Hampir semua pemimpin dunia, selalu mengatakan yang bernama perubahan, senantiasa dipelopori oleh pemuda. Sukarno mengatakan, dengan satu pemuda saja, ia mampu membuat revolusi.
Ada dua hal mesti dicurigai dalam pernyataan itu. Pertama, ia sedang hendak mengatakan, bahwa dulu ia pernah muda, dan berjasa melakukan perubahan. Dua, ia sendiri sedang membujuk para pemuda, agar lalai dan tidak menuntut posisi pemimpin itu, dengan memuji-muji kaum muda.
Kenapa? Bagi Indonesia masa kini, kita tahu pasti, bahwa tak ada anak muda revolusioner yang usianya di bawah atau setara dengan Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, yang telah menghunjukkan kematangan dalam awal perjuangan dan dengan usia rata-rata di bawah 30, dan bahkan 20.
Kita lihat kini, seolah ada degradasi angka, sehingga mereka yang sudah berusia di atas 35-50, masih boleh dikatakan sebagai generasi muda. Pernyataan ini, jika datang dari generasi seumur itu, tandanya mereka adalah orang yang minta bagian, posisi, atau telat dalam merebut kekuasaan. Dan hanya tahu, bahwa manusia pengabdi itu harus dengan status, posisi, jabatan, lembaga,...
Para manula (manusia usia lanjut) itu, selalu mengatakan, anak muda sekarang, kualitasnya jauh dibanding anak muda yang dulu. Sesunguhnya, pernyataan itu hanya ingin mengatakan, bahwa mereka adalah bagian dari kegagalan dalam proses transformasi generasi.
Dalam hukum alam dan kausalitas, tak ada kemendadakan, tak ada ujug-ujug, karena semuanya saling mengait.
Apa yang terjadi pada masa kini, beserta kualitasnya, adalah cerminan dari perilaku berupa kesuksesan dan kegagalan generasi sebelumnya. Dalam formalisme berfikir (termasuk beragama, berbangsa, bernegara), makin membuat kita masuk dalam pragmatisme, yang lebih memandang azas manfaat, lebih menghargai management by product dan bukan by proccess. Sehingga makin menjadi vandalis dalam hal cara mencapai kesuksesan, kemenangan, dan itu berarti hanya beroerientasi kekuasaan.
Kita tak pernah merenungi, bahwa itu semua adalah limbah kapitalisme, di samping kemiskinan struturalistik, yang diakibatkan oleh praktik penghisapan. Kapitalisme bukan sekedar angka-angka ekonomi, melainkan juga wajah kebudayaan yang bopeng, lebih karena ia bersujud pada materialisme daripada idealisme. Lebih menyembah kekayaan daripada kemuliaan. Lebih karena takluk pada angka daripada nilai.
Revolusi yang ditawarkan para petualang di negeri ini, akan sama saja akhirnya dengan para penguasa dan tiran yang mereka kritik. Karena revolusi politik tanpa perubahan mind-set manusia Indonesia, adalah omong kosong. Lihatlah yang disebut Reformasi 1998.
Pada sisi ini, kita juga bersedih, karena kelompok agama pun masuk dalam praksis politik, setelah mereka pun merasa gagal mendidik bangsa dan negara ini menjadi beradab. Kompleksitas masalah dan heterogenitas bangsa Indonesia, tentulah beda dengan homogenitas di Philipina atau negara-negara Amerika Latin dengan gereja yang terasa lebih absolut.
Mengapa tidak mau berendah hati, untuk bersama berhimpun, menyusun road-map Indonesia ke depan? Masing-masing sibuk berargumen. Dan kita benar-benar tak punya pemimpin dengan kepemimpinan berkelas. Kita berada dalam kehidupan yang penuh pertikaian. Pertikaian itu, sebagaimana pertikaian di rumah, tak pernah sempat mendidik anak-anaknya, kecuali mereproduksi dendam, keberpihakan, sakit hati, fanatisme buta, dan balas dendam itu sendiri tentu.
Maka jalan satu-satunya, biarkanlah periode pembusukan generasi ini terjadi. Sembari menyatakan salut pada anak-anak muda, yang bekerja diam-diam, di pelosok-pelosok negeri Indonesia Raya ini, jauh dari sorotan media dan tak pernah duduk sembari ketawa-ketiwi di forum-forum talk-show yang eksploitatif.
Banyak anak muda Indonesia, yang bekerja diam-diam, dan diam-diam bekerja untuk bangsa dan negaranya. Mereka melakukan pendampingan, pembelajaran, pemberdayaan, pada tumbuhnya generasi baru Indonesia, dengan cara masing-masing. Mengisi pada sisi yang selama ini kita abaikan, tumbuhnya manusia Indonesia yang berfikir dan mempunyai keteguhan karakter. Karena hanya dengan itulah, semoga mata rantai kebuntuan bangsa ini bisa terputus. Karena, menyedihkan ketika generasi Anas Urbaningrum, Andi Arief, atau siapa pun, yang tak bisa membebaskan diri dari jebakan pragmatisme politik yang makin parah ini.
Sebagaimana ghalibnya bangsa-bangsa di dunia, yang tumbuh dari kembangan sayap eksplorasi dan ekploitasi, kita lebih cenderung abai pada yang pertama, serta mendewakan sisi eksploitasi, karena berjalan tanpa keteladanan.
Jika kaum muda inginkan revolusi, singkirkan kaum tua dan para komprador yang macet dan stagnan. Itu artinya, memang dibutuhkan generasi baru, karena barisan Anas pun termasuk generasi lama yang juga tidak relevan lagi untuk masa depan, apalagi Aburizal Bakri atau Surya Paloh.
Selamat bersumpah serapah, wahai Pemuda dan Pemudi Indonesia, yang bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa persatuan Bahasa Indonesia! | Sunardian Wirodono, Lereng Merapi, 28 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar