Catatan: Megatruh, dalam Serat Purwaukara karya Ranggawrsita, diberi arti "mbucal kang sarwa ala", membuang yang serba jelek. Pegat ada hubungannya dengan peget, yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
Namun secara semantik, megat ruh, berarti putusnya nyawa dari raga. Dalam ajaran Islam, pada pokoknya membawakan keimanan untuk menjalankan ibadah dengan menjauhkan hawa nafsu, berbuat baik dengan mentaati perintah Allah dan menjauhi kejahatan serta menghindari larangan Allah serta menjauhi ajaran setan. Megatruh dicipta Sunan Giri pada abad 18.
Baiklah, wahai, kukatakan padamu,
Isyarat-isyarat langit,
Atas hatimu yang beku,
Kau bisa berlidah api,
Tapi waktu takkan bohong.
Engkau katakan selalu,
Demi itu demi ini,
Ah, masa depan yang semu,
Kau sendiri tak mengerti,
Dibujuk jadi perampok.
Adakah engkau tak tahu,
Atau pura-pura tuli,
Anak negri jadi babu,
Kau terus jualan mimpi,
Dan Indonesia pun roboh.
Adakah ini negara yang bermutu,
Dan berdemokrasi murni,
Jika agendamu palsu,
Puna-puni, mimpa-mimpi,
Ekonomi omong-kosong.
Kini kau tuding tentang Yogyakartaku,
Yang bau-bau monarkhi,
Itu tak baik katamu,
Tak sesuai demokrasi,
Makanya harus dipotong.
Dan ketika rakyat berdaulat teguh,
Kamu bilang ditunggangi,
Membabi-buta menuduh,
Rakyat emosi, tak logis,
Dan kau pidato tong-kosong.
Masalahnya kini bukan pilkada atau,
Penetapan, demokrasi,
Bahkan pula referendum,
Namun perihal tendensi,
Nafsumu bak kucing garong.
Sesungguhnyalah, apakah agendamu,
Hingga pun Yogya yang hening,
Tiba-tiba jadi isyu,
Dan isyu lain tersisih,
Orang-orang saling ngomong.
Kemudian di balik pat-gulipatmu,
Kau gulirkan lain lagi,
Macam-macam agendamu,
Siapakah kamu ini,
Pembohong atau pemborong?
Demokrasi ini telah lama beku,
Gunung es manipulasi,
Negara teater absurd,
Leadership jadi dealership,
Logikamu bengkang-bengkong.
Kekonyolan demi kekonyolan kamu,
Makin menjelaskan arti,
Engkau bukanlah kampiun,
Apalagi sang pemimpin,
Kau sendirilah perampok.
Sementara ilmuwan dan mahaguru,
Agen-agen demokrasi,
Menyusun proposal baru,
Untuk diajukan ke funding,
Jualan otak kelonthong.
Diskusi demi diskusi t’lah berlalu,
Tak pernah sampai substansi,
Ngritik ngalor ngritik ngidul,
Lagak jago demokrasi,
Rakyat dianggap kepompong.
Kini Yogyakarta pun dikungkung nafsu,
Yang tradisi dihakimi,
Dituding bodoh dan dungu,
Orang kuno yang tak logis,
Sedang m’reka top-markotop.
Padamu, yang selalu ngaku pembaru,
Apa itu demokrasi,
Katakanlah kepadaku,
Adakah engkau mengerti,
Engkau tak sedang berbohong?
Tahukah tentang cermin tipu-dayamu,
Ngomong tinggi demokrasi,
Padahal hatimu busuk,
Amerika dan Yahudi,
Raja baru nir-kedhaton.
Kami seaslinya warga Yogya tahu,
Menolak ‘tuk dikebiri,
Karena demokrasimu,
Bukan bagi kami-kami,
Kami bukan orang bodoh.
Ini bukan soal bela raja-ratu,
Tapi vox populi vox dei,
Yang seenaknya kau daku,
Negri Indonesia ini,
Tak boleh makin keropos.
Kalian jual-beli wacana baru,
Menjadikan rakyat ini,
Demi nganu, nganu, nganu,
Bukannya kami tak ngerti,
Kalianlah: Buta Terong!
| Sunardian Wirodono, lereng Merapi, awal 2011.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar