimpin itu, dengan memuji-muji kaum muda.
Kenapa? Bagi Indonesia masa kini, kita tahu pasti, bahwa tak ada anak muda revolusioner yang usianya di bawah atau setara dengan Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, yang telah menghunjukkan kematangan dalam awal perjuangan dan dengan usia rata-rata di bawah 30, dan bahkan 20.
Kita lihat kini, seolah ada degradasi angka, sehingga mereka yang sudah berusia di atas 35-50, masih boleh dikatakan sebagai generasi muda. Pernyataan ini, jika datang dari generasi seumur itu, tandanya mereka adalah orang yang minta bagian, posisi, atau telat dalam merebut kekuasaan. Dan hanya tahu, bahwa manusia pengabdi itu harus dengan status, posisi, jabatan, lembaga,...
Para manula (manusia usia lanjut) itu, selalu mengatakan, anak muda sekarang, kualitasnya jauh dibanding anak muda yang dulu. Sesunguhnya, pernyataan itu hanya ingin mengatakan, bahwa mereka adalah bagian dari kegagalan dalam proses transformasi generasi.
Dalam hukum alam dan kausalitas, tak ada kemendadakan, tak ada ujug-ujug, karena semuanya saling mengait.
Apa yang terjadi pada masa kini, beserta kualitasnya, adalah cerminan dari perilaku berupa kesuksesan dan kegagalan generasi sebelumnya. Dalam formalisme berfikir (termasuk beragama, berbangsa, bernegara), makin membuat kita masuk dalam pragmatisme, yang lebih memandang azas manfaat, lebih menghargai management by product dan bukan by proccess. Sehingga makin menjadi vandalis dalam hal cara mencapai kesuksesan, kemenangan, dan itu berarti hanya beroerientasi kekuasaan.
Kita tak pernah merenungi, bahwa itu semua adalah limbah kapitalisme, di samping kemiskinan struturalistik, yang diakibatkan oleh praktik penghisapan. Kapitalisme bukan sekedar angka-angka ekonomi, melainkan juga wajah kebudayaan yang bopeng, lebih karena ia bersujud pada materialisme daripada idealisme. Lebih menyembah kekayaan daripada kemuliaan. Lebih karena takluk pada angka daripada nilai.
Revolusi yang ditawarkan para petualang di negeri ini, akan sama saja akhirnya dengan para penguasa dan tiran yang mereka kritik. Karena revolusi politik tanpa perubahan mind-set manusia Indonesia, adalah omong kosong. Lihatlah yang disebut Reformasi 1998.
Pada sisi ini, kita juga bersedih, karena kelompok agama pun masuk dalam praksis politik, setelah mereka pun merasa gagal mendidik bangsa dan negara ini menjadi beradab. Kompleksitas masalah dan heterogenitas bangsa Indonesia, tentulah beda dengan homogenitas di Philipina atau negara-negara Amerika Latin dengan gereja yang terasa lebih absolut.
Mengapa tidak mau berendah hati, untuk bersama berhimpun, menyusun road-map Indonesia ke depan? Masing-masing sibuk berargumen. Dan kita benar-benar tak punya pemimpin dengan kepemimpinan berkelas. Kita berada dalam kehidupan yang penuh pertikaian. Pertikaian itu, sebagaimana pertikaian di rumah, tak pernah sempat mendidik anak-anaknya, kecuali mereproduksi dendam, keberpihakan, sakit hati, fanatisme buta, dan balas dendam itu sendiri tentu.
Maka jalan satu-satunya, biarkanlah periode pembusukan generasi ini terjadi. Sembari menyatakan salut pada anak-anak muda, yang bekerja diam-diam, di pelosok-pelosok negeri Indonesia Raya ini, jauh dari sorotan media dan tak pernah duduk sembari ketawa-ketiwi di forum-forum talk-show yang eksploitatif.
Banyak anak muda Indonesia, yang bekerja diam-diam, dan diam-diam bekerja untuk bangsa dan negaranya. Mereka melakukan pendampingan, pembelajaran, pemberdayaan, pada tumbuhnya generasi baru Indonesia, dengan cara masing-masing. Mengisi pada sisi yang selama ini kita abaikan, tumbuhnya manusia Indonesia yang berfikir dan mempunyai keteguhan karakter. Karena hanya dengan itulah, semoga mata rantai kebuntuan bangsa ini bisa terputus. Karena, menyedihkan ketika generasi Anas Urbaningrum, Andi Arief, atau siapa pun, yang tak bisa membebaskan diri dari jebakan pragmatisme politik yang makin parah ini.
Sebagaimana ghalibnya bangsa-bangsa di dunia, yang tumbuh dari kembangan sayap eksplorasi dan ekploitasi, kita lebih cenderung abai pada yang pertama, serta mendewakan sisi eksploitasi, karena berjalan tanpa keteladanan.
Jika kaum muda inginkan revolusi, singkirkan kaum tua dan para komprador yang macet dan stagnan. Itu artinya, memang dibutuhkan generasi baru, karena barisan Anas pun termasuk generasi lama yang juga tidak relevan lagi untuk masa depan, apalagi Aburizal Bakri atau Surya Paloh.
Selamat bersumpah serapah, wahai Pemuda dan Pemudi Indonesia, yang bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa persatuan Bahasa Indonesia! | Sunardian Wirodono, Lereng Merapi, 28 Oktober 2011
Ada dua hal mesti dicurigai dalam pernyataan itu. Pertama, ia sedang hendak mengatakan, bahwa dulu ia pernah muda, dan berjasa melakukan perubahan. Dua, ia sendiri sedang membujuk para pemuda, agar lalai dan tidak menuntut posisi pemimpin itu, dengan memuji-muji kaum muda.
Kenapa? Bagi Indonesia masa kini, kita tahu pasti, bahwa tak ada anak muda revolusioner yang usianya di bawah atau setara dengan Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, yang telah menghunjukkan kematangan dalam awal perjuangan dan dengan usia rata-rata di bawah 30, dan bahkan 20.
Kita lihat kini, seolah ada degradasi angka, sehingga mereka yang sudah berusia di atas 35-50, masih boleh dikatakan sebagai generasi muda. Pernyataan ini, jika datang dari generasi seumur itu, tandanya mereka adalah orang yang minta bagian, posisi, atau telat dalam merebut kekuasaan. Dan hanya tahu, bahwa manusia pengabdi itu harus dengan status, posisi, jabatan, lembaga,...
Para manula (manusia usia lanjut) itu, selalu mengatakan, anak muda sekarang, kualitasnya jauh dibanding anak muda yang dulu. Sesunguhnya, pernyataan itu hanya ingin mengatakan, bahwa mereka adalah bagian dari kegagalan dalam proses transformasi generasi.
Dalam hukum alam dan kausalitas, tak ada kemendadakan, tak ada ujug-ujug, karena semuanya saling mengait.
Apa yang terjadi pada masa kini, beserta kualitasnya, adalah cerminan dari perilaku berupa kesuksesan dan kegagalan generasi sebelumnya. Dalam formalisme berfikir (termasuk beragama, berbangsa, bernegara), makin membuat kita masuk dalam pragmatisme, yang lebih memandang azas manfaat, lebih menghargai management by product dan bukan by proccess. Sehingga makin menjadi vandalis dalam hal cara mencapai kesuksesan, kemenangan, dan itu berarti hanya beroerientasi kekuasaan.
Kita tak pernah merenungi, bahwa itu semua adalah limbah kapitalisme, di samping kemiskinan struturalistik, yang diakibatkan oleh praktik penghisapan. Kapitalisme bukan sekedar angka-angka ekonomi, melainkan juga wajah kebudayaan yang bopeng, lebih karena ia bersujud pada materialisme daripada idealisme. Lebih menyembah kekayaan daripada kemuliaan. Lebih karena takluk pada angka daripada nilai.
Revolusi yang ditawarkan para petualang di negeri ini, akan sama saja akhirnya dengan para penguasa dan tiran yang mereka kritik. Karena revolusi politik tanpa perubahan mind-set manusia Indonesia, adalah omong kosong. Lihatlah yang disebut Reformasi 1998.
Pada sisi ini, kita juga bersedih, karena kelompok agama pun masuk dalam praksis politik, setelah mereka pun merasa gagal mendidik bangsa dan negara ini menjadi beradab. Kompleksitas masalah dan heterogenitas bangsa Indonesia, tentulah beda dengan homogenitas di Philipina atau negara-negara Amerika Latin dengan gereja yang terasa lebih absolut.
Mengapa tidak mau berendah hati, untuk bersama berhimpun, menyusun road-map Indonesia ke depan? Masing-masing sibuk berargumen. Dan kita benar-benar tak punya pemimpin dengan kepemimpinan berkelas. Kita berada dalam kehidupan yang penuh pertikaian. Pertikaian itu, sebagaimana pertikaian di rumah, tak pernah sempat mendidik anak-anaknya, kecuali mereproduksi dendam, keberpihakan, sakit hati, fanatisme buta, dan balas dendam itu sendiri tentu.
Maka jalan satu-satunya, biarkanlah periode pembusukan generasi ini terjadi. Sembari menyatakan salut pada anak-anak muda, yang bekerja diam-diam, di pelosok-pelosok negeri Indonesia Raya ini, jauh dari sorotan media dan tak pernah duduk sembari ketawa-ketiwi di forum-forum talk-show yang eksploitatif.
Banyak anak muda Indonesia, yang bekerja diam-diam, dan diam-diam bekerja untuk bangsa dan negaranya. Mereka melakukan pendampingan, pembelajaran, pemberdayaan, pada tumbuhnya generasi baru Indonesia, dengan cara masing-masing. Mengisi pada sisi yang selama ini kita abaikan, tumbuhnya manusia Indonesia yang berfikir dan mempunyai keteguhan karakter. Karena hanya dengan itulah, semoga mata rantai kebuntuan bangsa ini bisa terputus. Karena, menyedihkan ketika generasi Anas Urbaningrum, Andi Arief, atau siapa pun, yang tak bisa membebaskan diri dari jebakan pragmatisme politik yang makin parah ini.
Sebagaimana ghalibnya bangsa-bangsa di dunia, yang tumbuh dari kembangan sayap eksplorasi dan ekploitasi, kita lebih cenderung abai pada yang pertama, serta mendewakan sisi eksploitasi, karena berjalan tanpa keteladanan.
Jika kaum muda inginkan revolusi, singkirkan kaum tua dan para komprador yang macet dan stagnan. Itu artinya, memang dibutuhkan generasi baru, karena barisan Anas pun termasuk generasi lama yang juga tidak relevan lagi untuk masa depan, apalagi Aburizal Bakri atau Surya Paloh.
Selamat bersumpah serapah, wahai Pemuda dan Pemudi Indonesia, yang bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa persatuan Bahasa Indonesia! | Sunardian Wirodono, Lereng Merapi, 28 Oktober 2011
Minggu, Oktober 23, 2011
Hak Prerogatif Presiden Hak Tanpa Alamat Jelas
Resuffle Kabinet Indonesia Bersatu Dua, sudah selesai dalam pengertian sesuai janji "tunggu tanggal mainnya", seperti dikatakan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, ada banyak pertanyaan ditinggalkan, baik di benak publik maupun di kalangan elite sendiri.
Kita semua, seolah hendak disihir dengan apa yang dikatakan hak prerogatif presiden, dan karena itu, presiden mempunyai hak mutlak, tak terbantahkan, dan mempunyai hak imunitas untuk pertanggungjawaban publik. Karena sistem pemerintahan kita presidential, maka menjadi kewenangan penuh pada presiden (bukan parlemen) untuk mengabangbirukan negeri ini, karena ialah yang dimintai pertanggungjawabannya (tapi, senyampang dengan itu, kita tak mempunyai lembaga tertinggi negara, seperti MPR, di mana tak ada lagi pidato pertanggungjawaban seorang CEO pada para pemegang saham negeri ini).
Hak Prerogatif, dalam hukum positivisme ialah mengandaikan kita dibimbing seorang pemimpin yang paripurna. Pemimpin yang excelent, yang top-markotop, tanpa cacat-cela, sehingga dengan demikian, kepadanyalah dimintakan pendapat dan diberikan keleluasaan.
Jika kita mengaji makna kata prerogatif, kata ini berasal dari bahasa latin praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare ( diminta sebelum meminta yang lain), lebih karena soal kepantasan, yang dimuliakan, yang diutamakan.
Namun, dalam praktiknya, kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara, sering disebut dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Padahal, sistem pemerintahan negara-negara modern, berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam praktiknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktik ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, sekali pun dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden.
Sistem ketatanegaraan kita, yang menganut sistem presidential, juga bukan berarti memberikan mandat sepenuhnya kepada presiden. Apalagi, jika sistem ketatanegaraan itu ternyata menempatkan seorang presiden sial, yang akan menimbulkan berbagai kesialan, karena keputusannya sama sekali "sialan", dan berseberangan dengan kehendak-kehendak publik, yang tidak mampu dan tidak menjadi ukurannya.
Bagaimana pun, sebagai yang mendapat amanat rakyat, Presiden harus mempertanggungjawabkan haknya tersebut, secara terbuka, akuntabel, sebagaimana yang selama ini diwacanakan. Mengapa begini mengapa begitu. Mengapa menjadi justeru makin gemuk dengan makin banyaknya wakil-wakil menteri, yang tidap bulan akan bergaji Rp 10 juta, dan bagaimana dengan anggaran negara?
Tentu, kita sudah mendengar, presiden sudah menguraikan alasan-alasannya, dalam pidato menjelang pengumuman susunan kabinet barunya. Namun, yang mengejutkan tentu, semua alasan dan penjelasan itu tidak berjalan paralel dengan keputusannya. Dalam waktu hampir bersamaan, publik diberikan wacana, namun publik ditunjukkan pada inkonsistensi wacana tersebut, karena antara alasan dan keputusan, mengundang banyak masalah.
Kita tahu, bahwa presiden mempunyai UKP4, yang menilai dan mengawasi kualitas kinerja menteri-menteri yang menjadi unit kerja pemerintahan. Dan kita juga tahu, lembaga pimpinan Kuntoro Mangkoesubroto ini, memberi penilaian negatif atau minus pada hampir 90 persen kementrian anggota kabinet. Dan itu diamini Presiden, bahwa 50% instruksinya tidak dijalankan oleh para menteri.
Jika kita mengacu pada penilaian itu, maka, antara 50%-90% anggota kabinet layak diresuffle. Tapi, kenyataannya, kenapa tidak terjadi? Bahkan, dengan berbagai keruwetan yang terjadi, misalnya perdebatan terbuka antara Fadel Muhammad dan Sudi Silalahi menunjukkan betapa bermasalahnya soal resuffle ini.
Belum lagi mengapa kinerja Suharsa Monoarfa yang baik, tidak berimplikasi pada posisinya, dan mengapa digusur, sementara pada Muhaimin Iskandar dan Andi Malarangeng, tidak mengalami nasib yang sama, jika Sudi Silalahi mengatakan bahwa Fadel "sedang mengahadapi masalah". Masalah apa? Apakah pada Muhaimin dan Andi tak ada masalah? Dan seterusnya.
Presiden selalu mengatakan, bahwa resuffle dilakukan berdasar kinerja, diproyeksikan untuk capaian berikut yang akan lebih akseleratif. Tapi, bagaimana jika presiden tidak bisa menjelaskan soal hak prerogatifnya secara terbuka, yang dengan melihat eksesnya, lebih ditengarai praktik politicking "devide et impera".
Politik devide et impera bisa ditudingkan, karena seusai resuffle, maka yang terjadi adalah ketegangan internal masing-masing partai. Di mana di PKS ada kelompok "Keadilan" dan kelompok "Kesejahteraan", di PPP muncul unsur NU, MI, dan seterusnya. Di Golkar kita melihat yang pro Agung Laksono dan pro Fadel. Konflik internal ini menjadi menarik, karena orang akan menuding Demokrat berkepentingan terhadap keterpecahan partai-partai di luar dirinya, menghadapi 2014!
Jawaban Sudi Silalahi, atas tudingan "pendzoliman" Fadel, menjelaskan semuanya itu. Bahwa, digantinya menteri ini dan itu, dipertahankannya menteri ini dan itu, tidak bisa dijelaskan secara transparan, kecuali justeru menebar fitnah yang oleh Sudi tak sudi dijelaskan "masalah" apa dan "fitnah" apa, sekali pun Mubarok (DPP Demokrat) mengakui adanya calo-calo politik yang bersliweran di seputar resuffle kabinet itu.
Di situ, hak prerogatif itu bermasalah, karena Presiden tidak bisa memberikan penjelasan yang transparan, karena memang berkait dengan agenda yang tidak transparan juga.
Meski pun mungkin beberapa segi, orang bisa memuji dua keputusan SBY yang menarik. Misal, tidak lagi mengangkat Menteri Pariwisata dari Bali, dengan menggantikan Jero Wacik pada Marie Elka Pangestu. Misal pula, mengangkat Marie Pangestu dari perdagangan menjadi Menteri Pariwisata, yang siapa tahu keberhasilannya mengimport beras, kentang, garam, dan sebagainya itu akan bisa dipakai untuk sukses mengimpor wisatawan.
Sekali pun, penambahan "kebudayaan" pada kementerian pendidikan dan penyatuan "ekonomi kreatif" pada kementrian Pariwisata juga dengan jelas menunjukkan ketidakjelasan konsep kerja pemerintahan SBY.
Marie Pangestu, dianggap sukses dengan ekonomi kreatif, namun apakah ekonomi kreatif itu? Apakah hanya berkait dengan souvenir, kaos oblong, boneka etnik, koteka, sendal batik, segala bentuk bisnis mikro home industri? Bagaimana dengan industri perfileman, industri pertelevisian, industri hiburan, atau dunia kreatif lainnya seperti penulisan, perbukuan, apakah ini masuk ke Pariwisata, atau Pendidikan yang sudah mengalokasikan kembali kebudayaan? Jika lebih pada output dan manajemen, kenapa bukan pada Kementerian Perdagangan, dan seterusnya. Semua itu butuh penjelasan, karena akan berimplikasi pada keruwetan birokrasi sebagai ciri dari perebutan kewenangan yang terjadi.
SBY, yang tampak lebih cocok sebagai dosen atau pengajar di kampus, akan terlihat kualitasnya jika mampu menjawab semua pertanyaan, sehingga ia pantas mendapat hak prerogatif atau diprioritaskan untuk menyatakan pilihan pertama sebelum kita bertanya pada yang lain. Karena rakyat adalah pemilik kedaulatan negara, dan alamat bagi seluruh kebijaksanaan publik dari seorang pemimpin, maka hak prerogatif itu harus dilihat dan diukur dengan kepentingan-kepentingan publik (sebagaimana itu juga sering dipidatokan SBY).
Meski pada hakikatnya, tak bisa kita mengamini kata-kata Mubarok (DPP Demokrat) yang menyatakan bahwa 65% rakyat Indonesia yang memilih SBY, adalah pangkal kesalahannya. Karena, angka 65% tentu saja manipulatif, karena dihitung dari (100%) pemilih yang menggunakan hak pilih semata. Jika dihitung dari yang mempunyai hak pilih tetapi memilih Golput, maka keterpilihan SBY tak lebih dari 48% dihitung dari besaran jumlah golput yang mencapai 25%.
Kita menunggu pembelajaran politik dari sang pemimpin. Jika rakyat kemudian suudzon, menafsir, bahkan menafikan dan tidak mempercayai, kita sudah mengerti sebelumnya, bahwa kita berhadapan dengan kepemimpinan yang gagal. Karena hak prerogatif bukan hanya pada hak "memutuskan", tetapi juga dialah orang yang akan pertama kali kita tanya. Jika ia tak kuasa menjawab pertanyaan itu, maka tak ada yang bisa diharap, kecuali segera datanglah 2014, dan biarkanlah semuanya itu gone with the wind!
Kita semua, seolah hendak disihir dengan apa yang dikatakan hak prerogatif presiden, dan karena itu, presiden mempunyai hak mutlak, tak terbantahkan, dan mempunyai hak imunitas untuk pertanggungjawaban publik. Karena sistem pemerintahan kita presidential, maka menjadi kewenangan penuh pada presiden (bukan parlemen) untuk mengabangbirukan negeri ini, karena ialah yang dimintai pertanggungjawabannya (tapi, senyampang dengan itu, kita tak mempunyai lembaga tertinggi negara, seperti MPR, di mana tak ada lagi pidato pertanggungjawaban seorang CEO pada para pemegang saham negeri ini).
Hak Prerogatif, dalam hukum positivisme ialah mengandaikan kita dibimbing seorang pemimpin yang paripurna. Pemimpin yang excelent, yang top-markotop, tanpa cacat-cela, sehingga dengan demikian, kepadanyalah dimintakan pendapat dan diberikan keleluasaan.
Jika kita mengaji makna kata prerogatif, kata ini berasal dari bahasa latin praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare ( diminta sebelum meminta yang lain), lebih karena soal kepantasan, yang dimuliakan, yang diutamakan.
Namun, dalam praktiknya, kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara, sering disebut dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Padahal, sistem pemerintahan negara-negara modern, berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam praktiknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktik ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, sekali pun dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden.
Sistem ketatanegaraan kita, yang menganut sistem presidential, juga bukan berarti memberikan mandat sepenuhnya kepada presiden. Apalagi, jika sistem ketatanegaraan itu ternyata menempatkan seorang presiden sial, yang akan menimbulkan berbagai kesialan, karena keputusannya sama sekali "sialan", dan berseberangan dengan kehendak-kehendak publik, yang tidak mampu dan tidak menjadi ukurannya.
Bagaimana pun, sebagai yang mendapat amanat rakyat, Presiden harus mempertanggungjawabkan haknya tersebut, secara terbuka, akuntabel, sebagaimana yang selama ini diwacanakan. Mengapa begini mengapa begitu. Mengapa menjadi justeru makin gemuk dengan makin banyaknya wakil-wakil menteri, yang tidap bulan akan bergaji Rp 10 juta, dan bagaimana dengan anggaran negara?
Tentu, kita sudah mendengar, presiden sudah menguraikan alasan-alasannya, dalam pidato menjelang pengumuman susunan kabinet barunya. Namun, yang mengejutkan tentu, semua alasan dan penjelasan itu tidak berjalan paralel dengan keputusannya. Dalam waktu hampir bersamaan, publik diberikan wacana, namun publik ditunjukkan pada inkonsistensi wacana tersebut, karena antara alasan dan keputusan, mengundang banyak masalah.
Kita tahu, bahwa presiden mempunyai UKP4, yang menilai dan mengawasi kualitas kinerja menteri-menteri yang menjadi unit kerja pemerintahan. Dan kita juga tahu, lembaga pimpinan Kuntoro Mangkoesubroto ini, memberi penilaian negatif atau minus pada hampir 90 persen kementrian anggota kabinet. Dan itu diamini Presiden, bahwa 50% instruksinya tidak dijalankan oleh para menteri.
Jika kita mengacu pada penilaian itu, maka, antara 50%-90% anggota kabinet layak diresuffle. Tapi, kenyataannya, kenapa tidak terjadi? Bahkan, dengan berbagai keruwetan yang terjadi, misalnya perdebatan terbuka antara Fadel Muhammad dan Sudi Silalahi menunjukkan betapa bermasalahnya soal resuffle ini.
Belum lagi mengapa kinerja Suharsa Monoarfa yang baik, tidak berimplikasi pada posisinya, dan mengapa digusur, sementara pada Muhaimin Iskandar dan Andi Malarangeng, tidak mengalami nasib yang sama, jika Sudi Silalahi mengatakan bahwa Fadel "sedang mengahadapi masalah". Masalah apa? Apakah pada Muhaimin dan Andi tak ada masalah? Dan seterusnya.
Presiden selalu mengatakan, bahwa resuffle dilakukan berdasar kinerja, diproyeksikan untuk capaian berikut yang akan lebih akseleratif. Tapi, bagaimana jika presiden tidak bisa menjelaskan soal hak prerogatifnya secara terbuka, yang dengan melihat eksesnya, lebih ditengarai praktik politicking "devide et impera".
Politik devide et impera bisa ditudingkan, karena seusai resuffle, maka yang terjadi adalah ketegangan internal masing-masing partai. Di mana di PKS ada kelompok "Keadilan" dan kelompok "Kesejahteraan", di PPP muncul unsur NU, MI, dan seterusnya. Di Golkar kita melihat yang pro Agung Laksono dan pro Fadel. Konflik internal ini menjadi menarik, karena orang akan menuding Demokrat berkepentingan terhadap keterpecahan partai-partai di luar dirinya, menghadapi 2014!
Jawaban Sudi Silalahi, atas tudingan "pendzoliman" Fadel, menjelaskan semuanya itu. Bahwa, digantinya menteri ini dan itu, dipertahankannya menteri ini dan itu, tidak bisa dijelaskan secara transparan, kecuali justeru menebar fitnah yang oleh Sudi tak sudi dijelaskan "masalah" apa dan "fitnah" apa, sekali pun Mubarok (DPP Demokrat) mengakui adanya calo-calo politik yang bersliweran di seputar resuffle kabinet itu.
Di situ, hak prerogatif itu bermasalah, karena Presiden tidak bisa memberikan penjelasan yang transparan, karena memang berkait dengan agenda yang tidak transparan juga.
Meski pun mungkin beberapa segi, orang bisa memuji dua keputusan SBY yang menarik. Misal, tidak lagi mengangkat Menteri Pariwisata dari Bali, dengan menggantikan Jero Wacik pada Marie Elka Pangestu. Misal pula, mengangkat Marie Pangestu dari perdagangan menjadi Menteri Pariwisata, yang siapa tahu keberhasilannya mengimport beras, kentang, garam, dan sebagainya itu akan bisa dipakai untuk sukses mengimpor wisatawan.
Sekali pun, penambahan "kebudayaan" pada kementerian pendidikan dan penyatuan "ekonomi kreatif" pada kementrian Pariwisata juga dengan jelas menunjukkan ketidakjelasan konsep kerja pemerintahan SBY.
Marie Pangestu, dianggap sukses dengan ekonomi kreatif, namun apakah ekonomi kreatif itu? Apakah hanya berkait dengan souvenir, kaos oblong, boneka etnik, koteka, sendal batik, segala bentuk bisnis mikro home industri? Bagaimana dengan industri perfileman, industri pertelevisian, industri hiburan, atau dunia kreatif lainnya seperti penulisan, perbukuan, apakah ini masuk ke Pariwisata, atau Pendidikan yang sudah mengalokasikan kembali kebudayaan? Jika lebih pada output dan manajemen, kenapa bukan pada Kementerian Perdagangan, dan seterusnya. Semua itu butuh penjelasan, karena akan berimplikasi pada keruwetan birokrasi sebagai ciri dari perebutan kewenangan yang terjadi.
SBY, yang tampak lebih cocok sebagai dosen atau pengajar di kampus, akan terlihat kualitasnya jika mampu menjawab semua pertanyaan, sehingga ia pantas mendapat hak prerogatif atau diprioritaskan untuk menyatakan pilihan pertama sebelum kita bertanya pada yang lain. Karena rakyat adalah pemilik kedaulatan negara, dan alamat bagi seluruh kebijaksanaan publik dari seorang pemimpin, maka hak prerogatif itu harus dilihat dan diukur dengan kepentingan-kepentingan publik (sebagaimana itu juga sering dipidatokan SBY).
Meski pada hakikatnya, tak bisa kita mengamini kata-kata Mubarok (DPP Demokrat) yang menyatakan bahwa 65% rakyat Indonesia yang memilih SBY, adalah pangkal kesalahannya. Karena, angka 65% tentu saja manipulatif, karena dihitung dari (100%) pemilih yang menggunakan hak pilih semata. Jika dihitung dari yang mempunyai hak pilih tetapi memilih Golput, maka keterpilihan SBY tak lebih dari 48% dihitung dari besaran jumlah golput yang mencapai 25%.
Kita menunggu pembelajaran politik dari sang pemimpin. Jika rakyat kemudian suudzon, menafsir, bahkan menafikan dan tidak mempercayai, kita sudah mengerti sebelumnya, bahwa kita berhadapan dengan kepemimpinan yang gagal. Karena hak prerogatif bukan hanya pada hak "memutuskan", tetapi juga dialah orang yang akan pertama kali kita tanya. Jika ia tak kuasa menjawab pertanyaan itu, maka tak ada yang bisa diharap, kecuali segera datanglah 2014, dan biarkanlah semuanya itu gone with the wind!
Selasa, Oktober 04, 2011
Rapat Intervensi Cicak versus Buaya Darat
Apa yang terjadi Senin kemarin di DPR (3/10), berkait undangan Rapat Konsultasi dengan KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, semakin menjelaskan bahwa sebagian orang DPR mendesak KPK untuk tidak melakukan pemeriksaan pada anggota Banggar.
Meski selalu menyebut "menurut keyakinan akademis" dan selalu menyebut gelar-gelar doktor hukum mereka, trio macan di Komisi III (Fachrie Hamzah dari PKS, Azis Syamsyuddin, Golkar, dan Benny Kabur Harman, Demokrat), lebih merupakan sekumpulan asbun. Apalagi kemudian dengan keinginan membubarkan KPK dan menyebut KPK sebagai teroris baru.
Sementara itu, Tjatur Sapto Eddy (PAN), dengan arogan mengatakan KPK sebagai anak kandung DPR, dan DPR sebagai bapak (lha ibunya mana?), jelas pendapat yang ahistoris dan memutar-balikkan fakta. KPK ada karena keputusan Tap MPR, yang merupakan paket akselerasi demokrasi berkait perubahan politik 1998. Dari sana, seiring itu kemudian partai-partai politik baru bermunculan, termasuk Partai Golkar, PAN, PKS (PK), PDI Perjuangan, dan lain-lainnya. Desakan reformasi dari rakyatlah yang menyebabkan munculnya lembaga-lembaga ad-hoc atau komisi negara sebagai jalur cepat situasi transisi itu.
Sampai kapan lembaga super-body (seperti kritik Fachri) itu ada? Amanat reformasi untuk mempercepat proses demokratisasi itu, sampai hari ini tidak dijalankan pemerintah dan parlemen, yang keduanya lahir karena situasi paska Orde Baru.
Mereka, ternyata tidak bisa mengurai masalah, melainkan justeru bagian dari masalah dan membuat masalah baru. Aneh juga Pramono Anung (PDIP) yang biasanya santun dan cerdas, larut dalam kelompok yang ikut memojokkan KPK, sebagaimana Anis Matta (PKS) yang juga melakukan hujatan sama, meski dengan bahasa yang tampak cerdas namun penuh tendensi. Persis omongan Priyo Budi Santosa (Golkar) yang hanya kelihatan lebih santun daripada Yorris Rameway dan Nudirman Munir (sesama Golkar), yang selalu ngomong normatif mendukung KPK namun membabi-buta membela kehormatan Banggar DPR.
Kesimpulan dari Rapat Konsultasi kemarin di DPR? Meski mengundang Kepolisian dan Kejaksaan Agung, tampak mereka hanya ditempatkan sebagai kambing congek. Bahkan, tudingan Azis soal KPK sebagai anak emas, dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan, adalah tendensi atau kecenderungan politicking orang Senayan. Tak ada konsultasi di situ, karena yang ada adalah intervensi DPR pada KPK.
Meski dibilang tanpa kesimpulan, Marzuki Alie (Demokrat) menutupnya implisit, agar KPK mengerti jadwal nasional tentang rapat anggaran APBN yang penting. Menyelamatkan uang ratusan trilyun (dengan mendahulukan penyelesaian APBN) katanya jauh lebih penting daripada ratusan milyar yang dikorupsi. Artinya, KPK dimohonkan implisit menunda pemeriksaan Banggar.
Semua orang tahu, mengolor waktu pemeriksaan selama sebulan, adalah cukup waktu bagi mafia Senayan untuk berkoordinasi menyelamatkan diri. Belum lagi dampaknya, tanpa perbaikan sistem, penganggaran APBN juga bisa menimbulkan kerugian yang permanen dan jauh lebih besar.
Ada sebagian orang Senayan, yang hanya diberkati dengan kepintaran dan keberanian ngomong. Tapi omongan asbun, dengan logika yang tidak konsisten, dan tanpa ketulusan, adalah ciri politisi maling.
Jika dalam lakon "Kriminalisasi KPK" episode lalu berjudul "Cicak versus Buaya", judul episode yang sekarang, "Cicak versus Buaya Darat".
Waspadai Politisi Maling Bersekongkol!
Meski selalu menyebut "menurut keyakinan akademis" dan selalu menyebut gelar-gelar doktor hukum mereka, trio macan di Komisi III (Fachrie Hamzah dari PKS, Azis Syamsyuddin, Golkar, dan Benny Kabur Harman, Demokrat), lebih merupakan sekumpulan asbun. Apalagi kemudian dengan keinginan membubarkan KPK dan menyebut KPK sebagai teroris baru.
Sementara itu, Tjatur Sapto Eddy (PAN), dengan arogan mengatakan KPK sebagai anak kandung DPR, dan DPR sebagai bapak (lha ibunya mana?), jelas pendapat yang ahistoris dan memutar-balikkan fakta. KPK ada karena keputusan Tap MPR, yang merupakan paket akselerasi demokrasi berkait perubahan politik 1998. Dari sana, seiring itu kemudian partai-partai politik baru bermunculan, termasuk Partai Golkar, PAN, PKS (PK), PDI Perjuangan, dan lain-lainnya. Desakan reformasi dari rakyatlah yang menyebabkan munculnya lembaga-lembaga ad-hoc atau komisi negara sebagai jalur cepat situasi transisi itu.
Sampai kapan lembaga super-body (seperti kritik Fachri) itu ada? Amanat reformasi untuk mempercepat proses demokratisasi itu, sampai hari ini tidak dijalankan pemerintah dan parlemen, yang keduanya lahir karena situasi paska Orde Baru.
Mereka, ternyata tidak bisa mengurai masalah, melainkan justeru bagian dari masalah dan membuat masalah baru. Aneh juga Pramono Anung (PDIP) yang biasanya santun dan cerdas, larut dalam kelompok yang ikut memojokkan KPK, sebagaimana Anis Matta (PKS) yang juga melakukan hujatan sama, meski dengan bahasa yang tampak cerdas namun penuh tendensi. Persis omongan Priyo Budi Santosa (Golkar) yang hanya kelihatan lebih santun daripada Yorris Rameway dan Nudirman Munir (sesama Golkar), yang selalu ngomong normatif mendukung KPK namun membabi-buta membela kehormatan Banggar DPR.
Kesimpulan dari Rapat Konsultasi kemarin di DPR? Meski mengundang Kepolisian dan Kejaksaan Agung, tampak mereka hanya ditempatkan sebagai kambing congek. Bahkan, tudingan Azis soal KPK sebagai anak emas, dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan, adalah tendensi atau kecenderungan politicking orang Senayan. Tak ada konsultasi di situ, karena yang ada adalah intervensi DPR pada KPK.
Meski dibilang tanpa kesimpulan, Marzuki Alie (Demokrat) menutupnya implisit, agar KPK mengerti jadwal nasional tentang rapat anggaran APBN yang penting. Menyelamatkan uang ratusan trilyun (dengan mendahulukan penyelesaian APBN) katanya jauh lebih penting daripada ratusan milyar yang dikorupsi. Artinya, KPK dimohonkan implisit menunda pemeriksaan Banggar.
Semua orang tahu, mengolor waktu pemeriksaan selama sebulan, adalah cukup waktu bagi mafia Senayan untuk berkoordinasi menyelamatkan diri. Belum lagi dampaknya, tanpa perbaikan sistem, penganggaran APBN juga bisa menimbulkan kerugian yang permanen dan jauh lebih besar.
Ada sebagian orang Senayan, yang hanya diberkati dengan kepintaran dan keberanian ngomong. Tapi omongan asbun, dengan logika yang tidak konsisten, dan tanpa ketulusan, adalah ciri politisi maling.
Jika dalam lakon "Kriminalisasi KPK" episode lalu berjudul "Cicak versus Buaya", judul episode yang sekarang, "Cicak versus Buaya Darat".
Waspadai Politisi Maling Bersekongkol!
Minggu, Oktober 02, 2011
Indonesia : Bangsa Tanpa Agenda
Oleh Sunardian Wirodono | Semakin hari terasakan, kita sampai pada situasi di mana kita merasa tak memerlukan yang bernama Presiden, Menteri, Anggota DPR, Partai Politik, Agama, Polisi, Tentara, Jaksa, Hakim, Lawyer, bahkan para pejuang demokrasi entah itu akademisi atau parlemen jalanan, dan bahkan berbagai media seperti koran atau pun lebih-lebih televisi.
Ada situasi fatalistis yang membuat semuanya itu nonsens. Kita seolah telah sampai pada suatu kenyataan, bahwa absurditas persoalan keindonesiaan ini, tak teruraikan sama sekali. Telah sampai jalan buntu, dan terjadi pertarungan bebas karena semua orang terjebak dalam perangkat ego dan kepentingannya, untuk berebut keluar, entah sebagai pemenang atau menyelamatkan diri-sendiri. Situasi de javu!
Seolah, ada dua dunia di antara "kita" dan "mereka". Kita, masyarakat umum, rakyat, terperangkap dalam riuh problematika kesehariannya (atau bahkan terbeban dosa dan kesalahan masa lalunya). Sementara mereka, para yang kita sebut tadi, sama sekali tak ada kepentingan dan sangkut-pautnya dengan kita, kecuali hanya sebagai atas nama, ataupun sekedar alamat bagi sekian banyak alasan.
Kegaduhan di Senayan, di media, di sidang pengadilan, di kantor polisi, di Cikeas, di Istana, di ruang-ruang gelap intelejen, tak pernah senyatanya hadir. Mereka tidak lagi berada di ruang kosong, netral, hening, menara gading. Namun merangsek dalam ruang nayata. Mereka hadir dalam ruang isi. Dan itu artinya, menggeser kita, pemilik dari segala ruang nyata itu, ke pinggiran yang bernama percaya dan harapan. Kita hanya dipakai sebagai alasan kenapa semuanya ini bergerak. Tapi perlahan, kita yang semestinya di ruang nyata, digeser ke ruang mimpi, dan juga frustrasi. Sementara mereka, yang semestinya di ruang hampa udara, untuk menetralisir, justeru masuk menjadi polusi kehidupan kita.
Pemenuhan ruang-ruang publik, untuk menghirup udara yang lega dan sehat, disesaki oleh pentas-pentas akrobatik yang bukan hanya polusif, melainkan juga kolusif. Mereka mengacaukan kenyamanan hajat-hidup kita, hingga sampai pada kemuakan karena memang sama sekali tiada kegunaannya, kecuali keindahan dan keheroikan wacana.
Pada akhirnya, di tengah pesimisme itu, maka kita kemudian berada di titik nihilisme. Kehidupan yang tiada makna, kecuali pemenuhan pada apa yang kita konsumsi di mata, telinga, hidung, mulut, untuk kemudian berproses dalam perut dan keluar dalam bentuk kentut atau pun kotoran lainnya. Dan kita terus-menerus bergulir dalam kerutinan itu, bersiap-siap mewariskan pada anak-cucu. Namun tak ada kesempatan bertanya, menghela nafas, merenung, dan pasrah bahwa anak-cucu kita pun kelak hanyalah sebagaimana kita. Menjadi kuli situasi, tanpa pilihan, dan hidup akhirnya hanya menunda kekalahan.
Bahwa kita sebenarnya tidak kekurangan orang pintar, berpengetahuan tinggi, punya keterampilan, cerdas, dan seterusnya. Tapi, semua mereka tak pernah bisa menunjukkan jalan yang terang, ke mana arah itu, dan bagaimana cara menuju ke sana, dengan apa, dan sejenisnya. Kita hanya disodori tujuan-tujuan abstrak, bernama idealita, rancangan-rancangan, bahkan ribuan utopia tentang kemuliaan. Namun semua tak terpetakan.
Sejak Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Baru, dan kemudian era SBY ini, situasi bangsa dan negara ini, semakin menempatkan kaum oligarki dan elite (beserta para kompradornya), berada di pentas-pentas teater, di sebuah negara teater. Dan negara teater, hanyalah lebih merindukan dan mudah terpuaskan dengan tempik-sorak. Tak ada urusan, adakah penonton menjadi ngantuk, ngeloyor pergi cari tontonan yang lain, atau terlibat tawuran gara-gara tersenggol sesama penonton.
Negara tanpa grand-design, tanpa arah, tanpa proyeksi, tanpa kepemimpinan, tanpa hikmat-kebijaksanaan, tanpa kerukunan, tanpa kegotong-royongan, dan tanpa ketulusan, seperti Indonesia ini, hanya menjadi lahan jarahan para penjahat, dalam berbagai bentuknya.
Dan kita? Rakyat? Mencoba melupakan semuanya itu, dengan kadang meniru dan terjebak pada perilaku mereka, karena memang tak ada ruang berekspresi, tak ada tempat untuk eksistensi, karena tiada tempat partisipasi, kecuali oportunisme.
Ada situasi fatalistis yang membuat semuanya itu nonsens. Kita seolah telah sampai pada suatu kenyataan, bahwa absurditas persoalan keindonesiaan ini, tak teruraikan sama sekali. Telah sampai jalan buntu, dan terjadi pertarungan bebas karena semua orang terjebak dalam perangkat ego dan kepentingannya, untuk berebut keluar, entah sebagai pemenang atau menyelamatkan diri-sendiri. Situasi de javu!
Seolah, ada dua dunia di antara "kita" dan "mereka". Kita, masyarakat umum, rakyat, terperangkap dalam riuh problematika kesehariannya (atau bahkan terbeban dosa dan kesalahan masa lalunya). Sementara mereka, para yang kita sebut tadi, sama sekali tak ada kepentingan dan sangkut-pautnya dengan kita, kecuali hanya sebagai atas nama, ataupun sekedar alamat bagi sekian banyak alasan.
Kegaduhan di Senayan, di media, di sidang pengadilan, di kantor polisi, di Cikeas, di Istana, di ruang-ruang gelap intelejen, tak pernah senyatanya hadir. Mereka tidak lagi berada di ruang kosong, netral, hening, menara gading. Namun merangsek dalam ruang nayata. Mereka hadir dalam ruang isi. Dan itu artinya, menggeser kita, pemilik dari segala ruang nyata itu, ke pinggiran yang bernama percaya dan harapan. Kita hanya dipakai sebagai alasan kenapa semuanya ini bergerak. Tapi perlahan, kita yang semestinya di ruang nyata, digeser ke ruang mimpi, dan juga frustrasi. Sementara mereka, yang semestinya di ruang hampa udara, untuk menetralisir, justeru masuk menjadi polusi kehidupan kita.
Pemenuhan ruang-ruang publik, untuk menghirup udara yang lega dan sehat, disesaki oleh pentas-pentas akrobatik yang bukan hanya polusif, melainkan juga kolusif. Mereka mengacaukan kenyamanan hajat-hidup kita, hingga sampai pada kemuakan karena memang sama sekali tiada kegunaannya, kecuali keindahan dan keheroikan wacana.
Pada akhirnya, di tengah pesimisme itu, maka kita kemudian berada di titik nihilisme. Kehidupan yang tiada makna, kecuali pemenuhan pada apa yang kita konsumsi di mata, telinga, hidung, mulut, untuk kemudian berproses dalam perut dan keluar dalam bentuk kentut atau pun kotoran lainnya. Dan kita terus-menerus bergulir dalam kerutinan itu, bersiap-siap mewariskan pada anak-cucu. Namun tak ada kesempatan bertanya, menghela nafas, merenung, dan pasrah bahwa anak-cucu kita pun kelak hanyalah sebagaimana kita. Menjadi kuli situasi, tanpa pilihan, dan hidup akhirnya hanya menunda kekalahan.
Bahwa kita sebenarnya tidak kekurangan orang pintar, berpengetahuan tinggi, punya keterampilan, cerdas, dan seterusnya. Tapi, semua mereka tak pernah bisa menunjukkan jalan yang terang, ke mana arah itu, dan bagaimana cara menuju ke sana, dengan apa, dan sejenisnya. Kita hanya disodori tujuan-tujuan abstrak, bernama idealita, rancangan-rancangan, bahkan ribuan utopia tentang kemuliaan. Namun semua tak terpetakan.
Sejak Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Baru, dan kemudian era SBY ini, situasi bangsa dan negara ini, semakin menempatkan kaum oligarki dan elite (beserta para kompradornya), berada di pentas-pentas teater, di sebuah negara teater. Dan negara teater, hanyalah lebih merindukan dan mudah terpuaskan dengan tempik-sorak. Tak ada urusan, adakah penonton menjadi ngantuk, ngeloyor pergi cari tontonan yang lain, atau terlibat tawuran gara-gara tersenggol sesama penonton.
Negara tanpa grand-design, tanpa arah, tanpa proyeksi, tanpa kepemimpinan, tanpa hikmat-kebijaksanaan, tanpa kerukunan, tanpa kegotong-royongan, dan tanpa ketulusan, seperti Indonesia ini, hanya menjadi lahan jarahan para penjahat, dalam berbagai bentuknya.
Dan kita? Rakyat? Mencoba melupakan semuanya itu, dengan kadang meniru dan terjebak pada perilaku mereka, karena memang tak ada ruang berekspresi, tak ada tempat untuk eksistensi, karena tiada tempat partisipasi, kecuali oportunisme.
Sabtu, Oktober 01, 2011
Lagu Baru Pak Presiden
"Kapan ya kira-kira soal korupsi Wisma Atlet di Palembang bakal selesai?" Susilo bertanya sembari memelototi televisi di depannya.
"Sesuatu banget ya?" Mbambang balik bertanya.
"Lho, ini 'kan berkait citra bangsa. Citra itu penting, karena kita akan jadi tuan rumah SEA Games November mendatang!" Susilo berkata panjang kali lebar.
"Halah, jangankan kasus korupsinya, lha wong pembangunan fisiknya aja belum juga beres!"
"Waduh, gawat dong! Mana atlet-atlet kita bisa terhambat untuk latihan penyesuaian tempat,.. Citra Indonesia bakal anjlok!"
"Lebay, ih!" Mbambang nyolot, "Itulah makanya jangan suka ngritik SBY. Karena sebagai presiden, beliaulah satu-satunya yang paling siap menyambut pesta olahraga se Asia Tenggara itu,...!"
"Gimana sih? Wong soal pembangunan gedungnya aja belum beres, kau bilang paling siap!"
"Lho, beliau itu pemimpin yang berfikir ke depan. Soal korupsi atau bangunan, beliau proporsional, tak mau intervensi. Serahkan profesionalnya!" Mbambang bersungut, lanjutnya, "Yang pasti, Presiden sudah beres persiapannya untuk pembukaan SEA Games itu. Beliau sudah menyelesaikan lagu baru, judulnya Bersatu dan Maju, sudah siap diperdengarkan untuk acara pembukaan SEA Games itu. Kayak lagunya David Foster dalam Winter Game, Su! Pake dua bahasa, Indonesia dan Inggris, Su!"
"Oh, yes Mbang?"
"Haiyes, Su!"
"Sesuatu banget ya?" Mbambang balik bertanya.
"Lho, ini 'kan berkait citra bangsa. Citra itu penting, karena kita akan jadi tuan rumah SEA Games November mendatang!" Susilo berkata panjang kali lebar.
"Halah, jangankan kasus korupsinya, lha wong pembangunan fisiknya aja belum juga beres!"
"Waduh, gawat dong! Mana atlet-atlet kita bisa terhambat untuk latihan penyesuaian tempat,.. Citra Indonesia bakal anjlok!"
"Lebay, ih!" Mbambang nyolot, "Itulah makanya jangan suka ngritik SBY. Karena sebagai presiden, beliaulah satu-satunya yang paling siap menyambut pesta olahraga se Asia Tenggara itu,...!"
"Gimana sih? Wong soal pembangunan gedungnya aja belum beres, kau bilang paling siap!"
"Lho, beliau itu pemimpin yang berfikir ke depan. Soal korupsi atau bangunan, beliau proporsional, tak mau intervensi. Serahkan profesionalnya!" Mbambang bersungut, lanjutnya, "Yang pasti, Presiden sudah beres persiapannya untuk pembukaan SEA Games itu. Beliau sudah menyelesaikan lagu baru, judulnya Bersatu dan Maju, sudah siap diperdengarkan untuk acara pembukaan SEA Games itu. Kayak lagunya David Foster dalam Winter Game, Su! Pake dua bahasa, Indonesia dan Inggris, Su!"
"Oh, yes Mbang?"
"Haiyes, Su!"
Jumat, September 30, 2011
Konflik Batin Sutradara Film G30S/PKI
Oleh: Sulangkang Suwalu | Media Indonesia (28/9) memberitakan bahwa Taufik Abdullah, peneliti LIPI "menilai pelarangan film G.30-S/PKI sangat tepat. Karena langkah tsb akan lebih memudahkan upaya pelurusan sejarah, termasuk berkait dengan kejelasan Supersemar".
Karena film G.30-S/PKI itu adalah film propaganda wajar saja banyak hal yang direka-reka dimasukkan kedalamnya. Yang penting bagaimana supaya penonton membenarkan langkah Jenderal Soeharto menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya serta menghancurkan PKI.
Tak banyak orang yang mengetahui bagaimana konflik batin berkecamuk dalam diri Arifin C Noer, sutradara film G.30-S/PKI, karena ia merasa berdoSa telah membikin sebuah film propaganda ala Sendenbu Jepang, yang isinya menyebarkan kepalsuan. Keadaan pedihnya derita batin yang dialami Arifin C Noer ditamsilkan ibarat "tungku menjelang arang habis".
Hal itu dapat diketahui dengan membaca dua buah esai dari dua pengarang, yaitu dari Gunawan Muhamad, dengan judul "Arifin C Noer Seandainya Ia Lebih Banyak Menulis" dan esai Putu Wijaya dengan judul "Warisan Sang Dramawan". Kedua esai itu dimuat dalam MI Minggu (4/6/95).
Sebelum mengetahui kedua esai tsb, baiknya membaca sementara kecaman dari penonton film G.30-S/PKI, yakni dari Asvi Warman Adam, Amelia Yani, Tajuk INTI, ADIL, Hendrajit dan Oei Tjoe Tat.
KRITIKAN TERHADAP FILM G.30-S/PKI | Menurut Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales Paris, melalui tulisannya "Film sebagai agen sejarah", film G.30-S mengandung kelemahan historis. Misalnya pada peta Indonesia yang ada di kantor Kostrad ketika Pak Harto memimpin operasi pemulihan keamanan, daerah Timor Timur sudah
masuk wilayah Indonesia padahal tahun 1965/1966 daerah itu belum berintegrasi ke pangkuan ibu pertiwi. Jadi, peta yang ada disana bersifat anakkronis. Hal ini justru disampaikan kepada saya oleh pakar Perancis yang menonton film itu di KBRI Paris belasan tahun yang lalu.
Lain pula yang dikatakan Amelia Yani pada wartawan Ekonomi Neraca (30/9/96) tentang film G.30-S/PKI. Menurut Amelia Yani, fakta yang disajikan dalam film mirip dengan kenyataan yang kami alami. Hanya kalau ada penggambaran bahwa kita yang di belakang sedang mendengarkan The Beatless musik ngak-ngik, ngok, itu tidak benar. Wita memang gemar mendengarkan musik, tetapi tidak seperti yang digambarkan di film tersebut."
Mengenai film G.30-S/PKI, Tajuk INTI (minggu ke lima September 1998) dengan judul "30 September" antara lain mengemukakan, "Film G.30-S/PKI setiap tanggal 30 September diputar. Dan film tsb berhasil menyesatkan masyarakat, seolah-olah Bung Karno itu sekongkol dengan Aidit untuk membunuh para jenderal. Skenario sedemikian rupa yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto agak terkesan Bung Karno pergi ke Halim Perdana Kusumah untuk bersama Aidit yang sudah berada disana. Padahal Bung Karno ke Halim atas saran Leimena dan sama sekali tidak tahu Aidit berada disana, bahkan Bung Karno juga masih belum tahu PKI berada
dibalik gerakan itu. Tapi kan tak dijelaskan bahkan sengaja dikaburkan dalam film ini. Karena itu memang tepat jika film tsb mulai tahun 1998 ini tak diputar lagi."
Lain pula Laporan Utama Adil (No 51 Th ke-66) mengenai film G.30-S tersebut. Menurut Adil, sebetulnya, cara termudah untuk memahami G.30-S/PKI adalah menonton film G.30-S/PKI. Sayangnya film yang dimaksudkan untuk merekonstruksi G.30-S/PKI ini tidak akurat dalam menggambarkan kejadian yang sesungguhnya. Banyak adegan yang berlebihan dan tentu saja tak sesuai dengan fakta dalam film yang disutradarai oleh almarhum Arifin C Noer.
Seperti dilaporkan Tajuk, adegan penyiksaan terhadap enam jenderal yaitu Letjen A Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan serta Brigjen Soetojo dan seorang perwira menengah Lettu Tendean-- yang diculik, lebih mendasarkan pada harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Soa1 penyiksaan, seperti mencungkil mata dan memotong alat vital dengan gunting dan pisau silet, memang diberitakan secara gencar oleh kedua harian tersebut. Tapi "fakta" yang disampaikan media milik Angkatan Darat pada hari-hari pertama bulan Oktober 1965 itu, ternyata hanya isapan jempol belaka.
Lain pula yang dikatakan Hendrajit melalui DETAK (No 12 Th ke I) Tentang film G.30S/PKI. Menurut Hendrajit, "Ketika menumpas lawan-lawan politik Orde Baru, Soeharto dengan enteng menyebut mereka punya indikasi PKI. PKI kemudian dijadikan momok yang menakutkan bagi masyarakat. Setiap 30 September ditayangkan TVRI film peristiwa G.30-S menurut versi Soeharto. Tujuannya sederhana saja, menciptakan kesan bahwa PKI itu kejam."
Sedang Oei Tjoe Tat melalui memoarnya mengatakan, bahwa sebenarnya ia malas menonton film Jakarta 1966. "Karena didesak-desak akhirnya nonton juga, tetapi isteri tetap menolak ikut. Prasangka saya sebenarnya bukan tanpa alasan. Film ataupun penulisan buku mengenai sejarah yang masih berjalan dimana banyak para pelakunya masih hidup, sulit diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran dan fakta seadanya, apalagi kalau dengan sadar dimasukkan tafsir subjektif demi melayani kepentingan suatu
tujuan tertentu."
Menurut Oei Tjoe Tat, terlalu naif untuk tidak bisa memahami, bahwa para mahasiswa/pemuda ketika itu memang telah dijadikan alat belaka oleh pihak militer untuk mendongkel Bung Karno, walaupun mereka sendiri pun sebenarnya penuh idealisme, tapi di lain pihak mereka belum matang politik dan tidak berpengalaman. Hal ini belakangan terbukti cukup banyak mahasiswa demonstrans yang ikut-ikutan di tahun 1965/1966 itu, kemudian menyesal dan beroposisi terhadap kekuasaan yang mereka
sebelumnya dukung. Apa yang terjadi di tahun 1965/1966 sampai sekarang memang belum berada dalam sorotan yang benar.
Supersemar misalnya, sesungguhnya tidak lain daripada bagian suatu skema pemeretelan kekuasaan Presiden/Pangti Sukarno, yang sebenarnya sudah berlangsung sejak jenderal Soeharto menolak penunjukkan jenderal Pranoto Reksosamudro . Sebagai pengganti sementara almarhum jenderal A.Yani sehingga menimbulkan dualisme di Indonesia.
Menurut Oei Tjoe Tat bermimpi jika seorang mengira, demonstrasi-demonstrasi KAMI, KASI, KAPPI berlangsung spontan karena
kekuatan dan wawasan sendiri, tanpa ada dalang yang mengatur dari belakang, tanpa perlindungan, tanpa pembinaan golongan yang pegang bedil. Orang tak akan bisa melupakan peran kekuatan asing seperti Pater Beck dan sejumlah orang asing lain, yang dengan mudah dapat ditemukan dari dokumen-dokumen Lyndon B. Johnson, yang telah dideklasifikasikan tahun-tahun belakangan ini.
Jadi, yang terjadi bukan peralihan kekuasaan secara konstitusional sebagaimana yang digambarkan dalam film tsb, melainkan benar-benar suatu kudeta, perebutan kekuasaan, hanya mungkin bergaya Solo, alon-alon asal kelakon (protracted or creeping "coup"). Semua dengan berselimut kata-kata, slogan pemuda, ABRI di belakang Pemimpin Besar Revolusi (hal 320-322).
FILM G.30-S KARYA PROPAGANDA | Adalah menarik dua buah esai tentang Arifin C Noer yang ditulis oleh Gunawan Muhamad dan Putu Wijaya. Seperti diketahui Arifin C.Noer adalah sutradara film G.30-S tersebut. Kedua esai ini sebenarnya merupakan
suatu kesatuan baik disengaja atau bukan. Saling melengkapi.
Nampaknya yang mempercepat Arifin C Noer "pergi" untuk selama-lamanya, ialah konflik batin yang mengamuk dalam dirinya, dengan perannya sebagai sutradara film Jakarta tahun 1966, film Soeharto dan orde baru, film propaganda ala Sendenbu Jepang. Ia lelah, seperti tungku menjelang arang habis, kata Gunawan Muhamad.
Sebenarnya konflik batinnya itu tak perlu sampai menyebabkan ia seperti "tungku menjelang arang habis" , sekiranya ia mempunyai keberanian untuk meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia, bahwa dirinya telah menyebarkan kepalsuan sebagai kebenaran. Tentu saja akan ada risiko bagi dirinya, mungkin juga bagi keluarganya.
Arifin C Noer rupanya berusaha untuk meminta maaf itu, tetapi tidak secara terbuka, melainkan secara tertutup atau terselubung, melalui karya-karyanya yang kemudian. Hal itu diungkapkan oleh Putu Wijaya.
Arifin C Noer menganggap "sudah tiba waktunya" untuk mengajak penonton/pembaca bicara secara blak-blakan. Sayang kesempatan meminta maaf secara terselubung itu belum luas diketahui rakyat, sehingga umumnya rakyat menganggap Arifin C Noer dengan film Jakarta 1966. Mungkin hal itu juga menambah kepedihan hati Arifin C Noer.
Untuk lebih jelasnya baiklah kita kutip kalimat-kalimat yang ada kaitan dengan persoalan dari kedua penulis esai tersebut
Goenawan Mohamad | "Saya ingin menulis saja, Gun".... Arifin seperti menyesali sesuatu yang ingin dikemukakannya, tapi sudah lama tak dapat dilakukannya, dan kini tak mungkin dilakukannya.
....di dunia film pula lah Arifin tampak seperti orang yang lelah. Sayalah yang mempartemukan almarhum Dwipayana, yang kemudian menjadi Direktur PFN. Kemudian (G. Dwipayana) menemui Arifin dan mulailah lahir film sejarah tentang Soeharto dan orde baru... Arifin akhiraya masuk ke suatu pekerjaan yang tak membahagiakan dirinya membuat karya propaganda.
Saya tahu benar (ia bicara kepada saya) ia sangat enggan untuk membuat film yang berkisah tentang pergantian politik 1966....Arifin setuju untuk membuat Jakarta 1966 dengan catatan" mengandung dua tokoh yang "resmi" yang "tak resmi", yang "atas" dan yang "bawah" suatu kompromi.
Seaudainya Arifin lebih banyak menulis, ia mungkin akan menuliskan pedihnya itu: ia berusaha untuk selalu jujur.
Kira-kira sepekan sebelum ia meninggal, dari ranjang sakitnya di Glenn Eagle Hospital di Singapura, dengan perut yang selesai dibedah, ia (seperti 100 seniman dan cendikiawan lain) menandatangani Pernyataan Mei bersama Yayang, isterinya.
Ia juga melihat, ia telah merasakan itu bagaimana tenaga lndonesia yang berpikir dan kreatif terancam terus menerus untuk takluk jadi palsu, dihadapan intoleransi kekuasaan.
Putu Wijaya | Penonton selama ini sudah kita subsidi, kata Arifin satu ketika. Kini saatnya tiba untuk lebih realistis , mengajak mereka menerima kenyataan, apa sebenarnya yang sudah menjadi dan apa yang sebenarnya yang sedang ada di depan mata. Dan untuk itu kita harus berani. Kita wajib dan punya hak untuk mengatakan apa yang kita yakini. Kita tak perlu ragu-ragu dan menimbang rasa.
Arifin melemparkan berbagai isyu sosial yang erat hubungannya dengan masalah politik dan ekonomi. Ia tidak lagi menahan diri-untuk bicara tentang Indonesia saja, tetapi masa depan planet bumi dan umat manusia seluruh dunia.
Ketiba tibaannya dalam membagi seluruh beban yang dipikulnya itu, memang agak mengagetkan. Banyak orang yang terkesima, terkecoh, lalu mengkritik seakan-akan kemampuan artistik almarhum sudah menipis. Padahal satu periode baru dalam sejarah kreativitasnya sedang dibuka.... Ketika berbagai pikiran yang berjejalan di kepalanya sedang disiapkan untuk menumpahi kita.
KESIMPULAN | Sebuah pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar, apalagi bagi sutradara. Janganlah terulang pula kepedihan yang diderita Arifin C Noer karena tak berani mengatakan "tidak" untuk menyebarkan suatu kepalsuan, hanya karena yang mengajak seorang teman yang baik.
Memang mengatakan "tidak" untuk menyebarkan suatu kepalsuan, mungkin saja ada resiko bagi diri dan keluarga, bila hal itu dikehendaki oleh kekuasaan. Akan tetapi bagaimanapun juga pahitnya risiko karena mengatakan "tidak" akan turut menyebarkan kepalsuan, rupanya tidak akan sepedih , seperti yang telah dialami Arifin C Noer yakni seperti "tungku menjelang arang habis".
Tidak berani mengatakan "tidak" yang seharusnya dikatakan "tidak", menunjukkan tidak jujur pada diri sendiri, menipu diri sendiri dan dengan segala akibatnya.*** | Diulik dari : SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist
Karena film G.30-S/PKI itu adalah film propaganda wajar saja banyak hal yang direka-reka dimasukkan kedalamnya. Yang penting bagaimana supaya penonton membenarkan langkah Jenderal Soeharto menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya serta menghancurkan PKI.
Tak banyak orang yang mengetahui bagaimana konflik batin berkecamuk dalam diri Arifin C Noer, sutradara film G.30-S/PKI, karena ia merasa berdoSa telah membikin sebuah film propaganda ala Sendenbu Jepang, yang isinya menyebarkan kepalsuan. Keadaan pedihnya derita batin yang dialami Arifin C Noer ditamsilkan ibarat "tungku menjelang arang habis".
Hal itu dapat diketahui dengan membaca dua buah esai dari dua pengarang, yaitu dari Gunawan Muhamad, dengan judul "Arifin C Noer Seandainya Ia Lebih Banyak Menulis" dan esai Putu Wijaya dengan judul "Warisan Sang Dramawan". Kedua esai itu dimuat dalam MI Minggu (4/6/95).
Sebelum mengetahui kedua esai tsb, baiknya membaca sementara kecaman dari penonton film G.30-S/PKI, yakni dari Asvi Warman Adam, Amelia Yani, Tajuk INTI, ADIL, Hendrajit dan Oei Tjoe Tat.
KRITIKAN TERHADAP FILM G.30-S/PKI | Menurut Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales Paris, melalui tulisannya "Film sebagai agen sejarah", film G.30-S mengandung kelemahan historis. Misalnya pada peta Indonesia yang ada di kantor Kostrad ketika Pak Harto memimpin operasi pemulihan keamanan, daerah Timor Timur sudah
masuk wilayah Indonesia padahal tahun 1965/1966 daerah itu belum berintegrasi ke pangkuan ibu pertiwi. Jadi, peta yang ada disana bersifat anakkronis. Hal ini justru disampaikan kepada saya oleh pakar Perancis yang menonton film itu di KBRI Paris belasan tahun yang lalu.
Lain pula yang dikatakan Amelia Yani pada wartawan Ekonomi Neraca (30/9/96) tentang film G.30-S/PKI. Menurut Amelia Yani, fakta yang disajikan dalam film mirip dengan kenyataan yang kami alami. Hanya kalau ada penggambaran bahwa kita yang di belakang sedang mendengarkan The Beatless musik ngak-ngik, ngok, itu tidak benar. Wita memang gemar mendengarkan musik, tetapi tidak seperti yang digambarkan di film tersebut."
Mengenai film G.30-S/PKI, Tajuk INTI (minggu ke lima September 1998) dengan judul "30 September" antara lain mengemukakan, "Film G.30-S/PKI setiap tanggal 30 September diputar. Dan film tsb berhasil menyesatkan masyarakat, seolah-olah Bung Karno itu sekongkol dengan Aidit untuk membunuh para jenderal. Skenario sedemikian rupa yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto agak terkesan Bung Karno pergi ke Halim Perdana Kusumah untuk bersama Aidit yang sudah berada disana. Padahal Bung Karno ke Halim atas saran Leimena dan sama sekali tidak tahu Aidit berada disana, bahkan Bung Karno juga masih belum tahu PKI berada
dibalik gerakan itu. Tapi kan tak dijelaskan bahkan sengaja dikaburkan dalam film ini. Karena itu memang tepat jika film tsb mulai tahun 1998 ini tak diputar lagi."
Lain pula Laporan Utama Adil (No 51 Th ke-66) mengenai film G.30-S tersebut. Menurut Adil, sebetulnya, cara termudah untuk memahami G.30-S/PKI adalah menonton film G.30-S/PKI. Sayangnya film yang dimaksudkan untuk merekonstruksi G.30-S/PKI ini tidak akurat dalam menggambarkan kejadian yang sesungguhnya. Banyak adegan yang berlebihan dan tentu saja tak sesuai dengan fakta dalam film yang disutradarai oleh almarhum Arifin C Noer.
Seperti dilaporkan Tajuk, adegan penyiksaan terhadap enam jenderal yaitu Letjen A Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan serta Brigjen Soetojo dan seorang perwira menengah Lettu Tendean-- yang diculik, lebih mendasarkan pada harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Soa1 penyiksaan, seperti mencungkil mata dan memotong alat vital dengan gunting dan pisau silet, memang diberitakan secara gencar oleh kedua harian tersebut. Tapi "fakta" yang disampaikan media milik Angkatan Darat pada hari-hari pertama bulan Oktober 1965 itu, ternyata hanya isapan jempol belaka.
Lain pula yang dikatakan Hendrajit melalui DETAK (No 12 Th ke I) Tentang film G.30S/PKI. Menurut Hendrajit, "Ketika menumpas lawan-lawan politik Orde Baru, Soeharto dengan enteng menyebut mereka punya indikasi PKI. PKI kemudian dijadikan momok yang menakutkan bagi masyarakat. Setiap 30 September ditayangkan TVRI film peristiwa G.30-S menurut versi Soeharto. Tujuannya sederhana saja, menciptakan kesan bahwa PKI itu kejam."
Sedang Oei Tjoe Tat melalui memoarnya mengatakan, bahwa sebenarnya ia malas menonton film Jakarta 1966. "Karena didesak-desak akhirnya nonton juga, tetapi isteri tetap menolak ikut. Prasangka saya sebenarnya bukan tanpa alasan. Film ataupun penulisan buku mengenai sejarah yang masih berjalan dimana banyak para pelakunya masih hidup, sulit diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran dan fakta seadanya, apalagi kalau dengan sadar dimasukkan tafsir subjektif demi melayani kepentingan suatu
tujuan tertentu."
Menurut Oei Tjoe Tat, terlalu naif untuk tidak bisa memahami, bahwa para mahasiswa/pemuda ketika itu memang telah dijadikan alat belaka oleh pihak militer untuk mendongkel Bung Karno, walaupun mereka sendiri pun sebenarnya penuh idealisme, tapi di lain pihak mereka belum matang politik dan tidak berpengalaman. Hal ini belakangan terbukti cukup banyak mahasiswa demonstrans yang ikut-ikutan di tahun 1965/1966 itu, kemudian menyesal dan beroposisi terhadap kekuasaan yang mereka
sebelumnya dukung. Apa yang terjadi di tahun 1965/1966 sampai sekarang memang belum berada dalam sorotan yang benar.
Supersemar misalnya, sesungguhnya tidak lain daripada bagian suatu skema pemeretelan kekuasaan Presiden/Pangti Sukarno, yang sebenarnya sudah berlangsung sejak jenderal Soeharto menolak penunjukkan jenderal Pranoto Reksosamudro . Sebagai pengganti sementara almarhum jenderal A.Yani sehingga menimbulkan dualisme di Indonesia.
Menurut Oei Tjoe Tat bermimpi jika seorang mengira, demonstrasi-demonstrasi KAMI, KASI, KAPPI berlangsung spontan karena
kekuatan dan wawasan sendiri, tanpa ada dalang yang mengatur dari belakang, tanpa perlindungan, tanpa pembinaan golongan yang pegang bedil. Orang tak akan bisa melupakan peran kekuatan asing seperti Pater Beck dan sejumlah orang asing lain, yang dengan mudah dapat ditemukan dari dokumen-dokumen Lyndon B. Johnson, yang telah dideklasifikasikan tahun-tahun belakangan ini.
Jadi, yang terjadi bukan peralihan kekuasaan secara konstitusional sebagaimana yang digambarkan dalam film tsb, melainkan benar-benar suatu kudeta, perebutan kekuasaan, hanya mungkin bergaya Solo, alon-alon asal kelakon (protracted or creeping "coup"). Semua dengan berselimut kata-kata, slogan pemuda, ABRI di belakang Pemimpin Besar Revolusi (hal 320-322).
FILM G.30-S KARYA PROPAGANDA | Adalah menarik dua buah esai tentang Arifin C Noer yang ditulis oleh Gunawan Muhamad dan Putu Wijaya. Seperti diketahui Arifin C.Noer adalah sutradara film G.30-S tersebut. Kedua esai ini sebenarnya merupakan
suatu kesatuan baik disengaja atau bukan. Saling melengkapi.
Nampaknya yang mempercepat Arifin C Noer "pergi" untuk selama-lamanya, ialah konflik batin yang mengamuk dalam dirinya, dengan perannya sebagai sutradara film Jakarta tahun 1966, film Soeharto dan orde baru, film propaganda ala Sendenbu Jepang. Ia lelah, seperti tungku menjelang arang habis, kata Gunawan Muhamad.
Sebenarnya konflik batinnya itu tak perlu sampai menyebabkan ia seperti "tungku menjelang arang habis" , sekiranya ia mempunyai keberanian untuk meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia, bahwa dirinya telah menyebarkan kepalsuan sebagai kebenaran. Tentu saja akan ada risiko bagi dirinya, mungkin juga bagi keluarganya.
Arifin C Noer rupanya berusaha untuk meminta maaf itu, tetapi tidak secara terbuka, melainkan secara tertutup atau terselubung, melalui karya-karyanya yang kemudian. Hal itu diungkapkan oleh Putu Wijaya.
Arifin C Noer menganggap "sudah tiba waktunya" untuk mengajak penonton/pembaca bicara secara blak-blakan. Sayang kesempatan meminta maaf secara terselubung itu belum luas diketahui rakyat, sehingga umumnya rakyat menganggap Arifin C Noer dengan film Jakarta 1966. Mungkin hal itu juga menambah kepedihan hati Arifin C Noer.
Untuk lebih jelasnya baiklah kita kutip kalimat-kalimat yang ada kaitan dengan persoalan dari kedua penulis esai tersebut
Goenawan Mohamad | "Saya ingin menulis saja, Gun".... Arifin seperti menyesali sesuatu yang ingin dikemukakannya, tapi sudah lama tak dapat dilakukannya, dan kini tak mungkin dilakukannya.
....di dunia film pula lah Arifin tampak seperti orang yang lelah. Sayalah yang mempartemukan almarhum Dwipayana, yang kemudian menjadi Direktur PFN. Kemudian (G. Dwipayana) menemui Arifin dan mulailah lahir film sejarah tentang Soeharto dan orde baru... Arifin akhiraya masuk ke suatu pekerjaan yang tak membahagiakan dirinya membuat karya propaganda.
Saya tahu benar (ia bicara kepada saya) ia sangat enggan untuk membuat film yang berkisah tentang pergantian politik 1966....Arifin setuju untuk membuat Jakarta 1966 dengan catatan" mengandung dua tokoh yang "resmi" yang "tak resmi", yang "atas" dan yang "bawah" suatu kompromi.
Seaudainya Arifin lebih banyak menulis, ia mungkin akan menuliskan pedihnya itu: ia berusaha untuk selalu jujur.
Kira-kira sepekan sebelum ia meninggal, dari ranjang sakitnya di Glenn Eagle Hospital di Singapura, dengan perut yang selesai dibedah, ia (seperti 100 seniman dan cendikiawan lain) menandatangani Pernyataan Mei bersama Yayang, isterinya.
Ia juga melihat, ia telah merasakan itu bagaimana tenaga lndonesia yang berpikir dan kreatif terancam terus menerus untuk takluk jadi palsu, dihadapan intoleransi kekuasaan.
Putu Wijaya | Penonton selama ini sudah kita subsidi, kata Arifin satu ketika. Kini saatnya tiba untuk lebih realistis , mengajak mereka menerima kenyataan, apa sebenarnya yang sudah menjadi dan apa yang sebenarnya yang sedang ada di depan mata. Dan untuk itu kita harus berani. Kita wajib dan punya hak untuk mengatakan apa yang kita yakini. Kita tak perlu ragu-ragu dan menimbang rasa.
Arifin melemparkan berbagai isyu sosial yang erat hubungannya dengan masalah politik dan ekonomi. Ia tidak lagi menahan diri-untuk bicara tentang Indonesia saja, tetapi masa depan planet bumi dan umat manusia seluruh dunia.
Ketiba tibaannya dalam membagi seluruh beban yang dipikulnya itu, memang agak mengagetkan. Banyak orang yang terkesima, terkecoh, lalu mengkritik seakan-akan kemampuan artistik almarhum sudah menipis. Padahal satu periode baru dalam sejarah kreativitasnya sedang dibuka.... Ketika berbagai pikiran yang berjejalan di kepalanya sedang disiapkan untuk menumpahi kita.
KESIMPULAN | Sebuah pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar, apalagi bagi sutradara. Janganlah terulang pula kepedihan yang diderita Arifin C Noer karena tak berani mengatakan "tidak" untuk menyebarkan suatu kepalsuan, hanya karena yang mengajak seorang teman yang baik.
Memang mengatakan "tidak" untuk menyebarkan suatu kepalsuan, mungkin saja ada resiko bagi diri dan keluarga, bila hal itu dikehendaki oleh kekuasaan. Akan tetapi bagaimanapun juga pahitnya risiko karena mengatakan "tidak" akan turut menyebarkan kepalsuan, rupanya tidak akan sepedih , seperti yang telah dialami Arifin C Noer yakni seperti "tungku menjelang arang habis".
Tidak berani mengatakan "tidak" yang seharusnya dikatakan "tidak", menunjukkan tidak jujur pada diri sendiri, menipu diri sendiri dan dengan segala akibatnya.*** | Diulik dari : SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist
Kamis, September 29, 2011
Penjelasan atas Penjiplakan Novel "Centhini Perjalanan Cinta"
Oleh Sunardian Wirodono
Mohon maaf kepada teman-teman semuanya, khususnya yang memberi komentar untuk kasus "Penjiplakan Novel Centhini oleh Gangsar".
Karena saya lamaaaa sekali tidak membuka blog ini, karena ini dan itu, maka baru sekarang saya membaca dan berusaha menjawabnya di sini.
Yang pasti, mengenai Centhini Perjalanan Cinta atas nama Gangsar itu, separoh lebih adalah teks dari saya, yang dicomot dari teks yang sudah saya kirim ke penerbit Diva, dan kemudian ternyata sebelum proses saya selesai, eh, penerbit menunjuk penulis lain (Gangsar itu) untuk menyelesaikan. Sialnya, teks saya dipakai juga dng diubah dikit-dikit dan urutannya juga diubah,... (dan yang pasti pada tgl 10 Desember 2010, di RM Kiko, Jl. Magelang, Yogya, yang bernama Gangsar sudah mengakui di depan saya, disaksikan lawyer saya dan juga pihak redaksi Diva. Sayangnya, proses somasi itu tak diindahkan baik oleh Gangsar dan Diva. Tapi bagi saya, pengakuan Gangsar sudah cukup menunjukkan, betapa rendah moralnya selaku penulis.
Soal penerjemahan, yang pasti novel trilogi "Centhini" saya bukan terjemahan dari Serat Centhini tetapi tepatnya gubahan. Saya menggubah Serat Centhini ke bahasa Indonesia, tentu berdasar pokok cerita dalam Serat Centhini. Sebagai gubahan, saya tidak menambahi, melainkan cenderung "mengurangi" karena pada dasarnya SC adalah ensiklopedi. Jika dalam gubahan sesekli dikutip SC, lebih untuk mengingatkan dan memberi impresi bahwa novel itu berasal dari SC.
Jika ingin mengetahui teks asli SC, berikut terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, bisa dilihat pada buku "Serat Centhini Dwi Lingua" yang saya terjemahkan text by text, yang jilid I sudah terbit pada April 2011, dan jilid berikut (12 jilid) akan menyusul.
Untuk trilogi novel Centhini saya, akan diterbitkan ulang secara indie. Tunggu moga bisa akhir tahun ini. Terima kasih dan salam.
Mohon maaf kepada teman-teman semuanya, khususnya yang memberi komentar untuk kasus "Penjiplakan Novel Centhini oleh Gangsar".
Karena saya lamaaaa sekali tidak membuka blog ini, karena ini dan itu, maka baru sekarang saya membaca dan berusaha menjawabnya di sini.
Yang pasti, mengenai Centhini Perjalanan Cinta atas nama Gangsar itu, separoh lebih adalah teks dari saya, yang dicomot dari teks yang sudah saya kirim ke penerbit Diva, dan kemudian ternyata sebelum proses saya selesai, eh, penerbit menunjuk penulis lain (Gangsar itu) untuk menyelesaikan. Sialnya, teks saya dipakai juga dng diubah dikit-dikit dan urutannya juga diubah,... (dan yang pasti pada tgl 10 Desember 2010, di RM Kiko, Jl. Magelang, Yogya, yang bernama Gangsar sudah mengakui di depan saya, disaksikan lawyer saya dan juga pihak redaksi Diva. Sayangnya, proses somasi itu tak diindahkan baik oleh Gangsar dan Diva. Tapi bagi saya, pengakuan Gangsar sudah cukup menunjukkan, betapa rendah moralnya selaku penulis.
Soal penerjemahan, yang pasti novel trilogi "Centhini" saya bukan terjemahan dari Serat Centhini tetapi tepatnya gubahan. Saya menggubah Serat Centhini ke bahasa Indonesia, tentu berdasar pokok cerita dalam Serat Centhini. Sebagai gubahan, saya tidak menambahi, melainkan cenderung "mengurangi" karena pada dasarnya SC adalah ensiklopedi. Jika dalam gubahan sesekli dikutip SC, lebih untuk mengingatkan dan memberi impresi bahwa novel itu berasal dari SC.
Jika ingin mengetahui teks asli SC, berikut terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, bisa dilihat pada buku "Serat Centhini Dwi Lingua" yang saya terjemahkan text by text, yang jilid I sudah terbit pada April 2011, dan jilid berikut (12 jilid) akan menyusul.
Untuk trilogi novel Centhini saya, akan diterbitkan ulang secara indie. Tunggu moga bisa akhir tahun ini. Terima kasih dan salam.
Megatruh Ngayogyakarta
Catatan: Megatruh, dalam Serat Purwaukara karya Ranggawrsita, diberi arti "mbucal kang sarwa ala", membuang yang serba jelek. Pegat ada hubungannya dengan peget, yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
Namun secara semantik, megat ruh, berarti putusnya nyawa dari raga. Dalam ajaran Islam, pada pokoknya membawakan keimanan untuk menjalankan ibadah dengan menjauhkan hawa nafsu, berbuat baik dengan mentaati perintah Allah dan menjauhi kejahatan serta menghindari larangan Allah serta menjauhi ajaran setan. Megatruh dicipta Sunan Giri pada abad 18.
Baiklah, wahai, kukatakan padamu,
Isyarat-isyarat langit,
Atas hatimu yang beku,
Kau bisa berlidah api,
Tapi waktu takkan bohong.
Engkau katakan selalu,
Demi itu demi ini,
Ah, masa depan yang semu,
Kau sendiri tak mengerti,
Dibujuk jadi perampok.
Adakah engkau tak tahu,
Atau pura-pura tuli,
Anak negri jadi babu,
Kau terus jualan mimpi,
Dan Indonesia pun roboh.
Adakah ini negara yang bermutu,
Dan berdemokrasi murni,
Jika agendamu palsu,
Puna-puni, mimpa-mimpi,
Ekonomi omong-kosong.
Kini kau tuding tentang Yogyakartaku,
Yang bau-bau monarkhi,
Itu tak baik katamu,
Tak sesuai demokrasi,
Makanya harus dipotong.
Dan ketika rakyat berdaulat teguh,
Kamu bilang ditunggangi,
Membabi-buta menuduh,
Rakyat emosi, tak logis,
Dan kau pidato tong-kosong.
Masalahnya kini bukan pilkada atau,
Penetapan, demokrasi,
Bahkan pula referendum,
Namun perihal tendensi,
Nafsumu bak kucing garong.
Sesungguhnyalah, apakah agendamu,
Hingga pun Yogya yang hening,
Tiba-tiba jadi isyu,
Dan isyu lain tersisih,
Orang-orang saling ngomong.
Kemudian di balik pat-gulipatmu,
Kau gulirkan lain lagi,
Macam-macam agendamu,
Siapakah kamu ini,
Pembohong atau pemborong?
Demokrasi ini telah lama beku,
Gunung es manipulasi,
Negara teater absurd,
Leadership jadi dealership,
Logikamu bengkang-bengkong.
Kekonyolan demi kekonyolan kamu,
Makin menjelaskan arti,
Engkau bukanlah kampiun,
Apalagi sang pemimpin,
Kau sendirilah perampok.
Sementara ilmuwan dan mahaguru,
Agen-agen demokrasi,
Menyusun proposal baru,
Untuk diajukan ke funding,
Jualan otak kelonthong.
Diskusi demi diskusi t’lah berlalu,
Tak pernah sampai substansi,
Ngritik ngalor ngritik ngidul,
Lagak jago demokrasi,
Rakyat dianggap kepompong.
Kini Yogyakarta pun dikungkung nafsu,
Yang tradisi dihakimi,
Dituding bodoh dan dungu,
Orang kuno yang tak logis,
Sedang m’reka top-markotop.
Padamu, yang selalu ngaku pembaru,
Apa itu demokrasi,
Katakanlah kepadaku,
Adakah engkau mengerti,
Engkau tak sedang berbohong?
Tahukah tentang cermin tipu-dayamu,
Ngomong tinggi demokrasi,
Padahal hatimu busuk,
Amerika dan Yahudi,
Raja baru nir-kedhaton.
Kami seaslinya warga Yogya tahu,
Menolak ‘tuk dikebiri,
Karena demokrasimu,
Bukan bagi kami-kami,
Kami bukan orang bodoh.
Ini bukan soal bela raja-ratu,
Tapi vox populi vox dei,
Yang seenaknya kau daku,
Negri Indonesia ini,
Tak boleh makin keropos.
Kalian jual-beli wacana baru,
Menjadikan rakyat ini,
Demi nganu, nganu, nganu,
Bukannya kami tak ngerti,
Kalianlah: Buta Terong!
| Sunardian Wirodono, lereng Merapi, awal 2011.
Namun secara semantik, megat ruh, berarti putusnya nyawa dari raga. Dalam ajaran Islam, pada pokoknya membawakan keimanan untuk menjalankan ibadah dengan menjauhkan hawa nafsu, berbuat baik dengan mentaati perintah Allah dan menjauhi kejahatan serta menghindari larangan Allah serta menjauhi ajaran setan. Megatruh dicipta Sunan Giri pada abad 18.
Baiklah, wahai, kukatakan padamu,
Isyarat-isyarat langit,
Atas hatimu yang beku,
Kau bisa berlidah api,
Tapi waktu takkan bohong.
Engkau katakan selalu,
Demi itu demi ini,
Ah, masa depan yang semu,
Kau sendiri tak mengerti,
Dibujuk jadi perampok.
Adakah engkau tak tahu,
Atau pura-pura tuli,
Anak negri jadi babu,
Kau terus jualan mimpi,
Dan Indonesia pun roboh.
Adakah ini negara yang bermutu,
Dan berdemokrasi murni,
Jika agendamu palsu,
Puna-puni, mimpa-mimpi,
Ekonomi omong-kosong.
Kini kau tuding tentang Yogyakartaku,
Yang bau-bau monarkhi,
Itu tak baik katamu,
Tak sesuai demokrasi,
Makanya harus dipotong.
Dan ketika rakyat berdaulat teguh,
Kamu bilang ditunggangi,
Membabi-buta menuduh,
Rakyat emosi, tak logis,
Dan kau pidato tong-kosong.
Masalahnya kini bukan pilkada atau,
Penetapan, demokrasi,
Bahkan pula referendum,
Namun perihal tendensi,
Nafsumu bak kucing garong.
Sesungguhnyalah, apakah agendamu,
Hingga pun Yogya yang hening,
Tiba-tiba jadi isyu,
Dan isyu lain tersisih,
Orang-orang saling ngomong.
Kemudian di balik pat-gulipatmu,
Kau gulirkan lain lagi,
Macam-macam agendamu,
Siapakah kamu ini,
Pembohong atau pemborong?
Demokrasi ini telah lama beku,
Gunung es manipulasi,
Negara teater absurd,
Leadership jadi dealership,
Logikamu bengkang-bengkong.
Kekonyolan demi kekonyolan kamu,
Makin menjelaskan arti,
Engkau bukanlah kampiun,
Apalagi sang pemimpin,
Kau sendirilah perampok.
Sementara ilmuwan dan mahaguru,
Agen-agen demokrasi,
Menyusun proposal baru,
Untuk diajukan ke funding,
Jualan otak kelonthong.
Diskusi demi diskusi t’lah berlalu,
Tak pernah sampai substansi,
Ngritik ngalor ngritik ngidul,
Lagak jago demokrasi,
Rakyat dianggap kepompong.
Kini Yogyakarta pun dikungkung nafsu,
Yang tradisi dihakimi,
Dituding bodoh dan dungu,
Orang kuno yang tak logis,
Sedang m’reka top-markotop.
Padamu, yang selalu ngaku pembaru,
Apa itu demokrasi,
Katakanlah kepadaku,
Adakah engkau mengerti,
Engkau tak sedang berbohong?
Tahukah tentang cermin tipu-dayamu,
Ngomong tinggi demokrasi,
Padahal hatimu busuk,
Amerika dan Yahudi,
Raja baru nir-kedhaton.
Kami seaslinya warga Yogya tahu,
Menolak ‘tuk dikebiri,
Karena demokrasimu,
Bukan bagi kami-kami,
Kami bukan orang bodoh.
Ini bukan soal bela raja-ratu,
Tapi vox populi vox dei,
Yang seenaknya kau daku,
Negri Indonesia ini,
Tak boleh makin keropos.
Kalian jual-beli wacana baru,
Menjadikan rakyat ini,
Demi nganu, nganu, nganu,
Bukannya kami tak ngerti,
Kalianlah: Buta Terong!
| Sunardian Wirodono, lereng Merapi, awal 2011.
Pemilihan Walikota Yogyakarta Sebagai Pertaruhan Keistimewaan
Untunglah, Fitri (Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji) kalah dalam pilwali (pemilihan walikota) di kotamadya Yogyakarta, Minggu 25 September 2011 lalu. Untung, karena kekalahan itu penting bagi umumnya masyarakat Yogyakarta yang peduli dan sekaligus khawatir pada nasib RUUK-DIY. Pemilihan Walikota Yogya, menjadi test the water bagi siapapun yang pro dan anti penetapan, dalam konteks keistimewaan Yogyakarta.
Itulah pula maka perlu dukung-mendukung di tingkat atas, seperti dukungan sebagian besar kerabat kraton Yogyakarta dan Pakualaman pada Hati (Haryadi Suyuti dan Imam Priyono), dan di sisi lain dukungan Herry Zudianto (Walikota Yogya, 2006-2011), Muhammadiyah, PD dan tentunya PAN, pada Fitri. Hal itu menunjukkan pertarungan yang sesungguhnya, meski analisis para akademis segaris Amin Rais, akan menafikan hal ini mentah-mentah.
Angka perolehan masing-masing (Zulia sekitar 9%, Fitri 41% dan Hati 50%) menunjukkan sengitnya pertarungan antara Fitri dan Hati. Tentu, menarik memperhatikan, bagaimana Fitri, yang new-comer dan tanpa sejarah politik yang jelas ini (kecuali sebagai anak mantan Ketua MPR), bisa "sekuat" itu?
Masyarakat Yogya merasa, bagaimana mungkin Fitri bisa membiayai kampanye politiknya sedemikian rupa, bahkan dengan nilai cost yang lebih besar dibanding Hati (padahal Haryadi termasuk calon dengan nilai kekayaan pribadi lebih besar dibanding lainnya, apalagi dibanding Hanafi Rais). Dari mana sumber biaya kampanye Fitri, hingga bahkan Hanafi Rais mengatakan tidak akan mengambil gaji selama menjabat (seharusnya omongan seperti ini tidak diperkenankan, karena merupakan janji politik yang sama sekali tidak mendidik dan mendiskreditkan calon lainnya, di samping justeru rawan korupsi karena deal politik dengan para sponsor politiknya)?
Pasangan Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji (mantan Sekretaris Daerah Provinsi DIY), diusung empat partai besar (Demokrat, PPP, PAN, dan Gerindra, yang terakhir ini semula mengusung pasangan Zulia), plus sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram (Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
PD sebagai pemenang Pemilu di Yogya (dalam konteks SBY), tidak mencalonkan jago dari partainya, adalah indikasi ketakutan mereka sebagai common enemy masyarakat Yogya pro penetapan. Mereka, bersama hampir semua parpol, mendukung Fitri. Sementara Hanafi Rais, sebagai anak Amin Rais, tentu berkaitan dengan PAN (di mana mantan Ketua MPR itu implisit tidak menyetujui penetapan), sementara PAN dengan Hatta Radjasa sebagai faktor Jakarta, harus bermain dengan SBY dalam konteks yang sama. Di situlah mengapa PD mendukung Fitri, untuk mengecek bagaimana reaksi sesungguhnya masyarakat Yogya terhadap partai mereka.
Dengan mesin politik dan konstelasi politik semacam itu, angka 40% tentu memadai untuk kerja mesin politik, meski pun biaya politiknya tentu mahal secara rupiah. Walau pun kemudian terbukti, dukungan banyaknya parpol tidak paralel dengan dukungan konstituen, yang memang senyatanya tidak nyata ada.
Namun dalam konteks moralitas politik seperti itulah, Fitri kalah. Dan sebagian besar rakyat tidak bisa dibeli, meski ada juga yang menerima uang sogokannya. Pemilihan yang tak banyak diikuti pemilik hak suara ini (golput dengan berbagai sebab mencapai hampir 40%), menunjukkan ketidakpercayaan pada proses demokrasi yang tetap saja elitis.
Dalam penilaian sejujurnya, pasangan nomor satu, Zulia (Zuhrif Hudaya dan Aulia Reza), yang diusung PKS, sesungguhnya terasa lebih konseptual dan paling jelas dengan programnya. Namun, jaringan pengaruh mereka akan lebih bagus jika setidaknya disiapkan dengan matang dalam lima tahun sebelum pertarungan (apalagi jika disertai dengan litbang yang memadai). Belum lagi soal PKS di belakangnya, yang tetap saja belum bisa diterima dengan konsep ke-"Arab"-annya. Tapi, ini juga test konsolidasi bagi partai itu secara khusus.
Hati, didukung oleh Golkar dan PDI Perjuangan, sekali pun bukan pilihan yang cukup bagus (artinya hanya mediocre, dan bahkan ada yang mengindikasikan ke-"premanisme"-annya), agaknya merupakan pilihan paling menyelamatkan, dan menunjukkan kemenangan masyarakat Yogyakarta (siapapun yang dipilihnya), yang sebagian besar lebih menyetujui penetapan dalam konteks keistimewaan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwana X, tentu saja menolak pendapat bahwa pilwali ini menunjuk antara "kelompok Muhammadiyah" versus "kraton" di sisi lain, karena memang beliau harus mengatakan seperti itu. Namun, sentimen yang faktual di lapangan, tak terhindarkan. Karena tentu juga aneh jika tak ada faksionalisasi dan sentimen itu. Justeru disitulah modal kampanye masing-masing, untuk menunjukkan kapasitas mereka sebagai "jagoan" yang mesti dipilih, bukan karena sebagai seseorang yang ingin dipercaya rakyat, karena kesepakatan atas penawaran logika gagasan program. Money politics, pada akhirnya, adalah bukti bahwa wacana politik mereka tidak "bunyi" atau bahkan tidak ada. Lihat saja jualannya hampir sama,semua pro-penetapan dan akan menjaga keistimewaan Yogyakarta.
Kita tinggal menunggu, bagaimana pembacaan Jakarta (SBY) dalam hal ini, berkait dengan massa jabatan gubernur DIY yang akan berakhir Oktober 2011. Konon SBY akan memperpanjang lagi selama dua-tiga tahun, dan kemudian sesudahnya akan ditetapkan untuk lima tahun ke depan (hingga 2018), untuk kemudian proses pemilihan gubernur dilakukan secara demokratis (beredar kabar Sultan HB X meminta perpanjangan setahun saja, dengan logika untuk mendesak percepatan pembahasan RUUK-DIY).
Kita akan melihat, bagaimana SBY kemudian memutuskan. Bisa jadi, keputusannya akan khas SBY, yakni lebih suka menanam bom waktu, dengan menunda penuntasan masalah, untuk kepentingan eksistensi partainya ke depan.
Partai Demokrat, paska berakhir era SBY pada 2014, tetap akan menjadi kendaraan politik penting SBY, karena ada pertaruhan dan agenda yang tak bisa dilepaskannya. Bukan berkait dengan masa depan dua anaknya saja, melainkan karena berbagai deal politik dan pertaruhan politik yang harus dibayarnya, meski konstelasi politiknya bisa berubah sama sekali. | Sunardian Wirodono, Lereng Merapi, 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...