Apa yang terjadi Senin kemarin di DPR (3/10), berkait undangan Rapat Konsultasi dengan KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, semakin menjelaskan bahwa sebagian orang DPR mendesak KPK untuk tidak melakukan pemeriksaan pada anggota Banggar.
Meski selalu menyebut "menurut keyakinan akademis" dan selalu menyebut gelar-gelar doktor hukum mereka, trio macan di Komisi III (Fachrie Hamzah dari PKS, Azis Syamsyuddin, Golkar, dan Benny Kabur Harman, Demokrat), lebih merupakan sekumpulan asbun. Apalagi kemudian dengan keinginan membubarkan KPK dan menyebut KPK sebagai teroris baru.
Sementara itu, Tjatur Sapto Eddy (PAN), dengan arogan mengatakan KPK sebagai anak kandung DPR, dan DPR sebagai bapak (lha ibunya mana?), jelas pendapat yang ahistoris dan memutar-balikkan fakta. KPK ada karena keputusan Tap MPR, yang merupakan paket akselerasi demokrasi berkait perubahan politik 1998. Dari sana, seiring itu kemudian partai-partai politik baru bermunculan, termasuk Partai Golkar, PAN, PKS (PK), PDI Perjuangan, dan lain-lainnya. Desakan reformasi dari rakyatlah yang menyebabkan munculnya lembaga-lembaga ad-hoc atau komisi negara sebagai jalur cepat situasi transisi itu.
Sampai kapan lembaga super-body (seperti kritik Fachri) itu ada? Amanat reformasi untuk mempercepat proses demokratisasi itu, sampai hari ini tidak dijalankan pemerintah dan parlemen, yang keduanya lahir karena situasi paska Orde Baru.
Mereka, ternyata tidak bisa mengurai masalah, melainkan justeru bagian dari masalah dan membuat masalah baru. Aneh juga Pramono Anung (PDIP) yang biasanya santun dan cerdas, larut dalam kelompok yang ikut memojokkan KPK, sebagaimana Anis Matta (PKS) yang juga melakukan hujatan sama, meski dengan bahasa yang tampak cerdas namun penuh tendensi. Persis omongan Priyo Budi Santosa (Golkar) yang hanya kelihatan lebih santun daripada Yorris Rameway dan Nudirman Munir (sesama Golkar), yang selalu ngomong normatif mendukung KPK namun membabi-buta membela kehormatan Banggar DPR.
Kesimpulan dari Rapat Konsultasi kemarin di DPR? Meski mengundang Kepolisian dan Kejaksaan Agung, tampak mereka hanya ditempatkan sebagai kambing congek. Bahkan, tudingan Azis soal KPK sebagai anak emas, dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan, adalah tendensi atau kecenderungan politicking orang Senayan. Tak ada konsultasi di situ, karena yang ada adalah intervensi DPR pada KPK.
Meski dibilang tanpa kesimpulan, Marzuki Alie (Demokrat) menutupnya implisit, agar KPK mengerti jadwal nasional tentang rapat anggaran APBN yang penting. Menyelamatkan uang ratusan trilyun (dengan mendahulukan penyelesaian APBN) katanya jauh lebih penting daripada ratusan milyar yang dikorupsi. Artinya, KPK dimohonkan implisit menunda pemeriksaan Banggar.
Semua orang tahu, mengolor waktu pemeriksaan selama sebulan, adalah cukup waktu bagi mafia Senayan untuk berkoordinasi menyelamatkan diri. Belum lagi dampaknya, tanpa perbaikan sistem, penganggaran APBN juga bisa menimbulkan kerugian yang permanen dan jauh lebih besar.
Ada sebagian orang Senayan, yang hanya diberkati dengan kepintaran dan keberanian ngomong. Tapi omongan asbun, dengan logika yang tidak konsisten, dan tanpa ketulusan, adalah ciri politisi maling.
Jika dalam lakon "Kriminalisasi KPK" episode lalu berjudul "Cicak versus Buaya", judul episode yang sekarang, "Cicak versus Buaya Darat".
Waspadai Politisi Maling Bersekongkol!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar