Oleh Sunardian Wirodono | Semakin hari terasakan, kita sampai pada situasi di mana kita merasa tak memerlukan yang bernama Presiden, Menteri, Anggota DPR, Partai Politik, Agama, Polisi, Tentara, Jaksa, Hakim, Lawyer, bahkan para pejuang demokrasi entah itu akademisi atau parlemen jalanan, dan bahkan berbagai media seperti koran atau pun lebih-lebih televisi.
Ada situasi fatalistis yang membuat semuanya itu nonsens. Kita seolah telah sampai pada suatu kenyataan, bahwa absurditas persoalan keindonesiaan ini, tak teruraikan sama sekali. Telah sampai jalan buntu, dan terjadi pertarungan bebas karena semua orang terjebak dalam perangkat ego dan kepentingannya, untuk berebut keluar, entah sebagai pemenang atau menyelamatkan diri-sendiri. Situasi de javu!
Seolah, ada dua dunia di antara "kita" dan "mereka". Kita, masyarakat umum, rakyat, terperangkap dalam riuh problematika kesehariannya (atau bahkan terbeban dosa dan kesalahan masa lalunya). Sementara mereka, para yang kita sebut tadi, sama sekali tak ada kepentingan dan sangkut-pautnya dengan kita, kecuali hanya sebagai atas nama, ataupun sekedar alamat bagi sekian banyak alasan.
Kegaduhan di Senayan, di media, di sidang pengadilan, di kantor polisi, di Cikeas, di Istana, di ruang-ruang gelap intelejen, tak pernah senyatanya hadir. Mereka tidak lagi berada di ruang kosong, netral, hening, menara gading. Namun merangsek dalam ruang nayata. Mereka hadir dalam ruang isi. Dan itu artinya, menggeser kita, pemilik dari segala ruang nyata itu, ke pinggiran yang bernama percaya dan harapan. Kita hanya dipakai sebagai alasan kenapa semuanya ini bergerak. Tapi perlahan, kita yang semestinya di ruang nyata, digeser ke ruang mimpi, dan juga frustrasi. Sementara mereka, yang semestinya di ruang hampa udara, untuk menetralisir, justeru masuk menjadi polusi kehidupan kita.
Pemenuhan ruang-ruang publik, untuk menghirup udara yang lega dan sehat, disesaki oleh pentas-pentas akrobatik yang bukan hanya polusif, melainkan juga kolusif. Mereka mengacaukan kenyamanan hajat-hidup kita, hingga sampai pada kemuakan karena memang sama sekali tiada kegunaannya, kecuali keindahan dan keheroikan wacana.
Pada akhirnya, di tengah pesimisme itu, maka kita kemudian berada di titik nihilisme. Kehidupan yang tiada makna, kecuali pemenuhan pada apa yang kita konsumsi di mata, telinga, hidung, mulut, untuk kemudian berproses dalam perut dan keluar dalam bentuk kentut atau pun kotoran lainnya. Dan kita terus-menerus bergulir dalam kerutinan itu, bersiap-siap mewariskan pada anak-cucu. Namun tak ada kesempatan bertanya, menghela nafas, merenung, dan pasrah bahwa anak-cucu kita pun kelak hanyalah sebagaimana kita. Menjadi kuli situasi, tanpa pilihan, dan hidup akhirnya hanya menunda kekalahan.
Bahwa kita sebenarnya tidak kekurangan orang pintar, berpengetahuan tinggi, punya keterampilan, cerdas, dan seterusnya. Tapi, semua mereka tak pernah bisa menunjukkan jalan yang terang, ke mana arah itu, dan bagaimana cara menuju ke sana, dengan apa, dan sejenisnya. Kita hanya disodori tujuan-tujuan abstrak, bernama idealita, rancangan-rancangan, bahkan ribuan utopia tentang kemuliaan. Namun semua tak terpetakan.
Sejak Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Baru, dan kemudian era SBY ini, situasi bangsa dan negara ini, semakin menempatkan kaum oligarki dan elite (beserta para kompradornya), berada di pentas-pentas teater, di sebuah negara teater. Dan negara teater, hanyalah lebih merindukan dan mudah terpuaskan dengan tempik-sorak. Tak ada urusan, adakah penonton menjadi ngantuk, ngeloyor pergi cari tontonan yang lain, atau terlibat tawuran gara-gara tersenggol sesama penonton.
Negara tanpa grand-design, tanpa arah, tanpa proyeksi, tanpa kepemimpinan, tanpa hikmat-kebijaksanaan, tanpa kerukunan, tanpa kegotong-royongan, dan tanpa ketulusan, seperti Indonesia ini, hanya menjadi lahan jarahan para penjahat, dalam berbagai bentuknya.
Dan kita? Rakyat? Mencoba melupakan semuanya itu, dengan kadang meniru dan terjebak pada perilaku mereka, karena memang tak ada ruang berekspresi, tak ada tempat untuk eksistensi, karena tiada tempat partisipasi, kecuali oportunisme.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar