DALAM kepemimpinan Jawa (kenapa Jawa? Ya, agar kita bisa dapatkan juga dari nilai kebijaksanaan lokal lainnya), negara yang gemah ripah loh-jinawi, mensyaratkan pada tiga hal. Adanya pemimpin yang berani menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, alim-ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan, dan rakyat yang mau mendengar, sabar, dan bekerja keras.
Tentu, konsep yang tidak senjlimet Montesquieu tentang trias politika, dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski pun kenyataannya, yang bernama legislatif dan yudikatif, pada akhirnya adalah juga eksekutif juga. Dan celakanya, teori Montesquieu ternyata juga tak mampu memecahkan soal "pengawasan" dan memberi jawaban memuaskan atas yang bernama "keadilan" itu. Orang Jawa, meringkes ketiganya berada dalam satu tempat, yakni integrated pada satu manusia yang disebut pemimpin itu. Artinya, dalam elaborasi konteks kekinian, dalam pribadi pemimpin harus terpenuhi syarat mutlak ia sebagai "manusia pilihan".
Pemimpin yang menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, ialah dia menjaga segala sesuatu dalam keseimbangan. Dalam teori modern ia memoderasi antara kepentingan capital (modal, pengusaha, pasar) dan civil society (rakyat). Namun jika ia berkelindan, dan berselingkuh, dengan pemodal atau pengusaha semata, maka ia telah berlaku tidak adil, apalagi sampai tidak bisa bersikap, dan berdalih tidak mau intervensi pada kepolisian yang merupakan instrumen kekuasaannya, atau membiarkan munculnya Pam-Swakarsa).
Pemimpin yang seperti itu, jika pun tahu mengenai teori keadilan, semuanya hanyalah omong kosong. Sementara kita tahu, seorang pemimpin dinilai dari omong isi-nya, bukan omong kosong-nya. Pemimpin memang harus ngomong, tetapi jika yang diomongkan kosong belaka, ia juga nihil, alias tidak bernilai. Apapun kata mantan menlu AS, Condoleeza Rice (yang dikagumi Moammar Kadafy itu) tentang kepemimpinan yang kuat.
Alim ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan. Yang dimaksudkan di sini, alim-ulama tentulah bukan hanya para petinggi dan elite Islam (aneh, Islam kok mengenal konsep "elite"), melainkan mereka yang bekerja di ranah rohani. Para pendeta, pastor, bedande, para budayawan, yang merenungi nilai-nilai kehidupan. Banyak yang menyatakan kebenaran, namun kebenaran tanpa keadilan adalah kebenaran formal, kebenaran teks, yang ia bisa jadi tidak bernilai ketika kehilangan konteksnya.
Berdasar keadilan itu artinya kebenarannya bukan demi kekuasaan, bukan pada kelompok tertentu, bahkan bukan kebenaran demi kebenaran akademis, karena ia bisa jadi kegenitan yang elitis belaka. Namun kebenaran yang dimaksud, mampu menumbuhkan peradaban, nilai-nilai kehidupan, demi citra budi Tuhan, bukan citra budi penguasa, dan apalagi kelompok mayoritas. Karena justeru pada kaum minoritaslah, Kanjeng Nabi Muhammad sendiri perlu memasukkannya dalam Piagam Madinah, sebagai konsep kekuasaan yang Islami (bukan negara Islam).
Barangkali, faktor terpenting, ialah pada rakyat. Dan kita tahu, ada yang mengatakan rakyat yang kuat melahirkan pemimpin kuat, rakyat bodoh melahirkan pemimpin bodoh. Jika pemimpin beraport merah, siapa dulu gurunya,... Biarkan saja istilah itu, sebagai bagian dari kegenitan akademis, untuk mendapatkan cum-laude. Kita seyogyanya tidak lagi berdebat soal mana lebih dulu antara telor dan ayam, kecuali hanya sekedar untuk mendapatkan selembar honorarium alias amplop, dalam sebuah talk-show televisi.
Bisa jadi, rakyat kita bodoh, tak sabaran, suka amuk massa, tidak mau mendengar, pemalas, konsumtif, dan sebagainya dan seterusnya. Namun, jika dua unsur di luarnya (pemimpin dan alim-ulama) terpenuhi, rakyat akan menjadi pondasi terkuat bagi tegaknya kedaulatan negara.
Secara teoritis tampaknya mudah. Memang mudah. Tapi karena keserakahan akan kekuasaan (baik pada para pemimpin, alim-ulama, budayawan, dan cerdik-pandai) itu, semuanya menjadi sulit. Dan bangsa Indonesia yang konon ramah-tamah, mempunyai konsep gotong-royong, sesungguhnya sama sekali pandangan yang tidak meyakinkan. Ialah ketika politik modern hanya bersandar pada angka-angka, citra dan polling, namun bukan nilai-nilai.
Angka-angka yang disodorkan pada kita itu, tidak bernilai sama sekali. Hanya teks, bukan konteks. Tidak mampu menyodorkan kepemimpinan dan keteladanan, karena tidak mempunyai roh dan kekuatan untuk menginspirasi, apalagi memotivasi bagi berdirinya negara yang gemah-ripah repeh rapih, negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghofur!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar