Oleh: Sulangkang Suwalu | Media Indonesia (28/9) memberitakan bahwa Taufik Abdullah, peneliti LIPI "menilai pelarangan film G.30-S/PKI sangat tepat. Karena langkah tsb akan lebih memudahkan upaya pelurusan sejarah, termasuk berkait dengan kejelasan Supersemar".
Karena film G.30-S/PKI itu adalah film propaganda wajar saja banyak hal yang direka-reka dimasukkan kedalamnya. Yang penting bagaimana supaya penonton membenarkan langkah Jenderal Soeharto menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaannya serta menghancurkan PKI.
Tak banyak orang yang mengetahui bagaimana konflik batin berkecamuk dalam diri Arifin C Noer, sutradara film G.30-S/PKI, karena ia merasa berdoSa telah membikin sebuah film propaganda ala Sendenbu Jepang, yang isinya menyebarkan kepalsuan. Keadaan pedihnya derita batin yang dialami Arifin C Noer ditamsilkan ibarat "tungku menjelang arang habis".
Hal itu dapat diketahui dengan membaca dua buah esai dari dua pengarang, yaitu dari Gunawan Muhamad, dengan judul "Arifin C Noer Seandainya Ia Lebih Banyak Menulis" dan esai Putu Wijaya dengan judul "Warisan Sang Dramawan". Kedua esai itu dimuat dalam MI Minggu (4/6/95).
Sebelum mengetahui kedua esai tsb, baiknya membaca sementara kecaman dari penonton film G.30-S/PKI, yakni dari Asvi Warman Adam, Amelia Yani, Tajuk INTI, ADIL, Hendrajit dan Oei Tjoe Tat.
KRITIKAN TERHADAP FILM G.30-S/PKI | Menurut Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales Paris, melalui tulisannya "Film sebagai agen sejarah", film G.30-S mengandung kelemahan historis. Misalnya pada peta Indonesia yang ada di kantor Kostrad ketika Pak Harto memimpin operasi pemulihan keamanan, daerah Timor Timur sudah
masuk wilayah Indonesia padahal tahun 1965/1966 daerah itu belum berintegrasi ke pangkuan ibu pertiwi. Jadi, peta yang ada disana bersifat anakkronis. Hal ini justru disampaikan kepada saya oleh pakar Perancis yang menonton film itu di KBRI Paris belasan tahun yang lalu.
Lain pula yang dikatakan Amelia Yani pada wartawan Ekonomi Neraca (30/9/96) tentang film G.30-S/PKI. Menurut Amelia Yani, fakta yang disajikan dalam film mirip dengan kenyataan yang kami alami. Hanya kalau ada penggambaran bahwa kita yang di belakang sedang mendengarkan The Beatless musik ngak-ngik, ngok, itu tidak benar. Wita memang gemar mendengarkan musik, tetapi tidak seperti yang digambarkan di film tersebut."
Mengenai film G.30-S/PKI, Tajuk INTI (minggu ke lima September 1998) dengan judul "30 September" antara lain mengemukakan, "Film G.30-S/PKI setiap tanggal 30 September diputar. Dan film tsb berhasil menyesatkan masyarakat, seolah-olah Bung Karno itu sekongkol dengan Aidit untuk membunuh para jenderal. Skenario sedemikian rupa yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto agak terkesan Bung Karno pergi ke Halim Perdana Kusumah untuk bersama Aidit yang sudah berada disana. Padahal Bung Karno ke Halim atas saran Leimena dan sama sekali tidak tahu Aidit berada disana, bahkan Bung Karno juga masih belum tahu PKI berada
dibalik gerakan itu. Tapi kan tak dijelaskan bahkan sengaja dikaburkan dalam film ini. Karena itu memang tepat jika film tsb mulai tahun 1998 ini tak diputar lagi."
Lain pula Laporan Utama Adil (No 51 Th ke-66) mengenai film G.30-S tersebut. Menurut Adil, sebetulnya, cara termudah untuk memahami G.30-S/PKI adalah menonton film G.30-S/PKI. Sayangnya film yang dimaksudkan untuk merekonstruksi G.30-S/PKI ini tidak akurat dalam menggambarkan kejadian yang sesungguhnya. Banyak adegan yang berlebihan dan tentu saja tak sesuai dengan fakta dalam film yang disutradarai oleh almarhum Arifin C Noer.
Seperti dilaporkan Tajuk, adegan penyiksaan terhadap enam jenderal yaitu Letjen A Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan serta Brigjen Soetojo dan seorang perwira menengah Lettu Tendean-- yang diculik, lebih mendasarkan pada harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Soa1 penyiksaan, seperti mencungkil mata dan memotong alat vital dengan gunting dan pisau silet, memang diberitakan secara gencar oleh kedua harian tersebut. Tapi "fakta" yang disampaikan media milik Angkatan Darat pada hari-hari pertama bulan Oktober 1965 itu, ternyata hanya isapan jempol belaka.
Lain pula yang dikatakan Hendrajit melalui DETAK (No 12 Th ke I) Tentang film G.30S/PKI. Menurut Hendrajit, "Ketika menumpas lawan-lawan politik Orde Baru, Soeharto dengan enteng menyebut mereka punya indikasi PKI. PKI kemudian dijadikan momok yang menakutkan bagi masyarakat. Setiap 30 September ditayangkan TVRI film peristiwa G.30-S menurut versi Soeharto. Tujuannya sederhana saja, menciptakan kesan bahwa PKI itu kejam."
Sedang Oei Tjoe Tat melalui memoarnya mengatakan, bahwa sebenarnya ia malas menonton film Jakarta 1966. "Karena didesak-desak akhirnya nonton juga, tetapi isteri tetap menolak ikut. Prasangka saya sebenarnya bukan tanpa alasan. Film ataupun penulisan buku mengenai sejarah yang masih berjalan dimana banyak para pelakunya masih hidup, sulit diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran dan fakta seadanya, apalagi kalau dengan sadar dimasukkan tafsir subjektif demi melayani kepentingan suatu
tujuan tertentu."
Menurut Oei Tjoe Tat, terlalu naif untuk tidak bisa memahami, bahwa para mahasiswa/pemuda ketika itu memang telah dijadikan alat belaka oleh pihak militer untuk mendongkel Bung Karno, walaupun mereka sendiri pun sebenarnya penuh idealisme, tapi di lain pihak mereka belum matang politik dan tidak berpengalaman. Hal ini belakangan terbukti cukup banyak mahasiswa demonstrans yang ikut-ikutan di tahun 1965/1966 itu, kemudian menyesal dan beroposisi terhadap kekuasaan yang mereka
sebelumnya dukung. Apa yang terjadi di tahun 1965/1966 sampai sekarang memang belum berada dalam sorotan yang benar.
Supersemar misalnya, sesungguhnya tidak lain daripada bagian suatu skema pemeretelan kekuasaan Presiden/Pangti Sukarno, yang sebenarnya sudah berlangsung sejak jenderal Soeharto menolak penunjukkan jenderal Pranoto Reksosamudro . Sebagai pengganti sementara almarhum jenderal A.Yani sehingga menimbulkan dualisme di Indonesia.
Menurut Oei Tjoe Tat bermimpi jika seorang mengira, demonstrasi-demonstrasi KAMI, KASI, KAPPI berlangsung spontan karena
kekuatan dan wawasan sendiri, tanpa ada dalang yang mengatur dari belakang, tanpa perlindungan, tanpa pembinaan golongan yang pegang bedil. Orang tak akan bisa melupakan peran kekuatan asing seperti Pater Beck dan sejumlah orang asing lain, yang dengan mudah dapat ditemukan dari dokumen-dokumen Lyndon B. Johnson, yang telah dideklasifikasikan tahun-tahun belakangan ini.
Jadi, yang terjadi bukan peralihan kekuasaan secara konstitusional sebagaimana yang digambarkan dalam film tsb, melainkan benar-benar suatu kudeta, perebutan kekuasaan, hanya mungkin bergaya Solo, alon-alon asal kelakon (protracted or creeping "coup"). Semua dengan berselimut kata-kata, slogan pemuda, ABRI di belakang Pemimpin Besar Revolusi (hal 320-322).
FILM G.30-S KARYA PROPAGANDA | Adalah menarik dua buah esai tentang Arifin C Noer yang ditulis oleh Gunawan Muhamad dan Putu Wijaya. Seperti diketahui Arifin C.Noer adalah sutradara film G.30-S tersebut. Kedua esai ini sebenarnya merupakan
suatu kesatuan baik disengaja atau bukan. Saling melengkapi.
Nampaknya yang mempercepat Arifin C Noer "pergi" untuk selama-lamanya, ialah konflik batin yang mengamuk dalam dirinya, dengan perannya sebagai sutradara film Jakarta tahun 1966, film Soeharto dan orde baru, film propaganda ala Sendenbu Jepang. Ia lelah, seperti tungku menjelang arang habis, kata Gunawan Muhamad.
Sebenarnya konflik batinnya itu tak perlu sampai menyebabkan ia seperti "tungku menjelang arang habis" , sekiranya ia mempunyai keberanian untuk meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia, bahwa dirinya telah menyebarkan kepalsuan sebagai kebenaran. Tentu saja akan ada risiko bagi dirinya, mungkin juga bagi keluarganya.
Arifin C Noer rupanya berusaha untuk meminta maaf itu, tetapi tidak secara terbuka, melainkan secara tertutup atau terselubung, melalui karya-karyanya yang kemudian. Hal itu diungkapkan oleh Putu Wijaya.
Arifin C Noer menganggap "sudah tiba waktunya" untuk mengajak penonton/pembaca bicara secara blak-blakan. Sayang kesempatan meminta maaf secara terselubung itu belum luas diketahui rakyat, sehingga umumnya rakyat menganggap Arifin C Noer dengan film Jakarta 1966. Mungkin hal itu juga menambah kepedihan hati Arifin C Noer.
Untuk lebih jelasnya baiklah kita kutip kalimat-kalimat yang ada kaitan dengan persoalan dari kedua penulis esai tersebut
Goenawan Mohamad | "Saya ingin menulis saja, Gun".... Arifin seperti menyesali sesuatu yang ingin dikemukakannya, tapi sudah lama tak dapat dilakukannya, dan kini tak mungkin dilakukannya.
....di dunia film pula lah Arifin tampak seperti orang yang lelah. Sayalah yang mempartemukan almarhum Dwipayana, yang kemudian menjadi Direktur PFN. Kemudian (G. Dwipayana) menemui Arifin dan mulailah lahir film sejarah tentang Soeharto dan orde baru... Arifin akhiraya masuk ke suatu pekerjaan yang tak membahagiakan dirinya membuat karya propaganda.
Saya tahu benar (ia bicara kepada saya) ia sangat enggan untuk membuat film yang berkisah tentang pergantian politik 1966....Arifin setuju untuk membuat Jakarta 1966 dengan catatan" mengandung dua tokoh yang "resmi" yang "tak resmi", yang "atas" dan yang "bawah" suatu kompromi.
Seaudainya Arifin lebih banyak menulis, ia mungkin akan menuliskan pedihnya itu: ia berusaha untuk selalu jujur.
Kira-kira sepekan sebelum ia meninggal, dari ranjang sakitnya di Glenn Eagle Hospital di Singapura, dengan perut yang selesai dibedah, ia (seperti 100 seniman dan cendikiawan lain) menandatangani Pernyataan Mei bersama Yayang, isterinya.
Ia juga melihat, ia telah merasakan itu bagaimana tenaga lndonesia yang berpikir dan kreatif terancam terus menerus untuk takluk jadi palsu, dihadapan intoleransi kekuasaan.
Putu Wijaya | Penonton selama ini sudah kita subsidi, kata Arifin satu ketika. Kini saatnya tiba untuk lebih realistis , mengajak mereka menerima kenyataan, apa sebenarnya yang sudah menjadi dan apa yang sebenarnya yang sedang ada di depan mata. Dan untuk itu kita harus berani. Kita wajib dan punya hak untuk mengatakan apa yang kita yakini. Kita tak perlu ragu-ragu dan menimbang rasa.
Arifin melemparkan berbagai isyu sosial yang erat hubungannya dengan masalah politik dan ekonomi. Ia tidak lagi menahan diri-untuk bicara tentang Indonesia saja, tetapi masa depan planet bumi dan umat manusia seluruh dunia.
Ketiba tibaannya dalam membagi seluruh beban yang dipikulnya itu, memang agak mengagetkan. Banyak orang yang terkesima, terkecoh, lalu mengkritik seakan-akan kemampuan artistik almarhum sudah menipis. Padahal satu periode baru dalam sejarah kreativitasnya sedang dibuka.... Ketika berbagai pikiran yang berjejalan di kepalanya sedang disiapkan untuk menumpahi kita.
KESIMPULAN | Sebuah pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar, apalagi bagi sutradara. Janganlah terulang pula kepedihan yang diderita Arifin C Noer karena tak berani mengatakan "tidak" untuk menyebarkan suatu kepalsuan, hanya karena yang mengajak seorang teman yang baik.
Memang mengatakan "tidak" untuk menyebarkan suatu kepalsuan, mungkin saja ada resiko bagi diri dan keluarga, bila hal itu dikehendaki oleh kekuasaan. Akan tetapi bagaimanapun juga pahitnya risiko karena mengatakan "tidak" akan turut menyebarkan kepalsuan, rupanya tidak akan sepedih , seperti yang telah dialami Arifin C Noer yakni seperti "tungku menjelang arang habis".
Tidak berani mengatakan "tidak" yang seharusnya dikatakan "tidak", menunjukkan tidak jujur pada diri sendiri, menipu diri sendiri dan dengan segala akibatnya.*** | Diulik dari : SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Ijin mengutip ya pak
BalasHapusIjin mengutip ya pak...
BalasHapus